Sedetik kemudian, aku telah berada di atas pesawat yang akan membawaku terbang tinggi menembus awan, menuju Medan, kota paling bersejarah bagiku.
Rencana untuk pulang ke kampung halaman telah lama kurencanakan. Niatan yang awalnya cuma terlintas dalam pikiran itu pun, makin hari makin menggebu-gebu, minta segera di realisasikan.
Medan, ibukota Sumatera Utara, dengan penduduk +5 jt penduduk, telah mulai berbenah diri menghadapi jaman yang semakin maju. Bahkan sejak kutinggalkan 3 tahun lalu, kota tempatku dibesarkan ini telah menunjukkan banyak perubahan. Selain penambahan gedung-gedung baru yang diperuntukkan bagi mall ataupun perkantoran, jalan-jalannya pun menunjukkan banyak perbedaan. Kalau dulu jalan-jalannya kecil, sekarang terlihat makin lebar. Tak berhenti sampai disitu, Jalur yang dulunya 2 arah pun, kini menjadi satu arah, seiring pertambahan volume kendaraan yang dimiliki masyarakat.
@@@@@
Setelah berkonsultasi dengan teman seperjalanan yang akan menemani selama 5 hari kedepan. Perencanaan matang menjadi menu wajib yang memang diperlukan. Mulai dari peralatan, riset bahan liputan, kontak person, sampai driver yang akan mengantarkan kita berkeliling Sumatera Utara, telah di siapkan jauh-jauh hari.
Hanya dalam waktu seminggu semuanya telah ready. Kami pun akan memulainya pada hari Kamis (11/01/07) pagi. Sejurus kemudian, saat semua dirasa beres, mobil kantor yang kami tumpangi segera melaju di mulusnya jalanan ibukota menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Disinilah cek-in dilakukan sembari menyortir barang yang akan dimasukkan ke bagasi pesawat.
Dengan menaiki pesawat MANDALA (AIR BUS A320: red) tujuan medan, penumpang yang jumlahnya ratusan terlihat membludak menuju pintu sempit pesawat. Budaya antri sepertinya masih terlalu jauh dari harapan. Sampai-sampai, untuk masuk pesawat saja, para penumpang harus beradu cepat. Padahal pesawat takkan berangkat jika penumpang belum masuk dan penumpang akan mendapat jatah kursi sendiri-sendiri, yang tentunya takkan pernah sama untuk setiap orang. Jadi, kalo di pikir-pikir, ngapain harus berebut? Mungkin inilah sisi buruk budaya kita yang susah untuk dihilangkan. “Bak, menunggu pembagian sembako aja!” gumanku lirih.
Untuk lima menit pertama, ritual rutin sebelum penerbangan dilakukan oleh awak kabin. Mula-mula, mereka (baca: awak kabin) akan memeriksa semua bangku penumpang apakah telah terisi atau tidak. Selanjutnya, sesuai prosedur penerbangan sipil, diwajibkan untuk memberikan penerangan singkat perihal upaya keselamatan selama penerbangan.
Mungkin karena terlalu sering dan sudah biasa diperagakan oleh para pramugari, sebagian besar penumpang mengacuhkan himbauan tersebut. Mereka lebih terlihat sibuk dengan membaca ataupun ngobrol dengan teman sebangku. Sedangkan bagi mereka yang baru pertama naik pesawat, setiap instruksi pastilah begitu bermakna.
Sejurus kemudian, pesawat mulai take off meninggalkan ibukota negara, -Jakarta-, tempatku mengadu nasib. Dari sini, perumahan penduduk yang tadinya terlihat dekat, lamat-lamat menjadi kecil seiring dengan ketinggian yang di capai pesawat. Beberapa kali kucoba tuk pejamkan mata saat pesawat tinggal landas, tapi keinginan melihat keluar jendela selalu saja tak terelakkan. Bahkan, saat roda mulai dilipat masuk ke dalam bodi pesawat, rasa deg-deg-an ikut-ikutan meraja. “Jangan-jangan akan terjadi hal buruk”, ungkapku membathin!
Menyaksikan detik-detik terakhir pesawat menjejak bumi menjadi waktu yang mendebarkan. Pasalnya, bayangan buruk tentang kecelakaan pesawat di tanah air selalu menghantui. Belum lepas dalam ingatan, bagaimana pesawat Adam Air - KI 574 hilang dari radar, saat berangkat dari Surabaya menuju Menado. Pesawat berpenumpang 112 orang, hilang begitu saja dari pantauan menara pengawas di Makassar. Berdasar perkiraan, diduga pesawat tersebut hilang di kawasan laut Masalembo atau di sekitar daerah Majene dekat Toraja.
Pada penerbangan kali ini, cuaca terlihat tenang dan bersahabat. Hanya, awan-awan halus yang terlihat bergelayut di sisi pesawat. Walau pemandangan sekeliling hanya sekumpulan awan putih, jauh diujung cakrawala bingkai alam terlihat jelas. Ini yang membuat pesawat terlihat mantap mengarungi ketinggian. Tak ada guncangan yang terjadi.
Mungkin karena terlalu mengantuk, akibat kurang tidur semalam, keinginan tuk pejamkan mata tak bisa di bendung lagi. Tak terasa, aku pun larut dalam aroma istirahat yang begitu dahsyat. Sepertinya, tiga puluh menit sudah aku tertidur, sampai tak sadar kalo awak kabin mulai membagikan makanan kepada setiap penumpang. Ketika meja lipat di depanku dibuka, aku baru sadar bahwa sekarang saatnya makan.
Selepas makan, kembali kurebahkan tubuh ini di kursi empuk penumpang. Berhubung gak ada kegiatan lain, kembali kupejamkan mata, Sementara temanku telah lebih dahulu pulas dalam mimpinya. Sepertinya, mengistirahatkan mata menjadi menu lanjutan yang menarik tuk di lakoni. Akhirnya, lagi-lagi aku terlelap. Gak ingat apapun juga!
@@@@@
Untuk satu jam pertama, pesawat yang kami tumpangi tak menunjukkan tanda-tanda akan mengalami gangguan cuaca buruk. Pasalnya sejak keberangkatan kondisi udara terlihat cerah dan baik-baik saja. Tak terlihat ada kendala selama penerbangan.
Saat pesawat memasuki daerah sumatera, tepatnya diatas kawasan Riau, kendaraan udara berbadan besar ini, mulai mengalami sedikit gangguan. Tiba-tiba saja, awan pekat menyelimuti pesawat, menimbulkan sedikit goncangan.
Sejak dari goncangan pertama, goncangan-goncangan selanjutnya semakin sering mendera. Bahkan, ketika memasuki daerah Sumatera Utara, goncangan itu semakin menjadi-jadi. Goncangan yang mulanya kecil dan tak terlalu sering, kini kian lama kian sering dengan frekuensi yang makin besar.
Dari balik jendela tempatku duduk, terlihat begitu pekatnya awan-awan tebal bertebaran di semua sisi. Sepertinya, tak ada lokasi yang tak ditempati awan-awan ini. Untuk itulah pesawat harus menambah ketinggian hingga 37.000 kaki, agar tidak terjebak di dalam kumpulan awan.
Sedetik kemudian pesawat telah berada jauh diatas awan. Keadaan kembali tenang. Tapi itu tak berlangsung lama. Pasalnya, saat memasuki wilayah Medan, pesawat harus mengurangi ketinggian. Dan, ini yang jadi pertanda buruk, awal kekhawatiranku terhadap transportasi udara.
Saat mencoba turun, tiba-tiba saja turbulence (baca; angin kencang) membuat pesawat terhempas naik ke arah kanan. Sontak semua penumpang kaget karenanya. Suasana yang tadinya tenang, kini berubah riuh. Masing-masing orang terlihat berpegangan kuat pada sandaran kursi. Bahkan doa-doa pertolonggan pada Sang Pencipta tak terhitung banyaknya dilafalkan oleh penumpang yang mulai ketakutan.
Sewaktu turbulence tadi, serasa jiwa ini terlepas dari raga. Aku jadi takut karenanya! Bahkan ketakutan yang selama ini harus kuredam saat bepergian dengan pesawat, kini jadi kenyataan. Jika diidentikkan, rasa takutku kali ini, melebihi ketakutan sewaktu naik Kora-kora dan Kicir-Kicir di Dufan- Ancol beberapa waktu yang lalu.
Jujur saja, kecelakaan pesawat atau apapun itu, telah lama mengusik akal sehatku. Pernah aku berpikir, jika saja terjadi kerusakan atau kecelakaan pesawat yang kutumpangi, maka aku orang pertama yang akan mengabadikan momen tersebut. Mungkin karena naluri jurnalis yang tinggi, membuat aku sering berandai-andai seperti itu. Padahal dalam kenyataannya tak demikian.
Pernah suatu kali, sewaktu penerbangan ke Surabaya, pesawat yang kutumpangi mengalami loss (lepas beban: red). Kontan aku berpegangan lebih erat pada pegangan kursi. Tak teringat sedetikpun, niat untuk mengambil gambarnya. Menyelamatkan diri sendiri tentu jadi prioritas utama.
Masih dalam penerbangan ke Medan. Sepuluh menit kemudian, pesawat semakin uring-uringan. Mencoba menembus awan yang luar biasa tebal. Sama seperti saat ini, pesawat berbobot mati puluhan ton tersebut, ternyata tak mampu membendung gravitasi Bumi. Mungkin karena adanya ruang hampa atau pesawat yang kehilangan kendali saat menembus awan, kendaraan angkasa ini harus jatuh beberapa saat. Kurang lebih 3 sampai 5 detik pesawat meluncur deras ke bawah.
Akibat gerakan menukik tadi, semua penumpang kembali panik. Penumpang yang tadinya terlihat was was, kini semakin siaga menghadapi kejadian yang terburuk. Masing-masing orang berpegangan lebih erat, sembari mmengucap doa-doa sesuai agama masing-masing.
Beberapa saat kemudian, melalui pengeras suara terdengar arahan: “...para penumpang diharapkan menegakkan sandaran kursi, melipat meja dan bersiaga sehubungan dengan cuaca buruk!” Mendengar itu, masing-masing orang semakin gugup. Gak tahu harus melakukan apa. Padahal baru beberapa menit sebelumnya, awak kabin mengingatkan, bahwa sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Polonia-Medan.
Cuaca buruk itu juga yang membuat pesawat harus berputar-putar di ketinggian selama sepuluh menit. Mencoba menunggu redanya badai yang diakibatkan oleh berkumpulnya awan-awan pekat dengan perbedaan tegangan/ konsentrasi. Sedikitnya 4 kali pesawat melakukan gerakan memutar di atas awan, sebelum mencoba turun ke bawah.
Saat mencoba mengurangi ketinggian, pesawat yang membawa penumpang 100 orang ini, terlihat sangat berhati-hati. Pasalnya, celah yang tersedia di kumpulan awan tebal tersebut tak banyak. Belum lagi, tebalnya awan-awan ini begitu berlapis. Sehingga, lepas dari satu lapisan awan, masih ada lapisan lain yang menunggu di bawahnya.
Sewaktu turun menembus awan, kejadian mengerikan kembali terjadi. Lagi-lagi, pesawat kehilangan keseimbangan, sehingga jatuh bebas (hilang kendali) beberapa saat. Kalo tadi pesawat mengalami los hanya beberapa detik. Kali ini terasa lebih lama. Sampai-sampai aku berpikiran, bahwa kondisi inilah yang mungkin dihadapi oleh pesawat Adam Air, yang hilang dan sampai saat ini belum ditemukan. Mungkin karena kehilangan keseimbangan, pesawat tersebut tak mampu naik.
Jatuh bebas! Sungguh, tak ada padanan kata yang menyamai maknanya. Rasa takut, takut dan sangat takut, jadi ekspressi tulus yang terpancar dari manusia-manusia pendosa seperti diriku. Serta tak ketinggalan berpasrah diri pada Sang Khalik, jadi ungkapan terakhir yang bisa kupanjatkan. Semoga Dia yang diatas sana berkenan atasku!
Itulah yang tergambar, saat pesawat menukik tajam beberapa saat. Kalo gak salah, sekitar 7 – 10 detik pesawat kehilangan keseimbangan, membuatku semakin bergidik dengan keringat yang mengucur deras. Sembari membungkuk dan bepegangan kuat pada lengan kursi, aku benar-benar pasrah! Tak sanggup melakukan gerakan apapun. Bahkan, niatan untuk mengabadikan momen terburuk, tiba-tiba hilang dari memori otakku.
Di saat-saat kritis seperti ini, dari tempat dudukku terlihat jelas butiran hujan mengalir deras membasahi sisi luar jendela. Ternyata di luar sana cuaca benar-benar buruk. Sampai-sampai hujan demikian lebatnya di atas ini, ditingkahi gelegar halilintar di ujung sana. Aku pikir, hujan hanya akan terjadi di ketinggian rendah atau jika posisinya lebih rendah dari awan. Pasalnya, hujan terjadi akibat tingkat kondensasi di awan. Ternyata tidak demikian halnya.
Lepas dari loss tadi, pesawat berusaha menjaga keseimbangan. Ini terlihat dari posisi pesawat yang kembali stabil oleh kemahiran sang pilot mengemudikan pesawat, dengan sangat berhati-hati.
@@@@@
Untunglah, setahap demi setahap, pesawat berhasil mengurangi ketinggian, hingga di kejauhan mulai terlihat jajaran pegunungan Bukit Barisan, ciri khas kawasan hutan Sumatera.
Masih dengan hujan yang mengguyur deras, rasa deg-deg-an belum juga reda. Lebatnya Kasawan hutan yang dilalui pesawat masih menimbulkan tanya? Belum lagi jarak panjang yang terbatas akibat kabut di kawasan ini tak bisa dianggap enteng. Pasalnya, di kawasan pegunungan ini, sebuah pesawat Garuda pernah jadi korban. Tepatnya di tahun 1997, pesawat tersebut menabrak pegunungan, akibat terbang terlalu rendah.
Aku hanya berdoa, semoga kami bisa turun dengan selamat, tak kurang suatu apapun. Aneh saja rasanya, jika pesawat berhasil mengelakkan cuaca buruk diatas sana, tapi harus terjatuh hanya karena menabrak bukit, akibat terbang terlalu rendah.
Untunglah semua yang kukhwatirkan tak pernah terjadi. Setelah melewati kawasan hutan, pesawat akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Polonia – Medan, sepuluh menit kemudian. Sungguh, hanya ucapan syukur yang bisa kupanjatkan Pada-Nya, atas semua anugrahnya, sehingga aku ada, sebagaimana ku ada saat ini.
Sejurus kemudian, kami pun beranjak menuju ruang tunggu bagasi di dalam bandara.
Rencana untuk pulang ke kampung halaman telah lama kurencanakan. Niatan yang awalnya cuma terlintas dalam pikiran itu pun, makin hari makin menggebu-gebu, minta segera di realisasikan.
Medan, ibukota Sumatera Utara, dengan penduduk +5 jt penduduk, telah mulai berbenah diri menghadapi jaman yang semakin maju. Bahkan sejak kutinggalkan 3 tahun lalu, kota tempatku dibesarkan ini telah menunjukkan banyak perubahan. Selain penambahan gedung-gedung baru yang diperuntukkan bagi mall ataupun perkantoran, jalan-jalannya pun menunjukkan banyak perbedaan. Kalau dulu jalan-jalannya kecil, sekarang terlihat makin lebar. Tak berhenti sampai disitu, Jalur yang dulunya 2 arah pun, kini menjadi satu arah, seiring pertambahan volume kendaraan yang dimiliki masyarakat.
@@@@@
Setelah berkonsultasi dengan teman seperjalanan yang akan menemani selama 5 hari kedepan. Perencanaan matang menjadi menu wajib yang memang diperlukan. Mulai dari peralatan, riset bahan liputan, kontak person, sampai driver yang akan mengantarkan kita berkeliling Sumatera Utara, telah di siapkan jauh-jauh hari.
Hanya dalam waktu seminggu semuanya telah ready. Kami pun akan memulainya pada hari Kamis (11/01/07) pagi. Sejurus kemudian, saat semua dirasa beres, mobil kantor yang kami tumpangi segera melaju di mulusnya jalanan ibukota menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Disinilah cek-in dilakukan sembari menyortir barang yang akan dimasukkan ke bagasi pesawat.
Dengan menaiki pesawat MANDALA (AIR BUS A320: red) tujuan medan, penumpang yang jumlahnya ratusan terlihat membludak menuju pintu sempit pesawat. Budaya antri sepertinya masih terlalu jauh dari harapan. Sampai-sampai, untuk masuk pesawat saja, para penumpang harus beradu cepat. Padahal pesawat takkan berangkat jika penumpang belum masuk dan penumpang akan mendapat jatah kursi sendiri-sendiri, yang tentunya takkan pernah sama untuk setiap orang. Jadi, kalo di pikir-pikir, ngapain harus berebut? Mungkin inilah sisi buruk budaya kita yang susah untuk dihilangkan. “Bak, menunggu pembagian sembako aja!” gumanku lirih.
Untuk lima menit pertama, ritual rutin sebelum penerbangan dilakukan oleh awak kabin. Mula-mula, mereka (baca: awak kabin) akan memeriksa semua bangku penumpang apakah telah terisi atau tidak. Selanjutnya, sesuai prosedur penerbangan sipil, diwajibkan untuk memberikan penerangan singkat perihal upaya keselamatan selama penerbangan.
Mungkin karena terlalu sering dan sudah biasa diperagakan oleh para pramugari, sebagian besar penumpang mengacuhkan himbauan tersebut. Mereka lebih terlihat sibuk dengan membaca ataupun ngobrol dengan teman sebangku. Sedangkan bagi mereka yang baru pertama naik pesawat, setiap instruksi pastilah begitu bermakna.
Sejurus kemudian, pesawat mulai take off meninggalkan ibukota negara, -Jakarta-, tempatku mengadu nasib. Dari sini, perumahan penduduk yang tadinya terlihat dekat, lamat-lamat menjadi kecil seiring dengan ketinggian yang di capai pesawat. Beberapa kali kucoba tuk pejamkan mata saat pesawat tinggal landas, tapi keinginan melihat keluar jendela selalu saja tak terelakkan. Bahkan, saat roda mulai dilipat masuk ke dalam bodi pesawat, rasa deg-deg-an ikut-ikutan meraja. “Jangan-jangan akan terjadi hal buruk”, ungkapku membathin!
Menyaksikan detik-detik terakhir pesawat menjejak bumi menjadi waktu yang mendebarkan. Pasalnya, bayangan buruk tentang kecelakaan pesawat di tanah air selalu menghantui. Belum lepas dalam ingatan, bagaimana pesawat Adam Air - KI 574 hilang dari radar, saat berangkat dari Surabaya menuju Menado. Pesawat berpenumpang 112 orang, hilang begitu saja dari pantauan menara pengawas di Makassar. Berdasar perkiraan, diduga pesawat tersebut hilang di kawasan laut Masalembo atau di sekitar daerah Majene dekat Toraja.
Pada penerbangan kali ini, cuaca terlihat tenang dan bersahabat. Hanya, awan-awan halus yang terlihat bergelayut di sisi pesawat. Walau pemandangan sekeliling hanya sekumpulan awan putih, jauh diujung cakrawala bingkai alam terlihat jelas. Ini yang membuat pesawat terlihat mantap mengarungi ketinggian. Tak ada guncangan yang terjadi.
Mungkin karena terlalu mengantuk, akibat kurang tidur semalam, keinginan tuk pejamkan mata tak bisa di bendung lagi. Tak terasa, aku pun larut dalam aroma istirahat yang begitu dahsyat. Sepertinya, tiga puluh menit sudah aku tertidur, sampai tak sadar kalo awak kabin mulai membagikan makanan kepada setiap penumpang. Ketika meja lipat di depanku dibuka, aku baru sadar bahwa sekarang saatnya makan.
Selepas makan, kembali kurebahkan tubuh ini di kursi empuk penumpang. Berhubung gak ada kegiatan lain, kembali kupejamkan mata, Sementara temanku telah lebih dahulu pulas dalam mimpinya. Sepertinya, mengistirahatkan mata menjadi menu lanjutan yang menarik tuk di lakoni. Akhirnya, lagi-lagi aku terlelap. Gak ingat apapun juga!
@@@@@
Untuk satu jam pertama, pesawat yang kami tumpangi tak menunjukkan tanda-tanda akan mengalami gangguan cuaca buruk. Pasalnya sejak keberangkatan kondisi udara terlihat cerah dan baik-baik saja. Tak terlihat ada kendala selama penerbangan.
Saat pesawat memasuki daerah sumatera, tepatnya diatas kawasan Riau, kendaraan udara berbadan besar ini, mulai mengalami sedikit gangguan. Tiba-tiba saja, awan pekat menyelimuti pesawat, menimbulkan sedikit goncangan.
Sejak dari goncangan pertama, goncangan-goncangan selanjutnya semakin sering mendera. Bahkan, ketika memasuki daerah Sumatera Utara, goncangan itu semakin menjadi-jadi. Goncangan yang mulanya kecil dan tak terlalu sering, kini kian lama kian sering dengan frekuensi yang makin besar.
Dari balik jendela tempatku duduk, terlihat begitu pekatnya awan-awan tebal bertebaran di semua sisi. Sepertinya, tak ada lokasi yang tak ditempati awan-awan ini. Untuk itulah pesawat harus menambah ketinggian hingga 37.000 kaki, agar tidak terjebak di dalam kumpulan awan.
Sedetik kemudian pesawat telah berada jauh diatas awan. Keadaan kembali tenang. Tapi itu tak berlangsung lama. Pasalnya, saat memasuki wilayah Medan, pesawat harus mengurangi ketinggian. Dan, ini yang jadi pertanda buruk, awal kekhawatiranku terhadap transportasi udara.
Saat mencoba turun, tiba-tiba saja turbulence (baca; angin kencang) membuat pesawat terhempas naik ke arah kanan. Sontak semua penumpang kaget karenanya. Suasana yang tadinya tenang, kini berubah riuh. Masing-masing orang terlihat berpegangan kuat pada sandaran kursi. Bahkan doa-doa pertolonggan pada Sang Pencipta tak terhitung banyaknya dilafalkan oleh penumpang yang mulai ketakutan.
Sewaktu turbulence tadi, serasa jiwa ini terlepas dari raga. Aku jadi takut karenanya! Bahkan ketakutan yang selama ini harus kuredam saat bepergian dengan pesawat, kini jadi kenyataan. Jika diidentikkan, rasa takutku kali ini, melebihi ketakutan sewaktu naik Kora-kora dan Kicir-Kicir di Dufan- Ancol beberapa waktu yang lalu.
Jujur saja, kecelakaan pesawat atau apapun itu, telah lama mengusik akal sehatku. Pernah aku berpikir, jika saja terjadi kerusakan atau kecelakaan pesawat yang kutumpangi, maka aku orang pertama yang akan mengabadikan momen tersebut. Mungkin karena naluri jurnalis yang tinggi, membuat aku sering berandai-andai seperti itu. Padahal dalam kenyataannya tak demikian.
Pernah suatu kali, sewaktu penerbangan ke Surabaya, pesawat yang kutumpangi mengalami loss (lepas beban: red). Kontan aku berpegangan lebih erat pada pegangan kursi. Tak teringat sedetikpun, niat untuk mengambil gambarnya. Menyelamatkan diri sendiri tentu jadi prioritas utama.
Masih dalam penerbangan ke Medan. Sepuluh menit kemudian, pesawat semakin uring-uringan. Mencoba menembus awan yang luar biasa tebal. Sama seperti saat ini, pesawat berbobot mati puluhan ton tersebut, ternyata tak mampu membendung gravitasi Bumi. Mungkin karena adanya ruang hampa atau pesawat yang kehilangan kendali saat menembus awan, kendaraan angkasa ini harus jatuh beberapa saat. Kurang lebih 3 sampai 5 detik pesawat meluncur deras ke bawah.
Akibat gerakan menukik tadi, semua penumpang kembali panik. Penumpang yang tadinya terlihat was was, kini semakin siaga menghadapi kejadian yang terburuk. Masing-masing orang berpegangan lebih erat, sembari mmengucap doa-doa sesuai agama masing-masing.
Beberapa saat kemudian, melalui pengeras suara terdengar arahan: “...para penumpang diharapkan menegakkan sandaran kursi, melipat meja dan bersiaga sehubungan dengan cuaca buruk!” Mendengar itu, masing-masing orang semakin gugup. Gak tahu harus melakukan apa. Padahal baru beberapa menit sebelumnya, awak kabin mengingatkan, bahwa sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Polonia-Medan.
Cuaca buruk itu juga yang membuat pesawat harus berputar-putar di ketinggian selama sepuluh menit. Mencoba menunggu redanya badai yang diakibatkan oleh berkumpulnya awan-awan pekat dengan perbedaan tegangan/ konsentrasi. Sedikitnya 4 kali pesawat melakukan gerakan memutar di atas awan, sebelum mencoba turun ke bawah.
Saat mencoba mengurangi ketinggian, pesawat yang membawa penumpang 100 orang ini, terlihat sangat berhati-hati. Pasalnya, celah yang tersedia di kumpulan awan tebal tersebut tak banyak. Belum lagi, tebalnya awan-awan ini begitu berlapis. Sehingga, lepas dari satu lapisan awan, masih ada lapisan lain yang menunggu di bawahnya.
Sewaktu turun menembus awan, kejadian mengerikan kembali terjadi. Lagi-lagi, pesawat kehilangan keseimbangan, sehingga jatuh bebas (hilang kendali) beberapa saat. Kalo tadi pesawat mengalami los hanya beberapa detik. Kali ini terasa lebih lama. Sampai-sampai aku berpikiran, bahwa kondisi inilah yang mungkin dihadapi oleh pesawat Adam Air, yang hilang dan sampai saat ini belum ditemukan. Mungkin karena kehilangan keseimbangan, pesawat tersebut tak mampu naik.
Jatuh bebas! Sungguh, tak ada padanan kata yang menyamai maknanya. Rasa takut, takut dan sangat takut, jadi ekspressi tulus yang terpancar dari manusia-manusia pendosa seperti diriku. Serta tak ketinggalan berpasrah diri pada Sang Khalik, jadi ungkapan terakhir yang bisa kupanjatkan. Semoga Dia yang diatas sana berkenan atasku!
Itulah yang tergambar, saat pesawat menukik tajam beberapa saat. Kalo gak salah, sekitar 7 – 10 detik pesawat kehilangan keseimbangan, membuatku semakin bergidik dengan keringat yang mengucur deras. Sembari membungkuk dan bepegangan kuat pada lengan kursi, aku benar-benar pasrah! Tak sanggup melakukan gerakan apapun. Bahkan, niatan untuk mengabadikan momen terburuk, tiba-tiba hilang dari memori otakku.
Di saat-saat kritis seperti ini, dari tempat dudukku terlihat jelas butiran hujan mengalir deras membasahi sisi luar jendela. Ternyata di luar sana cuaca benar-benar buruk. Sampai-sampai hujan demikian lebatnya di atas ini, ditingkahi gelegar halilintar di ujung sana. Aku pikir, hujan hanya akan terjadi di ketinggian rendah atau jika posisinya lebih rendah dari awan. Pasalnya, hujan terjadi akibat tingkat kondensasi di awan. Ternyata tidak demikian halnya.
Lepas dari loss tadi, pesawat berusaha menjaga keseimbangan. Ini terlihat dari posisi pesawat yang kembali stabil oleh kemahiran sang pilot mengemudikan pesawat, dengan sangat berhati-hati.
@@@@@
Untunglah, setahap demi setahap, pesawat berhasil mengurangi ketinggian, hingga di kejauhan mulai terlihat jajaran pegunungan Bukit Barisan, ciri khas kawasan hutan Sumatera.
Masih dengan hujan yang mengguyur deras, rasa deg-deg-an belum juga reda. Lebatnya Kasawan hutan yang dilalui pesawat masih menimbulkan tanya? Belum lagi jarak panjang yang terbatas akibat kabut di kawasan ini tak bisa dianggap enteng. Pasalnya, di kawasan pegunungan ini, sebuah pesawat Garuda pernah jadi korban. Tepatnya di tahun 1997, pesawat tersebut menabrak pegunungan, akibat terbang terlalu rendah.
Aku hanya berdoa, semoga kami bisa turun dengan selamat, tak kurang suatu apapun. Aneh saja rasanya, jika pesawat berhasil mengelakkan cuaca buruk diatas sana, tapi harus terjatuh hanya karena menabrak bukit, akibat terbang terlalu rendah.
Untunglah semua yang kukhwatirkan tak pernah terjadi. Setelah melewati kawasan hutan, pesawat akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Polonia – Medan, sepuluh menit kemudian. Sungguh, hanya ucapan syukur yang bisa kupanjatkan Pada-Nya, atas semua anugrahnya, sehingga aku ada, sebagaimana ku ada saat ini.
Sejurus kemudian, kami pun beranjak menuju ruang tunggu bagasi di dalam bandara.