Monday, October 01, 2007

Tatea Bulan Penghormatan Roh Nenek Moyang


Tak banyak orang tahu, kalau di salah satu sudut kawasan Danau Toba, tepatnya di Desa Limbong Sagala, kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Toba-Samosir, terdapat tradisi yang masih dipegang teguh oleh generasi terakhir yang peduli terhadap kearifan leluhur, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”. Mereka juga percaya orang Batak pertama di turunkan di Pusuk Buhit, tak jauh dari desa itu berada.

Hari cukup cerah ketika kami menyusuri keelokan Sumatera Utara dari dataran tinggi Karo menuju kawasan Danau Toba, yang terkenal dengan keindahan alamnya. Danau yang kabarnya merupakan terluas di Indonesia dan terlebar ketiga di dunia, ternyata memiliki makna filosofis yang sangat strategis bagi suku Batak, suku yang mendiami kawasan itu sejak dulunya.

Lepas dari tanah karo, perjalanan yang berkelok-kelok dilanjutkan menuju Kabupaten Dairi yang terkenal dengan durian, sebelum akhirnya tiba di simpang tiga (jalan lintas Subussalam; red). Di sini kita harus mengambil arah ke kiri jika ingin mencapai kawasan Danau Toba dari sebelah barat. Biasanya tak sampai dua jam dari simpang tadi, kita akan memasuki daerah yang bernama “Tele”. Daerah yang letaknya cukup tinggi ini, sangat tepat untuk menikmati pemandangan Danau Toba dari sisi yang berbeda.


Selanjutnya, jika dirasa puas, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Pangururan, sebuah daerah yang berbatasan langsung antara daratan Danau Toba dengan Pulau Samosir. Dahulunya, kawasan ini sempat menyatu. Namun seiring kebutuhan sarana transportasi air cukup besar di era 70-an, kawasan ini pun di belah dan di gali lebih dalam agar kapal-kapal dapat lewat dan tidak kandas. Karena tanah yang di belah tadi, akhirnya daerah itu terkenal dengan sebutan “ Tano Ponggol” (baca: bahasa batak = tanah yang terbelah). Kini, untuk menghubungkan daratan antara Danau Toba dengan Pulau Samosir, di bagian atasnya telah dibangun sebuah jembatan permanen.

Berkunjung ke kawasan Danau Toba tentunya kurang berkesan jika tidak menapakkan langkah di Pulau Samosir. Pulau yang terbentuk akibat letusan Gunung Toba ratusan abad silam, seperti dilansir oleh seorang geolog asal Jerman, Van Bemmelen. Dalam teorinya dia mengatakan, erupsi Tumor (gunung) Toba waktu itu merupakan letusan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah manusia. Hal itu di dasari oleh pembentukan struktur kawasan yang berbatu-batu. Sebuah kawasan yang terbentuk atas lapisan sedimen yang begitu kuat. Diyakini, dulunya sedimen pulau ini berada di bagian bawah gunung, yang karena pergeseran tektonik akhirnya bergerak ke permukaan saat letusan terjadi. Dan seperti kebanyakan kawasan lain pada umumnya, setelah erupsi besar terjadi, daerah ini pun relatif tenang. Hanya di bagian barat pulau ini masih terdapat aktifitas vulkanologi dalam skala kecil, ditandai dengan munculnya titik-titik air panas.

Pulau Samosir adalah pulau yang berada di tengah Danau Toba, berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Sejak Januari 2004 silam, Samosir resmi menjadi kabupaten, ketika sebelumnya masih merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara Kawasan ini pun terdiri atas 9 kecamatan, yakni; Pangururan (Ibu Kota Kabupaten), Harian, Sianjur Mulamula, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Ronggur Nihuta, Simanindo, dan Sitio-Tio.

Masing-masing kecamatan memiliki objek wisata andalan, yang bila dikelola dengan baik akan mendatangkan nilai tambah bagi pulau yang berpenduduk 131.000 jiwa. Namun sayang, potensi itu belum dikelola maksimal. Alhasil, jumlah kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara tampak sedikit. Padahal untuk waktu tertentu seperti Juni dan Juli merupakan waktu libur umum.

Kesan tak terawat dengan pegunungan yang gundul terlihat menghiasi hampir seluruh kawasan ini. Cuaca terik yang di perparah dengan Kondisi alam yang miskin hara membuat mata pencaharian utama dari bertani tak selalu bisa diandalkan. Faktor ini yang membuat Samosir kurang berkembang dibanding tempat wisata lain. Belum lagi banyak generasi mudanya yang hengkang keluar daerah. “tak mengherankan, banyak penduduk yang merantau untuk mencari pekerjaan demi kehidupan yang lebih layak”, tutur Bupati Samosir Mangindar Simbolon, di sela-sela kunjungan kerjanya waktu itu.

Asal mulanya

Keindahan alam yang ditawarkan Danau Toba dan Pulau Samosir telah lama terdengar ke seantero tanah air hingga mancanegara. Namun tak banyak yang tahu tentang potensi yang dimilikinya. Diantaranya adalah kekayaan budaya yang dapat digali dan bernilai jual lebih jika dikembangkan. Hanya saja kondisinya akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan, akibat pengelolaan yang tidak berpihak pada pelestarian.

Salah satu tempat yang yang ternyata menyimpan banyak cerita bersejarah adalah “Pusuk Buhit” puncak tertinggi yang terletak di Desa Limbong-Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Toba Samosir, berjarak sekitar 15 km dari Pangururan.

Menurut kepercayaan masyarakat Batak, pada abad XII, Pusuk Buhit dianggap sebagai tempat asal muasal seluruh Suku Batak. Dalam perkembangannya, nenek moyang Suku Batak menyebar ke delapan penjuru mata angin, yakni; Purba, Anggoni, Dangsina, Nariti, Pastia, Mangadia, Utara, Irisanna atau dari Timur higga Timur Laut (baca; hingga seluruh dunia). Berada di kawasan ini, seakan berada di sebuah tempat dan jaman yang berbeda.

Tak jauh dari tempat itu, tepatnya di kaki bukit, terdapat sebuah tempat keramat yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat, bernama “Batu Hobon”. Disebut demikian karena bentuknya berupa batu berdiameter satu meter dengan bagian bawah berongga. Diperkirakan batu ini merupakan sebuah lorong yang mungkin saja berbentuk goa. Dulunya di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”.

Di Batu Hobon ini lah pomparan (baca: keturunan) Ompu Guru Tatea Bulan pada mulanya bermukim. Diriwayatkan, Pusuk Buhit sebagai tempat turunnya Si Raja Batak yang pertama, diutus oleh Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mengusai tanah Batak. Disanalah Raja Batak memulai kehidupannya. Dalam silsilahnya, Raja Batak memiliki dua orang anak (baca; dalam Bahasa Batak berarti anak laki-laki) sebagai pembawa keturunan (marga) dan menjaga martabat keluarga. Kedua putra Raja Batak itu bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon.

Pada gilirannya, Guru Tatea Bulan memiliki lima orang putra dan lima orang putri. Kelima putranya bernama; Raja Uti (tidak memiliki keturunan), Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Dari keturunan mereka lah asal muasal semua marga-marga Batak muncul dan menyebar ke seluruh penjuru.

Konon, Batu Hobon adalah buah tangan Raja Uti untuk menyimpan harta kekayaan orang Batak, berupa benda-benda pusaka dan alat-alat musik. Diyakini pula, di dalam Batu Hobon ini tersimpan Lak-Lak (sejenis kitab) yang berisi ajaran dan nilai-nilai luhur. Berdasarkan pewahyuan yang datang pada keturunannya, diperkirakan pada suatu saat, benda-benda yang tersimpan dalam batu itu akan di keluarkan sendiri oleh Raja Uti --yang menurut kepercayaan setempat tidak pernah mati (baca: moksa)--. Dia akan tetap hidup dalam pribadi-pribadi pilihan yang tentu masih keturunannya.

Di atas Batu Hobon terdapat Sopo Guru Tatea Bulan yang dibangun tahun 1995 oleh Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan. Bangunan ini terdapat di Bukit Sulatti (di bawah Pusuk Buhit), dan di dalam bangunan terdapat sejumlah patung keturunan Raja Batak berikut dengan patung sejumlah kendaraan si Raja Batak dan pengawalnya. Kendaraan itu antara lain naga, gajah, singa, harimau dan kuda. Jejak sejarah di Tanah Batak itu yang sering dilupakan pemerintah.

Selain itu, di desa ini terdapat cagar budaya berupa miniatur Rumah Si Raja Batak. Dahulunya, sebutan Raja Batak ternyata bukan karena posisinya sebagai raja dan memiliki daerah pemerintahan, melainkan lebih pada penghormatan terhadap nenek moyang Suku Batak. Di perkampungan ini, ada bangunan rumah semitradisional Batak, yang merupakan rumah panggung terbuat dari kayu, tanpa paku, dilengkapi tangga, dan atap seng (baca: rumah Batak asli atapnya dari ijuk).

Ritual Tatea Bulan

Maraknya bencana yang timbul, mulai dari Tsunami, banjir, tanah longsor, gempa bumi hingga konflik etnik kerap mendera bangsa yang kita cintai ini. Minimnya rasa persaudaraan pun disebut-sebut sebagai salah satu faktor yang membuat bumi ini semakin tak ramah lagi. Tak terkecuali dengan Suku Batak. Banyaknya pomparan (keturunan) Raja Batak yang tersebar ke seantero jagat dan tak saling kenal turut membuat jarak diantara mereka semakin jauh. Makin lama ikatan itu pun luntur. Sehingga jangan heran jika banyak orang batak (generasi sekarang) yang tak tahu lagi tentang asal muasalnya maupun tradisinya.

Bertolak dari permasalahan itulah, seorang keturunan Guru Tatea Bulan yang bernama Amandus Pasaribu bermimpi di datangi sang guru. Dalam mimpinya Guru Tatea Bulan berpesan agar diadakan ritual sekali setahun hingga tahun ketujuh untuk menghormati para leluhur orang Batak. Dalam nubuatannya, pada kali yang ketujuh, sang guru akan membukakan rahasia yang selama ini tersimpan di Batu Hobon. Amandus yang saat itu sudah 2 tahun tergolek layu tak sanggup bergerak akhirnya berangsur-angsur pulih, setelah menceritakan pesan tersebut kepada keturunan Guru Tatea Bulan yang masih ada, dalam hal ini marga Pasaribu.

Karena itulah, saban tahun di bulan tertentu sesuai penanggalan setempat, sebagian orang Batak yang percaya akan keberadaan leluhurnya, melakukan napak tilas ke Batu Hobon dan Pusuk Buhit. Napak tilas ini dianggap penting guna mengingat kembali asal-muasal mereka.

Menjelang upacara Tatea Bulan, aktivitas warga di Pasar Pagi Limbong, Desa Siputidai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, tampak berbeda dari biasanya. Sebagian besar warga larut dalam persiapan perayaan. Ada yang memasak, memotong ternak, membuat hiasan di Batu Hobon serta tak ketinggalan panitia inti mempersiapkan roundown acara.

Pagi itu sekitar pukul 10.30 wib, upacara pun digelar. Pemberian persembahan makanan kepada roh leluhur, mulai dari daun sirih, jeruk, telur ayam kampung, ikan jurung, nasi hingga makanan lain yang telah dipersiapkan sebelumnya diletakkan diatas Batu Hobon, sambil memohon agar hasil panen selalu diberkahi sang leluhur. Konon, makna telur sebagai tanda kesuburan dan cikal bakal penerus bagi generasi selanjutnya. Sedangkan sirih merupakan tanda penghormatan dan penghaturan doa kepada Guru Tatea Bulan.

Dalam upacara Tatea Bulan ini dipersembahkan pula seekor kerbau. Para pemuka adat di Tanah Batak Toba mempercayai kerbau sebagai hewan kurban persembahkan bagi Mulajadi Nabolon atau Tuhan. Setelah dihias dengan hiasan lambe atau janur kuning dari daun pohon nira, kerbau itu dipindahkan ke borotan. Borotan adalah kayu tambatan sebagai pusat pelaksanaan upacara.

Dalam sesi selanjutnya, peran terbesar di pegang oleh pambuhai (tetua adat). Adalah seorang tokoh adat bernama Mirna Limbong, ditunjuk menanganinya. Kemampuan spiritual dan keturunan terpilih membuatnya tak pernah absen setiap kegiatan Tatea Bulan dilaksanakan.

Biasanya, sebelum berangkat ke Batu Hobon, dia akan mempersiapkan alat-alat untuk upacara, berupa tali sulaman. Tali ini dinamakan bonang manalu, berfungsi untuk mengikat batu ajimat pada saat upacara nanti. Selain itu ia pun harus mengenakan pakaian pambuhai, yang dihiasi sebuah pengiring atau ikat kepala. Menggunakan pengiring, dipercaya sang leluhur akan menuntun dan melindungi jiwanya. Pria berusia 60 tahun ini tampak agung dalam pakaian sakralnya.

Pak Marna kemudian menyiapkan daun tujuh rupa. Antara lain sipilit, ropu, sirih, silinjuang, alum-alum, dan siritak. Sesajian dedaunan ini dipercaya dapat membuat upacara Tatea Bulan berlangsung dengan baik dan jauh dari gangguan. Setiap daun dianggap memiliki kekuatan. Sipilit, misalnya, digunakan untuk menjauhkan diri dari amarah. Sedangkan ropu atau rotan sebagai perlambang perekat atau kesatuan untuk menghindarkan warga dari perpecahan.

Sudah enam tahun terakhir Pak Marna berkutat dengan ritual ini. Sebuah tombak, yakni Tombak Jurung Buhit pun selalu setia menemaninya. Tombak tradisional Jurung Buhit ini adalah warisan leluhur dan telah diberikan ropu atau simbol kekerabatan. Tombak ini pun harus diarahkan ke langit, sebagai pertanda menyebar mantra untuk menghindari pengaruh buruk.Tombak itu adalah pamungkas pada upacara sakral itu. Nantinya alat itu akan digunakan untuk mengurbankan seekor kerbau sebagai perwujudan penghormatan bagi Mulajadi Nabolon.

Diiringi musik pargondang, para pendoa mulai menari dan melangkah kecil untuk mengitari borotan. Tarian ini dinamakan Tor Tor Mangaliat. Gerakannya dipercaya sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Dalam upacara ini, terkadang para peserta kerasukan. Dalam keadaan tak sadar, mereka memakan telur dan jeruk persembahan.
Selain itu yang tak kalah seru adalah munculnya angin ribut beberapa saat menerpa kawasan di sekitar borotan dan Batu Hobon. Sedangkan di luar tempat itu suasana tetap tenang, tak menunjukan tanda-tanda munculnya angin ribut. Tenda-tenda yang dibangun sebelumnya banyak yang roboh, sebagai pertanda Raja Uti, anak dari Tatea Bulan, ikut hadir di upacara ini.

Setelah proses pembuktian akan kehadiran leluhur mereka, sang pambuhai segera menarikan Gondang Tatea Bulan. Pak Marna menari dengan lincah dan gesit mengikuti tabuhan gendang, berputar mengelilingi delapan penjuru mata angin. Gerakan tarian ini diyakini sebagai penghaturan pembuka agar doa dan permintaan anak cucu Tatea Bulan dapat terkabul.

Pambuhai pun merapalkan mantra dan mengelilingi borotan sebanyak tiga kali. Saat tarian pambuhai tengah ditabuhkan ke delapan penjuru, Tombak Jurung Buhit menjadi pamungkas persembahan bagi para leluhur Tanah Batak.

Pambuhai memiliki kewajiban menusukkan tombak sebanyak tiga kali ke arah kerbau. Ketiga hunusan terkait dengan dalihan na tolu atau bentuk tali kekerabatan di dalam marga Batak. Setiap hunusan merupakan ungkapan permintaan terhadap leluhur dan Tuhan Mulajadi Nabolon. Terutama agar memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan abadi bagi seluruh keturunan orang Batak.

Selanjutnya, pada tengah malam akan dipertunjukkan bagaimana nenek moyang orang Batak melakukan pengobatan massal, dengan meminta persetujuan Mulajadi Nabolon untuk menyembuhkan keturunannya yang sedang sakit. Biasanya saat sakral ini, tidak boleh ada satu titik cahaya pun. Semua harus gelap. Benar-benar hening. Hanya cahaya bulan yang menerangi.

Sebelum acara dimulai, yang bergendang akan memanggil arwah leluhur dengan gebukan nada tertentu. Di saat kemudian, para penabuh gendang akan mengalami trance, keadaan yang membuat mereka menghasilkan nada-nada tertentu --yang tak lazim--. Biasanya dalam keadaan normal, nada yang ditimbulkan para penabuh tadi, takkan mungkin bisa di ikuti. Karena saat seperti itu yang bekerja bukanlah diri mereka lagi, tetapi telah ada unsur lain. Unsur yang tak kelihatan dan tak bisa di interpretasi dengan logika.

Biasanya, disaat-saat ini pula sang leluhur akan memberikan pewahyuannya melalui pambuhai ataupun melalui keturunannya yang terpilih. Namun sering tak terjadi pewahyuan apapun pada malam itu. Sama seperti pada acara Tatea Bulan yang keempat berlangsung. Semua itu berpulang pada kehendak Ompung Mulajadi Nabolon.

Keesokan harinya, saat sang surya mulai mengeluarkan silaunya. Semua orang akan makan bersama di bawah naungan tenda besar. Semua keturunan Guru Tatea Bulan yang hadir harus menikmati hidangan daging kerbau yang telah di sembelih kemarin sore. Masing-masing orang duduk bersila diatas tikar sebelum akhirnya mendapat jatah makan. Semua orang akan makan dengan kenyang.

Sebagai tahap akhir di kegiatan Tatea Bulan, selesai makan, para keturunan raja Batak ini akan melakukan long march ke tempat persemayaman Guru Tatea Bulan, di puncak Pusuk Buhit pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut dengan berjalan kaki. Walau cukup melelahkan, mereka menganggap menelusuri jejak leluhur adalah suatu berkah dan kebanggaan tersendiri.

Sebagian warga suku Batak menganggap Guru Tatea Bulan adalah leluhur yang suci. Berada di rumah persembahan Guru Tatea Bulan diibaratkan sebagai sebuah pertemuan antara nenek moyang dan para cucunya. Di puncak ini pula terdapat patung-patung perlambang Guru Tatea Bulan. Terkadang, para peziarah menghaturkan doa di hadapan patung ini.

Melalui patung Guru Tatea Bulan dan Raja Uti, doa dipanjatkan kepada Mulajadi Nabolon yang dipercaya sebagai Tuhan dalam kepercayaan leluhur orang Batak. Maka, ziarah dan berdoa adalah kegiatan pamungkas sebelum turun kembali ke Desa Limbong-Sagala, kecamatan. Sianjur Mula-mula. Serangkaian upacara adat untuk menghormati sang leluhur.

Dalam kegiatan yang tak hanya mengandalkan aura spiritual ini, diharapkan semua keturunan si Raja Batak yang ada di seluruh penjuru mata angin dapat mengetahui silsilah, asal muasalnya, serta dapat menjalin silahturahmi. Selanjutnya akan bisa menceritakan sejarah itu kepada anak cucu mereka kelak. Sebab semua itu bermula di kawasan Sianjur Mula-mula yang memiliki arti penting dalam sejarah Suku Batak. Selain alamnya yang indah, kawasan ini pun sangat berpotesi untuk dikembangkan menjadi objek wisata budaya. Untuk itu peran serta semua pihak sangat diperlukan untuk membangun, mengembangkan, mengelola dan mengemas kawasan ini, sehingga boleh dikenal orang hingga ke mancanegara.

4 comments:

  1. KEBENARAN BATU HOBON

    Sejarah BATAK Telah dirusak oleh orang-orang batak sendiri

    Orang batak terlalu sombong sehingga bisa dibodoh-bodohi setan.

    BATU HOBON sudah dirusak Oleh orang BATAK sendiri.
    Pada Tahun 1986 diadakan Renovasi BATU HOBON.
    RENOVASI bekerja sama dengan Pemda Tapanuli Utara.

    RENOVASI BATU HOBON dilakukan sekumpulan manusia sesat pemuja setan untuk mencuri benda-benda pusaka yang ada di Situs Batu Hobon, terutama keris pusaka Nyi RORO KIDUL yang melegenda yang merupakan putri Raja Tea Tea Bulan.

    Mereka kesal dan kecewa tidak medapatkan keris itu, lalu menyuruh setiap orang yang datang ke Batu Hobon, baik untuk berobat ataupun Meminta harta dan kekuasaan melemparkan telur dan jeruk Purut untuk menguatkan pagar gaib mereka agar tidak ada satu manusiapun yang bisa membuka BATU HOBON .

    Coba saudara bayangkan ”’betapa jorok dan bau Batu Hobon itu akibat Puluhan Ribu Telor Yang dilempar ke atasnya dan jadi Busuk ‘”‘
    …Coba Kepala Saudara atau Rumah Saudara yang dibuat Begitu Bayangkan Joroknya @@@@.

    Saya Sangat Sedih Ketika Melihatnya , Lebih Sedih Lagi Melihat Poparan dari Batu Hobon Yaitu Marga-marga Pasaribu, Malau, Limbong, dlll membiarkan dan mendukung kejorokan tersebut, padahal marga-marga itu yang mengaku aku selama ini sebagai pemilik batu Hobon.

    Ya Tuhan Maafkan mereka atas kesalahan dan Kebodohan Mereka.

    Saudara –Saudara Yang merasa PoParan dari Batu Hobon Sadarlah Akan Tipu daya Iblis.

    Sembahlah TUHAN ALLAH Saja Pakai logika kamu.
    Apakah Opung-opung Kamu sehina Itu ?

    Sadarlah…………. Opung-Opung Kamu Yang dari Batu HOBON adalah Orang baik Yang diberkati Tuhan . Jaga , bersihkan dan Rawat Batu Hobon. Karena itu adalah Makam Mereka. Jangan Pernah membawa Jeruk Purut atau Telor, karena itulah Yang paling dibenci Opung-opung yang dari Batu Hobon.

    Tanyakan kepada manusia sesat pencuri itu, dimana Batyu Hobon yanmg berwarna Hitam sebesar gendongan tangan orang dewasa???????????????

    Yang saudara-saudara lihat saat ini hanyalah Semen jorok belaka dan BUKAN BATU HOBON. BATU HOBON TIDAK DISITU LAGI

    Lihatlah Patung-patung setan yang berdiri di Pusuk BUHIT.
    Lihatlah patung tertinggi seorang laki-laki beristrikan monyet dan kucing ( itukah leluhur kamu??? apapakh benar kamu mau dibilang keturunan monyet dan kucing????)

    Tidak ada opung orang batak berwujud BABI. Itu wujut setan yang menyamar-nyamar.

    Sadarlah wahai bangsaku, bangsa Batak Jangan percaya kepada dukun-dukun ataupun manusia yang mengaku aku roh kudus ada padanya karena mereka semua pengikut IBLIS. Mereka sudah bersatu mulai Upacara Penghancuran BATU HOBON 1086 kemudian Upacara pengusiran Nyi Roro Kidul Tahun 1998 di pantai selatan Pulau jawa.

    Bagaimana mungkin roh Kudus bersatu dan melakukan upacara, sembahyang bersama dukun-dukun padahal mereka mengkotbahkan dukun-dukun itu adalah berhala dari setannnnn???????????
    Tetapi FAKTANYA Telah terjadi.

    HMMMM……………………..
    Jadi , kalau mereka telah bersatu,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
    terus yang jadi setannya siapa????

    Semenjak Yesus Naik Ke surga,
    TIDAK BENAR Roh- roh leluhur bisa jadi Hasandaran atau kesurupan ke tubuh manusia.
    Tidak Benar Roh kudus bisa berbicara kepada atau manusia manapun. Roh kudus sudah lama tidak dibumi.

    Roh Kudus adalah ALLAH yang Tri Tunggal (BAPA, ANAK dan ROH KUDUS>
    Sehina itukah Roh kudus bisa berbicara dan berteriak melalui manusia berdosa??????????

    Yang kudus tetaplah kudus tidak bisa bercampur dengan kotoran.
    Begitupula roh kudus jika bercampur dengan manusia maka manusia itu pasti mati.

    Wahai Saudaraku semua,
    Kembalilah ke jalan yang benar.
    berdoa saja kepada Tuhan yang Tri Tunggal bukan kepada ucapan manusia yang punya kesaktian atau apapun itu namanya. dan laksanakan saja 10 firman TUHAN.
    Hanya tingkah laku kita yang bisa membawa kita kesorga.

    Salam kasih alvatarz111@gmail.com

    ReplyDelete
  2. Hanya dengan imanlah kamu bisa mengetahui..karena segala sesuatu punya tanda tanda sebelumnya karena semua punya hubungan sebab akibat

    ReplyDelete
  3. pasip babami,dang ibotohoi.

    ReplyDelete
  4. pasip babami,dang ibotohoi.

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN