Thursday, October 15, 2009

Asmujiono Prihatin Nasib Clara


Dua hari lalu (Selasa, 13/10) saya dikagetkan dengan berita sedih tentang Clara Sumarwati, pendaki wanita Indonesia yang pertama ke Everest. Clara dikabarkan masuk Rumah Sakit jiwa untuk ketiga kalinya, akibat gangguan jiwa. Kabar itu saya terima dari Asmujiono, Pendaki Indonesia yang pertama menapakkan kaki di pucuk Sagarmatha (nama lain Everest).

“udah tau, belum, mas, kalo ibu Clara masuk RSJ”, tanya Asmujiono, Sersan Kepala Kopassus.

Mendengar kabar itu, saya langsung kaget. Pasalnya, selama ini keberadaan Clara Sumarwati tak banyak diketahui publik. Aktivitas alam bebasnya pun jarang terdengar. Hanya kontroversi tentang keberhasilannya mencapai puncak Everest (1996) masih meninggalkan tanya. “Kalo mau tau lebih banyak, coba buka detik (mengacu pada salah satu situ berita online), mas”, pinta Asmujiono.

Rasanya sudah lama juga saya tidak mendengar kabar Clara Sumarwati, wanita lajang kelahiran Yogyakarta 6 Juli 1967, yang juga anggota Aranyacala (mapala Trisakti). Terakhir, saya membaca keberhasilannya saat mendaki Everest dari sebuah majalah di tahun 1996 silam. Saat itu saya masih kuliah dan masih masih tergila-gila dengan aktivitas alam bebas. Di situ, ia mengkalim telah berhasil mencapai puncak.

Setibanya di kantor, saya langsung browsing tentang kondisi terakhir Clara Sumarwati. Bagi saya Clara seorang legend plus merupakan pendaki fenomenal. Legend, karena ia merupakan pendaki wanita Indonesia pertama yang melakukan ekspedisi ke Everest seorang diri, tidak dalam kelompok besar seperti jamaknya pendakian ke Himalaya.

Fenomenal, karena ia mengklaim telah berhasil menggapai puncak Everest (8848mdpl) sebagai wanita Indonesia dan ASEAN pertama. Meski, hingga saat ini, ia tak bisa menghadirkan bukti perihal pencapaian puncak tersebut. Bukti fisik berupa foto atau video pun tidak ada.

Namun anehnya, namanya malah tercatat dalam everesthistory.com. Situs yang memuat nama-nama pendaki yang pernah singgah di puncak Everest. Di situs itu Clara tercatat telah menggapai puncak Everest pada tanggal 26 September 1996. Lima orang sherpa (guide), yang mendampingi Clara selama pendakian juga tercatat mencapai puncak. Mereka adalah Ang Gyalzen, Chuwang Nima, Dawa Tshering, Gyalzen, dan Kaji.

Sejumlah buku seperti Everest karya Walt Unsworth (1999), dan Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999), juga mencatat prestasi Clara. Hal ini cukup untuk membuktikan Clara sebagai orang Indonesia pertama yang mencapai puncak. Namun kontroversi terus berkembang. Diduga hal inilah yang membuat Clara depresi, hingga akhirnya harus menjalani perawatan di RSJ Prof dr Soerojo Jl. Ahmad Yani, Magelang, Jawa Tengah.

Di kalangan pendaki, bukti fisik saat melakukan ekspedisi menjadi penting, apalagi jika melakukan perjalanan panjang nan melelahkan, seperti ke Everest. Persiapannya tidak main-main. Saya langsung teringat film “Everest”, karya David Breasser ataupun Film “Beyon the Limit” karya Dick Colthurst. Di film itu jelas terlihat, bahwa upaya pencapaian puncak betul-betul sulit. Selain tergantung pada perlengkapan, faktor alam, berupa cuaca sangat menentukan.

Lalu, di sebuah kesempatan, tepatnya kemarin malam (Rabu, 14/10), saya bertemu lagi dengan Asmujiono. Dia tampak sedih mengetahui kondisi Clara Sumarwati seperti itu. Menurutnya, bagi sesama alumnus Everest, medan Everest yang ganas, jadi alat pemersatu diantara para pendaki. “kita betul-betul jadi ibarat satu keluarga”, ungkapnya.

Asmujiono pun tak pernah mempermasalahkan, siapa sebenarnya orang Indonesia pertama yang berhasil menggapai puncak. “saya cukup bangga, bahwa saya pernah sampai di puncak, sudah cukup bagi saya”, ungkap pria paruh baya yang terkenal dengan kemampuannya berlari jarak jauh.

Menurut Asmujiono, sebelum mereka bertolak ke Kathmandu – Nepal (1997), beberapa kali tim “Kopassus-Sipil” Indonesia Everest mengontak Clara untuk sharing pengalaman tentang pendakiannya. “tapi, ibu Clara gak pernah hadir”, ujar Asmujiono.

Bagi Asmujiono, penghargaan terhadap Clara patut diberikan, karena beliau merupakan perempuan pertama Indonesia yang berani menaklukkan Everest, terlepas beliau sampai puncak atau tidak.

Akhirnya tim Indonesia Everest diberangkatkan, meski gagal menghadirkan Clara saat persiapannya. Asmujiono yang saat itu berumur 25 tahun menjadi salah satu anggota tim. "kami pun berangkat ke sana untuk mendaki puncak Everest, sekaligus menelusuri klaim Ibu Clara apakah benar ia menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil mendaki puncak Everest”

Sesampainya di Nepal, rekam jejak Clara memang ditemukan. Berdua dengan seorang anggota Kopassus, Gibang Basuki, ia tercatat mendaki Everest pada September 1996. Demikian data yang tercatat pada kementrian kebudayaan Nepal.

Lebih jauh dari penelusuran tim, Clara memang mendapat sertifikat dari asosiasi pendaki Everest di Nepal. Nama Clara Sumarwati tercatat. “Namun, pemberian sertifikat itu juga mensyaratkan agar Ibu Clara melengkapi bukti-buktinya. Kabarnya, Ibu Clara mendapatkannya dengan sedikit memaksa. Selain itu ia pun tidak pernah bisa memberikan bukti-bukti yang diminta," ujar Asmujiono.

Setahu Asmujiono, ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar dicatat sebagai pendaki puncak Everest. Selain mencatat waktu saat di puncak, pendaki juga harus menyerahkan bukti foto dan video di puncak Everest itu. Salah satu tanda puncak Everest adalah tiang segitiga berbahan aluminium yang menandakan titik tertinggi. Di tiang ini biasanya bendera dilekatkan.

Sedangkan tercatatnya nama Clara di buku Reinhold Messner, “Everest: Expedition to the Ultimate”, tenyata mengacu pada data yang dikeluarkan oleh everesthistory.com. Lalu data yang di input oleh everesthistory.com berasal dari asosiasi pendaki Everest di Nepal.”begitu cerita mengapa namanya dicatat oleh dua institusi yang mungkin terlihat begitu sahih”, ungkap Asmujiono, yang juga berprofesi sebagai motivator.

Pendakian fenomenal Clara juga tak lepas dari sepak terjang instrukturnya, Gibang Basuki, seorang anggota Kopassus yang mendampingi pendakian solo-nya. Saat kutanya dimana sekarang Gibang berada, Asmujiono mengatakan, ia tak pernah bertemu dengan Gibang Basuki.

“saya mendengar namanya, setelah rekan-rekan pencinta alam bercerita tentang pendakian ibu Clara. Kabarnya Gibang sudah di pecat dari Kopassus” ungkapnya Asmujiono, ayah dari orang anak.

Apakah ada hubungannya dengan pendakian Clara? “ya, begitu kabar yang saya terima. Selain itu, saya tidak tahu rupanya seperti apa. Karena sejak saya bergabung di Kopassus, saya mencari orang itu, tapi gak pernah ketemu”, jawabnya.

Rencananya, jumat ini (16/10), Asmujiono akan mendatangi RSJ Prof dr Soerojo, Magelang, untuk melihat langsung kondisi Clara Sumarwati. Selain itu, ia akan memberikan motivasi bagi Clara agar bisa kuat menghadapi semua ini. (jacko-agun)

(source foto:langitperempuan.com)

2 comments:

  1. GIBANG BASUKI my the best father love you ayah #bigkisshug

    ReplyDelete
  2. Salam buat pak Gibang ya... Jika berkenan, ingin rasanya mewawancarai beliau. khususnya terkait kontroversi pendakian mba Clara ke puncak Everest. Salut buat semua pendaki Indonesia.

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN