(source: http://shayari4lovers.com/) |
Drew...
Hujan baru saja usai, ketika aku terpaku di pojokan kamar sore ini. Sedari tadi, tak henti-hentinya aku memandangnya. Kini, ia meninggalkan butiran air ditingkahi uap yang menempel lekat di kisi-kisi jendela kaca kamarku. Tak hanya itu, ia juga membasahi pekarangan yang beberapa bagiannya ditumbuhi bunga liar. Sementara di tanah yang lembab, jejak-jejaknya masih terasa. Basah.
Hujan sore itu memang tak lama, Drew. Palingan 30 menit saja. Namun rinainya mampu membuat diri ini tak mampu beranjak. Derapnya yang begitu riuh, memaksaku teringat kembali padamu. Teringat saat kita begitu bersemangat menanti hadirnya hujan. Teringat wajah lucumu yang menggemaskan. Tersadar akan gairahmu yang membuncah ketika tetesan pertama jatuh dan lamat-lamat berubah deras.
Namun kini, derap yang tadinya riuh berubah sepi. Tak sedikitpun gaduh. Hanya sisakan aku dan senyap dalam untaian senandung sunyi tak bertepi. Resapi makna yang tersirat tanpa pernah berharap lebih.
Drew, kau tahu apa rasanya rindu? Atau, mungkinkah rindu dapat membunuh? Jujur, aku awalnya tak begitu paham, Drew. Karena yang kurasa, hanyalah jiwa yang remuk, lidah yang kelu dan hati yang tak mampu berpaling.
Lalu, ketika mencoba berlari, yang terjadi, aku terikat semakin kuat. Padamu. Sedetik kemudian, namamu menggema di ruang hampa. Seperti ada yang merapal mantra. Berulang-ulang, makin lama makin keras, hingga akhirnya aku sadar siapa pemilik suara itu. Ternyata itu aku. Tapi... kok bisa? Jujur, aku tak punya jawabnya. Aku pun tak tahu mengapa? Apakah itu yang disebut rindu?
Drew, aku benci begini. Aku gak suka kondisi ini. Situasi yang membuatku serasa mati, namun di waktu bersamaan seperti terpapar sengat bulu babi. Perih!
Sejurus aku berpikir, masihkah kamu disitu? Mengapa bayangmu tak jua melaju? Apa aku harus mendepakmu? Ada apa dengan bayangmu yang masih saja mengganggu? Bahkan, dalam mimpi panjangku, kau terus mendekap. Tak ingin melepasku.
Mengapa bisa begini? Mengapa pula harus seperti ini, Drew? Mungkinkah aku tak mampu melepasmu yang telah menjadi bagian dari sisi-sisi gelapku? Aku kalah! Aku salah!
Namun, jika boleh berkata jujur, tanpamu, aku lupa caranya bahagia. Aku lupa kapan terakhir airmata ini tumpah membasahi Bumi. Aku juga lupa betapa berwarnanya hidup ini.
Ketika semua harus terjadi, ada rasa yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata. Kata-kata yang ciptakan sesak di antara isak. Ini terlalu menyiksa, Drew...!!!
Akhirnya tak terasa, aku jadi membenci senja. Aku benci saat lembayung jingga meretas di batas cakrawala. Sisakan asa tanpa makna. Mematikan akal sehat.
Aku menjadi takut, Drew, ketika malam turun perlahan. Aku gemetar, ketika sadar ternyata kamu tak ada di dalamnya. Malam-malam sendiri, Malam tanpa kamu. Malam yang tegaskan duka.
Drew, rasa ini sungguh menyiksa. Sungguh!
No comments:
Post a Comment