(Buku Belajar Membaca & Menulis. Sumber: Ist) |
"Ini Budi,
Ini Ibu Budi,
Ini Bapak Budi ",
demikian sepenggal kalimat yang tidak bisa di lupakan oleh anak-anak SD generasi 80-an, seperti saya.
Kemarin (11/5) siang saya dikejutkan dengan kicauan di jagat twitter yang berisi ungkapan dukacita. Kabar duka itu datang dari dunia pendidikan. Perempuan yang memperkenalkan metode baca 'Ini Budi', yakni Siti Rahmani Rauf, dikabarkan meninggal dunia pada Selasa malam (10/5/2016) pukul 21.20 WIB.
Kabar duka cita itu pun mengisi timeline Twitter dengan tagar #IniBudi. Secara umum para netizen menyampaikan rasa bela sungkawa yang mendalam atas kepergian Siti Rahmani Rauf.
Dari sekian banyak twitt, berikut beberapa kicauan netizen yang sempat saya kumpulkan:
“Inalilahi wa innailaihi rojiun. Telah wafat Selasa pkl. 21.20, Ibu Siti Rahmani Rauf di usia 96thn (Penyusun buku 'ini budi') #inibudi, tulis pemilk akun Twitter @bennyrhamdani.
Sementara itu, akun @Kemdikbud_RI menyebut; Selamat Jalan Ibu Siti Rahmani Rauf, penggagas metode membaca 'Ini Budi' Semoga amal & ibadahnya diterima disisi-Nya.
“Turut berduka bagi pahlawan penggagas metode membaca"Ini Budi"Ibu Siti Rahmani Rauf"Cita2 luhur diteruskan generasi”, tulis akun resmi @BPOMKupang.
Pun tak ketinggalan akun @inibudiorg yang berkicau; Turut berduka cita untuk ibu Siti Rahmani Rauf. Semoga beliau beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
Pengalaman Masa kecil
Bagi saya yang masuk SD era 80-an, metode baca “Ini Budi” sungguh tak asing lagi. Berkat metode baca itu, saya akhirnya bisa mengeja, kata demi kata, lalu berlanjut ke kalimat, baik pendek maupun panjang.
Seingat saya, ketika bisa mengeja, saya tidak terlalu mengerti arti dari kata-kata yang dibaca. Maklum, banyak kata-kata baru yang terasa asing ditelinga dan kurang akrab dalam percakapan sehari-hari. Baru, seiring berjalannya waktu, saya bisa mengerti apa yang dimaksud.
Ketika SD kelas 1, saya merupakan salah satu siswa yang belum bisa membaca. Setidaknya hingga caturwulan kedua, saya belum mampu membaca dengan baik dan benar. Yang saya bisa hanyalah mengenal huruf. Itupun masing sering kebolak-balik. Misalnya, antara huruf (f) dan huruf (v). Atau huruf (b) dan (d). Pun kadang-kadang huruf (o) dan (u)
Mengacu pada buku bacaan yang dibagikan gratis, biasanya bu guru akan menuliskan sebuah kata di papan tulis. Setelahnya, dengan serempak, kami (baca: anak murid) akan mengeja kata-kata itu, sambil mengikuti ucapan bu guru. Karena dibaca serempak, terdengar seperti teriakan yang saling beradu. Belum lagi, ketika antar kelas melakukan kegiatan yang sama, yakni membaca, maka terdengar seperti saling kejar diantara bus malam.
Di jaman itu, buku pelajaran 'Membaca dan Menulis', karya Siti Rahmani Rauf tidak hanya berisi kalimat-kalimat sederhana, namun juga dilengkapi gambar dari masing-masing tokoh, seperti: Budi, Ibu Budi, Bapak Budi dan juga Wati. Dengan adanya gambar-gambar itu, saya lebih mudah memahami tulisan yang dimaksud.
Jujur, saya tak pernah tahu, siapa orang dibalik pembuatan metode baca “Ini Budi”. Yang saya tahu, pola penggalan kata yang ditawarkan, sangat manjur untuk mengajarkan anak bisa membaca dalam waktu cepat.
Belakangan, lewat tulisan di blog, saya baru tahu, jika Siti Rahmani Rauf, merupakan sosok yang telah menciptakan metode baca “Ini Budi”. Siti Rahmani Rauf adalah pengajar yang mengenalkan metode baca sederhana bagi anak-anak SD kelas 1.
Kini, ketika Siti Rahmani Rauf telah tiada, dunia pendidikan kehilangan anak bangsa yang berjasa dalam melakukan transformasi pendidikan di Indonesia. Siti Rahmani Rauf Wafat di usia ke-96 tahun. Lalu, jika boleh jujur, berkat Siti Rahmani Rauf lah, jutaan anak Indonesia mampu membaca dengan mudah. Setidaknya begitu pengalaman yang saya rasakan.
Perjuangan Nenek Rauf
Teman-teman sejawat memanggilnya ‘Ani’. Sementara warga Jalan Jati Petamburan I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, biasa menyebutnya dengan “Nenek Rauf”.
Yup, dia adalah Siti Rahmani Rauf, seorang legenda pengajar kelahiran Padang 5 Juni 1919 yang memopulerkan 'Ini Budi'. Di balik metode belajar membaca yang unik itu, kepedulian Nenek Rauf terhadap dunia pendidikan tak diragukan lagi.
Ketika masih muda, ia telah aktif mengajar. Buktinya ketika lulus dari sekolah Belanda, Nenek Rauf langsung terjun mengajar di pulau Sumatera, tepatnya di Sumatera Barat, selama 15 tahun, sejak 1938-1953. Kala itu, usianya masih sangat muda. 18 tahun.
Setahun kemudian, Nenek Rauf hijrah ke ibu kota. Di Jakarta, Nenek Rauf membesarkan anak-anaknya sambil terus mengajar. Jabatan terakhirnya adalah kepala sekolah SD Tanah Abang 5 pada 1976.
Dari literatur yang saya baca, disebut, kelahiran "Ini Budi" dimulai pada tahun 1986. Saat itu, Nenek Rauf mendapatkan proyek menyusun alat peraga dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang saat itu bernama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Pemerintah kala itu menginginkan adanya buku ajar yang mudah dipahami peserta didik. Saat itu, membaca masih menjadi momok bagi anak-anak SD. Bahkan tak sedikit yang belum bisa membaca, meskipun telah duduk di kelas 3 SD.
Pada masa itu, buku paket pelajaran "Ini Budi" sejatinya telah ada, namun minus gambar sebagai alat peraga. Akhirnya, lewat ide Nenek Rauf, gambar-gambar pendukung di masukkan untuk memperjelas isi buku paket Mari Membaca Bahasa Indonesia tingkat dasar.
Ide menggunakan gambar diadopsi Nenek Rauf setelah melihat buku-buku terbitan asing, khususnya buku ajar Belanda. Harapannya dengan mengenalkan metode membaca model begitu, para siswa didik tidak hanya lancar membaca, namun juga mengenal karakter tokoh yang dimaksud.
Sebagai pendidik yang memang sangat mencintai profesinya, Nenek Rauf mengerjakan proyek itu dengan penuh suka cita. Apalagi, menggambar sudah menjadi hobinya sejak kecil.
Di sisi lain, pola belajar membaca belum menggunakan sistem ejaan seperti dalam pelajaran Bahasa Indonesia sekarang ini. Nenek Rauf lalu menambahkan ide dengan membuat sistem pembelajaran menggunakan pola ejaan.
Usai mempresentasikan idenya di hadapan penerbit di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, gayung pun bersambut. Penerbit dan Depdikbud menyukai ide Nenek Rauf. Pemerintah lalu mencetak buku berjudul “Membaca dan Menulis” dalam jumlah besar untuk disebar keseluruh daerah di Indonesia.
Belakangan, hasil kerjanya disebut sebagai metode “Struktur Analisa Sintesa” (ASA). Secara singkat “Struktur Analisa Sintesa” merupakan analisis dan sintesis sebagai bentuk kegiatan berpikir atau berlogika yang menggunakan bahasa dan referensinya sebagai alat bedah nalar bagi proposisi untuk menyatakan kebenaran sebuah pernyataan. Pada kondisi itu, pendekatan yang dihasilkan merupakan upaya dari kegiatan berpikir yang terus menerus
Saat mengerjakan proyek ini, Nenek Rauf tidak sendiri. Dalam pengerjaannya yang kurang lebih setahun, ia dibantu salah seorang anaknya, Karmeni Rauf. Belakangan, wanita 63 tahun itu akhirnya mengikuti jejak sang ibu sebagai guru.
Usai dicetak dalam jumlah besar, buku peraga "Ini Budi" akhirnya mendapat tempat di hati setiap siswa SD kelas satu. Buku itu memuat banyak gambar menarik untuk terbukti merangsang minat belajar anak. Tidak hanya itu, buku “Ini Budi” juga mendorong anak-anak untuk lebih menghargai buku.
Sayangnya, pada Juni 2014, ‘Budi’ akhirnya lulus dari Sekolah Dasar. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terpaksa menghilangkan buku 'Ini Budi' dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Pemerintah lalu mengganti sosok 'Budi' dengan beragam tokoh lainnya yang mencerminkan keanekaragaman suku di Indonesia. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment