Saturday, August 06, 2016

Pliz, Polri Jangan Resisten!

(Haris Azhar, Koordinator KontraS.Foto: ist)

Jika kita takut, maka kita bodoh.
Jika kita bodoh, maka kita gampang diinjak-injak.
Kita tidak akan lebih dari kulit pisang.
~Haris Azhar/Koordinator KontraS

Jumat dini hari (29/7) saya mendapat informasi yang beredar terbatas di kalangan jurnalis terkait tulisan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar. Postingan Haris yang beredar di grup Whatsapp itu menyoal keterlibaan aparat dalam jaringan gembong narkoba Freddy Budiman yang telah dieksekusi pada 28 Juli lalu, sebagai bagian dari eksekusi mati tahap tiga.

Jujur, saat membaca tulisan itu, saya terhenyak. Tentu saja, karena postingan Haris berpotensi membuat banyak institusi gerah dan bakal bereaksi keras. Tak menunggu lama, dugaan saya terbukti. Tiga lembaga, yakni Polri, BNN dan TNI melaporkan Haris Azhar dengan tuduhan pencemaran nama baik lewat UU ITE.

Lalu, apa yang ditulis Haris? Secara general saya membaginya atas beberapa informasi:

1. Ada oknum pejabat BNN yang berkunjung ke Nusa Kambangan, meminta agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, I Wayan Dusak mengaku telah meminta klarifikasi kepada mantan Kepala Lapas Nusakambangan, Sitinjak, mengenai adanya dugaan keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman. Hasilnya, Sitinjak mengakui ada permintaan dari oknum yang mengaku petugas BNN kepada salah satu pegawai di Lapas Nusakambangan untuk melepas kamera pengawas yang mengarah pada ruang tahanan Freddy Budiman.

”Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat?”, tulis Haris.

2. Informasi terkait jaringan narkoba internasional. Melalui Jaringannya Freedy bisa mengeluarkan narkoba jenis ‘Sabu’ dari Tiongkok dengan harga Rp.5000 per butir. Untuk membawa narkoba tersebut, Freddy hanya butuh dana 10 milyar rupiah.

“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan.”

3. Kepada Haris, Freddy menuturkan jika penyelundupan narkoba yang dilakukannya berskala besar selalu melibatkan pihak aparat, mulai dari polisi, BNN, hingga Bea Cukai. 

"Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga)”

4. Freddy menjelaskan jika polisi memainkan peran berdiri di dua kaki. Di satu sisi melakukan penindakan, di sisi yang lain diduga turut andil dalam peredaran gelap narkoba.

“Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di Cina). 'Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”

5. Freddy memperkirakan jika ia telah memberi uang sebanyak 450 milyar rupiah ke BNN, sebagai hasil dari penyelundupan narkoba. Tak hanya itu, Freddy juga sempat membawa narkoba dari Medan ke Jakarta bersama seorang jenderal TNI bintang dua.

”Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”

6. Freddy sempat berangkat ke Cina untuk membuktikan lokasi pembuatan narkoba bersama petugas BNN. Informasi itu dibantah BNN, karena seorang narapidana tidak mungkin dengan mudah bepergian ke luar negeri.

"Saya siap nunjukin dimana pabriknya. Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.”

7. Freddy mengaku selalu kooperatif dengan petugas, termasuk ketika dirinya diminta kabur oleh oknum polisi untuk alasan yang tidak jelas. Setelah itu Freddy ditangkap kembali.

"Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 miliar dari harga yang disepakati 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

8. Freddy Budiman meminta Haris Azhar menceritakan informasi yang tak banyak diketahui publik itu. Termasuk mencari pledoi (nota pembelaan) dimana Freddy menjelaskan soal praktik kong kalikong yang dilakukannya bersama oknum penegak hukum. Menurut Haris, ia kesulitan mencari pledoi yang dimaksud

“Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”

9. Haris Azhar kesulitan menemukan pengacara Freddy Budiman, karena ia dianggap paling tahu informasi itu. Hanya saja, sejauh ini, pengacara Freddy tidak pernah muncul di publik. Banyak yang menganggap pengacaranya sengaja menghilang, karena berada dibawah tekanan kepolisian. Khusus terkait hal ini perlu pembuktian lebih lanjut.

”Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy”, pungkas Haris Azhar di tulisannya.

Freddy Budiman adalah satu dari empat terpidana narkoba yang dieksekusi di Nusakambangan, Kamis (28/07) tengah malam. Dia divonis bersalah lantaran menyelundupkan 1,4 juta pil ekstasi dari Cina pada 2011. Kepada Haris Azhar, Freddy bercerita bahwa ia hanyalah operator penyelundupan narkoba skala besar. 

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menilai cerita Freddy Budiman tak lain dari upaya mencari cara agar lolos dari hukuman mati dan terstimoninya tidak berlandaskan fakta atau hanya beban batin karena ia sedang menghadapi eksekusi mati.

Dilaporkan ke Bareskrim
Informasi yang diceritakan Freddy Budiman kepada Haris Azhar, seharusnya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, bukan malah melaporkan Haris ke Bareskrim. Pasalnya, pasca beredarnya postingan itu, TNI, Polri dan BNN melaporkan Haris dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap 3 institusi negara.

"Statusnya terlapor, alasan pelaporan ada fitnah, pencemaran nama baik dari yang disampaikan itu, dia dilaporkan pada Selasa (2/8) siang," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul dikutip dari BBC Indonesia.

Selain pencemaran nama baik, Haris dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Atas pelaporan ke Bareskrim Polri, KontraS menyesalkan tindakan TNI, Polri, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). KontraS sengaja membeberkan cerita itu agar aparat penegak hukum menelusuri petunjuk tersebut di tiga instansi tersebut.

"Tidak ada niatan kami mencemarkan nama baik Polri, TNI, dan BNN. Tujuan kami adalah membantu reformasi kinerja di tubuh ketiga institusi tersebut," ujar Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Yati Andriani di Kantor Kontras, Rabu (3/8/2016).

Selain itu, KontraS tak mendudukkan hasil pembicaraan antara Haris dan Freddy sebagai bukti hukum. Hasil pembicaraan tersebut hanyalah petunjuk awal yang semestinya bisa ditindaklanjuti oleh ketiga institusi tersebut.

KontraS juga tidak memiliki bukti otentik terkait pembicaraan itu, karena di lapas tidak diizinkan membawa perlengkapan elektronik. Oleh karena itu, untuk membuktikan pertemuan tersebut, tak ada salahnya melihat ulang rekaman closed circuit television (CCTV) yang mendokumentasikan pembicaraan mereka.

Atau bisa juga menggali informasi dari Kalapas dan dua rohaniawan yang turut hadir saat pertemuan itu. Keterangan mereka sangat membantu untuk membuktikan bahwa ada pembicaraan antara Freddy Budiman dan Haris Azhar.

Upaya melaporkan Haris Azhar ke Bareskrim Polri dengan alasan pencemaran nama baik, menurut saya terlalu jauh. Karena yang dibutuhkan adalah pembuktian kebenaran testimoni Freddy Budiman. Sementara, pencemaran nama baik institusi merupakan entitas yang berbeda. Dua hal yang berdiri sendiri dan tidak bisa dikaitkan begitu saja, karena masyarakat menyikapinya sebagai bentuk kriminalisasi.

Sejauh yang saya pahami, pasal pencemaran nama baik setidaknya harus memenuhi unsur; menyerang nama baik atau kehormatan, menyasar orang atau pribadi dan dilakukan bukan untuk kepentingan umum.

Ketiga unsur tindak pidana itu tidak terpenuhi dalam keterangan yang ditulis Haris Azhar dan beredar di media sosial. Tulisan Haris sama sekali tidak memuat penghinaan atau pencemaran nama baik, tidak menyebut orang atau pribadi dan dilakukan demi kepentingan umum.

Kok Resisten?
Diwawancara awak media, Haris Azhar menyebut polisi semestinya menindaklanjuti informasi yang didapat dari Freddy Budiman, lalu mengembangkannya, bukannya malah resisten dengan melaporkannya ke Bareskrim.

Harapannya, akan terjadi transparansi tentang benar tidaknya ada oknum dari 3 lembaga yang terlibat peredaran gelap narkoba.

Usai kembali dari Lapas Nusakambangan, Haris Azhar sempat meminta temannya untuk memeriksa pledoi Freddy di laman Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, hanya terdapat putusan yang dipublikasikan di laman MA.

Lalu KontraS juga mendatangi pengadilan tempat Freddy diputus. Namun lagi-lagi , KontraS tidak mendapatkan pledoi yang diinginkan.

“Kami tidak dikasih. Kami sudah coba tapi tidak ketemu," ucap Haris seperti dikutip dari Kompas.

Sementara itu, Polri berdalih tidak ada penyebutan nama-nama yang diduga terlibat dalam jaringan Freddy Budiman, sebagaimana naskah pledoi yang mereka terima.

“Tidak ada penyebutan nama-nama itu di pledoi Freddy Budiman. Selain itu, dalam pledoi tidak ada informasi yang mencantumkan kesaksian Freddy”, ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Martinus, di salah satu program dialog televisi swasta.

Apakah ini menyiratkan sesuatu? Mengapa polisi begitu mudah mendapatkan pledoi Freddy, sementara KontraS kesulitan mendapatkannya? Lalu mengapa polisi tidak membagi pledoi yang dimaksud kepada KontraS untuk memastikan bahwa pledoi tersebut memang asli (original) dan bukannya rekayasa?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, karena upaya mendapatkan pledoi ternyata tidak mudah (bagi) KontraS. Bahkan ketika KontraS mencoba menghubungi kuasa hukum Freddy, nomornya tidak bisa dihubungi.

"Saat dihubungi tidak nyambung teleponnya. Ini juga pertanyaan besar, kasus besar ini kok tidak ada beritanya. Yang nongol justru berita prajurit TNI yang terlibat narkoba," tutur Haris.

Untuk mengungkap testimoni Freddy Budiman, Polri menilai keterangan Haris Azhar lemah lantaran Freddy telah dieksekusi mati. Dengan begitu, kepolisian sulit mengkonfirmasi langsung soal informasi yang dimiliki Freddy mengenai adanya oknum Polri dan TNI terkait peredaran narkoba.

Kepolisian beranggapan, jika pun benar ada oknum yang terlibat, penyidik maupun jaksa penuntut akan kesulitan mendapatkan keterangan tambahan karena saksi utama, yaitu Freddy sudah meninggal dunia. Penyidik hanya menindaklanjuti pengaduan berdasarkan fakta.

Di media, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar mengaku sempat bertemu Haris Azhar pada Sabtu (30/7/2016) lalu. Dalam pertemuan itu, Boy lebih banyak mendengarkan cerita Haris soal curhat Freddy Budiman. Namun, Boy beranggapan penyelidikan akan terkendala ketika harus meminta keterangan Freddy.

"Kalau proses pembuktiannya didukung fakta-fakta yang menjurus kepada semakin teridentifikasinya peristiwa itu secara benar, maka layak ditindaklanjuti," tutur Boy.

Meski di pertemuan itu tidak disinggung soal nama-nama oknum, bukan berarti polisi tidak mampu mengembangkannya. Dengan kemampuan yang dimiliki, polri pasti sanggup, seperti dikutip dari Kompas, Boy Rafli sempat mendengar selentingan adanya oknum yang terlibat peredaran narkoba, sebagaimana dituturkan Haris.

Kendati demikian, polisi tetap menyimpan cerita Haris sebagai informasi penting dan berupaya menindaklanjutinya. Terbukti dari dilakukannya penyidikan internal oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) terkait oknum polisi yang diduga terlibat jaringan Freddy Budiman. Sejauh ini, investigasi masih berlanjut dan belum diketahui hasilnya.

Hanya saja, terkait postingan Haris di media sosial, Polri menilai, koordinator KontraS itu harus mempertanggungjawabkannya, karena telah menimbulkan kegaduhan di publik. Ini artinya, kasus Haris akan diproses secara hukum, karena dianggap mencemarkan nama baik 3 institusi negara.

Sedangkan Badan Narkotika Nasional (BNN) berharap Koordinator KontraS, Haris Azhar memberikan data atau bukti keterlibatan oknum anggotanya di bisnis narkoba Freddy.

Jika hal itu tidak benar, BNN meminta Haris bertanggung jawab. Konsekuensinya bisa menyangkut masalah hukum, karena berkaitan dengan nama institusinya sebagai lembaga negara.

"Bila tidak benar ada konsekuensi hukumnya. Ini institusi negara dan sudah di-publish," ujar Kepala BNN, Komisaris Jenderal Budi Waseso, dikutip dari Kompas.

Namun, jika ada oknum BNN terlibat dalam bisnis narkoba Freddy, BNN akan memberikan sanksi tegas dan keras sesuai aturan hukum yang berlaku.

Seharusnya Dilindungi
Kesaksian Freddy Budiman yang dirangkum oleh Haris Azhar, terjadi ketika Haris memberikan pendidikan HAM kepada masyarakat yang kebetulan bertepatan dengan masa Pilpres 2014. Saat itu, Haris memperoleh undangan dari salah satu organisasi gereja yang aktif memberikan pendampingan rohani di Lapas Nusakambangan.

Di kesempatan itu, Haris antara lain bertemu dengan John Refra alias John Kei. Ia juga sempat bertemu dengan Rodrigo Gularte, terpidana mati gelombang kedua, April 2015.

Curhatan Freddy Budiman kepada koordinator KontraS tentang keterlibatan oknum penegak hukum dan militer telah membuka perdebatan luas di masyarakat. Pernyataan itu menjadi sinyal, betapa mengerikannya peredaran narkoba di Indonesia yang diduga melibatkan oknum-oknum dari institusi tertentu.

Sayangnya, banyak yang tidak menyadari, jika pernyataan Haris Azhar merupakan pengungkapan kebenaran demi kepentingan umum. Tentu saja, menyatakan pendapat dilindungi sebagai hak asasi manusia (HAM) dan dijamin oleh konstitusi. 

Beberapa temuan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) - LBH Pers - ELSAM, menyebut kasus pengungkapan kebenaran seperti yang dilakukan Haris Azhar bukanlah yang pertama di Indonesia. 

Tercatat ada beberapa kasus yang memiliki karesteristik serupa. Sayangnya, aparat penegak hukum justru tidak menindaklanjuti temuan tersebut dan malah menebar ketakutan di masyarakat dengan memproses hukum para pengungkap kebenaran dengan tuduhan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Beberapa contoh perkara yang sempat mencuat, diantaranya kasus Rudy Lombok yang mengkritisi kinerja pengurus Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Nusa Tenggara Barat (NTB) lewat Facebook miliknya. 

Rudy harus mendekam 12 hari di tahanan Mapolda NTB, setelah dilaporkan melakukan pencemaran nama baik terhadap Badan Promosi Pariwisata Daerah Nusa Tenggara Barat (BPPD NTB) pada 11 Mei 2015, dengan pelapor, Taufan Rahmadi , Ketua BP­PD NTB itu sendiri.

Contoh lain, seperti kasus Muh. Arshad yang dilaporkan oleh Bupati Kepulauan Selayar Drs. H. Syahrir Wahab karena mengirim SMS dengan bunyi “Yang Terhormat Pak Bupati… Menurut info teman teman dari MK Perkara Pilkada Selayar No. 73/PHPU-D-VIII/ 2010, tertanggal 08 Agustus 2010 termasuk dalam kelompok berkas yang ditandatangani P’ Akil Muchtar dan siap investigasi”. SMS itu dianggap meneror Bupati. Muh. Arshad, kemudian diproses dengan pidana pencemaran nama baik dan penghinaan.

Lalu, ada juga kasus Mahasiswa Universitas Khairun, Adlun Fiqri yang ditahan Polres Ternate. Ia menjadi tersangka setelah mengunggah video berjudul Kelakukan Polisi Minta Suap di Ternate ke YouTube. Adlun dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE atas pasal pencemaran nama baik Kepolisian.

Kasus-kasus diatas menunjukkan bahwa pengungkapan kebenaran sebagaimana hak kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan tercederai di Indonesia. Fakta membuktikan, aparat penegak hukum kerap gagal meyakinkan masyarakat bahwa mengungkapkan kebenaran merupakan bagian dari pengungkapan kejahatan.

Jika saja aparat di lembaga-lembaga penegak hukum itu bersih, seharusnya mereka tak perlu takut untuk mengungkap kebenaran. Pasalnya, kepada siapa lagi rakyat bisa percaya, jika lembaga yang harusnya melindungi mereka malah diduga bekerjasama dengan penjahat.

Masyarakat berharap orang-orang yang berani mengungkap kebenaran harus dilindungi, bukan dikriminalisasi. Jika dijamin perlindungannya, maka semua orang yang ingin menyuarakan kebenaran tidak akan takut diintimidasi. Jika tidak ada perlindungan, rakyat akan semakin apatis, individualis dan cenderung tidak percaya, bahwa negara ini dikelola dan dikendalikan oleh orang-orang baik.

Atas dasar itulah, pernyataan Haris Azhar, harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, termasuk menelusuri kebenarannya. Sebab, respon penegak hukum akan menunjukkan apakah mereka betul-betul serius melakukan penyelidikan sekaligus membuktikan ke masyarakat, bahwa polisi senantiasa bekerja demi kepentingan publik.

Tak hanya itu, pemerintah perlu memastikan bahwa tidak ada tindakan yang mengarah pada tindakan kriminalisasi terhadap Haris Azhar, karena hal itu bertentangan dengan kepentingan umum dan secara khusus melanggar hak berekspresi dan menyatakan pendapat dengan rasa aman.

Pemerintah juga perlu melakukan pembenahan dan mencoba meraih simpati publik, dengan tidak memihak orang ataupun pihak tertentu yang mencoba menggagalkan upaya pengungkapan kebenaran yang dilakukan Haris Azhar. Karena saat ini, semua mata sedang memandang, betapa kasus-kasus pidana mati ternyata tidak terlepas dari buruknya kondisi peradilan pidana di Indonesia. Khusus terkait hal itu, contohnya begitu nyata. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN