Thursday, August 19, 2021

Inspirasi Gerakan ‘Black Lives Matter’ di Papua Barat

(George Floyd death inspires a movement: Papuan Lives Matter - Los Angeles Times)

Pasca kematian George Floyd dan meletusnya protes di Amerika Serikat, menjadi inspirasi bagi orang-orang Papua Barat untuk menghubungkan perjuangan mereka dengan gerakan Black Lives Matter. Gerakan protes Black Lives Matter merupakan bentuk perlawanan terhadap penindasan dan diskriminasi yang dilakukan negara Indonesia selama puluhan tahun. Mereka kemudian hadir dengan slogan Papuan Lives Matter.

 

Gerakan Papuan Lives Matter tak bisa dilepaskan dari sejumlah kejadian yang terjadi. Salah satunya, peristiwa pada Agustus 2019 ketika sekelompok warga menyerang asrama mahasiswa Papua di kota Surabaya, dan menyebut mereka monyet. Mereka menuduh para mahasiswa telah menghina simbol negara yang kemudian dibantah oleh para mahasiswa tersebut. 

Mengetahui diskriminasi tersebut, masyarakat di Papua Barat mengorganisir diri sambil menyerukan protes anti-rasisme yang disebut banyak kalangan sebagai yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Ribuan orang di Papua Barat membawa atribut bernada protes yang menyatakan “Orang Papua Barat bukan monyet”. 

 

Tidak Ada Kehendak Bebas

Papua Barat merupakan salah satu bekas jajahan Belanda yang kemudian jatuh ke tangan Indonesia setelah Perang Dunia Kedua. Indonesia mengambil alih provinsi tersebut pada tahun 1960-an, dan menggantinya sebagai “Irian Jaya”.

 

Uniknya, agenda Act of Free Choice atau "Aksi Pilihan Bebas" yang digagas pada Agustus 1969, dianggap tidak mewakili kehendak rakyat. Pasalnya, hanya 1.026 delegasi (dipilih oleh TNI) yang ikut dalam agenda tersebut. Jumlah itu tidak sampai 2 persen dari total populasi 800.000 orang. 

 

Warga Papua Barat yang menolak pendudukan Indonesia mengorganisir diri dengan membentuk Gerakan Papua Merdeka (OPM). Gerakan itu terus berkembang hingga sekarang. Uniknya, ribuan orang Papua Barat telah divonis dengan alasan pengkhianatan atau makar, padahal mereka hanya mengekspresikan keyakinan politik semata. 

 

Semakin Parah

Seiring waktu, peran Amerika Serikat sebagai 'arsitek' dalam aneksasi Papua Barat terkuak. AS dianggap terlibat dalam  New York Agreement  (Perjanjian New York) 1962, yang berujung pada Act of Free Choice

 

Ditengarai, pendekatan yang dilakukan AS dalam menyikapi persoalan Papua Barat mirip seperti sudut pandang perang dingin di kawasan Pasifik. Pada 1950-an, Uni Soviet memberikan dukungan kepada Presiden Sukarno, sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) bersekutu dengan China setelah Sino-Soviet pecah.

 

Amerika Serikat lalu mendukung kudeta 1965 yang dilakukan Soeharto, terhadap Sukarno. Dalam bukunya The Jakarta Method, Vincent Bevins mendokumentasikan serial pembunuhan massal yang diduga besutan Amerika itu, menjadi acuan bagi pembantaian masa depan di Amerika Latin. 

 

Kemudian pertambangan Amerika Serikat Freeport–McMoRanFre diketahui telah menguasai saham mayoritas di tambang Grasberg, Papua Barat, yang mengandung emas dan tembaga. Akibat eksploitasi yang terus menerus, kawasan disekitar situ telah tercemar, akibat buangan limbah Freefort.

 

Sengkarut itu semakin buruk, setelah diketahui adanya  hubungan erat antara Freeport dan TNI di kawasan tersebut. Ditengarai sejak 1998 hingga 2004, Freeport memberikan hampir $20 juta kepada jenderal militer dan polisi, kolonel, mayor dan kapten, dan unit militer. Seorang komandan bahkan menerima puluhan ribu dolar, 

 

Papua Barat merupakan provinsi dengan tindak kekerasan terburuk di Indonesia. Akademisi Bobby Anderson telah membandingkan tingkat pembunuhan di Papua Barat dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Hasilnya, tingkat pembunuhan di distrik Mimika — 29,2 per 100.000 orang, 30 lebih besar dari rata-rata Indonesia atau setara dengan Kolombia atau Republik Demokratik Kongo. Sementara kekerasan di Jayapura memiliki 10 pembunuhan per 100.000, sebanding dengan Haiti dan Liberia.

 

Meskipun angka pembunuhan terbesar terjadi pada tahun 1970-an, kekejaman masih terus berlanjut hingga saat ini. Pada Desember 2018, militer Indonesia diketahui membom desa-desa di wilayah pegunungan Nduga. Akibatnya 45.000 penduduk mengungsi ke hutan.

 

Terus Berlanjut

TAPOL, sebuah organisasi yang berbasis di Inggris yang memantau pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Lembaga itu mencatat ada 169 orang Papua yang ditangkap pada 2019. Diantaranya, penangkapan enam aktivis Papua di Jakarta, bersama tujuh aktivis lainnya di kota Balikpapan, yang digambarkan sebagai dalang gelombang protes.

 

Kelompok enam aktivis tersebut, dikenal dengan Jakarta Six, menerima hukuman penjara delapan dan sembilan bulan pada April 2020 dari pengadilan di ibu kota Indonesia, atas tuduhan makar. Adapun, tujuh aktivis di Balikpapan yang dikenal dengan Balikpapan Seven juga menghadapi tuduhan makar, dengan vonis sebelas bulan penjara.

 

Dua puluh tiga orang Papua Barat lainnya masih menghadapi tuduhan makar. Penumpasan berlanjut pada 1 Desember 2019. TAPOL telah mengidentifikasi enam puluh satu tahanan politik baru yang ditangkap pada tanggal tersebut, saat Papua Barat memperingati hari nasionalnya dengan mengibarkan bendera bintang kejora.

 

Ternyata pasal berkaitan dengan makar atau anslaag dulunya digunakan oleh penguasa Belanda di Indonesia untuk membungkam nasionalis Indonesia. Kini Indonesia melakukan hal serupa terhadap orang Papua. Sebuah ironi yang menyakitkan. (Jacko Agun)



*dari berbagai sumber

 

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN