membawa kenangan-kenangan dan harapan
bersama hidup yang begitu biru
(Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, 1983)
Di puncak Semeru, 16 Desember 1969, Soe Hok Gie dan Idan Lubis tewas tercekik gas beracun. Di usia belia, 27 tahun, salah satu tokoh kunci Angkatan 66 ini berpulang. Tak banyak pikiran "besar" yang dia wariskan. Hanya setumpuk catatan harian, sekumpulan artikel yang pernah dimuat di berbagai media massa, dan skripsi --sarjana muda dan sarjana lengkap-- di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI).
Anehnya, sedikit warisan yang ditinggalkan adik intelektual Dr Arif Budiman ini ternyata terus bergaung. Ide-ide yang dia lontarkan hampir tiga dasawarsa silam tetap terasa aktual. Catatan harian Soe Hok Gie yang kemudian diterbitkan dengan tajuk Catatan Seorang Demonstran nyaris jadi bacaan wajib aktivis kampus. Lewat catatan harian ini, Soe Hok Gie tampil utuh: seorang idealis yang konsisten, cerdas, humanis, romantis, sekaligus kesepian. Daya pikat Catatan Seorang Demonstran sungguh mencegangkan.
Saat diterbitkan, setelah naskah sempat terlunta-lunta cukup lama, buku ini langsung menyedot atensi luar biasa. Dalam sejarah kepustakaan di Indonesia, kronik kehidupan Soe Hok Gie ini tercatat sebagai salah satu buku yang paling banyak diresensi: lebih dari 15 tulisan. Mulai dari media "berat" hingga majalah remaja populer.
Namun, tampaknya Soe Hok Gie memang ditakdirkan menjadi "orang besar", bahkan setelah berpuluh tahun kematian menjemputnya. Skripsi sarjana mudanya di FS UI yang kemudian diterbitkan dengan judul Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 oleh Franzt Fanon Foundation (1990), ternyata mengundang diskursus luas.
Sebagai karya ilmiah, apa yang ditulis Soe Hok Gie didasari fakta-fakta teruji. Namun, karena itu pula Di Bawah Lentera Merah menjadi paradoksal, karena sekaligus menyingkap sisi-sisi kelam missing link sejarah gerakan kiri di negara ini. Tidak aneh kalau buku itu kemudian "menghilang" dari peredaran. Nyatanya, ide-ide yang pernah dilontarkan Soe Hok Gie tetap menggoda.
Adalah Stanley dan Aris Santoso yang kemudian mengumpulkan dan menata warisannya yang lain: tulisan-tulisan Soe Hok Gie di media massa periode 1965-1969. Oleh Bentang Budaya Yogyakarta kumpulan tulisan itu diterbitkan pada 1995 dengan judul Zaman Peralihan. Terbitnya Zaman Peralihan tak sekadar nostalgi terhadap seorang anak muda yang pernah mewarnai khasanah intelektual Indonesia. Zaman ternyata belum jauh bergeser. Dan karenanya, pikiran-pikiran yang pernah dilontarkan Soe Hok Gie tetap menemukan ruang berpijak.
Kematiannya pada akhirnya hanya sebuah peralihan. Soe Hok Gie hanya berpindah ke ruang lain dalam sejarah, sedang pikiran-pikirannya terus mengembara ke ruang-ruang zaman sesudahnya. Di penghujung abad 20 ini, nama Soe Hok Gie tampaknya masih akan terus disebut. Terbitnya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan yang diangkat dari skripsi sarjana lengkapnya di FS UI oleh Bentang Budaya mempertegas: humanisme Soe Hok Gie melahirkan simpati dan empati kuat terhadap kaum yang kalah --atau dikalahkan.
Simpati dan empati itu, bahkan terasa mengerikan. Soe Hok Gie, yang percaya humanisme adalah keluhuran budi manusia, kemudian menampik sekat-sekat ideologi. Padahal, di sebuah negeri di mana ghirah politiknya bertendensi tinggi, humanisme mesti mengindahkan ideologi kaum yang dipihaki. Pilihan terhadap komitmen yang dia yakini, pada akhirnya menempatkan Soe Hok Gie sebagai manusia yang asing dan kesepian. Bahkan pada aspek-aspek paling personal sebagai anak muda: hubungan pribadinya dengan beberapa gadis yang selalu terganjal. Dengan alasan yang rasional hingga yang mutlak absurd.
Namun, yang tak bisa dipungkiri, kita selalu --dan tetap-- rindu sosok seperti Soe Hok Gie. Di Malang, seorang teman Arif Budiman yang memesan peti mati untuk jasad Soe Hok Gie, menjadi saksi betapa dahsyatnya kekuatan ide. Begitu diberi tahu untuk siapa peti mati itu dipesan, sang pembuat langsung meneteskan air mata. Padahal, dia hanya mengenal Soe Hok Gie dari tulisan-tulisannya di media massa. Kehidupan, pada akhirnya memang tak bisa diramalkan. Dan seperti yang ditulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, Selasa 1 April 1969, dia akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan bersama hidup yang begitu biru. Di tengah zaman yang mengharu-biru, Soe Hok Gie dengan tepat meramalkan pengelanaan ide-ide dan pikirannya.
No comments:
Post a Comment