Mendaki Gunung, Gaya Hidup Seorang Fotografer
Mei 1997. "SAYA punya banyak teman di Indonesia," kata pria berperawakan langsing kelahiran Invermere, British Columbia 18 Oktober 1952 ini. Sekilas tampangnya tidak mengesankan seorang pendaki yang memiliki reputasi. Wajahnya bersih, tidak ditumbuhi berewok dan janggut seperti kebanyakan pendaki terkenal. Dia terkesan agak pendiam namun ternyata jauh dari kesan angkuh. Padahal berkat dedikasinya, jarang ada pendaki mancanegara yang asing dengan namanya. Paling tidak dalam dua dekade terakhir.
Mei 1997. "SAYA punya banyak teman di Indonesia," kata pria berperawakan langsing kelahiran Invermere, British Columbia 18 Oktober 1952 ini. Sekilas tampangnya tidak mengesankan seorang pendaki yang memiliki reputasi. Wajahnya bersih, tidak ditumbuhi berewok dan janggut seperti kebanyakan pendaki terkenal. Dia terkesan agak pendiam namun ternyata jauh dari kesan angkuh. Padahal berkat dedikasinya, jarang ada pendaki mancanegara yang asing dengan namanya. Paling tidak dalam dua dekade terakhir.
Saya bertemu Patrick Alan Morrow atau biasa disapa 'Pat' yang ditemani istrinya Baiba, di kediaman pasangan suami-istri Adi Seno-Diah Bisono di Kebon Jeruk.
Kecintaan pada gunung dan alam terbuka membuat Patrick Alan Morrow, lelaki Kanada ini, tidak bimbang memilih udara petualangan sebagai jalan hidup. Sosoknya sedikit unik bila melihat kenyataan jarang ada orang mendapat rejeki di atas rata-rata dari kegiatan 'bertetangga dengan maut' ini. Biasanya dia memotret untuk Equinox, majalah sains dan alam terbuka terbitan Kanada. Tapi tulisan dan foto-foto karyanya juga sering muncul menghiasi beberapa majalah luar negri. Seperti Action Asia (Hongkong), Yama-kei (Jepang), Geo (Australia), Climbing, Outside (AS), Montana dan lain-lain.
Kunjungan ke Indonesia Maret-April lalu, bagi lelaki yang merasa terlambat baru mulai menggauli dunia pendakian di usia 16 ini, seingatnya adalah yang ketiga kali. Agak beda dengan dua yang terdahulu, kali ini dia tidak berniat mendaki. Setelah beberapa hari di Jakarta, Pat bersama Baiba kemudian menuju Ujungpandang dan Manado. Di dua kota itu mereka membuat rekaman video mengenai Canadian 8-Project atau proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat yang dananya disokong pemerintah Kanada, diantaranya proyek air minum.
"Kami waktu itu cuma sampai Nabire," kata Pat mengenai kedatangannya yang pertama ke Indonesia. Ketika itu di tahun 1984, Pat dan Baiba berniat mendaki puncak Carstensz Pyramid di Pegunungan Sudirman, Irian Jaya. Tapi apa mau dikata. Gara-gara ijin mendaki tidak berhasil diperoleh, saat itu langkah mereka cuma sampai ibukota Kabupaten Paniai itu.
"Mengurus ijin pendakian sebuah gunung sering bukan perkara gampang. Untuk mendaki Everest misalnya. Menunggu ijin keluar bisa bertahun-tahun. Lagipula banyak gunung dianggap penting karena terletak dekat perbatasan dua negara. Contohnya Everest di perbatasan Tibet-Nepal atau Aconcagua di perbatasan Chile-Argentina. Perijinan, juga biaya, memang biasa jadi halangan. Umumnya pendaki berpengalaman sudah paham bahwa salah satu bagian tersulit dari pendakian gunung adalah bagaimana caranya mencapai kaki gunung itu," tutur Pat panjang lebar.
Gagal di tahun 1984, alhasil baru dua tahun kemudian dia berhasil melunasi hutang mendaki Carstensz. Ditemani Adi Seno, dia menginjak puncak bersalju abadi di dekat garis ekuator itu.
Dari Canadian RockiesPat Morrow menjalani masa kanak-kanak di British Columbia, Kanada. Sebuah daerah bergunung-gunung yang dulunya homeland suku Indian Kootenay. Di waktu luang, ayahnya sering mengajak Pat mancing dan berburu. Rumah mereka berada di pegunungan sehingga tiap kali keluar rumah mereka harus hiking menyusuri jalan setapak. "Di masa-masa itu saya mulai belajar bagaimana jalan di gunung, tapi belum untuk mendaki," katanya. Rasa ingin tahunya yang besar sebagai seorang anak terpuaskan dengan berada di luar rumah. Hal itu membuatnya gembira. Udara pegunungan yang bersih, bau tanah, harum bunga-bunga liar di tepi hutan serta kemilau keperakan dari lidah salju di lereng dan puncak gunung, seakan-akan memberi inspirasi baginya.
Dari pengalaman menemani sang ayah berburu, Pat mulai tergoda mendaki gunung-gunung bersalju di Canadian Rockies, sebutan untuk Pegunungan Rocky di wilayah Kanada, yang sebelum itu cuma bisa dipandanginya dari jauh. Mulailah dia naik ke sebuah gunung setinggi 3000-an meter. Dan Pat mendapat pelajaran pertamanya. "Pengalaman pertama kali mendaki ini mulai menumbuhkan keyakinan dalam diri saya tentang apa yang mampu saya lakukan dan apa yang tidak," katanya.
Berhasil sampai ke puncak, waktu turun dia jadi ketagihan. Kemudian Pat mendaki gunung itu berkali-kali jika ada kesempatan. Jiwa mudanya seolah mengacuhkan bahaya yang mungkin timbul. "Saya waktu itu mendaki di sembarang musim. Tidak peduli lagi musim panas atau musim dingin. Pokoknya mendaki dan mendaki. Padahal di musim dingin suhu di atas gunung itu biasanya cukup ekstrim, bisa sampai - 200 Celcius. Meski tidak punya pengetahuan memadai bagaimana mendaki dengan aman, saya berusaha survive. Malah saya tidak bawa sleeping bag. Untung waktu itu saya tidak mati," kisahnya sambil tertawa mengenang masa remajanya.
Gara-gara kebandelannya, Pat pernah kena frostbite pada ibu jari kaki kanan. Frostbite atau radang beku akibat sengatan udara dingin biasanya menyerang ujung-ujung jari yang tidak terlindung dengan baik. Kalau sampai parah dan sel-sel dagingnya mati, sering tak ada pilihan lain daripada dibiarkan membusuk. Harus diamputasi. Untung lagi Pat tidak mengalami ini meski bekas kehitaman di jempol kaki kanannya itu masih ada sampai sekarang. "Sampai sekarang masih sensitif pada udara dingin," katanya.
Mendaki gunung secara serius, artinya dipersiapkan dengan baik karena mengerti resiko, mulai dilakoni Pat di Bugaboo Spire, gunung di Purcell Mountain Range, British Columbia. Itu di tahun 1969. Untuk mencapai puncak gunung mirip jari-jari mengacung ke langit itu tidak bisa cuma dengan jalan kaki. Para pendaki mesti membekali diri dengan tehnik rock climbing agar bisa melewati medan campuran salju dan batu granit yang terjal. Karena itu Pat juga menguasai rock climbing dengan baik sekali.
Di tahun 1978 kegetolan trekking, mendaki sambil motret di seputar Canadian Rockies jadi modal bagi Pat untuk menulis buku. Bersama Anne Edwards dan Arthur Twomey, dia menyusun panduan wisata trekking, berkemah dan mendaki ke Purcell Mountain Range serta taman-taman nasional sepanjang British Columbia-Alberta. Buku setebal 103 halaman yang dilengkapi foto-foto menarik itu diterbitkan Douglas & McIntyre Publishers di Vancouver. Judulnya: Exploring the Purcell Wilderness. Kemampuan menulis buku ini kemudian dikembangkan Pat untuk menulis kisah-kisah petualangannya. Buku-bukunya yang lain diantaranya The Yukon, Adventures in Photography, Himalayan Passages dan Beyond Everest.
Buku, foto dan banyak kisah perjalanan Pat yang dimuat berbagai majalah memberi bukti bahwa dia bukan sekedar petualang yang nyambi jadi penulis. Pat memang profesional di kedua bidang itu. Dasar fotografi diperolehnya setelah selama dua tahun belajar pada sebuah sekolah fotografi di Banff, Alberta. Modal lain, diploma jurnalistik yang diraihnya di Calgary. Tapi kemahiran memotret dan menulis menurutnya justru terasah tajam dengan seringnya dia jalan-jalan sembari praktek langsung. Pat, agaknya tipe orang yang selalu belajar dari pengalaman.
Dia lalu memberi contoh seorang temannya di Kanada, fotografer dengan spesialisasi pada mountain landscape. Sudah lebih dari 20 judul bukunya diterbitkan, padahal orang itu tidak pernah sekolah fotografi. "Tergantung tiap individu. Jika kamu pandai, kamu bisa belajar apa saja diluar sekolah," katanya serius. "Yang dinilai kan hasil kerjanya. Penerbit buku kawan saya itu tidak peduli apa dia lulusan sekolah fotografi atau tidak. Kualitas foto-fotonya bagus kok. Lebih dari 20 buku, bayangkan!," ujarnya.
Pat mulai menarik perhatian seorang editor senior yang kelak menjadi pengasuh majalah Equinox antara tahun 1976-1977. Waktu itu pemuda Pat Morrow membeli tiket bus, mengisi sebuah koper usang dengan foto-foto karyanya lalu berkeliling ke Montreal, Toronto dan Ottawa. Tujuannya: mencoba merebut perhatian pengasuh beberapa majalah dengan esai foto tentang air terjun yang membeku di Pegunungan Rocky, pemandangan pantai barat Vancouver Islands dan alam liar Yukon di utara Kanada.
Seperti layaknya petualang muda, Pat pergi kesana-kemari dengan akomodasi hanya sebuah sleeping bag, lalu bercita-cita membuat dunia petualangannya bisa ikut dinikmati banyak orang. "Life and photography are a continouos chain of happy coincidences for him," komentar para editor setelah mengamati foto-foto karya Pat. Kontan beberapa pengasuh majalah pun tertarik membeli artikelnya tadi.
Di masa-masa 'perjuangan' itu, Pat tinggal di Kimberley, masih di British Columbia, bersama ayahnya yang duda. Dia mengaku sering tertawa sendiri bila ingat kamarnya ketika itu justru lebih sempit dibanding gudang tempat menyimpan kamera-kamera, alat-alat mendaki dan perlengkapan ski. Untung kamar itu lebih sering dibiarkan kosong melompong karena penghuninya bertualang dari satu tempat ke tempat lain. Dari jajaran pegunungan di British Columbia sampai gurun dan ngarai di barat daya Amerika.
Di sela-sela perjalanannya, kadang-kadang Pat terlihat nongkrong di hotel King Edward, Banff. Di situ dia berbagi cerita dengan teman-teman pendaki dan pemain ski yang membiayai perjalanan-perjalanan mereka dari upah bekerja sebagai waiters atau pekerja konstruksi. Dengan prinsip sama lain cara, Pat melakukannya dengan honor sebagai fotografer-penulis. Sampai-sampai di tahun 1982 oleh J.A Kraulis dan Robert Fulford yang menyusun buku fotografi Canada: A Landscape Portrait dia disebut 'salah satu fotografer majalah tersibuk di Kanada'. Akhirnya, berkat kerja keras dan ketekunan, saat majalah Equinox diluncurkan tahun 1982, Pat jadi salah seorang yang diajak bergabung sebagai staff lapangan.
Mendaki Tujuh Puncak Benua Kalau dihitung-hitung sudah hampir 30 tahun Pat Morrow menekuni kegiatan daki-mendaki gunung. Namun ternyata sulit baginya menentukan mana pendakian paling berkesan. "Agak susah menjawabnya karena kalau dilihat dari segi tantangannya, setiap pendakian punya tantangan tersendiri. Cerita sedih atau senang hampir selalu menyertai tiap pendakian. Jadi saya tidak punya alasan menganggap salah satunya sebagai yang paling memorable," ucapnya.
Tidak ada gunung yang paling mudah didaki, begitu prinsipnya. Meskipun dari segi teknis sebuah gunung dianggap gampang, menurutnya dari segi lain pasti ada bagian sulitnya. Soalnya gunung merupakan sensitive area yang segalanya beda dengan di kota. Dikisahkannya, suatu kali dia dan Baiba terperangkap badai salju di sebuah gunung. Selama beberapa hari mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mendekam dalam tenda - menanti cuaca cerah. 'Siksaan' itu ditambah dengan perjuangan lain: hampir setiap jam mereka harus menggali timbunan salju di depan pintu tenda mereka. Alasannya…….sekedar supaya mendapat udara untuk bernapas!
Setelah kenyang mendaki puncak-puncak Canadian Rockies, tahun 1977 Pat Morrow mulai menatap gunung di luar Kanada. Dia ketika itu tertarik dengan Gunung McKinley (6194 m) di Alaska, Amerika Utara. Terletak 390 km dari lingkaran kutub utara, gunung yang oleh orang Indian disebut Denali (yang tertinggi) sama sekali bukan gunung yang ramah. Bahkan pernah disebut-sebut gunung terdingin di dunia. Pasalnya semakin jauh sebuah gunung dari katulistiwa, semakin terasa pula efek ketinggian pada suhu udara. Pada ketinggian yang sama, gunung yang jauh dari katulistiwa lebih dingin dari yang dekat garis khayal itu.
Sebagai catatan, pada ketinggian 5486 meter atau kurang 600-an meter lagi dari puncak McKinley, suhu terhangat adalah 28 derajat Celcius di bawah nol. Lebih dari cukup untuk membekukan tubuh dalam hitungan jam saja. Tapi Pat terlanjur menganggap kesempatan ini sebagai berkah. "Sebuah kesempatan untuk coba mendaki gunung di high altitude dan kebetulan pas dengan isi kantong saya. Sebenarnya saya tidak berharap banyak, tapi sepertinya menarik dilakukan. So, I did it," katanya.
Pat yang ketika itu baru berusia 25 tahun menguras semua tabungannya yang sekitar 500 dolar lalu duduk di belakang kemudi sebuah VW Beetle karatan. Selama empat hari yang melelahkan, dia melintasi Alaska Highway sepanjang 3.862 km sebelum sampai ke Talkeetna, Alaska. Di kota inilah sebagian besar ekspedisi pendakian McKinley bermula.
Pendakian itu yang kemudian dikenangnya sebagai yang terberat. "Well, soalnya itu pertama kali saya beradaptasi dengan ketinggian ekstrim dan pengaruhnya buruk sekali buat tubuh saya. Kami merintis sebuah jalur baru yang juga sulit lewat South West Flank. Akibat terserang penyakit ketinggian, saya merasa sangat kedinginan, pusing, mual-mual, kehilangan nafsu makan dan susah tidur." Tapi toh kemudian dia berhasil.
Tengah malam pada tanggal 27 Mei 1977, dengan susah payah Pat dan seorang teman berhasil menginjak puncak McKinley. Meskipun saat itu suhu 34 derajat Celcius di bawah nol, tapi saking kelelahan mereka berleha-leha hampir dua jam di titik tertinggi Amerika Utara itu. Pfuff!
Empat tahun kemudian, tahun 1981, saat mendaki 'gunung setan' Aconcagua (6959 m) di perbatasan Chile-Argentina, Pat ngobrol dengan rekan setenda. Topiknya: mereka sadar sedang berusaha menjejakkan kaki di puncak tertinggi Amerika Selatan. Lantaran iseng, saat itu mereka juga berdiskusi. Gunung apa sih yang tertinggi di benua-benua lain?
Tahun berikutnya lagi setelah mempersiapkan diri di Gunung Muztagh Ata (7546 m) di Pamir, India, Pat yang termasuk anggota ekspedisi Kanada berhadapan dengan gunung tertinggi di dunia: Mount Everest. Mencapai atap dunia itu memang tak mudah. Dalam pendakian yang mengambil rute South Col di sisi Nepal itu (rute tim Kopassus kita mencapai puncak pertama kali April ini), seorang anggota tim mereka tertimpa longsoran es sekaligus mendapat tiket ke alam baka. "Ekspedisi terhenti hampir dua minggu akibat musibah itu. Lalu sebagian anggota tim memutuskan pulang ke Kanada. Saat itu secara psikologis betul-betul sulit membuat keputusan, apakah mau terus atau ikut pulang saja ke Kanada. Akhirnya delapan pendaki termasuk saya memutuskan untuk berusaha menyelesaikan pendakian. Bersama kami, ada dua belas sherpa yang siap membantu." Ekspedisi ini kemudian menjadikan Pat sebagai orang tertinggi di dunia pada hari dia mencapai puncak.
Dalam perjalanan pulang dari kemah induk Everest, entah kenapa Pat merasa risau. Dia jadi teringat diskusi dengan temannya di Aconcagua setahun sebelumnya. "Bila anda baru saja mendaki gunung tertinggi di dunia, apa yang ada di belakang anda seolah jadi tidak penting dan bisa jadi anda kehilangan fokus ke depan. Saya telah berhasil mendaki Everest. Ya. Tapi dengan profesi sebagai fotografer, saya sadar tidak boleh berhenti di situ. Saya tahu bahwa saya butuh sebuah rencana. Dan bla, bla, bla, waktu itu jadilah Seven Summits sebagai ide ke masa depan.
"Dasar ide ini, kalau menurut teori lempeng benua, di dunia ada tujuh daratan yang bisa disebut benua. Kebetulan waktu itu Pat belum pernah mendengar ada pendaki yang telah menyelesaikan pendakian ke puncak tertinggi di tujuh lempeng benua itu. Masing-masing Mount Everest (Asia), Elbrus (Eropa), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika Utara), Aconcagua (Amerika Selatan), Vinson Massif (Antartika) dan Kosciusko (Australia).
Buat Pat sebenarnya agak aneh juga kalau belum ada pendaki yang memikirkan ide seperti ini setelah mendaki Everest. Padahal gunung yang oleh orang Tibet disebut Chomolungma dan oleh orang Nepal dinamakan Sagarmatha itu sudah didaki pertama kali oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay tahun 1953. "Saya agak heran," akunya.
Di tahun 1983 Pat kasak-kusuk mencari penugasan majalah untuk pergi ke Eropa, Afrika dan Australia. Dengan cara itu dia bisa sekalian mendaki tiga puncak lagi: Elbrus (5633 m) di Pegunungan Kaukasus, Georgia (ketika itu masih bagian dari Uni Soviet), Kilimanjaro (5895 m) di Tanzania dan Kosciusko (2230 m) di Australia. Berarti sampai tahun itu, Pat sudah mendaki enam dari tujuh puncak benua.
Tetapi kemudian usahanya ada yang menyejajari. Bahkan dalam persaingan yang kemudian disebut media massa dengan 'seven summits race' itu Pat kalah langkah. 'Pesaingnya': Dick Bass, seorang pengusaha milyuner asal Texas yang ketularan virus mendaki. Ketika itu Pat sedang berusaha mendaki Vinson Massif (4897 m) di 'benua putih' Antartika.
Tanggal 17 November 1984 pesawat tri-turbo DC-3 milik seorang kontraktor Califonia lepas landas dari pangkalan Punta Arenas di selatan Chili. Lima jam kemudian pesawat yang membawa tim pendaki Vinson Massif itu, termasuk Pat Morrow, mendarat di 'runway' gletser es di Esperanza, Antartika.
Pat Morrow yang membutuhkan Vinson Massif sebagai puncak terakhirnya sudah berusaha keras mewujudkan ekspedisi itu. Masalah yang harus dihadapi sebelum mendaki gunung yang letaknya 966 km dari kutub selatan itu meliputi: transportasi, logistik, dana dan birokrasi. Selain itu ekspedisi pun sempat mendapat rintangan dari organisasi-organisasi ilmu pengetahuan internasional yang sering melakukan penelitian ilmiah di sana.
Selama setahun Pat berkirim surat ke pejabat birokrasi di lima negara untuk mencari dukungan. Selain itu dia juga mengontak praktisi cinematografi, maskapai penerbangan, calon donatur potensial, produsen alat - alat ski dan mendaki - serta siapa saja yang tertarik. Pokoknya, dia menghubungi semua kontaknya demi mendaki Vinson. Pat memang berhasil, tapi tidak saat pelaksanaan ekspedisi.
Ketika pesawat mereka singgah sebentar di Esperanza, pangkalan terdekat di ujung Antartika sebelum melanjutkan penerbangan mendekati Vinson, timbul masalah. Pesawat itu mengalami kerusakan sehingga awaknya harus menerbangkannya ke Argentina untuk perbaikan. Tapi sial. Mungkin karena waktu itu masih hangat-hangatnya perang Malvinas, di sana para awak justru mendapat masalah lagi dengan pejabat militer setempat. Ditambah masalah-masalah lain, akhirnya ketika pesawat naas itu kembali ke Esperanza, tugasnya hanya membawa mereka balik ke Punta Arenas. Susah payah Pat menahan rasa dongkol karena hasil ini jauh dari harapan. Ekspedisi gagal.
Kembali ke Kanada, beberapa bulan kemudian Pat mendapat berita bahwa Dick Bass yang ikut empat ekspedisi Everest dalam dua tahun, akhirnya berhasil mencapai puncak pada tanggal 30 April 1985. Orang yang sebenarnya tidak dianggap saingan oleh Pat Morrow itu sukses bersama ekspedisi Norwegia yang dipimpin raja kapal Arne Naess. Dia ikut sebagai paying member (ikut dalam tim dengan membayar) dalam usia 55 tahun, usia tertua bagi pendaki yang berhasil di Everest sampai saat itu. Bagi Dick Bass, Everest adalah puncak seven summits yang terakhir setelah sebelumnya dia sudah mendaki keenam puncak lain. Berakhirkah seven summits race? Nanti dulu.
Semangat Pat Morrow untuk mendaki Vinson tak lantas meleleh. Dengan komposisi tim agak berbeda dari ekspedisi pertama, ekspedisi kedua dilancarkan dan berjalan mulus di bulan November 1985. Kali ini mereka naik pesawat twin otter.
Bulan November dipilih karena saat itu di Antartika sedang musim panas dengan matahari bersinar non-stop selama 24 jam. Lalu saat pendakian mereka menggunakan sistem 'ngintip' menembus udara dingin dan tiupan angin berkecepatan 322 km per jam yang di kalangan meteorologis disebut angin katabatic. Mereka berjalan saat cuaca 'hangat' (yang dianggap hangat itu suhu udara konon minus 15 derajat Celcius) dan langsung berhenti saat matahari bersembunyi dari balik awan atau punggung gunung. Akhirnya, bendera PBB yang dibawa pendaki empat negara berhasil dikibarkan di puncak tertinggi Antartika.
"Saya memandang ke batas horizon dan merasa kosong. Saya telah meraih keinginan saya bersama teman-teman yang membantu setiap langkah ekspedisi itu. Campur aduk perasaan antara puas dan kecewa jadi sukar diungkapkan," tutur Pat mengenai perasaannya saat itu. Dia mencapai puncak bersama tujuh pendaki lain, masing-masing: Stephen Fossett - ahli ilmu olahraga dari Chicago, Alejo Contreras - salah satu pendaki terbaik di Chili saat itu yang juga pengamat cuaca, Martyn Williams - guide pendakian gunung dan arung jeram dari Yukon, Patrick Caffrey, Giles Kershaw - pilot Inggris dengan jam terbang lebih dari 5000 jam di Antartika, Michael Dunn - pria Nevada yang sering memenej tour pendakian dan Roger Mitchell - yang punya pengetahuan segudang tentang ilmu fisik dalam kegiatan petualangan.
Belum Selesai Beberapa waktu setelah itu, kalangan pendaki sadar bahwa perdebatan seven summits belum selesai. Setidaknya masih ada babak kedua.
Selesai mendaki Vinson, Pat Morrow beranggapan masih ada yang terlewatkan dari rangkaian pendakian itu. Menggugat Dick Bass yang menganggap Kosciusko sebagai puncak tertinggi di benua Australia, Pat berpikir bahwa puncak Carstensz Pyramid (4884 m) di Irian yang lebih tinggi dari Kosciusko mestinya masuk hitungan. Alasannya, Pulau Irian juga masuk lempeng benua yang sama dengan Australia. Namanya: Australasia. Karena itu setelah mendaki Carstensz tahun 1986, baru Pat merasa bahwa seven summits rampung.
Di tahun yang sama, rangkaian pendakian itu disusunnya ke dalam buku Beyond Everest. Tanpa disangka-sangka, buku itu kemudian memunculkan 'booming' sekaligus trend baru dalam dunia pendakian gunung. Saat itu Pat dikatakan telah memenangkan persetujuan kalangan pendaki. Para pendaki jadi demam seven summits dan sebagian besar mengikuti versi Pat Morrow, yaitu mendaki Carstensz sebagai salah satu puncak dan bukannya Kosciusko, versi Dick Bass. 'Wabah' ini kemudian juga ikut menjangkiti para pengusaha, dokter, pengacara dan kaum profesional lainnya. Begitu pula dengan trekking agency atau tour operator pendakian yang ikut menjual seven summits sebagai paket komoditi. Di kalangan pendaki sendiri nama-nama terkenal yang ikut mendaki seven summits setelah Pat antara lain Reinhold Messner, Oswald Oels, Christine Janin, Junko Tabey (wanita pertama di puncak Everest), Ronald Naar, Doug Scott dan banyak lagi.
Merasa belum cukup, masih di tahun 1986 Pat mendaki Elbrus untuk kedua kali. Kemudian tahun 1991 mendaki lagi Carstensz dan Everest. Rute yang dipilih untuk Everest kali ini adalah North Col dari sisi Tibet. Namun Pat harus puas hanya sampai ketinggian 7500 meter. Lalu entah apa yang dicari, setahun kemudian dia mengulangi pendakian Vinson Massif dan tahun berikutnya, 1983, giliran McKinley.
Seolah menegaskan kembali alasannya mendaki puncak tujuh lempeng benua, Pat mengatakan, "Sebenarnya itu cuma karena saya ingin naik gunung, memotret dan melihat tempat-tempat lain di dunia. Sederhana saja. Bukan untuk pamer apalagi gagah-gagahan. Buat saya, proyek itu cara bagus melihat dunia. Kalau kita datang ke satu benua tidak cuma untuk mendaki, kita akan melihat lebih banyak. Misalnya travelling sambil bergaul dengan penduduk setempat." Lalu dengan senyum diteruskannya lagi, "Jika anda punya mimpi, anda harus berjuang mewujudkannya. Katakanlah anda ingin mendaki tujuh puncak gunung berapi di Pulau Jawa atau puncak tertinggi tiap pulau di Indonesia, atau apapun. Lakukanlah! Jadikan itu kebanggaan pribadi anda, untuk anda sendiri. Tapi jangan jadi alasan membuat diri terkenal.
"Way of LifeWalter Bonatti percaya bahwa alam dan gunung merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Pat Morrow, mau tak mau, pernah kerasukan pemikiran semacam itu. Dia juga mengaku punya filosofi sendiri, untuk apa capek-capek mendaki sebuah gunung lalu turun lagi. Setiap pendaki punya alasan sendiri-sendiri. George F. Mallory yang hilang di Everest tahun 1924 ketika ditanya kenapa mendaki merasa cukup dengan bilang, "Because it's there!" Tapi seorang pendaki hebat macam Doug Scott bilang waktu itu Mallory kebelet ingin ke WC. Supaya cepat dia bilang demikian.
Jadi pasti ada alasannya. Dan seperti taburan bintang di langit, begitu gambaran betapa sering filosofi lahir dari ketinggian lereng dan puncak gunung. Tempat yang terasing, sepi, dingin dan angin memukul seperti palu dimana setiap bahaya harus dihadapi pendaki itu sendiri. "Filosofinya selalu berkembang. Seiring bertambahnya umur serta pengalaman, pandangan seseorang tentang mendaki gunung akan terus berubah," kata Pat "dan penting sekali buat seorang pendaki untuk sadar bahwa ada gunung yang tak bisa didakinya.
"Setelah bertahun-tahun, kini Pat bersikap lebih realistis. Sebagai orang yang cari nafkah dengan motret di gunung, menurutnya kegiatan ini sebuah usaha menggabungkan kerja dengan kesenangan. "Buat saya mendaki sebanyak - banyaknya penting untuk ditulis. Kedua hal itu sama menariknya. Kalau saya tidak bisa mendaki, selesai sudah. Saya tidak bisa menulis, maka berarti saya tidak bisa mengongkosi perjalanan berikut," katanya. Kalaupun ada tujuan sampingan ya untuk 'lari' sejenak dari tekanan stress dan peradaban modern. Di gunung seseorang akan kembali merasa menjadi 'manusia'.
Selain itu Pat juga menikmati nuansa petualangannya. Sebaliknya dengan blak-blakan dia menolak mentah-mentah bila mendaki gunung jadi ajang mencari kejayaan atau saling berkompetisi. "Mereka tidak belajar apa-apa dari pendakiannya sendiri," sindir Pat pada pendaki yang cuma menganggap naik gunung sebagai aktivitas fisik belaka atau lebih parah lagi, sebagai upaya penaklukkan terhadap alam.
Toh dia menyebut nama Jerzy Kukuczka sebagai contoh. Jerzy adalah pendaki hebat asal Polandia. Orang kedua yang merampungkan grandslam 14 puncak 8000-an meter di Himalaya. Meskipun selalu mencari-cari gunung atau jalur pendakian yang lebih sulit dari yang pernah didakinya, menurut Pat, Jerzy bukan pendaki yang hanya mengejar prestasi dan nama besar. "Saya kenal dia. Kami pernah bertemu di Inggris dan saya mengerti alasan-alasannya. He's a climbing bum. A real climber," komentar Pat tentang pendaki yang tahun 1989 akhirnya menemui ajal terkubur avalanche (longsoran salju) di salah satu dari tiga jalur yang konon tersulit di dunia, yaitu dinding selatan Lhotse.
Istilah 'climbing bum' itu sendiri muncul ketika di tahun 1995 Pat, Baiba dan teman-teman termasuk Adiseno, mendaki 21 gunung di atas 3000-an meter di barisan pegunungan Japan Alp termasuk Fuji-san. Mereka menyeberangi Pulau Honsyu dari Laut Jepang sampai Laut Pasifik sambil mendaki maraton. Ketika itu di sela pendakian, kepada Adiseno dia mengatakan bahwa orang-orang seperti dirinya yang hidup seolah hanya untuk mendaki adalah 'climbing bum'. Kalau diterjemahkan, bum kira-kira berarti 'orang miskin yang bertualang'. Jadi gampangnya climbing bum diartikan gembel gunung.
"Mereka orang-orang yang punya komitmen untuk terus mendaki dan menjadikannya gaya hidup," ulang Pat. Barangkali bisa disetarakan dengan seorang Bobby Robson atau Beckenbauer yang saking cintanya pada olahraga sepakbola sampai bilang, "Saya ini hidup dari dan untuk sepakbola." Atau mereka-mereka yang akrab dengan sarung tinju dan sansak di sasana yang suka berteriak, "Tinju adalah darah daging saya!"
Lebih jauh Pat menyebut contoh lagi yaitu Peter Croft. Pemanjat Kanada yang menetap di AS itu menurut Pat sepanjang tahun kerjanya manjat melulu. Pola hidupnya sederhana, malah bisa dibilang irit. Pengeluaran paling untuk makan dan tempat tinggal. Selebihnya? Untuk ongkos mendaki! "Orang-orang macam dia itu mendaki gunung, manjat tebing atau main ski hanya untuk menikmati. Bukan untuk tujuan lain, apalagi uang. Really. Justru uang mereka habis disitu. Untuk mendaki ke berbagai tempat kan butuh uang. Kadang mereka kerja part-time selama 3-4 bulan. Kerja apa tak jadi soal, asal halal. Kalau uang dirasa cukup langsung berkemas-kemas lalu mendaki lagi sepanjang sisa tahun," kata Pat.
Pat beruntung profesi fotografer berhubungan langsung dengan kesenangan mendaki. Waktu ke Jepang itu, dia mendapat penugasan dari majalah. "Sayangnya, satu majalah saja tak mampu menutup biaya perjalanan yang cukup mahal. Karena itu selesai menulis untuk Equinox, saya juga menjual tulisan serupa ke majalah - majalah luar negri atau ke penerbitan yang biasa menerbitkan buku panduan travel. Dari situ uangnya kami pakai beli tiket pesawat untuk perjalanan berikut." Kalau masih belum cukup juga, maka dia berusaha menggaet sponsor. Yang paling sering maskapai penerbangan Air Canada.
Sebagai ilustrasi, di Jepang Pat dimodali sponsor dari ujung kepala sampai ujung kaki misalnya oleh Adidas, Sierra Design, Kelty - produsen pakaian dan alat pendakian. Penginapanpun dibantu surat sakti dari Yama-kei, penerbit majalah pendakian terkemuka negeri sakura itu. Atau lebih gila lagi, sampai ke soal makananpun dari sponsor!
Dengan daftar pendakian begitu panjang, harap maklum kalau Pat memiliki banyak teman di berbagai negara. Kalau berniat mendaki di sebuah negara, dia menghubungi temannya yang tinggal di sana. Kemudian sering dia menginap di rumah sang teman, makan di situ dan ditemani ke gunung yang dituju. Sebaliknya kalau teman-temannya mengunjunginya di Kanada, mereka juga diperlakukan serupa. "Ini alasan lain kenapa saya pakai istilah climbing bum.
Mereka punya teman di seluruh dunia yang bisa membantu mereka pergi ke sebuah gunung. Di kota kecil tempat tinggal kami saja paling tidak ada 50 - an pendaki terdiri dari professional guide dan climbing bum. Sosialisasinya menyenangkan. Dan anda tahu hampir di setiap kota sekarang ini ada pendaki gunung atau orang yang suka pergi ke alam terbuka. Kita seperti punya teman di mana saja," ujarnya. Di tahun 1986 bersamaan dengan pameran EXPO di Vancouver, Pat menemani alm. Norman Edwin, Adiseno dan Titus Pramono, teman-teman Indonesia-nya untuk mendaki Bugaboo Spire di Canadian Rockies. Begitu juga terhadap Ang Nima Sherpa yang membantunya dalam dua ekspedisi Everest. Persahabatan yang lahir dari atas gunung biasanya memang sudah teruji.
Soal pilihan antara mau terus mendaki atau hidup normal seperti kebanyakan orang, menurut Pat kultur di Indonesia, Kanada atau di manapun sama saja. "Kita selalu diharapkan oleh keluarga atau masyarakat untuk hidup normal. Masuk universitas, cari kerja, berkeluarga dan sebagainya. Dulu ayah saya memang tak pernah bilang tidak, tapi saya tahu dia lebih suka saya hidup seperti orang lain."
Sulit diterima akal sehat kalau ingin terus mendaki atau bertualang di alam terbuka tanpa kuatir rejeki seret. Apalagi untuk hidup dari situ! Bedanya di Eropa atau Amerika kecenderungan orang mencari nuansa kebebasan terasa lebih kuat. Salah satu caranya dengan mendaki gunung. Walaupun demikian, komitmen untuk hidup dari dan untuk mendaki boleh jadi cuma dimiliki para gembel gunung ini. "Itu memang pilihan yang berani dan butuh kerja keras, tapi nyatanya banyak kok yang lebih gila dari saya," katanya. Pun, Chris Bonington, pendaki, penulis buku, fotografer sekaligus pemimpin ekspedisi terkenal asal Inggris pernah melepas kesempatan jadi pelatih manajemen di perusahaan multinasional Unilever. Dia menyatakan, "I choose to climb !"
Pat tidak menutup mata dengan kenyataan cuma segelintir orang jadi kaya karena mendaki. Kalau orang kaya senang mendaki sih banyak. Kalaupun ada yang hidup makmur hasil mendaki, salah satu yang layak disebut adalah Reinhold Messner. Pendaki asal Tyrol, Italia selatan ini prestasinya selangit: orang pertama mendaki the all 14-eight thousanders atau 14 gunung diatas 8000 meter, mendaki Everet tanpa tabung oksigen, bahkan sekali secara solo. Messner yang juga membuka banyak jalur sulit di berbagai gunung ini pernah jadi model iklan jam tangan Rolex dan disponsori Fila - produsen pakaian olahraga. Kabarnya dia juga punya sebuah puri di Italia. Orang ini, kata Pat, enteng saja merogoh kocek membeli sebuah rumah seharga 200 ribu dolar untuk putrinya yang tinggal dekat Canmore, kota tempat tinggal Pat dan Baiba di Kanada.
Bukan Cuma MendakiPat dan Baiba yang berjumpa pertama kali di Canadian Rockies sekitar tahun 1983 dan menikah setahun kemudian, sempat pula melakukan usaha sampingan. Selama tujuh tahun mereka bergabung dengan Adventure Network International (ANI). Perusahaan yang cikal bakalnya di Kanada tapi lalu berkantor di Inggris ini menjual jasa panduan teknis dan manajemen untuk ekspedisi petualangan ke Antartika, termasuk pendakian Vinson Massif. "Ada banyak perusahaan sejenis tapi cuma ANI yang bisa menerbangkan kliennya dari Inggris masuk ke banyak bagian Antartika," katanya tanpa maksud promosi "tapi kami sekarang sudah tidak bergabung di sana lagi."
Pasangan pendaki di Canadian Rockies ini memang kadung menjadikan pendakian sebagai gaya hidup. Karena itu mereka jarang sekali melakukan latihan-latihan khusus kalau tujuannya cuma untuk menjaga kondisi. "Kami ini pemalas ha..ha..ha.. Kami tidak berlatih. Buat kami mendaki gunung itu untuk mencari kesenangan."
Ini dimungkinkan karena rumah mereka di Canmore dekat pegunungan bersalju. Kalau sedang tidak bepergian, setiap hari mereka hiking atau main ski selama beberapa jam. Kemudian kalau mau mendaki atau manjat tebing bersama di akhir pekan. Dengan cara hidup demikian tak heran kalau mereka sanggup bertahan lama di alam terbuka.
Kondisi fisik mereka terpelihara secara alamiah. "Tapi kalau pendaki yang tinggal di kota besar yang panas dan berada di dataran rendah seperti Jakarta ini, harus punya komitmen pribadi. Disiplin menjaga kondisi dengan jogging atau slow continuous run, misalnya, atau latihan lain. Beda dengan kami yang terbiasa hidup di gunung. Berat memang, tapi apa ada pilihan lain?," tanyanya.
Soal mendaki Pat lebih suka melakukannya dalam kelompok kecil. "Kalau anggota timnya banyak lebih besar kemungkinan terjadi kesalahan. Pergerakan juga jadi lambat. Dengan tim kecil selain gampang mengambil keputusan juga lebih cepat dan enjoy," alasannya. Untung dan kebetulan, istrinya juga pendaki. Setelah menikah dengan Baiba, Pat hampir selalu melakukan perjalanan bersama istrinya itu. "Kami jadi sebuah tim kecil dan saling berbagi pekerjaan. Biasanya dia yang membuat telpon-telpon mengurus perijinan, janji pertemuan, mengatur waktu atau bersama-sama membuat perencanaan," kata Pat mengenai Baiba yang juga partner jalan yang tangguh.
Tidak cuma mendaki, Pat juga senang trekking (jalan-jalan di pegunungan) karena lebih banyak yang bisa dilihat dan dipotret. Misalnya di Himalaya. "Suatu kali kami jalan kaki dari kaki Gunung Annapurna di Western Himalaya sampai kaki Everest selama tiga bulan. Sehari kami jalan antara 10-15 kilometer dan banyak hal menarik yang kami jumpai, misalnya budaya masyarakat sherpa. Kalau anda terlibat dalam pendakian Everest, seluruh perhatian anda terfokus ke sana. Pandangan jadi sempit. Padahal dekat situ banyak puncak-puncak lain yang meski tingginya hanya 5000 atau 6000-an meter tapi juga menawarkan pemandangan sangat indah."
Dari kegemaran trekking ini, di tahun 1991 Pat dan rekannya menulis Himalayan Passage. Kisah long journey-nya ke puncak-puncak 5000-an meter di sana. Selama tujuh bulan dia melintasi pegunungan sangat tinggi, lembah sangat curam dan udara sangat dingin itu. Transportasinya beragam: jalan kaki, mountain bike, bus atau menumpang truk. Hampir semua kawasan Himalaya dilewati mulai dari Tibet, Western China, Pakistan, Karakorum, India sampai Nepal.
Kegemaran lain yang biasa dilakukan Pat adalah turun gunung dengan ski. "Terasa lebih menarik dan exciting dibanding waktu naiknya. Padahal justru lebih sulit dan berbahaya juga," kata lelaki yang turun dengan ski dari ketinggian 7500-an meter di Gunung Muztagh Ata ini.
Apakah orang ini tak pernah merasa takut? "Rasa takut selalu ada. Kita tidak mungkin menghilangkannya sama sekali. Sesekali kita mesti memutuskan mundur, menuruti rasa takut itu," kata pria ini mengutip ucapan temannya. Lalu bagaimana perasaannya jika dalam sebuah pendakian seorang rekannya tewas seperti yang terjadi dalam ekspedisi Everest di tahun 1982 itu?
Setelah berpikir sejenak dia menjawab hati-hati, "Begini. Itu kira-kira sama saja jika sekali waktu anda dan teman-teman naik mobil bersama sepulang dari kantor. Begitu masuk jalan raya tiba-tiba sebuah truk besar 'nyelonong menghantam mobil itu sehingga teman anda yang duduk di jok belakang tewas seketika," jawabnya serius.
Agaknya Patrick Alan Morrow akan terus setia dengan komitmen pribadinya. Kisah petualangannya juga masih akan terus dinikmati banyak orang. Saat ditanya kapan akan berhenti pun dia bilang, "Saya tidak tahu. Kalau bisa mendaki terus. Toh pendaki-pendaki besar seperti Chris Bonington, Doug Scott atau Messner masih melakukannya saat umur mereka menjelang 60 tahun. Mereka memang tidak bisa dibilang kaya tapi saya yakin mereka bahagia dengan pilihan hidupnya. Uang bukan segala-galanya kan?" Wah! (Reynold Sumayku/M-527-UI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar