Tak ada yang menyangka kalo rumah di kawasan Jati Waringin ini, menyimpan begitu banyak harta karun. Rumah yang berada di pojokan dari 4 deretan rumah petak ini, terlihat begitu kumuh tak terurus. Tak tampak ada kehidupan disana. Hanya pagar setinggi satu meter dengan gembok yang telah berkarat plus sampah berserakan yang menghiasi halaman depannya.
Bagi masyarakat sekitar, rumah ini dikenal sebagai gudang barang-barang tua. Tapi, bagi Mukhlis, 65 tahun, rumah ini merupakan gudang harta karun tempat investasi yang bernilai tinggi, jika saja peminat barang-barangnya masih ada.
Siang itu, di sebuah kesempatan, kami mengunjungi tempat harta karunnya berada. Begitu pintu depan di buka, aroma pengap, pertanda rumah ini jarang ditempati segera akrab menyergap. Selain itu, jalinan jaring laba-laba dan beberapa ekor tikus yang bersileweran tampak menghiasi sudut-sudut ruangan.
Sejurus kemudian, kami mulai menyusuri ruangan sempit yang di kanan dan kirinya terdapat tumpukan harta karun. Harta yang mulai dikumpulkannya sejak 40 tahun silam, tampak tak teratur dalam kotak-kotak kaleng berbentuk bundar. Ya, ratusan gulungan film bioskop tempo doeloe (Indonesia dan Barat; red) dalam format 35 mm dan 16 mm, merupakan harta terpendamnya. Film tersebut masih tersusun rapi dalam boxnya. Sama seperti dulu, kualitas filmya gak berubah. Hanya kaleng sebagai pembungkusnya, terlihat mulai karatan.
Kondisi rumah yang sudah 10 tahun ini dijadikan gudang, tampak semakin memprihatinkan. Sejak kehilangan beberapa buah koleksi film berharganya, akibat di gondol maling, yang masuk dengan merusak sisi atas rumah. Mukhlis, mulai kehilangan semangat untuk memperhatikan koleksinya. “Abis, dengan raibnya beberapa koleksi tersebut aku jadi sangat kehilangan. Belum lagi kehadiran DVD dan VCD, membuat minat orang terhadap film-film lama (dalam format 35mm/ 16mm; red), sudah sangat jarang”, tuturnya sambil mencari beberapa koleksi film tuanya.
Awal kecintaanya terhadap film, ternyata dimulai saat dia berusia 7 tahun. Ketika itu, orangtuanya kerap mengajak mukhlis kecil untuk nonton film di bioskop. Format film yang saat itu masih bisu tanpa audio, menjadi salah satu keajaiban teknologi yang sangat menarik minatnya. Seiring perkembangan jaman, film-film berwarna dengan suara mulai mengganti film-film tadi. Keberadaan film tersebut pun, ternyata tak membuatnya perhatiannya bergeming. Dia malah semakin tergila-gila. Merasa takjub dengan hasil yang ditawarkan sebuah film, keinginan untuk mengoleksinya semakin besar. Sampai ketika dia punya segepok uang, niat untuk memiliki film-film tersebut mulai kesampaian. Satu persatu film-film favoritnya dibeli.
Karena biaya untuk membeli sebuah film ternyata cukup besar. Mau tidak mau dia harus punya cadangan uang yang cukup besar pula. Untung saja, profesinya sebagai seorang pelukis bisa mendukung hobi tersebut. Setiap ada hasil lukisan yang laku, selalu saja ada koleksi film yang berhasil diraih. Sampai lama kelaman, tak terasa koleksi filmya semakin banyak. Tak puas dengan jenis film format 35mm dan 16mm, film dengan format Betacam, VHS dan Laser Disc pun menjadi incaran berikutnya. Bahkan, bukan itu saja, ketika ada perusahaan film yang gulung tikar, dia pun akan memborong semua aset perusahaan, mulai dari poster, foto, proyektor sampe materi asli (negative: red) film tersebut. Sungguh, sebuah hobi yang tak tanggung-tanggung.
Hobi unik tersebut, ternyata tak selamanya mengeluarkan biaya. Ketika banyak stasiun televisi mulai menanyangkan film-film lama, keberadaan film-film tersebut semakin sulit ditemui. Kelangkaan tersebut, akhirnya menimbulkan peluang bisnis baru buat Mukhlis. Lima tahun belakangan ini, banyak kalangan tivi yang mencari koleksi film-film jadul (jaman dulu; red) miliknya. Dengan mengenakan biaya sewa, keuntungan yang di dapatkannya pun lumayan. Untuk setiap judul film, dia bisa meraih laba 3 juta rupiah. Menurutnya, keuntungan tersebut masih terlalu kecil dibanding keuntungan yang diraih oleh perusahaan yang memproduksi film tersebut. Sebab, dalam sekali penayangan, mereka (pembuat film; red) bisa menerima keuntungan 40 juta untuk royalty yang harus dibayar oleh sebuah stasiun televisi .
Dalam sebuah kesempatan, Mukhlis mengatakan sudah tak terhitung koleksi filmnya. Selain itu, jumlah kolektor film kuno seperti dirinya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan hanya berasal dari kalangan filmmaker yang telah bangkrut.
Berhubung banyak koleksi filmnya sudah tak terurus. Banyak teman-temannya mengusulkan, agar sebagian filmnya di hibahkan atau di jual kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap dokumentasi film Indonesia. TVRI dan SINEMATEK, contohnya. Ke tempat ini, sebagian koleksi-koleksi berharganya telah dia berikan dengan konpensasi harga yang tidak berimbang. “tapi………, dibanding busuk gak berbekas, filmnya lebih baik di jual murah, bukan?”, begitu ujarnya disebuah kesempatan.
Habis dari satu sudut ruangan, pindah ke sisi yang lainnya. Tapi, setelah 2 jam lebih membongkar-bongkar, film yang dicari tak kunjung ketemu. “Serangan Fajar”, itulah judul film yang dicari. Sebuah film yang dirilis pada tahun 1981, berisi tentang perjalanan seorang anak yang mencari keberadaan bapaknya di tengah peperangan yang terjadi kala itu. Bocah kecil itu merasa belum yakin kalo bapaknya sudah meninggal. Di film itu diceritakan, bahwa sang bapak telah meninggal di sebuah pertempuran. Proses pencarian itu, membuat sang bocah harus terlibat secara tak sengaja di banyak pertempuran. Sampai akhirnya Indonesia merdeka di tahun 1945. Dan, di penghujung film tersebut dikisahkan, kalo sang bocah –yang bernama Temon- berhasil merealisasikan cita-citanya sebagai seorang pilot tempur.
Balik ke tokoh kolektor film.
Mukhlis, yang punya hobi mengumpulkan film, akan selalu mencari film-film tua lainnya. Untuk itu, tak jarang dia akan hunting ke banyak tempat di Jakarta. Penjualan barang-barang antik, di jalan Surabaya, menjadi salah satu tempat favoritnya. Pasalnya, di tempat ini dia akan menjumpai begitu banyak barang antik yang ditawarkan, termasuk koleksi film-film tua. .
Sebenarnya, Mukhlis punya cita-cita untuk membangun sebuah tempat, yang mirip museum, guna menyimpan dan mengidentifikasi semua koleksinya. Tapi, lagi-lagi, masalah dana menjadi kendala terbesarnya. Sementara itu, pemerintah -yang harusnya punya inisiatif lebih untuk mengelola asset sejarah ini- seakan menutup mata. Sehingga, bukan tak mungkin, untuk mencari sebuah film produksi dalam negeri, kita akan kewalahan, karena keberadaannya yang sangat jauh di negeri seberang. Bukankah itu yang sering terjadi? Untuk mencari jati diri budaya sendiri, kita harus menemukannya di gedung-gedung museum negara lain. Dan, kita harus membayar lebih untuk itu. Sungguh, sebuah ironi yang memilukan.
Aku hanya berharap, semoga koleksi film-film kunonya, tak akan lekang oleh waktu. Semoga saja karat yang menggerogoti kaleng pelindung film tersebut, tak akan sampai menyentuh harta karun itu. “kalo di luar negeri, seorang kolektor film bisa kaya dengan semua koleksinya, beda dengan di Indonesia. Penghargaan terhadap sebuah karya seni yang punya unsur sejarah, sepertinya masih jauh dari harapan”, ujarnya lirih sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Bagi masyarakat sekitar, rumah ini dikenal sebagai gudang barang-barang tua. Tapi, bagi Mukhlis, 65 tahun, rumah ini merupakan gudang harta karun tempat investasi yang bernilai tinggi, jika saja peminat barang-barangnya masih ada.
Siang itu, di sebuah kesempatan, kami mengunjungi tempat harta karunnya berada. Begitu pintu depan di buka, aroma pengap, pertanda rumah ini jarang ditempati segera akrab menyergap. Selain itu, jalinan jaring laba-laba dan beberapa ekor tikus yang bersileweran tampak menghiasi sudut-sudut ruangan.
Sejurus kemudian, kami mulai menyusuri ruangan sempit yang di kanan dan kirinya terdapat tumpukan harta karun. Harta yang mulai dikumpulkannya sejak 40 tahun silam, tampak tak teratur dalam kotak-kotak kaleng berbentuk bundar. Ya, ratusan gulungan film bioskop tempo doeloe (Indonesia dan Barat; red) dalam format 35 mm dan 16 mm, merupakan harta terpendamnya. Film tersebut masih tersusun rapi dalam boxnya. Sama seperti dulu, kualitas filmya gak berubah. Hanya kaleng sebagai pembungkusnya, terlihat mulai karatan.
Kondisi rumah yang sudah 10 tahun ini dijadikan gudang, tampak semakin memprihatinkan. Sejak kehilangan beberapa buah koleksi film berharganya, akibat di gondol maling, yang masuk dengan merusak sisi atas rumah. Mukhlis, mulai kehilangan semangat untuk memperhatikan koleksinya. “Abis, dengan raibnya beberapa koleksi tersebut aku jadi sangat kehilangan. Belum lagi kehadiran DVD dan VCD, membuat minat orang terhadap film-film lama (dalam format 35mm/ 16mm; red), sudah sangat jarang”, tuturnya sambil mencari beberapa koleksi film tuanya.
Awal kecintaanya terhadap film, ternyata dimulai saat dia berusia 7 tahun. Ketika itu, orangtuanya kerap mengajak mukhlis kecil untuk nonton film di bioskop. Format film yang saat itu masih bisu tanpa audio, menjadi salah satu keajaiban teknologi yang sangat menarik minatnya. Seiring perkembangan jaman, film-film berwarna dengan suara mulai mengganti film-film tadi. Keberadaan film tersebut pun, ternyata tak membuatnya perhatiannya bergeming. Dia malah semakin tergila-gila. Merasa takjub dengan hasil yang ditawarkan sebuah film, keinginan untuk mengoleksinya semakin besar. Sampai ketika dia punya segepok uang, niat untuk memiliki film-film tersebut mulai kesampaian. Satu persatu film-film favoritnya dibeli.
Karena biaya untuk membeli sebuah film ternyata cukup besar. Mau tidak mau dia harus punya cadangan uang yang cukup besar pula. Untung saja, profesinya sebagai seorang pelukis bisa mendukung hobi tersebut. Setiap ada hasil lukisan yang laku, selalu saja ada koleksi film yang berhasil diraih. Sampai lama kelaman, tak terasa koleksi filmya semakin banyak. Tak puas dengan jenis film format 35mm dan 16mm, film dengan format Betacam, VHS dan Laser Disc pun menjadi incaran berikutnya. Bahkan, bukan itu saja, ketika ada perusahaan film yang gulung tikar, dia pun akan memborong semua aset perusahaan, mulai dari poster, foto, proyektor sampe materi asli (negative: red) film tersebut. Sungguh, sebuah hobi yang tak tanggung-tanggung.
Hobi unik tersebut, ternyata tak selamanya mengeluarkan biaya. Ketika banyak stasiun televisi mulai menanyangkan film-film lama, keberadaan film-film tersebut semakin sulit ditemui. Kelangkaan tersebut, akhirnya menimbulkan peluang bisnis baru buat Mukhlis. Lima tahun belakangan ini, banyak kalangan tivi yang mencari koleksi film-film jadul (jaman dulu; red) miliknya. Dengan mengenakan biaya sewa, keuntungan yang di dapatkannya pun lumayan. Untuk setiap judul film, dia bisa meraih laba 3 juta rupiah. Menurutnya, keuntungan tersebut masih terlalu kecil dibanding keuntungan yang diraih oleh perusahaan yang memproduksi film tersebut. Sebab, dalam sekali penayangan, mereka (pembuat film; red) bisa menerima keuntungan 40 juta untuk royalty yang harus dibayar oleh sebuah stasiun televisi .
Dalam sebuah kesempatan, Mukhlis mengatakan sudah tak terhitung koleksi filmnya. Selain itu, jumlah kolektor film kuno seperti dirinya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan hanya berasal dari kalangan filmmaker yang telah bangkrut.
Berhubung banyak koleksi filmnya sudah tak terurus. Banyak teman-temannya mengusulkan, agar sebagian filmnya di hibahkan atau di jual kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap dokumentasi film Indonesia. TVRI dan SINEMATEK, contohnya. Ke tempat ini, sebagian koleksi-koleksi berharganya telah dia berikan dengan konpensasi harga yang tidak berimbang. “tapi………, dibanding busuk gak berbekas, filmnya lebih baik di jual murah, bukan?”, begitu ujarnya disebuah kesempatan.
Habis dari satu sudut ruangan, pindah ke sisi yang lainnya. Tapi, setelah 2 jam lebih membongkar-bongkar, film yang dicari tak kunjung ketemu. “Serangan Fajar”, itulah judul film yang dicari. Sebuah film yang dirilis pada tahun 1981, berisi tentang perjalanan seorang anak yang mencari keberadaan bapaknya di tengah peperangan yang terjadi kala itu. Bocah kecil itu merasa belum yakin kalo bapaknya sudah meninggal. Di film itu diceritakan, bahwa sang bapak telah meninggal di sebuah pertempuran. Proses pencarian itu, membuat sang bocah harus terlibat secara tak sengaja di banyak pertempuran. Sampai akhirnya Indonesia merdeka di tahun 1945. Dan, di penghujung film tersebut dikisahkan, kalo sang bocah –yang bernama Temon- berhasil merealisasikan cita-citanya sebagai seorang pilot tempur.
Balik ke tokoh kolektor film.
Mukhlis, yang punya hobi mengumpulkan film, akan selalu mencari film-film tua lainnya. Untuk itu, tak jarang dia akan hunting ke banyak tempat di Jakarta. Penjualan barang-barang antik, di jalan Surabaya, menjadi salah satu tempat favoritnya. Pasalnya, di tempat ini dia akan menjumpai begitu banyak barang antik yang ditawarkan, termasuk koleksi film-film tua. .
Sebenarnya, Mukhlis punya cita-cita untuk membangun sebuah tempat, yang mirip museum, guna menyimpan dan mengidentifikasi semua koleksinya. Tapi, lagi-lagi, masalah dana menjadi kendala terbesarnya. Sementara itu, pemerintah -yang harusnya punya inisiatif lebih untuk mengelola asset sejarah ini- seakan menutup mata. Sehingga, bukan tak mungkin, untuk mencari sebuah film produksi dalam negeri, kita akan kewalahan, karena keberadaannya yang sangat jauh di negeri seberang. Bukankah itu yang sering terjadi? Untuk mencari jati diri budaya sendiri, kita harus menemukannya di gedung-gedung museum negara lain. Dan, kita harus membayar lebih untuk itu. Sungguh, sebuah ironi yang memilukan.
Aku hanya berharap, semoga koleksi film-film kunonya, tak akan lekang oleh waktu. Semoga saja karat yang menggerogoti kaleng pelindung film tersebut, tak akan sampai menyentuh harta karun itu. “kalo di luar negeri, seorang kolektor film bisa kaya dengan semua koleksinya, beda dengan di Indonesia. Penghargaan terhadap sebuah karya seni yang punya unsur sejarah, sepertinya masih jauh dari harapan”, ujarnya lirih sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Hallo Mas, saya sedang cari film jadul, bisa berupa seluloid atau dalam bentuk VHS, BEta, boleh share no pak mukhlis yang dapat dihubungikah? terimakasih
ReplyDelete