Monday, August 07, 2006

"SeDIkIt cATaTan bUAt pENaRi ULaR"

Sudah 45 menit waktu yang terbuang, saat mengitari kawasan Ciganjur untuk kedua kalinya. Gang Murni, itulah tujuan kami. Menurut info yang diterima, gang tersebut berada tepat di depan gang Manggis. Sejurus kemudian, setelah bertanya kesana kemari, keberadaan gang Manggis, sebagai petunjuk arah orientasi berhasil kami lacak. Tapi anehnya, banyak orang di sekitar itu tak mengetahui keberadaan gang yang kami maksudkan. Untungnya, setelah meniti pandang lebih seksama, gang Murni -yang plangnya sudah dicat hitam-, akhirnya dapat kita temukan.

Setelah berbelok ke kanan di ujung gang, kita akan menemukan rumah kontrakan berderet tiga. Di rumah paling ujung inilah “Sang Penari Ular” bisa kita jumpai. Sedetik kemudian, seorang wanita berumur, berperawakan tegar, segera menyapa kami. Tuan rumah ini terlihat ramah dengan mempersilahkan kami masuk. “Sabar ya, Dila-nya (panggilan sang penari ular: red) sedang dandan”, begitu ujarnya sambil memperhatikan kami.

“Hallo, Kok cepat datangnya!”, sapa Dila yang telah selesai dandan. “ Iya neh! Abis takut, kita nanti telat!”, begitu ujar reporterku. Sejurus kemudian kami pun saling memperkenalkan diri. Rencananya hari ini, kami akan melakukan liputan tentang “penari ular”. Sebuah profesi yang sangat langka di jaman sekarang ini. Kalo gak salah ingat, aku pernah nonton liputan tentang penari ular, setahun lalu. Bedanya, kalo saat itu, aku melihat sang penari yang berusia belasan tahun. Sedangkan yang duduk di depanku ini adalah seorang wanita matang, yang punya hobi nari sejak 25 tahun lalu.

Karena tak konfirmasi sebelumnya, sang penari ular, ternyata telah siap-siap. Sebuah tas besar yang berisi peralatan dan perlengkapan manggung telah ready di depan pintu. “Begitu mas-mas datang, kita langsung berangkat, kan?”, begitu tanyanya pada kami. Mendengar itu, kami pun menjelaskan beberapa ritual pengambilan gambar yang harus dilakukan. Sebab untuk liputan tivi, sekuen menjadi hal wajib.

Akhirnya, setelah mendengar penjelasan itu, sang penari-pun mengerti. Dengan sedikit rasa malu-malu, dia masuk kembali ke dalam kamar. Di kamar itu, aku mulai mengabadikan semua aktiviatas berdandannya sebelum show. Bedak rias yang sebelumnya sudah tertata rapi di dalam tas kecil, harus di keluarkan kembali demi sebuah sekuen. Sekuen yang nantinya menjadi jalinan cerita itu sendiri. Tak terasa 25 menit waktu yang kuhabiskan untuk semua itu.

Awalnya aku gak terlalu peduli dengan sekeliling. Tapi, setelah melihat beberapa kejanggalan, aku pun mulai ngeh! Mulai dari hadirnya beberapa anak kecil, adanya seorang wanita tua –yang tak lain ibunya Dila sendiri-, keberadaan wanita paruh baya yang terlihat kekar, sampai kemunculan seorang wanita muda yang masih terlihat cantik.

Untuk keberadaan anak kecil tadi, di depan kami Dila gak mengakuinya sebagai anak. Apapun itu, aku gak ambil pusing. Hanya anehnya, di beberapa kesempatan sang anak sering memanggil mama terhadap Dela. Sekali lagi, apapun itu, aku gak akan ikut campur.

Dari semua itu, yang cukup mencolok adalah keberadaan wanita kekar tadi. Setelah kita bertanya dengan sangat sopan, akhirnya Dila mengakui, kalo wanita tersebut adalah kekasihnya. Kekasih yang masih dicintainya sama seperti 6 tahun lalu. “Susah sedih sudah kami lalui bersama”, begitu tuturnya. “Selain itu, dia sangat pencemburu, lho! Makanya mas-mas ini harus hati hati!”, ucapnya kemudian. Mendengar itu, kami pun semakin menjaga jarak. Takut ada missunderstanding nantinya. Selain itu, aku juga gak berani bertanya lebih jauh, tentang ikhwal kedekatan mereka, atau masihkan Dila suka terhadap lawan jenis. Rasanya tak etis, aku menanyakan semua itu. Sebab itu ruang privasi, yang tak seorangopun bisa mengusiknya. Bahkan ibunya sampai geleng kepala, mengapa semua ini bisa terjadi. Tapi, mau di bilang apa, sang penari sudah dewasa dengan umur kepala tiga. Saat dimana seseorang bisa menentukan yang terbaik buat dirinya.

Sedangkan, wanita muda yang terlihat sexy, yang muncul belakangan, ternyata menjadi anak asuh Dila. Dila, yang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai penari, mempunyai banyak anak asuh penari. Wanita tersebut, sebut saja “Rosi”, sudah 6 bulan ini bergabung dengan grupnya Dila. “Sweet Dencer”, begitu sebutan grup mereka. Grup penari ini, bersedia dipanggil untuk menari jika ada event-event tertentu, seperti lounching produk ataupun party-party. Sehingga, tak jarang keberadaan mereka di sebuah even, sangat gampang ditemui.

“Goo goo dance”, merupakan aliran tari mereka. Tapi, bukan tak mungkin mereka dapat melakukan tari kreasi yang lain. Kalo gak salah, goo goo dance, lebih dikenal di daerah hiburan malam, seperti diskotik dan cafe. Tarian yang di beberapa kesempatan menampilkan simbol erotisme, menjadi cirinya. Selain itu, seiring perkembangan jaman, tarian ini pun mulai berkembang kearah yang lebih berani. Streaptease, begitu nama bekennya. Tarian erotis yang diperagakan sang penari tanpa menggunakan sehelai busana, dipadu dengan gerakan yang mengundang syahwat, menjadi daya tariknya.

Selepas maghrib, kami pun bergerak menuju sebuah diskotik di daerah Kerawang, Bekasi. Karena lokasinya yang cukup jauh, tol merupakan jalur alternative terbaik untuk tiba disana. Diskotik ini dipilih karena “mami-nya” (istilah untuk induk semang: red) Dila menjadi menejer disana. Berdasarkan informasi yang kami terima, Dila mulai belajar tari ular dari sang mami beberapa tahun silam. Saat itu, Dila, yang dulunya takut ular, tiba-tiba berani memegang ular tanpa takut sedikitpun. “Abis, nyari pekerjaan susah sedangkan kebutuhan banyak! Mau gak mau nari ular pun harus kulakukan.”, ujar Dila di sela-sela pembicaraan.

Setibanya di diskotik, yang aku lupa namanya, suasana masih sepi. Hanya para pegawai yang terlihat lalu lalang menyiapkan sesuatu. Di tempat ini 2 jam waktu terbuang, hanya untuk menunggu kehadiran sang mami. Ular yang akan dipakai untuk menari juga belum kelihatan. Pasalnya, ular tersebut akan dibawa oleh sang mami.

Untuk memecah kebekuan karena tak melakukan apapun. “Ada baiknya Dila latihan dulu, deh! Biar nanti gerakannya terlihat bagus dan gak grogi”, ucapku. “Boleh juga, tuh!”, ujarnya menimpali. Sejurus kemudian, di atas panggung berukuran 5x10 m, Dila mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sungguh, sebuah gerakan yang sangat indah. Tak henti-hentinya aku mengguman takjub atas tariannya. Sepertinya, ada kesan anggun, sexy, indah dan mistis dalam setiap gerakannya. Apalagi saat sorotan lampu mengarah padanya, sebuah imaji siluet tersaji indah di dinding ruangan.

Untuk musik pengiring, Dila memilih irama padang pasir/ Arabian. Menurutnya, musik tersebut sangat cocok, karena alunannya enak untuk dibawa bergoyang. Selain itu, temponya yang kadang cepat dan kadang lambat, sangat ideal untuk menyesuaikan gerakan ular. “Biasanya setiap ular punya gerakan tersendiri yang harus diikuti dan harus disesuaikan dengan musiknya.”, ujar Dela sebelum latihan.

Tepat pukul 23.45 WIB, sang mami yang ditunggu-tunggu, akhirnya muncul. Badannya yang terlihat mulai mengembang, dengan riasan seadanya, tak meninggalkan sisa-sisa kecantikan masa lalu. Awalnya sang mami, yang ternyata janda ini, terlihat angkuh dengan kehadiran kami. Tapi setelah lama berdialaog, suasana pun mulai berubah cair. Di sebuah kesempatan, sang mami, masih terlihat lincah memegang ular sanca peliharaannya. Dan, bukan itu saja, untuk mendekatkan dirinya dengan binatang melata tersebut. Sang mami sering memasukkan kepala ular ke dalam mulutnya. “biar jinak dan tidak galak!”, begitu ujarnya.

Selepas dandan ulang plus menggunakan kostum ungu kebesarannya, Dila –sang penari ular-, terlihat mulai akrab dengan ular sang mami. Karena ular tersebut bukan miliknya, sebuah pengakraban, wajib dilakukan. Mulai dengan mengelus-elus kepala dan badan ular, sampai melilitkan di tubuh, menjadi ritual yang harus dilakukan. “Setiap ular, punya kebiasaan sendiri-sendiri.”, ujurnya. Sejurus kemudian, dila pun mulai berlatih menari dengan ular tersebut. Berhubung ularnya sangat berat (±30kg; red), setiap gerakan yang dilakukan membuatnya terasa lambat. Selain itu lilitannya yang sangat kuat, sering menjadi kendala yang menyulitkan dalam menari.

Saat jam menunjuk angka 00.15 WIB, sang penari ular pun segera bergegas. Dandanan seksi dengan aksesori mahkota dan ular yang melilit di perut, pertanda semua telah siap. Seiring alunan musik Arabian, secara perlahan Dila mulai memasuki panggung. Sejurus kemudian Dila mulai meliuk-liukkan tubuhnya, yang di tingkahi riuh rendah para pengunjung yang takjub dengan aksi panggungnya. Saat sebuah gerakan sulit dilakukan, tak henti-hentinya tepukan tangan segera menyambut. Sumpah! Gerakan-gerakan itu emang indah. Kebayang kan, gimana susahnya menari sambil membawa ular seberat 30kg. Tapi, namanya emang penari professional, semua itu bukan penghalang baginya.

Walau sudah lama tak menari ular, energi Dila ternyata masih cukup besar. Ini terbukti, saat dia bisa menari mengikuti 2 buah lagu selama 7 menit. Sudah delapan bulan ini, dia tidak menari ular, karena tak ada orderan. Penampilan terakhir yang dia lakukan adalah saat nampil di sebuah acara televise swasta. Saat itu, dia hadir sebagai bintang tamu plus pengisi acara.

Malam itu, setelah pengambilan gambar dirasa cukup. Kami pun segera bersiap-siap pulang. Rasanya, lengkap sudah pemahamanku tentang penari ular. Di tengah-tengah jaman yang semakin gegap gempita, gemerlap sang penari ular pun semakin redup. Sebab, kehadirannya hanya sebatas acara-acara tertentu yang penontonya tak terlalu banyak. Tarian goo goo dance ataupun streaptease, sepertinya lebih diminati orang sekarang ini. Walau ingin menari ular sampai tua, Dila tak bisa menjamin sampai kapan tarian ini bisa bertahan. Dia hanya berharap, semoga masih ada generasi yang mau diajari untuk menari ular.



No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN