Tuesday, August 01, 2006

".. mENcoBa wISatA dI sAAt...."

Sedetik kemudian, sang satpam yang kelihatan galak, mulai menghentikan mobil kami, ketika tiba di pintu raksasa, yang berupa gapura candi. Busyet, mungkin karena kali ini tidak menggunakan mobil batik (logo TRANS: red), mereka -para satpam dengan seragam hitam-hitam yang melebihi gegana- terlihat serius memeriksa setiap kendaraan yang masuk, termasuk kendaraan kami. Padahal, jika menggunakan kendaraan sakti tersebut, kita selalu lancar saat melakukan peliputan. Untungnya, saat kita menyebut nama seorang menejer, yang kebetulan menjadi narasumber kali ini, semuanya pun menjadi lancar.

Tujuan peliputan kami kali ini adalah “Kebun Mekar Sari”, yang terletak Jl. Raya Cileungsi-Jonggol Km.3. Rencananya di tempat ini kami akan meliput tentang profesi pawang tanaman, yang sering melakukan penyilangan untuk mendapatkan bibit unggul. Kebun buah dengan luas ±127 ha ini, ternyata masih dimiliki oleh keluarga cendana. Saat ini kepemilikannya dipegang oleh putri bungsu, mantan orang nomor satu di negeri ini (Soeharto: red)

Perjalanan pun dilanjutkan meniti jalanan aspal ke arah selatan, sampai akhirnya tiba di sebuah telaga kecil yang diseberangnya berdiri sebuah gedung tinggi yang dibelah oleh air terjun, yang lebih terkenal dengan sebutan “Bangunan Air Terjun”. Konon gedung ini, merupakan bangunan air terjun tertinggi di dunia. Kalo gak salah, tingginya kurang lebih 30 meter, terdiri dari 7 lantai. Di bangunan inilah semua kegiatan operasional perusahaan dikendalikan.

Bagi orang awam seperti kami, perjalanan ke udara terbuka seperti ini, selalu memberikan kesan tersendiri. Rasanya sudah cukup lama kami berkutat dengan deru knalpot, sisa pembakaran di dapur-dapur warga dan asap pabrik. Ini yang membuat cuaca Jakarta dari hari ke hari semakin panas, akibatkan efek rumah kaca. Kalo gak salah, kejadian itu terjadi saat semua bahan-bahan polutan tadi terakumulasi di udara.

Sejak awal perjalanan, udara segar khas dataran rendah plus rimbunnya tanaman buah di kiri kanan jalan segera menyapa. Sudah tak terhitung lagi berapa jenis tanaman buah yang sudah dilewati, sebelum akhirnya kami tiba di tempat pembibitan, yang sering disebut “Nursery”. “Kurang lebih 1400 jenis tanaman buah yang dibudidayakan di tempat ini, itupun belum termasuk jenis tanaman bunga dan tanaman obat”, begitu penuturan kang Junaidy, salah satu staff di tempat ini.

Di tempat pembibitan, kami akan meliput persilangan antara nangka dan cimpedak, yang akan menghasilkan sebuah varietas baru, dikenal dengan nama “NangkadaK” (Nangka Cimpedak). Kami memilih topik ini, karena tanaman ini masih langka dan keberadaanya belum diketahui banyak orang. Selain itu, rasa buah yang dihasilkan merupakan perpaduan dua tanaman tersebut.

Seperti biasa, sebelum mengambil gambar, kita (reporter dan kameramen; red) selalu melakukan diskusi, perihal cerita apa yang akan diangkat dari sumber tersebut. Akhirnya kita bersepakat untuk membuat liputan tentang profesi sang pawang, mulai dari pemilihan bibit, penyerbukan, persilangan sampai panen buah. Kelihatannya sih gak terlalu sulit. Tapi, bahasa lisan dan tulisan gak segampang bahasa gambar. Selain karena lebih ribet, sekuen menjadi hal wajib yang harus diperhatikan. Sikuen merupakan urutan peristiwa, yang akan menjadi rangkaian cerita. Sehingga sekuen gambar dan sekuen story, menjadi satu kesatuan yang gak bisa di pisahkan.

Dengan sedikit berkeringat, akhirnya aku dapat menyelesaikan peliputan di lokasi tersebut. Tak sadar, sudah 2 jam waktu tersita, ketika kita menyelesaikan wawancara terakhir, tepat saat posisi sang surya telah mulai bergesar ke ufuk barat. Seperti biasa, setiap memulai pengambilan gambar perasaan malas selalu datang menggoda. Mungkin karena lokasi yang cukup jauh plus kurang tidur semalaman. Tapi, yang namanya kerjaan, mau gak mau harus segera dilakukan, kalo gak, akan berantakan nantinya. Trus, hasilnya pun pasti kelihatan jelek (tidak maksimal: red). Itu yang aku alami dulu, saat melakukan peliputan dengan perasaan yang tidak tenang.

Sejurus kemudian, kita diajak makan siang di sebuah resto siap saji (KFC; red), tepat di samping gedung pusat informasi. Bagi para pengunjung, tempat ini merupakan entry point untuk pergi ke beberapa wahana (lokasi wisata; red) yang ditawarkan. Ternyata makan siang di tempat ini cukup asyik, karena lokasinya yang terbuka dengan beberapa buah meja yang tertata rapi. Dari sini kita dapat melepas pandang keseluruh penjuru.

Rencananya kita akan segera balik ke kantor, tapi sang narasumber menawarkan untuk mengikuti paket tour yang ada disini. Berhubung kami belum pernah berkeliling kawasan, rasanya tawaran menarik itu sayang untuk dilewatkan. Dengan menumpang kendaraan tour, berupa mobil kereta 2 gerbong, perjalanan menjelajahi kebun raksasa ini pun di mulai. Laju kereta dengan tempo lambat, membuat pengunjung seperti kami dapat menikmati pemandangan yang tersaji di kanan dan kiri jalan. Sudah tak terhitung lagi banyaknya jenis tanaman buah yang kami lewati, dan semuanya itu termasuk jenis tanaman yang sukar ditemui.

Di kesempatan kali ini, layaknya pengunjung, kami ditemani oleh seorang guide, yang akan menerangkan semua hal tentang kawasan ini, mulai dari sejarah, jenis tanaman, sampai fasilitas apa saja yang bisa kita temui selama tour. Tujuan pertama kali ini adalah “kebun wisata Melon”. Lokasinya yang agak ke barat, memaksa kita mengikuti jalanan dengan arah berkelok-kelok. Secara detil aku gak hafal jalurnya, tapi kalo tersesat, aku masih tahu orientasi arah pulangnya. Maklum, dulu aku menguasai peta kompas!

Tak terasa, hanya 7 menit waktu yang dibutuhkan untuk tiba disana. Dari pintu depan kita langsung di bawa ke sebuah rumah kaca, tempat pembibitan dan perbanyakan melon dilakukan. Disinilah, kita dapat melihat bagaimana pembiakan melon dilakukan. Masa tumbuh sampai panen buahnya ternyata tidak lama. Dalam waktu 3 bulan, kita sudah dapat memetik hasilnya. Ini yang membuat tanaman ini selalu dapat ditemui. Para pengunjung yang ingin membeli melon segar sebagai oleh-oleh, dapat memesannya disini. Hanya dengan uang Rp. 10.000, buah melon ukuran 1 kg sudah bisa di bawa pulang.

Selanjutnya kita dibawa berkeliling ke arah Barat Daya, tepatnya ke “kebun wisata Belimbing”. Di tempat ini kita akan menjumpai ratusan bahkan ribuan pohon belimbing dalam aneka varietas. Walau sudah dijelaskan sang guide, aku tetap lupa jenis varietasnya. Maklum, aku gak terlalu memperhatikan waktu dia menjelaskan tadi. Tapi aku bisa tahu dari bentuk/ morfologi buahnya. Kalo gak salah, jenis belimbing yang berwarna merah kekuningan, merupakan primadona tempat ini, karena bentuk buahnya yang besar dan manis rasanya. Disini kita pun akan menemukan banyak buah belimbing yang belum masak, dibungkus kertas Koran. Gunanya untuk menjaga kualias buah tetap baik. And, buat pengunjung yang ingin membeli, cukup merogoh kocek Rp. 8000 untuk setiap kilonya. Berhubung tanaman ini selalu berbuah sepanjang tahun, pemanenan bisa dilakukan setiap hari. Sehingga tak heran jika keberadaan buah ini selalu ada.

Selepas dari tempat tadi, tujuan selanjutnya adalah “kebun wisata salak”. Lokasi ini berada tepat di seberang kebun Belimbing tadi. Arah jalannya yang berbentuk daun Lantorogung, membuat kita harus berputar-putar untuk tiba disana. Disain jalan mengambil bentuk daun Lantorogung, menjadi ciri khas kawasan ini. Mungkin karena filosofi Lantorogung yang multiguna, menjadi inspirasi dan cita-cita yang ingin dicapai kawasan ini. Idealnya, kawasan ini harus bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Di kawasan kebun salak ini, tak terlalu banyak salak yang ditawarkan. Pasalnya bulan panennya belum datang. “ntar, dua bulan lagi baru panen besar”, begitu penuturan seorang pegawai yang menjaga tempat ini. Karena terobsesi dengan salak berukuran besar, aku tak menyangka kalo salak di tempat ini bentuknya kurang menggairahkan, alias rada kecil. Untung rasanya yang manis bisa mengobati kerinduan tadi. Ditempat ini pun, para pengunjung masih bisa membawa pulang buah salak sebagai cinderamata, cukup dengan membayar Rp.10.000 per setiap kilonya.

Puas, berkelana ke kebun yang masih berbuah. Kini, tujuan selanjutnya adalah telaga, tempat terakhir tujuan pengunjung untuk melepas lelah sebelum mengakhiri semuanya. Kalo gak salah luas telaga ini sekitar 10 ha. Untuk keperluan pengembangan kawasan, sekarang telaga ini sedang mengalami perluasan dan pendalaman. Untuk perluasan sedang dikeruk sekitar 10 ha lagi. Dan untuk pendalaman, sedang diadakan penggalian sejauh 20 m. Sungguh, sebuah telaga yang cukup besar. Akhirnya, untuk melepas lelah, tak ada salahnya kita rehat sejenak di salah satu foofcourt yang banyak ditemui di sepanjang pinggir telaga. Sehingga para pengunjung yang ingin melepas lelah lebih lama, dapat menikmati suasana tempat ini, tanpa perlu khawatir, akan ketinggalan kereta. Pasalnya setiap 5 menit sekali kereta akan singgah di sini. Hanya saja, waktu kereta yang sampai jam 5 sore perlu menjadi pertimbangan, sebab kalo tidak, kita akan ketinggalan. Gak aneh kan, kalo sampe ketinggalan kereta! Uh…, capek pastinya.

Wah, lengkap sudah penjelajahan kali ini! Disela-sela waktu liputan, aku masih bisa memenuhi hasrat bathin tuk berwisata. Mungkin ini lah sisi lain pekerjaanku, yang gak ada di profesi lain. Sebuah pekerjaan yang menawarkan segudang pengalaman di banyak tempat. Tapi, jauh dari semua itu, aku rindu agar keluargaku bisa menikmati semua yang pernah aku rasakan. Sebab mereka juga butuh liburan dan wisata. Semoga kita bisa melakukannya bareng-bareng!


No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN