Selasa, Februari 06, 2007

"BaNjIr, SaLaH SiApA"

Banjir besar yang melanda Jakarta pada awal Februari tahun ini, disebut banyak kalangan sebagai “siklus lima tahunan” yang konon lebih besar ketimbang banjir 2002 lalu. Betulkah luapan air tersebut tidak bisa diminimalisir, sehingga kita harus pasrah terhadap bencana yang terjadi? Atau, begitu burukkah sistem penataan ruang kita?

Banyak pihak yang mengatakan, Jakarta tidak mungkin bebas dari ancaman banjir. Tapi tak sedikit yang berpendapat, bahwa bahaya banjir bisa diminimalisir, jika kita memahami persoalan yang terjadi. Beberapa cara pemecahannya adalah dengan pembuatan dan pemanfaatan saluran/ kanal yang ada, penataan ruang, pemanfaatan ruang terbuka hijau, serta relokasi penduduk di sepanjang bantaran sungai.

Berdasarkan data, buruknya kondisi di daerah hulu, disebabkan oleh maraknya penggundulah hutan serta penambahan pemukiman penduduk yang kini merambah hingga di kawasan resapan air. Saat hujan turun, air yang harusnya bisa diserap oleh tanah dan tumbuhan, justru mengalir ke sungai. Tak ada lagi yang bisa menahan. Ini yang menjadi penyebab terjadinya banjir.

Kawasan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hijau telah berganti fungsi karena tuntutan ekonomi. Fungsi konservasi lingkungan tak lagi diperhatikan.

Data yang dihimpun LAPAN (Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional) menunjukkan, bahwa kawasan terbangun, yang dijadikan pemukiman maupun industri, terjadi peningkatan dua kali lipat hanya dalam tempo 14 tahun. Kalau di tahun 1992, kawasan terbangun baru 101.363 Ha, maka pada tahun 2006 menjadi 225.171 Ha. Sebuah angka yang begitu fantastis. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi 10 tahun lagi. Mungkin tak ada yang tersisa!

Pemanfaatan saluran Banjir Kanal Timur dan Barat

Jakarta dengan luas ± 64.000 Ha secara geomorfologis termasuk dataran rendah dan dilalui 13 sungai, yaitu Sungai Cakung, Jatikramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Angke, dan Mookervart. Curah hujan tahunan pun cukup tinggi antara 2.000-3.000 milimeter dengan daerah pengaruh pasang surut laut mencapai 40 persen dari luas wilayah. Dengan kondisi ini wajar bila Jakarta menjadi daerah rawan banjir, apalagi jika hujan turun 2-4 hari berturut-turut.

Saat dicanangkan 10 Juli 2003, Banjir Kanal Timur (BKT) dengan panjang 23,6 Km, dianggap sebagai salah satu solusi mengatasi ancaman banjir, selain Banjir Kanal Barat yang kini kondisinya sangat memprihatinkan akibat timbunan sampah.

Banjir Kanal Timur direncanakan menampung lima aliran sungai yang sering menimbulkan banjir, yakni Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Banjir Kanal Timur pun dibangun membentang dari dari kawasan Kebon Nanas, Pondok Bambu, Cakung, Ujung Menteng, hingga Marunda, Jakarta Utara, yang pelaksanaannya diharapkan selesai pada tahun 2010. Selain fungsi utamanya sebagai pengendali banjir di Jakarta, rencananya kanal ini akan dimanfaatkan sebagai salah satu sarana transportasi air.

Penggalian kanal yang akan melintasi 4 kecamatan dengan catchment area atau daerah tangkapan air seluas 20.125Ha, ternyata tak berjalan mulus. konsep pembangunan Banjir Kanal Timur, dengan lebar rata–rata 100 meter, dan kedalaman 3 - 7 meter ini, berencana memadukan aspek keindahan, dan kebersihan.

Namun sayang, pembangunan Banjir Kanal Timur mengalami hambatan, terutama dalam hal ganti rugi lahan milik warga. untuk ganti rugi dialokasikan dana 2,4 trilyun rupiah yang diharapkan selesai pada tahun 2007, ternyata tidak membuahkan hasil. Kabarnya DPRD pun belum menyetujui anggaran tahapan pembangunan kanal yang berikutnya

Dari 13 kelurahan yang dilalui Banjir Kanal Timur, ternyata tidak semua warga mendapat ganti rugi, padahal mereka sangat sepakat dengan pembangunan kanal ini. Apalagi mereka sadar manfaatnya. Sepengetahuan mereka, dana ganti rugi itu sudah turun, tapi mengapa mereka belum menerimanya. Hanya pihak proyek dan Tuhan yang tahu! Ini yang membuat sebagian dari mereka masih bertahan. Sedangkan masyarakat yang sudah menerima, langsung pergi menuju lokasi baru.

Sedangkan Banjir Kanal Barat membentang dari Kapuk Muara, Petamburan, Karet Tengsin sampai Manggarai, Jakarta Selatan, dengan panjang ±17 Km. Keistimewaannya, Banjir Kanal Barat telah ada sejak 100 tahun lalu, dibuat oleh Belanda untuk mengendalikan banjir di Jakarta, yang rencananya juga akan dimanfaatkan sebagai jalur transportasi air.

Sayangnya, sebagian Banjir Kanal Barat dengan lebar 100 meter ini, kondisinya kotor dan banyak sampah. Terutama di kawasan Teluk Gong, Jakarta Barat. rumah-rumah yang berdiri di pinggirnya juga tidak tertata rapi.

Kelak, Banjir Kanal Barat akan bertemu dengan Banjir Kanal Timur bila proyek tersebut selesai dibangun. Namun jika melihat kondisi Banjir Kanal Barat yang penuh sampah, tidakkah Banjir Kanal Timur akan mengalami nasib serupa? Jangan-jangan malah makin parah. Semoga saja tidak!

Dan, jika melihat sungai-sungai di Jakarta yang airnya hitam dan bau, mungkinkah kanal bisa menjadi sarana transportasi? Pun, jika Banjir Kanal Timur menjadi alternatif pengendali banjir, warga Jakarta masih harus menunggu hingga tahun 2010. Sebuah penantian yang cukup panjang tentunya.

Penataan Ruang

Ketika banjir datang sebagai bencana, tudingan kerap muncul pada penataan ruang yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam UU Penataan Ruang, penataan ruang definisikan sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang pada dasarnya mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya.

Kebutuhan akan penataan ruang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari banyaknya masalah yang timbul dalam pembangunan. Perkembangan pesat dalam berbagai sektor perlu diakomodasik dalam ruang, sehingga pembangunan yang terarah lokasinya diharapkan memberi hasil yang optimal dan lebih baik bagi wilayah secara keseluruhan.

Dalam kaitannya dengan rencana tata ruang, DKI Jakarta telah menjalani 3 kali rencana tata ruang. Pertama, pada tahun 1965 – 1985, yang biasa disebut “Rencana Induk”. Kedua pada tahun 1985 – 2995. Dan terakhir, Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010, yang disahkan dalam Perda No. 6 tahun 1999. Sebelum tahun 1965, Jakarta tidak memiliki rencana tata ruang. Pasalnya, pada waktu itu Indonesia belum memiliki ahli tata ruang kota. Selanjutnya, seiring waktu, rencana induk mulai disusun. Tapi, pelaksanaan di lapangan sering berubah, karena rencana hanya manjur diatas kertas.

Kemapuan untuk menyediakan semua prasarana, ternyata tidak sanggup mengimbangi migrasi penduduk ke Jakarta yang begitu besar. Maka timbullah berbagai masalah kota, mulai dari kemacetan, penyakit DBD dan Flu Burung, permasalahan sampah, sampai banjir.

Hanya saja, semua masalah tadi tidak serta merta jadi pembenaran, bahwa telah terjadi kesalahan dalam tata perencanaan kota. Jika terjadi kesalahan, itu mungkin karena ketiadaan sanksi hukum bagi para pelanggar, yang tentunya bertentangan dengan perencanaan yang dibuat. Dan umumnya ini terjadi karena adanya ijin dari pihak pengelola kota.
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau

Kabar terbaru menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) ibukota tinggal 9,38%, jauh di bawah batas minimal yang harusnya di pertahankan sebesar 30% dari total luas wilayah. Bahkan yang paling menyedihkan, kantong air seperti danau, rawa dan situ, kondisinya kini tinggal 2,96% saja, yang seharusnya berada diatas 20%.

Jakarta Selatan contohnya, dari hasil pengindraan satelit ditemukan terjadi perubahan yang sangat signifikan. Kalau dulu di tahun 1973, luas lahan terbangun hanya 8,21%. 20 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2002, luas lahan terbangun telah mencapai 72,03%. Luas lahan terbangun ini yang terus mempersempit ruang terbuka hijau. Kalau sudah begini, riskan mempertahankan wilayah Jakarta Selatan, sebagai daerah resapan air, sesuai dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta, yang dikenal sebagai “Jakarta 2010”.

Selain itu, setiap tahun Pemerintah Propinsi DKI Jakarta mengalokasikan anggaran pengendalian banjir dalam jumlah yang tak sedikit. Tahun 2002 saja, Pemda menganggarkan 223,82 milyar rupiah. Sedangkan pada tahun 2006, anggaran penanggulangan banjir meningkat mencapai 306,37 milyar rupiah. Angka ini terus bertambah pada tahun 2007, yang jumlahnya mencapai 391,05 milyar rupiah.

Sebuah angka yang cukup besar tentunya. Seandainya permasalahan klasik ini bisa diselesaikan. Alangkah bermaknanya besaran tersebut jika dialokasikan untuk bidang lain yang lebih penting, seperti; pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan usaha kecil koperasi.

Mengingat Jakarta memiliki 40% wilayahnya lebih rendah dari permukaan laut sewaktu air pasang, serta Jakarta sebagai lintasan belasan sungai. Perlu dipikirkan kembali pembangunan kota yang cenderung mempersempit ruang terbuka hijau, seiring penyadaran tingkah laku masyarakat, serta penegakan hukum yang jelas bagi mereka-mereka yang telah merusak alam. Pasalnya, kita butuh tindak nyata, bukan saling menyalahkan ataupun mempertanyakan, mengapa semua ini terjadi?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN