Jumat, Februari 09, 2007

"JaKaRTa, KoTa PeSaKiTaN"

Saat banjir menggenangi 70% kawasan ibukota awal februari ini, tak terhitung banyaknya kerugian yang dialami masyarakat Jakarta. Menurut data, selain kerugian materi sebesar 3 triliun lebih, sedikitnya 55 nyawa melayang akibat bencana ini. Kebanyakan korban meninggal, karena terlambatnya pertolongan.

Umumnya korban terserang penyakit karena lingkungan yang tidak memadai. Dari komposisi pengungsi, kebanyakan anak-anak dan usia lanjut yang diserang bermacam penyakit, seperti; Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), leptospirosis, gatal-gatal dan radang sendi. Biasanya anak-anak yang terserang penyakit akibat terlalu lama berendam dan bermain air. Sedangkan bagi pengungsi lanjut usia, faktor usia dan daya tahan yang makin melemah, membuat bibit penyakit gampang menyerang.

Buruknya sistem sanitasi dan kebersihan diri, membuat bibit penyakit gampang masuk. Bak jamur di musim penghujan, penyakit tersebut mulai menyerang warga Jakarta. Dari 316.825 jiwa pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah Jabodetabek, sedikitnya 27.381 pengungsi dalam keadaan sakit (kompas, 7’02’07). Hal ini setara dengan 8-9 orang yang terjangkit penyakit dalam 100 orang penduduk. Sungguh jumlah yang sangat mengkhwatirkan jika tak segera ditangani.

Maraknya penyakit yang menyerang warga ibukota, ibarat fenomena gunung es. Tak kala sejumlah kasus muncul kepermukaan, ini pertanda bahwa perkembangan penyakit yang belum ter-ekspose jauh lebih besar. Hal ini diakibatkan masih enggannya masyarakat menuju posko kesehatan untuk memeriksakan kesehatan mereka. Namun, jika kondisinya makin parah, barulah mereka menuju pos kesehatan terdekat.

Berdasar data yang dihimpun Dinas Kesehatan DKI Jakarta, diketahui jumlah pengungsi yang paling banyak terserang penyakit terdapat di Jakarta Barat sebanyak 5.740 pasien. Kemudian disusul Jakarta Timur 1.849 pasien, Jakarta Selatan 1.820 pasien, Jakarta Pusat 1.820 pasien, dan Jakarta Utara 1.383. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa jakarta sangat rawan penyakit. Artinya, penyakit telah menjadi momok yang semakin mengerikan, yang harus menjadi perhatian serius. Sebab, jika tidak ditangani, pastilah penyakit tersebut akan menjalari orang-orang disekeliling. Dampaknya semakin sulit dihentikan.

Untunglah pemerintah dibantu berbagai pihak cepat tanggap dengan mendirikan posko-posko kesehatan 24 jam, sejak banjir melanda beberapa hari lalu. Dengan penanganan ini, diharapkan kondisi para pengungsi segera membaik. Meski demikian, tidak serta merta kondisi pasien pulih. Pasalnya, kebersihan diri, kebersihan lingkungan dan pola makanan yang sehat menjadi faktor penting yang harus diperhatikan.

Selain itu, yang tak kalah penting, pemerintah kota dan masyarakat harus punya kesadaran untuk membenahi serta memutus mata rantai perkembangan sumber penyakit. Jika tidak dilakukan dalam waktu singkat, di khawatirkan Jakarta akan berubah menjadi kota pesakitan, tempat berkembangnya berbagai penyakit yang mengancam para penghuninya.

Sulit Dibenahi.

Jika diamati, sebagian warga jakarta berada di bawah garis kemiskinan. Kehidupan yang sangat kekurangan dengan tinggal di kawasan tidak sehat, seperti; kolong jembatan, gang sempit dan bantaran sungai, menjadi warna lain, bagi kota yang tengah bergiat mengejar hedonismenya.

Sudah jadi rahasia umum, betapa tidak sehatnya lingkungan masyarakat yang kini semakin terpinggirkan itu. Akibat tak mampu mengejar jaman yang selangkah lebih maju, seringkali mereka dianggap sampah; kutu-kutu pengganggu jalannya pembangunan. Pola pikir masyarakat yang memandang kesehatan bukanlah faktor penting, turut andil dalam memperburuk keadaan.

Seperti banjir bandang saat ini yang diakibatkan air limpahan dari Bogor, Depok dan Puncak, lingkungan warga semakin tak aman. Bahkan dalam hitungan jam, warga harus merelakan rumahnya yang rapuh habis tersapu derasnya arus sungai.

Saat wabah menyerang lebih luas, bisa dikatakan telah terjadi kurangnya koordinasi manajemen pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan manajemen pemeliharaan lingkungan kota. Secara umum, layanan kesehatan ditujukan bagi kesembuhan individu pasien. Sedangkan untuk mencegah penyakit si pasien agak sulit dilakukan, karena terkait jenis penyakit, karakteristik sosial warga, dan kondisi lingkungannya.

Di sisi lain, manajemen lingkungan kota lebih banyak berhias pada masalah teknis percantikan kota. Penataan kota lebih ditujukan pada lingkungan dan kalangan tertentu saja. Sementara pembenahan bantaran sungai, pengaturan pemukiman padat, perbaikan saluran air dan sampah, sebatas aksi awal tanpa ada kelanjutan, yang kemudian hilang seiring dengan pergantian musim dan berkurangnya jumlah pasien.

Sekedar melihat kebelakang, permasalahan sampah merupakan salah satu persoalan penting yang belum terpecahkan oleh pemerintah. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana sampah dari Jakarta sering ditolak, akibat tidak beresnya sistem kordinasi pihak-pihak yang terkait. Ditambah lagi, masih minimnya kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempatnya, merupakan salah satu pemicu banjir di kota ini.

Tindakan nyata hanya dilakukan jika telah jatuh korban dan mencapai kondisi kejadian luar biasa. Nyawa manusia yang terlambat diselamatkan, dipandang terlalu kecil untuk dimasukkan dalam ukuran statistik. Sehingga lambat laun, kota akan kehilangan potensi sumberdaya manusianya akibat penyakit.

Kegagalan demi kegagalan program, serta bertambahnya jumlah warga yang meninggal maupun dalam perawatan akibat berkembangnya wabah penyakit, tidak memberi banyak pelajaran bagaimana membangun suatu komunitas kota yang sehat dan bebas dari ancaman banjir. Kematian warga masih dianggap sebagai urusan pribadi dan keluarga. Sumber daya manusia dan besarnya investasi yang telah ditanamkan untuk mengembangkannya tidak pernah diperhitungkan.

Rawan Flu Burung

Penelitian terbaru menyebutkan, bahwa buruknya kondisi perairan pascabanjir karena bercampur dengan kotoran dan bangkai unggas sangat berpotensi menjadi media penyebaran virus flu burung. Ini terjadi, karena virus subkategori H5N1 penyebar flu itu mampu bartahan di air dalam rentang waktu sekitar 30 hari.

Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di daerah genangan air sangat rentan terhadap infeksi virus tersebut. Dari karakteristiknya diketahui, virus jenis ini memang tidak tahan terhadap panas, tapi bisa hidup cukup lama di dalam air.

Untuk itu, bagi masyarakat, terutama anak-anak, agar mengubah kebiasaan bermain ataupun beraktivitas di genangan air. Virus yang sangat mungkin berada di genangan air itu, akan menginfeksi tubuh melalui saluran pernafasan dan pencernaan.

Jika demikian halnya, pemerintah bersama-sama masyarakat kota harus saling bekerjasama untuk melakukan langkah sterilisasi pascabanjir. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembersihan, baik manual dengan cara membuang bangkai dan kotoran unggas maupun dengan menggunakan obat kimia. Sterilisasi itu harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh agar masyarakat benar-benar aman dari ancaman virus flu burung.

Pembenahan Sanitasi

Walau bebas biaya berobat di 80 RS telah diberlakukan bagi korban banjir, dengan menunjukkan surat rujukan dari ketua RT, tidak otomatis mereka akan mengalami kesembuhan. Bukan berarti pula penyakit tidak akan datang kembali.

Perbaikan sanitasi merupakan salah satu faktor pendukung kesehatan. Jika sanitasi tidak diperbaiki, akan semakin banyak korban yang jatuh sakit. Pasalnya, penyakit yang disebutkan diatas, akan datang dengan sendirinya. Lingkungan yang terendam banjir, sudah bisa dipastikan memiliki sanitasi yang buruk.

Dari sekian banyak indikator sanitasi, keberadaan toilet yang sehat -baik perorangan maupun umum- menjadi penting. Tetapi, dalam kondisi banjir seperti sekarang ini, bisa diprediksi sebagian besar toilet warga tidak berfungsi dengan baik.

Untuk itu, di beberapa lokasi pengungsi telah disediakan satu mobil toilet yang berfungsi untuk membantu masyarakat dalam hal buang hajat. Tetapi karena berjubelnya jumlah pengungsi yang ingin menggunakan fasilitas ini. Tak lama berselang, toilet pun tak berfungsi karena mampet.

Awalnya Dinas Kebersihan DKI Jakarta yang bertanggungjawab menangani masalah ini, rajin untuk menyedot tinja setiap harinya. Namun, beberapa hari berselang, para petugas tersebut mulai menghilangkan jejak. Toilet yang mampet tak menunjukkan perubahan. Sementara warga tak tahu lagi harus membuang kotorannya kemana. Mau tak mau, mereka akan mencari sudut-sudut yang jarang terjamah sebagai tempat pelampiasan, yang tentunya akan membuat bibit penyakit akan berkembang dengan subur.

Ini salah satu ciri khas negatif mental bangsa kita. Hanya rajin pada tahap-tahap awal, sementara untuk tahap pemeliharaan tak menjadi penting. Bukankah, pengadaan barang menjadi target pada proyek baru di anggaran berikutnya. Biasanya ini yang selalu mereka dikejar.

Pengadaan air bersih yang nyata-nyata sangat dibutuhkan para korban banjir, dirasa masih sangat minim. Pasalnya, saat banjir terjadi, PAM sebagai salah satu sumber air bersih tidak berfungsi. Bila tidak diatasi, hal ini akan memperburuk keadaan. Untuk itu pasokan air bersih menjadi penting. Adanya sumber-sumber air, baik melalui penyulingan ataupun system jatah menjadi solusi yang segera direalisasikan.

Belum lagi, jika kita berbicara mengenai kebersihan rumah dan lingkungan akibat lumpur dan sampah yang menggenangi pekarangan dan jalanan ibukota. Pantauan di lapangan menunjukkan, hampir 70% kawasan jabodetabek telah dikepung oleh sampah yang bercampur air kotor. Artinya, secara tidak langsung, jakarta telah menjadi kota sampah.

Kalau saja pemerintah kota tidak tanggap dengan banyaknya sampah yang telah menjadi ancaman, lagi-lagi penyebaran bibit penyakit akan berkembang dengan suburnya. Dan, jika sudah begini, pastinya masyarakat yang paling dirugikan.

Konsep Kota Sehat

Saat ditanya, apakah masyarakat setuju dengan konsep kota sehat. Pastinya, semua orang akan berteriak; “setuju”! Tapi ketika diajak untuk memperhatikan lingkungan. Bisa ditebak, kebanyakan warga ibukota sedikit enggan, alias tak peduli. Adanya stigma yang berkembang, bahwa masalah kebersihan menjadi hanya tugas pemerintah kota, karena retribusi kebersihan yang mereka keluarkan setiap bulannya, padahal tidak demikian halnya.

Secara sederhana, kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga mampu menghasilkan kehidupan kota yang berkualitas dari berbagai aspek, baik teknis, sosial, ekonomi, dan budaya. Kualitas kehidupan yang baik akan menghasilkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik kota. Dengan demikian, wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Coba perhatikan kota-kota yang menjadi pusat kegiatan internasional. Daya tarik kota dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah bagi wisatawan yang mengunjunginya.

Jika Jakarta dibandingkan dengan kota-kota lain di kawasan Asia Tenggara, sulit rasanya kota ini akan meraih peringkat terbaik. Dilihat dari fenomena pertumbuhan kota, keadaannya sudah semakin padat dan semrawut. Kualitas lingkungannya semakin sulit terjaga. Buruknya kualitas lingkungan menjadikan kota ini mudah dijangkiti berbagai penyakit, apalagi jika banjir melanda. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak adanya rasa kepedulian warga terhadap pemeliharaan lingkungan akibat semakin padatnya tingkat permukiman dan buruknya sistem prasarana kota serta layanan sosialnya.

Walau telah terjadi class action oleh warga terhadap pemerintah kota dalam kasus banjir kali ini, sulit bagi warga melalui pengadilan untuk menghukum gubernur akibat tidak becusnya sistem tata kota. Dengan dalih pelayanan publik, seperti; bantuan biaya pengobatan gratis untuk warga miskin, penyemprotan, penyuluhan, menjadi pembenaran tindakan gubernur kepada warga. Sementara bentuk peringatan dini dan perlindungan keselamatan jiwa dari ancaman sebaran penyakit tidak terjawab hingga saat ini. Kasus hilangnya nyawa akibat terlambatnya pertolongan, jawabannya diserahkan kepada masing- pribadi masing-masing.

Dari semua cara, sepertinya pembangunan banjir kanal, baik barat maupun timur menjadi solusi cerdas meminimalkan dampak yang ditimbulkan banjir, selain pembuatan danau buatan di daerah hulu yang berfungsi sebagai penampungan, jika jumlah air melimpah. Serta pemerintah harus mengembalikan daerah resapan yang kini telah berubah fungsi menjadi daerah pemukiman dan industri.

Jika saja, banjir yang dianggap sebagai sumber bencana tidak segera dibenahi. Bukan tidak mungkin Jakarta akan menjadi kota pesakitan. Tentunya ini tak kita inginkan, bukan? Kerjasama semua pihak, baik pemerintah dan komponen masyarakat, menjadi penentu kearah mana kota ini akan dibawa. Semoga saja banjir kali ini menjadi pengalaman yang berharga, perihal pentingnya menjaga kesehatan diri dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN