Rabu, Februari 14, 2007

BENCANA RATUSAN TAHUN KEMBALI TERULANG

Tak ada yang menyangka bencana kali ini merupakan yang terparah sepanjang catatan sejarah banjir di negeri ini. Kerugian triliunan rupiah dan hilangnya puluhan jiwa nyawa, menjadi harga mahal yang harus ditebus bangsa ini.

Seperti biasa, sampai larut malam, Ismail dan teman-temannya asyik ngobrol di pos ronda, seraya berjaga-jaga terhadap kemungkinan meluapnya kali Ciliwung. Pasalnya, sudah dua hari ini, hujan terus-menerus mengguyur Jakarta dengan begitu lebatnya.

Sekumpulan pemuda ini langsung membubarkan diri, begitu mendengar bunyi gemuruh menghantam pemukiman warga, tak terkecuali dengan Ismail. Dengan perasaan bingung pria paruh baya ini berlari ke rumahnya, memberitahukan anggota keluarga yang lain. Dia merasa bencana besar sedang mengancam. Untung anggota keluarganya langsung tanggap, dengan menuju tempat yang lebih tinggi, sembari membawa beberapa helai baju dan uang secukupnya. Sementara perabotan telah lebih diungsikan sehari sebelumnya

Ya.., banjir bandang yang pernah melanda ibukota lima tahun silam, kini terjadi kembali. Air yang mulanya hanya semata kaki, dalam waktu singkat sudah mencapai lutut. Selanjutnya, dalam setengah jam kemudian, banjir telah menggenangi rumah warga di bantaran Sungai Ciliwung, tepatnya daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Rumah-rumah warga langsung dibanjiri air hingga mencapai langit-langit, bahkan tak sedikit rumah yang hanyut atau tertutup air sama sekali.

Usai mengevakuasi anggota keluarganya, di dalam gang sempit, Ismail dikejutkan dengan suara minta tolong seorang anak kecil, berasal dari rumah bertingkat di sisi kanannya. Suasana sangat kacau kala itu. Banyak orang hanya memikirkan diri sendiri.

Rasa iba membuatnya berinisiatif menolong si adik kecil. Dengan sangat cepat, ia berhasil menemukan si bocah, lalu menurunkannya dengan tali, selanjutnya dibawa ke pos terdekat. Lepas dari evakuasi tadi, dia berencana menolong warga lain yang tak berani keluar rumah karena arus begitu deras. Namun sayang, setelah berhasil menyelamatkan seorang warga, tembok pembatas yang sengaja dibuat untuk menahan banjir, langsung roboh menimpanya akibat kuatnya tekanan air. Kini Ismail sedang menunggu maut, tak bisa berbuat apapun.

Satu jam berlalu, pertolongan tak kunjung datang. Untung, teriakan terakhirnya berhasil menyadarkan warga yang lewat perihal kodisinya yang sangat mengenaskan. Sejurus kemudian, pencarian dilakukan di sepanjang reruntuhan tembok. Dan, benar saja, saat ditemukan tubuh Ismail sudah sangat lemah dengan badan penuh luka, sementara tinggi air air telah mencapai lehernya. Dengan pertolongan segera, nyawanya pun berhasil diselamatkan.

Selain itu, masih ada cerita Pak Suparno dari Daan Mogot, Jakarta Barat, yang hampir saja kehilangan nyawanya akibat kecelakaan kecil yang membuatnya kehabisan darah, saat hendak membereskan perabotan yang tersisa. Atau, cerita Tobrani, warga Karet Tengsin, Jakarta Pusat, yang menderita Leptospirosis (baca; penyakit akibat kencing tikus) karena harus melewati banjir dan sampah, saat berangkat dan pulang kerja. Dan sepertinya, masih banyak cerita sedih lainnya, yang karena keterbatasan halaman tak mungkin di tuliskan disini. Ini hanya secuil catatan, dari begitu banyaknya kejadian yang dialami warga Jakarta, saat banjir melanda awal Februari lalu.

Banjir yang menggenangi 70% kawasan Jabodetabek (baca; Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) pada 2 februari lalu, ternyata pengulangan pada tanggal yang persis sama dengan banjir 2002, hanya saja berbeda hari. Kalau banjir sekarang terjadi pada hari Jumat, banjir di tahun 2002 lalu terjadi di hari Sabtu.

Banyak kalangan beranggapan, bahwa banjir kali ini lebih parah dibanding banjir lima tahun lalu. Kerugian materiil yang diakibatkannya pun tak tanggung-tanggung, mencapai 3 triliun lebih, sementara korban nyawa 80 orang.

Berbeda dengan lima tahun lalu, banjir kali ini diakibatkan oleh turunnya hujan yang terus menerus selama tiga hari, dengan cakupan wilayah yang sangat merata, serta diperparah dengan meluapnya air dari hulu seperti: kawasan Depok, Puncak dan Bogor.

Hanya beberapa daerah yang tidak tergenang air, seperti kawasan istana hingga daerah Kota – Glodok. Ini terjadi, karena belum dibukanya pintu air Manggarai, padahal ketinggian air sempat merujuk angka 950. Sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Untungnya beberapa hari berselang hujan segera berhenti. Jika saja volume air terus bertambah, pintu air Manggarai pasti tak akan sanggup menampung limpahan air. Dan jika sudah begini, tak ada cara lain selain membukanya, yang akan berakibat dengan tergenangnya seluruh jakarta, mulai dari kawasan istana, mesjid Istiqlal hingga Glodok - kota.

Catatan Sejarah

Peristiwa banjir di Jakarta telah dikaji oleh sejumlah peneliti, salah satunya melalui perspektif sejarah. Hasilnya diketahui, banjir di ibu kota negara memang sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Sejarah mencatat, Jakarta pernah beberapa kali dilanda banjir besar, yaitu mulai tahun 1621, 1654, 1872, 1918, 1932, 1979, 1996 dan 2002. Tetapi, banjir mulai memakan korban sejak tahun 1918, akibat meluapnya Sungai Ciliwung yang menjebol pintu air dan merendam kawasan Batavia (Jakarta-Red). Kejadian serupa muncul pada 9 Januari 1932, saat hujan yang lebat sepanjang malam menyebabkan hampir semua wilayah kota Batavia terendam dan Jalan Sabang tercatat sebagai yang paling parah.

Begitu pula kejadian di tahun 1996 yang terulang kembali 5 tahun sesudahnya (tahun 2002). Anehnya, peristiwa tragis itu kembali mendera 5 tahun kemudian, tepatnya tahun 2007 ini. Mungkin karena pengulangan ini, banyak kalangan menyebutnya sebagai “siklus lima tahunan”. Dilihat dari sejarah, banjir di Jakarta ini sukar diatasi. Segala upaya yang dilakukan dalam jangka panjang belum membuahkan hasil.

Pengalaman menunjukkan, selama ratusan tahun penanganan banjir belum dilakukan secara menyeluruh. Seperti kurangnya kawasan resapan tanah, semrawutnya tata kota, masalah sampah yang kian menumpuk, serta terjadinya penyempitan sungai yang diakibatkan oleh maraknya rumah-rumah warga di bantaran, turut andil membuat banjir.

Sungai Ciliwung misalnya, sejak lama digunakan bagi keperluan sehari hari dan mengangkut kayu dari arah hulu, baik untuk bahan pembuatan kapal maupun pembangunan rumah. Dalam kenyataannya, pemukiman warga semakin mengarah ke selatan seperti Bogor dan Puncak, yang berakibat pada penggundulan lahan dan semakin besar kecenderungan banjir di Jakarta.
Upaya penanggulangan banjir Jakarta sebenarnya telah dilakukan sejak masa pemerintahan Belanda tahun 1920, ketika seorang insinyur Belanda, Herman Van Breen memimpin pembangunan saluran (banjir kanal) dan sejumlah pintu air.

Van Breen, salah satu tokoh yang amat lekat dalam sejarah banjir di Jakarta. Kiprahnya tercatat saat ditugaskan oleh "Departement Waterstaat" memimpin "Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir" secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 Ha. Penugasan itu diterimanya setelah Kota Batavia di tahun 1918 (sebutan untuk Jakarta saat itu) terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa.

Setelah mempelajari dengan saksama berbagai aspek penyebab banjir, Van Breen dan Tim menyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup spektakuler kala itu. Tak dapat disangkal, prinsip-prinsip pencegahan banjir itu, kini dijadikan acuan pemerintah dalam mengatasi banjir di Jakarta.

Konsep van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, namun perlu perhitungan cermat dengan biaya tinggi. Ide dasarnya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran penampungan di pinggir selatan kota untuk menerima limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai "Banjir Kanal Barat" yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke.

Penetapan Manggarai sebagai titik awal, karena saat itu wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan.

Banjir Kanal mulai dibangun tahun 1922, dikerjakan bertahap, yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Dalam mengatur debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal dilengkapi beberapa "Pintu Air", antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru).

Dengan adanya Banjir Kanal Barat, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, saluran tersebut beserta beberapa pintu air yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota Jakarta guna mengatasi meluapnya air di dalam kota.

Pemanfaatan saluran Banjir Kanal Timur dan Barat

Jakarta dengan luas ± 64.000 Ha secara geomorfologis termasuk dataran rendah dan dilalui 13 sungai, yaitu Sungai Cakung, Jatikramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Angke, dan Mookervart. Curah hujan tahunan pun cukup tinggi antara 2.000-3.000 milimeter dengan daerah pengaruh pasang surut laut mencapai 40 persen dari luas wilayah. Dengan kondisi ini, wajar bila Jakarta menjadi daerah rawan banjir, apalagi jika hujan turun 2-4 hari berturut-turut.

Saat dicanangkan 10 Juli 2003, Banjir Kanal Timur (BKT) dengan panjang 23,6 Km, dianggap sebagai salah satu solusi mengatasi ancaman banjir, selain Banjir Kanal Barat yang kini kondisinya sangat memprihatinkan akibat timbunan sampah.

Banjir Kanal Timur direncanakan menampung lima aliran sungai yang sering menimbulkan banjir, yakni Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Banjir Kanal Timur pun dibangun membentang dari dari kawasan Kebon Nanas, Pondok Bambu, Cakung, Ujung Menteng, hingga Marunda, Jakarta Utara, yang pelaksanaannya diharapkan selesai pada tahun 2010. Selain fungsi utamanya sebagai pengendali banjir di Jakarta, rencananya kanal ini akan dimanfaatkan sebagai salah satu sarana transportasi air.

Penggalian kanal yang akan melintasi 4 kecamatan dengan catchment area atau daerah tangkapan air seluas 20.125Ha, ternyata tak berjalan mulus. konsep pembangunan Banjir Kanal Timur, dengan lebar rata–rata 100 meter, dan kedalaman 3 - 7 meter ini berencana memadukan aspek keindahan, dan kebersihan.

Namun sayang, pembangunan Banjir Kanal Timur mengalami hambatan, terutama dalam hal ganti rugi lahan milik warga. Untuk ganti rugi dialokasikan dana 2,4 trilyun rupiah yang diharapkan selesai pada tahun 2007, ternyata tidak membuahkan hasil. Kabarnya DPRD pun belum menyetujui anggaran tahapan pembangunan kanal yang berikutnya.

Dari 13 kelurahan yang dilalui Banjir Kanal Timur, ternyata tidak semua warga mendapat ganti rugi, padahal mereka sangat sepakat dengan pembangunan kanal ini. Apalagi mereka sadar manfaatnya. Sepengetahuan mereka, dana ganti rugi itu sudah turun, tapi mengapa mereka belum menerimanya. Ini yang membuat sebagian dari mereka masih bertahan. Sedangkan masyarakat yang sudah menerima, langsung pergi menuju lokasi baru.
Sedangkan Banjir Kanal Barat membentang dari Kapuk Muara, Petamburan, Karet Tengsin sampai Manggarai, Jakarta Selatan, dengan panjang ±17 Km. Keistimewaannya, Banjir Kanal Barat telah ada sejak 100 tahun lalu, di disain Herman Van Breen, seorang Belanda, untuk mengendalikan banjir di Jakarta, yang rencananya juga akan dimanfaatkan sebagai jalur transportasi air.
Sayangnya, sebagian Banjir Kanal Barat dengan lebar 100 meter ini, kondisinya kotor dan banyak sampah. Terutama di kawasan Teluk Gong, Jakarta Barat. rumah-rumah yang berdiri di pinggirnya juga tidak tertata rapi.
Kelak, Banjir Kanal Barat akan bertemu dengan Banjir Kanal Timur bila proyek tersebut selesai dibangun. Namun jika melihat kondisi Banjir Kanal Barat yang penuh sampah, ditakutkan Banjir Kanal Timur akan mengalami nasib serupa? Jangan-jangan malah makin parah. Semoga saja tidak!
Dan, jika melihat sungai-sungai di Jakarta yang airnya hitam dan bau, mungkinkah kanal bisa menjadi sarana transportasi? Pun, jika Banjir Kanal Timur menjadi alternatif pengendali banjir, warga Jakarta masih harus menunggu hingga tahun 2010. Sebuah penantian yang cukup panjang tentunya.

Jika, sudah begini, siapa yang akan dipersalahkan? Memang benar, kesadaran lingkungan perlu ditanamkan dalam pribadi-pribadi sejak dini, tetapi pemegang kebijakan tetap di tangan pemerintah. Bukankah pengalaman tahun 2002 lalu bisa menjadi pelajaran yang berharga. Rasanya terlalu sepele, jika dalih pembebasan tanah warga dijadikan kambing hitam, sehingga proyek Banjir Kanal Timur sampai terbengkalai.

Penataan Ruang

Ketika banjir datang sebagai bencana, tudingan kerap muncul pada penataan ruang yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam UU Penataan Ruang, penataan ruang definisikan sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang pada dasarnya mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya.

Kebutuhan akan penataan ruang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari banyaknya masalah yang timbul dalam pembangunan. Perkembangan pesat dalam berbagai sektor perlu diakomodir dalam ruang, sehingga pembangunan yang terarah lokasinya diharapkan memberi hasil yang optimal dan lebih baik bagi wilayah secara keseluruhan.

Dalam kaitannya dengan rencana tata ruang, DKI Jakarta telah menjalani 3 kali rencana tata ruang. Pertama, pada tahun 1965 – 1985, yang biasa disebut “Rencana Induk”. Kedua pada tahun 1985 – 1995. Dan terakhir, Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2000 - 2010, yang disahkan dalam Perda No. 6 tahun 1999. Sebelum tahun 1965, Jakarta tidak memiliki rencana tata ruang. Pasalnya, pada waktu itu Indonesia belum memiliki ahli tata ruang kota . Selanjutnya, seiring waktu, rencana induk mulai disusun. Tapi, pelaksanaan di lapangan sering berubah, karena rencana hanya manjur diatas kertas.

Kemampuan untuk menyediakan semua prasarana, ternyata tidak sanggup mengimbangi migrasi penduduk ke Jakarta yang begitu besar. Maka timbullah berbagai masalah kota, mulai dari kemacetan, penyakit DBD dan Flu Burung, permasalahan sampah, sampai banjir.

Hanya saja, semua masalah tadi tidak serta merta jadi pembenaran, bahwa telah terjadi kesalahan dalam tata perencanaan kota. Jika terjadi kesalahan, itu mungkin karena ketiadaan sanksi hukum bagi para pelanggar, yang tentunya bertentangan dengan perencanaan yang dibuat. Dan umumnya ini terjadi karena adanya ijin dari pihak pengelola kota .

Kalau mau dirunut, semarawurnya tata ruang Jakarta, sebenarnya sudah dimulai sejak dulu. Saat para pejabat bertindak demi kepentingannya. Sebab, sudah jadi rahasia umum, setiap ganti pejabat, akan berganti pula kebijakannya. Sehingga jangan heran, demi alasan pembangunan atau dalih ekonomi, seringkali alam yang jadi korban. Dan, jika sudah begini, masyarakat yang merasakan akibatnya. Persis seperti sekarang, ketika banjir bandang datang melanda Jakarta untuk kali yang kedua.

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau

Luasnya lahan terbangun terus mempersempit ruang terbuka hijau di Jakarta, yang berfungsi sebagai sumber resapan air. Secara epistomologi, Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah areal permukaan tanah yang dikelola untuk fungsi perlindungan habitat atau lingkungan hidup. Ia juga berperan sebagai penyerap dan penampung air yang jatuh dipermukaan.

Bila area resapan tak lagi memadai dan di saat yang sama saluran drainase tidak berfungsi dengan baik. Jangan heran, jika limpahan air akan langsung menggenangi jalanan bahkan pemukiman warga. Dan jika volume semakin tinggi, maka sesuatu yang kita sebut “banjir” akan terjadi.

Kabar terbaru menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) ibukota tinggal 9,38%, jauh di bawah batas minimal yang harusnya di pertahankan sebesar 30% dari total luas wilayah. Bahkan yang paling menyedihkan, kantong air seperti danau, rawa dan situ, kondisinya kini tinggal 2,96% saja, yang seharusnya berada diatas 20%.

Jakarta Selatan contohnya, dari hasil pengindraan satelit ditemukan terjadi perubahan yang sangat signifikan. Kalau dulu di tahun 1973, luas lahan terbangun hanya 8,21%. 20 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2002, luas lahan terbangun telah mencapai 72,03%. Luas lahan terbangun ini yang terus mempersempit ruang terbuka hijau. Kalau sudah begini, riskan mempertahankan wilayah Jakarta Selatan, sebagai daerah resapan air, sesuai dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta, yang dikenal sebagai “Jakarta 2010”.

Selain itu, setiap tahun Pemerintah Propinsi DKI Jakarta mengalokasikan anggaran pengendalian banjir dalam jumlah yang tak sedikit. Tahun 2002 saja, Pemda menganggarkan 223,82 milyar rupiah. Sedangkan pada tahun 2006, anggaran penanggulangan banjir meningkat mencapai 306,37 milyar rupiah. Angka ini terus bertambah pada tahun 2007, yang jumlahnya mencapai 391,05 milyar rupiah.
Sebuah angka yang cukup besar tentunya. Seandainya permasalahan klasik ini bisa diselesaikan. Alangkah bermaknanya besaran tersebut jika dialokasikan untuk bidang lain yang lebih penting, seperti; pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan usaha kecil koperasi.

Mengingat Jakarta memiliki 40% wilayahnya lebih rendah dari permukaan laut sewaktu air pasang, serta di lintasi belasan sungai. Perlu dipikirkan kembali kebijakan pembangunan yang berpihak pada alam, melalui penataan ruang dan pemanfaatan ruang terbuka hijau secara optimal. Tak ketinggalan penyadaran tingkah laku masyarakat, serta penegakan hukum bagi mereka-mereka yang telah merusak alam, menjadi tonggak penanda pedulinya kita terhadap lingkungan. Sehingga tak terulang lagi banjir bandang seperti saat ini.

Ancaman Penyakit

Maraknya penyakit yang menyerang warga ibukota saat banjir melanda, ibarat fenomena gunung es. Tak kala sejumlah kasus muncul kepermukaan, ini pertanda bahwa perkembangan penyakit yang belum ter-ekspose jauh lebih besar. Hal ini diakibatkan masih enggannya masyarakat menuju posko kesehatan untuk memeriksakan kesehatan mereka. Namun, jika kondisinya makin parah, barulah mereka menuju pos kesehatan terdekat.

Umumnya korban terserang penyakit karena lingkungan yang tidak memadai. Dari komposisi pengungsi, kebanyakan anak-anak dan usia lanjut yang diserang bermacam penyakit, seperti; Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), leptospirosis, gatal-gatal dan radang sendi. Biasanya anak-anak yang terserang penyakit akibat terlalu lama berendam dan bermain air. Sedangkan bagi pengungsi lanjut usia, faktor usia dan daya tahan yang makin melemah, membuat bibit penyakit gampang menyerang.

Bak jamur di musim penghujan, penyakit tersebut mulai menyerang warga Jakarta. Dari 316.825 jiwa pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah Jabodetabek, sedikitnya 27.381 pengungsi dalam keadaan sakit. Hal ini setara dengan 8-9 orang yang terjangkit penyakit dalam 100 orang penduduk. Sungguh jumlah yang sangat mengkhwatirkan jika tak segera ditangani.

Berdasar data yang dihimpun Dinas Kesehatan DKI Jakarta, diketahui jumlah pengungsi yang paling banyak terserang penyakit terdapat di Jakarta Barat sebanyak 5.740 pasien. Kemudian disusul Jakarta Timur 1.849 pasien, Jakarta Selatan 1.820 pasien, Jakarta Pusat 1.820 pasien, dan Jakarta Utara 1.383. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa jakarta sangat rawan penyakit. Artinya, penyakit telah menjadi momok yang semakin mengerikan, yang harus menjadi perhatian serius. Sebab, jika tidak ditangani, pastilah penyakit tersebut akan menjalari orang-orang disekeliling.

Untunglah pemerintah dibantu berbagai pihak cepat tanggap dengan mendirikan posko-posko kesehatan 24 jam, sejak banjir melanda beberapa hari lalu. Dengan penanganan ini, diharapkan kondisi para pengungsi segera membaik. Meski demikian, tidak serta merta kondisi pasien langsung pulih. Pasalnya, kebersihan diri, kebersihan lingkungan dan pola makanan yang sehat menjadi faktor penting yang harus diperhatikan.

Selain itu, yang tak kalah penting, pemerintah kota dan masyarakat harus punya kesadaran untuk membenahi serta memutus mata rantai perkembangan sumber penyakit. Jika tidak dilakukan dalam waktu singkat, di khawatirkan Jakarta akan berubah menjadi tempat berkembangnya berbagai penyakit yang mengancam para penghuninya.

Rawan Flu Burung

Penelitian terbaru menyebutkan, bahwa buruknya kondisi lingkungan pascabanjir karena bercampur dengan kotoran dan bangkai unggas sangat berpotensi menjadi media penyebaran virus flu burung. Ini terjadi, karena virus subkategori H5N1 mampu bartahan di air dalam rentang waktu sekitar 30 hari.

Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di daerah genangan air sangat rentan terhadap infeksi virus tersebut. Dari karakteristiknya diketahui, virus jenis ini memang tidak tahan terhadap panas, tapi bisa hidup cukup lama di dalam air.

Untuk itu, bagi masyarakat, terutama anak-anak, agar mengubah kebiasaan bermain ataupun beraktivitas di genangan air. Virus yang sangat mungkin berada di genangan air itu, akan menginfeksi tubuh melalui saluran pernafasan dan pencernaan.

Jika demikian halnya, pemerintah bersama-sama masyarakat kota harus saling bekerjasama untuk melakukan langkah sterilisasi pascabanjir. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembersihan, baik manual dengan cara membuang bangkai dan kotoran unggas maupun dengan menggunakan obat kimia. Sterilisasi itu harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh agar masyarakat benar-benar aman dari ancaman virus flu burung.

Pembenahan Sanitasi

Walau bebas biaya berobat di 80 RS telah diberlakukan bagi korban banjir, dengan menunjukkan surat rujukan dari ketua RT, tidak otomatis mereka akan mengalami kesembuhan. Bukan berarti pula penyakit tidak akan datang kembali.

Perbaikan sanitasi merupakan salah satu faktor pendukung kesehatan. Jika sanitasi tidak diperbaiki, akan semakin banyak korban yang jatuh sakit. Pasalnya, penyakit yang disebutkan diatas, akan datang jika kondisnya memadai. Lingkungan yang terendam banjir, bisa dipastikan memiliki sanitasi yang buruk.

Dari sekian banyak indikator sanitasi, keberadaan toilet yang sehat -baik perorangan maupun umum- menjadi penting. Tetapi, dalam kondisi banjir seperti sekarang ini, bisa diprediksi sebagian besar toilet warga tidak berfungsi dengan baik.

Untuk itu, di beberapa lokasi pengungsi telah disediakan satu mobil toilet yang berfungsi untuk membantu masyarakat dalam hal buang hajat. Tetapi karena berjubelnya jumlah pengungsi yang ingin menggunakan fasilitas ini. Tak lama berselang, toilet pun tak berfungsi karena mampet.

Awalnya Dinas Kebersihan DKI Jakarta yang bertanggungjawab menangani masalah ini, rajin untuk menyedot tinja setiap harinya. Namun, beberapa hari berselang, para petugas tersebut mulai menghilangkan jejak. Toilet yang mampet tak menunjukkan perubahan. Sementara warga tak tahu lagi harus membuang kotorannya kemana. Mau tak mau, mereka akan mencari sudut-sudut yang jarang terjamah sebagai tempat pelampiasan, yang tentunya akan membuat bibit penyakit akan berkembang dengan subur.

Pengadaan air bersih yang nyata-nyata sangat dibutuhkan para korban banjir, dirasa masih sangat minim. Pasalnya, saat banjir terjadi, PAM sebagai salah satu sumber air bersih tidak berfungsi. Bila tidak diatasi, hal ini akan memperburuk keadaan. Untuk itu pasokan air bersih menjadi penting. Adanya sumber-sumber air, baik melalui penyulingan ataupun sistem jatah menjadi solusi yang segera direalisasikan.

Belum lagi, jika kita berbicara mengenai kebersihan rumah dan lingkungan akibat lumpur dan sampah yang menggenangi pekarangan dan jalanan ibukota. Pantauan di lapangan menunjukkan, hampir 70% kawasan jabodetabek telah dikepung oleh sampah yang bercampur air kotor. Artinya, secara tidak langsung, jakarta telah menjadi kota sampah.

Kalau saja pemerintah kota dan pihak terkait tidak tanggap dengan banyaknya sampah yang kini menjadi ancaman, lagi-lagi penyebaran bibit penyakit akan berkembang dengan suburnya. Dan, jika sudah begini, pastinya masyarakat yang paling dirugikan.

Konsep Kota Sehat

Saat ditanya, apakah masyarakat setuju dengan konsep kota sehat. Pastinya, semua orang akan berteriak; “setuju”! Tapi ketika diajak untuk memperhatikan lingkungan. Bisa ditebak, kebanyakan warga ibukota sedikit enggan, alias tak peduli. Ada stigma yang berkembang, bahwa masalah kebersihan menjadi hanya tugas pemerintah kota, karena retribusi kebersihan yang mereka keluarkan setiap bulannya, padahal tidak demikian halnya.

Secara sederhana, kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga mampu menghasilkan kehidupan kota yang berkualitas dari berbagai aspek, baik teknis, sosial, ekonomi, dan budaya. Kualitas kehidupan yang baik akan menghasilkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik kota. Dengan demikian, wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Coba perhatikan kota-kota yang menjadi pusat kegiatan internasional. Daya tarik kota dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah bagi wisatawan yang mengunjunginya.

Jika Jakarta dibandingkan dengan kota-kota lain di kawasan Asia Tenggara, sulit rasanya kota ini akan meraih peringkat terbaik. Dilihat dari fenomena pertumbuhan kota, keadaannya sudah semakin padat dan semrawut. Kualitas lingkungannya semakin sulit terjaga. Buruknya kualitas lingkungan menjadikan kota ini mudah dijangkiti berbagai penyakit, apalagi jika banjir melanda. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak adanya rasa kepedulian warga terhadap pemeliharaan lingkungan akibat semakin padatnya tingkat permukiman dan buruknya sistem prasarana kota serta layanan sosialnya.

Walau telah terjadi class action oleh warga terhadap pemerintah kota dalam kasus banjir kali ini, sulit bagi warga melalui pengadilan untuk menghukum gubernur akibat tidak becusnya sistem tata kota. Dengan dalih pelayanan publik, seperti; bantuan biaya pengobatan gratis untuk warga miskin, penyemprotan, penyuluhan, menjadi pembenaran tindakan gubernur kepada warga. Sementara bentuk peringatan dini dan perlindungan keselamatan jiwa dari ancaman sebaran penyakit tidak terjawab hingga saat ini

Jika saja, banjir yang dianggap sebagai sumber bencana tidak segera dibenahi. Bukan tidak mungkin Jakarta akan menjadi kota pesakitan. Tentunya ini tak kita inginkan, bukan? Dari semua cara, selain faktor kesehatan, sepertinya pembangunan banjir kanal, baik barat maupun timur menjadi solusi cerdas meminimalkan dampak yang ditimbulkan banjir, selain pembuatan danau buatan di daerah hulu yang berfungsi sebagai penampungan, jika jumlah air melimpah. Serta pemerintah harus mengembalikan daerah resapan yang kini telah berubah fungsi menjadi daerah pemukiman dan industri.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN