Dalam keadaan darurat, saat jurnalis mengalami penyergapan oleh pihak tertentu yang sedang bertikai, pengetahuan tentang Konvensi Jenewa bisa menjadi tameng yang akan memperpanjang hidup anda
Bila peluru mulai beterbangan, tak ada jaminan bagi jurnalis dapat keluar dengan selamat tanpa cedera ataupun kehilangan nyawa. Untuk daerah dengan tingkat resiko tinggi, seperti daerah konflik, jurnalis dengan mudah dapat menjadi target dari pihak yang bertikai, baik disengaja maupun tidak.
Banyak contoh tentang pekerja media di garis depan yang mengalami cedera, tewas tertembak peluru, terkena bom dan mortir yang ditembakkan dari jarak jauh, atau peluru nyasar dan memantul. Dalam situasi seperti ini, saat ada dua kekuatan yang terlibat konflik, kondisi di garis depan sangat cepat berubah. Sulit diketahui darimana konflik berawal dan kapan berakhirnya. Meski demikian, seorang jurnalis yang mengetahui adanya bahaya, harus cepat tanggap perihal keselamatannya agar terlepas dari ancaman yang mengincarnya.
Namun, hal penting yang perlu diketahui semua jurnalis yang akan diutus meliput sebuah pertempuran adalah mengetahui hak-hak mereka sebagai pengamat independen dan netral. Pasalnya, banyak jurnalis yang berangkat dengan sedikit informasi mengenai suatu wilayah serta pengetahuan tentang undang-undang internasional yang minim. Atau, bahkan tak sedikit yang berangkat tanpa pengetahuan sama sekali.
Hanya beberapa jurnalis yang bisa menegaskan haknya, seperti termaktub di dalam Konvensi Jenewa atau seperti yang tertulis di undang-undang kemanusiaan yang menegaskan hak-hak bagi orang non tempur, seperti Jurnalis.
Untuk itu, ada baiknya setiap jurnalis yang akan diberangkatkan harus mengerti mengenai kondisi politik dan hukum suatu wilayah. Serta mengetahui peranan International Committee of the Red Cross (ICRC), perwakilan PBB dan badan-badan internasional lainnya.
Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa menuntut orang-orang untuk menghoramati hak-hak manusia di daerah konflik bersenjata, termasuk hak jurnalis yang digolongkan sebagai warga sipil yang berhak dilindungi dari kekerasan, ancaman, pembunuhan, hukuman penjara dan penyiksaan. Persetujuan ini mengikat secara hukum sejak tahun 1949 dan telah disahkan ataupun disetujui oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Ini termasuk bagian dari peraturan kemanusiaan internasional. Tentara atau anggota wajib militer yang melakukan pelanggaran dianggap melakukan kejahatan perang. Karena itu, tentara dan wajib militer di seluruh dunia paham dengan konsep kejahatan perang. Dan harus diingat, konvensi ini tidak berlaku bagi paramiliter, separatis, ataupun pemberontak, sebab mereka bukan tentara resmi sebuah negara. Itulah sebabnya mengapa jurnalis perlu mengetahui dan menuntut hak-hak tersebut.
Selembar kertas, tentunya tak bisa jadi penghalang bagi seseorang bersenjata yang telah bertekad untuk membunuh atau menganiaya anda untuk mengurungkan niatnya. Tapi, selembar kertas fotocopi Konvensi Jenewa, -khusunya klausul tentang hak-hak orang non tempur- tentunya sangat bermakna dan bisa jadi penyambung nyawa saat terjadi penyergapan. Jelaskan berdasarkan klausul yang ada, bahwa anda memiliki hak yang sama dengan masyarakat sipil. Ini yang menyebabkan mengapa jurnalis tidak perlu dipersenjatai. Pasalnya, begitu mereka memanggul senjata, haknya sebagai jurnalis ataupun sipil langsung gugur. Dan pihak yang bertikai berhak mencedarai mereka karena dianggap musuh.
Perlindungan Untuk Prajurit Tempur Yang Terluka, Tahanan Perang dan Warga Sipil
Aturan dalam dua konvensi pertama mencakup perlakuan terhadap anggota pasukan bersenjata dan personil medis yang terluka atau sakit di medan perang dan di laut. Konvensi ketiga mencakup hal tentang tawanan perang. Ketiga poin ini ditujukan untuk jurnalis hanya dalam kasus koresponden perang yang terakreditasi. Konvensi Jenewa ke empat mencakup hak warga sipil di wilayah pendudukan
Artikel 3 merupakan point yang paling signifikan diterapkan untuk semua konvensi, isinya adalah;
1. Seseorang yang tidak terlibat aktif dalam pertempuran, termasuk anggota pasukan bersenjata yang meletakkan senjata dan meninggalkan tempat hors de combat (wilayah pertempuran) karena sakit, terluka, ditawan atau karena alasan lain, dalam keadaan apapun akan diberlakukan dengan manusiawi, tanpa membedakan ras, warna kulit, agama dan keyakinan, jenis kelamin, asal usul atau kekayaan, dan kriteria-kriteria serupa lainnya. Tindakan berikut ini dengan hormat tidak boleh dilakukan kepada orang-orang yang disebutkan diatas dimana pun dan kapan pun;
a) kekerasan terhadap hidup seseorang terutama segala bentuk pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam dan penganiayaan.
b) Menyandera
c) Menghina martabat seseorang, terutama perlakuan yang tidak manusiawi dan bersifat merendahkan.
d) Mendahului hukum ddan melakukan eksekusi tanpa keputusan hukum tetap dari pengadilan, memberikan semua jaminan pengadilan yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang beradap.
2. Orang-orang yang terluka dan sakit akkan di kumpulkan dan dirawat.
Jurnalis Harus Dilindungi Seperti Warga Sipil (Pasal 79)
Protokol I konvensi Jenewa yang berlaku pada tahun 1978 dalam pasal 79 menyebutkan:
1. Jurnalis yang melaksanakan tugas profesional berbahaya di daerah konflik bersenjata akan dianggap sebagai warga sipil seperti yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 1.
2. Mereka akan dilindungi sesuai dengan Konvensi dan Protokol ini, asalkan mereka tidak bertindak merugikan dan mempengaruhi status mereka sebagai warga sipil, dan tanpa prasangka mengenai hak koresponden perang terhadap kekuatan tentara untuk status yang diberikan di dalam pasal 4a konvensi ketiga.
3. Mereka bisa mendapatkan satu kartu identitas yang mirip dengan model di Annex 2 pada protokol ini. Kartu ini bisa dikeluarkan oleh pemerintah asal jurnalis atau wilayah tempat tinggal mereka atau lokasi penempatan yang ditetapkan oleh media berita mereka, bisa membuktikan status mereka sebagai jurnalis.
Konvensi Melindungi Warga Sipil Perang Tapi Bukan Huru Hara
Dalam Protokol 2 Konvensi Jenewa diperluas ke konflik bersenjata internal diantara kekuatan bersenjata sebuah negara dengan kekuatan bersenjata pemberontak (milisi, paramiliter, teroris) di sebuah wilayah. Perluasan konvensi ini berlangsung efektif untuk konflik sipil berskala besar. Namun, hal yang dengan tegas dilarang pada konvensi ini adalah “situasi kerusuhan dan ketegangan internal, seperti huru-hara, tindakan kekerasan sporadis dan terpencil dan tindakan serupa lainnya, sehingga tidak menjadi konflik bersenjata”.
Perlakuan Apa Yang Wajib Dan Tidak Wajib Diberikan Kepada Warga Sipil
Dalam pasal 4, protokol 2 menggambarkan bagaimana cara suatu pihak memperlakukan warga sipil secara manusiawi.
1. Setiap orang yang tidak terlibat langsung atau berhenti terlibat dalam pertempuran, baik yang kebebasannya dibatasi maupun yang tidak dibatasi, berhak mendapatkan penghargaan. Kita harus menghargai kehormatan, pendirian dan agama yang mereka jalankan. Dalam semua keadaan mereka akan diberlakukan dengan ramah tanpa membeda-bedakan. Hal ini juga tidak boleh dilakukan meskipun tidak ada orang yang selamat.
2. Tindakan berikut ini tidak boleh dilakukan kepada seseorang dimanapun dan kapan pun;
a) menyakiti jiwa, kesehatan, fisik, atau mental seseorang, terutama pembunuhan maupun tidakan yang kejam seperti penyiksaan, mutilasi atau hukuman badan lainnya.
b) Tindakan kekerasan yang dilakukan secara kolektif.
c) Menyandera seseorang.
d) Tindakan terorisme
e) Menghina martabat seseorang, terutama perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan, perkosaan, melakukan prostitusi dan bentuk tindakan tak senonoh lainnya.
f) Segala bentuk perbudakan dan berdagangan budak.
g) Penjarahan.
h) Ancaman yang membuat orang menjadi takut.
Hal Lain
Di dalam rumusan International Committee of the Red Cross (ICRC) dinyatakan, bahwa setiap negara harus:
- Memperlakukan teman dan musuh dengan perlakuan yang sama.
- Mengharagai semua manusia, kehormatan mereka, hak keluarga, keyakinan religius dan hak istimewa untuk anak.
- Melarang perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan, menyandera, pemusnahan massa, penyiksaan, hukuman mati yang cepat, deportasi, penjarahan dan perusakan properti tanpa alasan.
No comments:
Post a Comment