Saturday, March 10, 2007

"BeRwIsAtA Ke KuBaH AgEuNg"

Menikmati pemandangan dari tempat tinggi tentulah memberi kesan yang berbeda. Dekat dengan alam sembari menakar diri serta membina kekompakan, bisa kita lakukan saat berwisata ke kubah Ageung.

Kubah Ageung, sebutan masyarakat sunda untuk Gunung Gede (2958 mdpl). Kubah ini terletak pada 6°47' LS dan 106°59' BT di Propinsi Jawa Barat, berada dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP) yang ditetapkan pemerintah RI pada 6 Maret 1980, meliputi areal seluas 22.500 ha. Penetapan ini merupakan peneguhan dari perluasan kawasan oleh Belanda di tahun 1925 sebagai cagar alam pertama di Indonesia.

Berkunjung ke Taman Nasional Gede-Pangrango merupakan wisata alam yang sangat menyenangkan. Selain wisata pendakian, kita bisa menjumpai banyak air terjun, hutan alam, kawah berapi, padang bunga Edelweis, taman Bunga Cibodas, sumber air panas dan juga pos-pos pengamatan burung. Kawasan ini juga dipenuhi tak kurang dari 300 jenis burung endemik, mendekati duapertiga dari jenis burung yang ada di Jawa.

Taman Nasional Gede-Pangrango melingkari dua puncak gunung berapi, Gunung Gede yang masih aktif dan Gunung Pangrango yang sudah mati. Kedua kerucut ini merupakan rangkaian pegunungan yang meluas dalam bentuk busur melalui; Sumatera, Jawa dan Bali. Terdapat kurang lebih 40 gunung berapi besar, tiga puluh diantaranya masih aktif. Dan seperti halnya Gunung Gede, kesemuanya relatif baru, kurang lebih satu juta setengah tahun yang lalu.

Pada jaman Pliosen, sejumlah besar tumbuhan pegunungan dari wilayah di sebelah utara yang beriklim empat musim menyebar ke selatan hingga ke Jawa. Selama periode interglasial Pleistosen, tumbuhan ini mundur ke atas dan di dataran rendah yang digantikan oleh vegetasi tropis. Sekarang, hutan di kawasan taman nasional, merupakan tempat berlindung terakhir bagi sejumlah besar jenis-jenis tumbuhan semacam itu.

Gunung Gede,merupakan gunung yang sering dikunjungi wisatawan dan relatif mudah untuk di daki. Gunung gede bisa dicapai dari Cibodas, gunung Putri dan dari Selabintana Sukabumi. Dari semua jalur, Cibodas merupakan rute populer yang banyak dilalui pengunjung. Sedangkan rute Gunung Putri merupakan jalur terdekat bila ingin mendaki Gunung Gede. Sementara jalur Selabintana merupakan rute terpanjang dan tersulit. Para pendaki diminta untuk waspada saat menggunakan jalur ini, karena jalur yang terputus dan rawan longsor.

Sebuah Legenda

Menurut legenda, kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Beliau bersama rakyatnya menjadikan alun-alun sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe. Alun-alun Surya Kencana merupakan sebuah lapangan yang dipenuhi Edelweiss (baca; bunga abadi) di ketinggian 2.750 mdpl, berada di timur puncak Gede,. Suryakencana adalah nama seorang putra Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri kota Cianjur) yang beristrikan seorang putri dari mahluk halus. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra yaitu: Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi.

Dalam kondisi tertentu, pendaki yang berada dikawasan Alun-alun Suryakencana, bisa mendengar suara tapal kaki kuda yang berlari, tapi tak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini pertanda Pangeran Suryakencana sedang turun ke alun-alun dikawal para prajuritnya.

Hingga kini, bekas singgasana Pangeran Suryakencana berupa batu besar berbentuk pelana bisa kita temui di tengah alun-alun, biasa disebut Batu Dongdang. Dari sini, sumber air mengalir hingga ke tengah alun-alun, biasa dipakai untuk keperluan minum dan mandi.

Di atas bukit yang mengitari Alun-alun Suryakencana, kita juga dapat menemukan sebuah situs kuno yang diyakini masyarakat sekitar sebagai makamnya Pangeran Suryakencana. Dikisahkan, masa pemerintahan Prabu Siliwangi di Jawa Barat, terjadi peperangan yang sangat hebat melawan Majapahit dan Kesultanan Banten. Setelah kalah dalam perang tersebut Prabu Siliwangi sempat melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.

Itu sebabnya, di sekitar gunung ini banyak ditemukan makam yang dianggap keramat oleh sebagian peziarah, seperti petilasan Pangeran Suryakencana dan Prabu Siliwangi. Kabarnya, kawah Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, merupakan kerajaan Pangeran Suryakencana

Sejarah Letusan

Letusan Kubah Gede pertama di catat oleh seorang Belanda peranakan Jerman, Franz Wilhelm Junghun, pada tahun 1747. Diterangkan bahwa letusan G. Gede pada umumnya kecil dan singkat, kecuali yang terjadi pada tahun 1747 – 1748 yang mengeluarkan aliran lava dari Kawah Lanang. Kemudian letusan terjadi lagi pada November 1840 – Maret 1841. Pada bulan Desember 1840, lidah apinya menyembur keluar kawah setinggi lebih dari 200m. Hujan kerikil dan awan debu menyertai kejadian itu. Tidak ada laporan korban jiwa akibat letusan tersebut.

Dengan pola acak, gunung ini selalu saja mengeluarkan letusan di tahun-tahun selanjutnya. Tercatat, periode terpendek kurang dari satu tahun dan yang terpanjang 71 tahun. Letusan itu terjadi pada tahun 1848 hingga tahun 1957, dan terakhir di tahun 1972. Pada tahun itu, menurut Hamidi (1972, p.3) dalam bulan Juli, Kawah Lanang mengeluarkan asap putih tebal berbau belerang bersuara mendesis. Lokasi tempat tembusan ini telah bergeser lebih kurang 10 meter. Di Kawah Ratu tembusan fumarola terdapat di tebing sebelah utara, asapnya berwarna putih dengan tekanan lemah. Dasar kawahnya tertutup lumpur. Di Kawah Wadon, tembusan fumarola terdapat di sebelah tenggara, berbau belerang berwarna putih tipis dengan tekanan rendah. Tidak ada perubahan kawah yang menyolok

Hingga kini, lubang kawah masih mengeluarkan gas belerang. Keasamannya mempengaruhi vegetasi sekitar dan memperkaya tanah dengan tambahan mineral. Umumnya, hutan dataran rendah merupakan sistem tertutup, yaitu dengan masukan atau lepasan nutrisi alami yang sangat sedikit. Sedangkan hutan pegunungan di Jawa Barat sangat berbeda. Hutan-hutan itu berada dalam sistem terbuka: tanah tercuci oleh hujan dan sungai dipenuhi oleh batu-batuan yang hancur serta semburan debu vulkanik. Tanah di lereng yang lebih rendah mendapatkan kesuburan karena cuaca dan adanya kegiatan biologis. Oleh karena itu, tanah tersebut lebih kaya Lumpur dan humus daripada tanah di kawasan atas.

Proses Geologi

Gunung Gede merupakan gunung api strato. Lereng gunungnya berkembang bebas kearah selatan dan tenggara. Pada bagian barat dan utara, gunung ini dibatasi oleh Gunung Pangrango yang membentuk gunungapi kembar dengan G. Gede. Pada arah yang lain, dibatasi komplek gunung api tua. Lereng bagian selatan lebih terjal dibandingkan dengan lereng lainnya, memperlihatkan topografi yang kasar dan irisan erosi yang dalam. Hal ini mungkin disebabkan adanya perpindahan aktifitas vulkanik ke arah utara, kearah endapan muda.

Gunung Gede dan sekitarnya dapat dibagi kedalam beberapa satuan morfologi: bentuk asal vulkanik (sisa-sisa kawah/amblasan dan irisan lereng pada endapan vulkanik), bentuk-bentuk asal denudasi vulkanik (G. Joglo dan Telaga), bentuk-bentuk asal denudasi (G. Kencana), dan bentuk-bentuk asal struktur (punggungan lava).

Bentuk setengah lingkaran mencirikan sisa kawah, yang terbuka ke arah barat laut dan mempunyai dinding yang terjal. Bagian atas dari kawah adalah paling terjal dengan tinggi 50-200m dan diameter 1600m. Kawah dibentuk oleh perselingan dari lava teralterasi dan piroklastik. Kawah aktif G. Gede dicirikan oleh bentuk tapal-kuda yang membuka ke arah utara. Dinding yang sangat terjal mempunyai tinggi dan diameter masing-masing 200m dan 1000m.

Perkembangan dan perpindahan dari kawah dicirikan oleh adanya saling potong antara satu kawah dengan kawah yang lainnya. Ada 7 kawah yang berada di daerah puncak, yaitu: Kawah Gumuruh; merupakan kawah terbesar dan tertua, dengan diameter 1600m, kawah ini mempunyai bentuk kawah tapal-kuda yang membuka kearah baratlaut, mempunyai tinggi sekitar 200 m dan dasar kawah datar yang sempit. Kawah Gede, terletak di dalam kawah Gumuruh dengan diameter 1000m, dinding yang terjal mempunyai tinggi 200 m, kawahnya membuka ke arah utara. Kawah Sela, terletak di utara sisi kawah kawah Gede dengan diameter 750m. Sisi kawah tidak terlihat karena erupsi yang lebih muda. Kawah Ratu, dengan diameter 300m dan dinding curam, berlokasi di dalam Kawah Gede. Kawah Lanang, merupakan kawah aktif dengan ukuran 230 x 170m dan dinding kawahnya sangat terjal. Kawah Baru, terletak didalam Kawah Gede. Kawah Wadon, terletak dibagian utara kawah Gede dengan ukuran 149 x 80 m, dicirikan adanya lapangan solfatara dan fumarola. Saat ini, Kawah Lanang dan Kawah Wadon merupakan kawah yang paling aktif.

Komposisi lava G. Gede berupa andesite hypersten augite vitrofirik sampai andesite augite hypersten. Sejumlah batuan berkomposisi basalt ditemukan pada lereng utara G. Pangrango. G. Gede menghasilkan aliran lava andesitik dari sumber magma primer tholeitik pada kedalaman zona Benioff 120 - 125 km.

Jalur Gunung Putri

Gunung Gede merupakan salah satu gunung yang paling sering dikunjungi wisatawan. Tak kurang dari 50.000 pelancong mengunjunginya tiap tahun, meskipun peraturannya cukup ketat. Tingginya angka kunjungan disebabkan oleh lokasinya yang dekat dari Jakarta maupun Bandung. Puncaknya bisa terlihat jelas dari Cibodas, Cianjur dan Sukabumi.

Untuk recovery, pengelola kawasan memberlakukan penutupan bagi umum tiap bulan Desember hingga Maret. Hal ini bertujuan untuk menekan kerusakan yang dilakukan oleh pendaki tak bertanggung jawab. Bahkan, untuk mengatur kuota pengunjung yang boleh mendaki, sejak 1 April 2002 diberlakukan sistem booking minimal 3 hari sebelumnya. Jumlah pendaki pun dibatasi hanya 600 orang per malam, 300 melalui Cibodas, 100 melalui Selabintana, 200 melalui Gunung Putri. Pendaftaran dilakukan di Wisma Cinta Alam, kantor Balai Taman Nasional Gn. Gede-Pangrango pada hari kerja.

Jika semua perlengkapan sudah dipenuhi dan surat ijin sudah ditangan, kini saatnya melakukan pendakian! Dari ketiga rute yang ada, jalur Gunung Putri, merupakan rute dengan waktu tempuh tercepat. Rute ini menjadi pilihan yang tepat bagi pendaki yang ingin mendaki Gunung Gede. Pasalnya, kita akan dituntun langsung menuju puncak. Sedangkan pengunjung yang ingin mendaki Gn. Pangrango, bisa memulainya dari jalur Cibodas.

Berhubung waktu yang disediakan pengelola kawasan sangat terbatas, kami pun memulainya pada malam hari. Tepat pukul 23.45 WIB, tim tiba di Desa Sukatani, Kec. Gunung Putri, setelah berkendara selama 20 menit dari Istana Cipanas yang merupakan pintu masuk ke tempat ini.

Usaai rehat sejenak di sebuah warung guna rechecking terakhir, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pondok Jaga Taman Nasional Gede-Pangrango yang berjarak 500 m dari desa ini. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi karena menanjak, bisa dipastikan energi akan banyak terkuras. Cuaca pun cukup dingin malam itu. Berjalan dengan beban ±20 kg di tengah hembusan angin menusuk tulang, membuat kami begitu kepayahan. Maklum, setiap awal pendakian pasti sangat menyiksa, apalagi kami sudah lama tidak mendaki gunung.

Secara perlahan namun pasti, iring-iringan berhasil menggapai pos jaga, setelah melewati daerah persawahan dan ladang penduduk. Pos ini berada agak jauh di dalam hutan, tepatnya di kiri jalur. Biasanya, surat ijin harus kita serahkan kepada penjaga pos sebagai kelengkapan administrasi. Disini juga akan dilakukan pemeriksaan ulang terhadap kelengkapan, jumlah tim, dan rencana kembali.

Dari sini, jalur mulai menanjak dengan lebar 1- 2m. Berbekal headlamp dan senter, tim mulai menapak dengan sangat hati-hati. Pasalnya, jika salah melangkah kita bisa terjerembab. Mendaki pada malam hari bukanlah pilihan yang baik. Selain tidak bisa melihat sekeliling, biasanya badan kita akan lemas akibat aktivitas siangnya. Belum lagi, jika terjadi kecelakaan, kita akan kesulitan untuk evakuasi karena keadaan yang gelap. Pendakian malam dibolehkan, jika kita sudah hafal dan paham dengan rute yang akan dilalui.

Tak terasa, setelah 20 menit berjalan, kami pun tiba di pos I di ketinggian 1850 mdpl. Tempat ini merupakan bekas pos penjagaan yang sudah tidak terpakai lagi. Disini, kami menemukan dua buah tenda yang di dirikan untuk bermalam. Lega rasanya menemukan pendaki lain, pertanda kami tidak sendiri. Tak kurang 10 menit kami habiskan di tempat ini untuk rehat sejenak.

Selanjutnya, karena badan mulai beradaptasi, pendakian kami teruskan sampai Pos Legok Lenca di ketinggian 2.150 mdpl, kemudian berlanjut hingga Pos Buntut lutung (2.300 mdpl). Dua pos ini berhasil kami tempuh hanya dalam waktu 40 menit. Yup.. sepertinya lumayan, bagi kami yang sudah lama tidak mendaki!

Rencana awalnya, hari itu kami harus tiba di Alun-alun Suryakencana saat pagi menjelang. Maklum, waktu yang tersedia cuma dua hari untuk mencapai puncak Gede. Namun nasib berkehendak lain. Saat tiba di Buntut Lutung, kami terlibat pembicaraan dengan tim lain yang sedang berkemah. Akibat perbincangan tersebut, beberapa kawan jadi mengantuk. Dan, jadilah kami terlelap di tempat itu.

Baru keesokan harinya, saat pukul 05.15 WIB, tim mulai melanjutkan perjalanan dalam keadaan ngantuk. Sekeliling mulai terang saat semburat merah sang surya menyeruak masuk ke sela-sela pepohonan. Mau gak mau, akibat keterlambatan ini, kami harus berjalan ekstra cepat. Jalur yang tadinya lebar, kini mulai menyempit mirip jalan setapak, dengan tanjakan yang makin terjal.

Setelah berjalan sejauh 30 menit, kami pun tiba di pos selanjutnya. Lawang seketeng namanya. Pos ini hanya berupa pondokan yang sudah rusak, berada di ketinggian 2500 mdpl. Di tempat ini, kami mulai hari dengan sarapan roti yang dilapisi sereal plus selai nenas serta secangkir susu sebagai padanannya. Ehm... Nikmat betul rasanya! Sarapan di udara terbuka di pagi hari, tentulah memberikan kesan yang berbeda.

Kondisi badan semakin fit setelah diisi. Target selanjutnya adalah Simpang Meleber. Menurut informasi, jarak terjauh antar pos, ada di tempat ini. Betul saja, setelah berjalan lebih dari 30 menit, pos yang sekelilingnya diberi pembatas, belum juga kami temukan. Kabarnya, di tempat ini banyak pendaki yang tersesat akibat mengikuti jalur ke kiri yang sedikit menurun. Karena itulah untuk menghindari salah arah, kini di sekeliling pos telah dipagar dan diberi tanda. Hanya arah lurus yang akan membawa kita menuju Alun-alun Suryakencana.

Di lokasi ini, kami beristirahat agak lama karena kelelahan. Aneka makanan dan minuman kembali digelar untuk menambah kebugaran. Dalam olahraga ekstrim seperti ini, dibutukan minimal 2500 kalori per harinya sebagai pengganti energi tubuh. Untuk itulah makanan dengan kadar kalori tinggi sangat diperlukan. Sehingga jangan heran, umumnya menu logistik pendaki merupakan makanan kalori tinggi dan siap saji.

Dari Simpang Maleber, perjalanan tinggal sedikit lagi menuju alun-alun. Tak sampai 25 menit, kami telah tiba disana. Jam menunjuk pukul 10.25 WIB sewaktu sampai di di alun-alun sebelah barat. Disini, kami berpapasan dengan pendaki yang baru tiba dari Gn. Pangrango yang rencananya akan turun melalui jalur Gunung Putri.

Di alun-alun ini, sejauh mata memandang, kita akan disuguhi oleh hamparan luas padang Edelweiss (baca: bunga abadi). Sepertinya, tak ada tempat yang punya kawasan Edelweiss seluas ini. Hanya decak kagum yang bisa kami ungkapkan atas keindahanya.

Berbeda dengan jalur sebelumnya, disini kita tidak akan menemukan tanjakan. Selanjutnya, kita harus mengarah ke timur, karena rute menuju puncak Gede ada disana. Dari barat sampai ke timur jaraknya cukup jauh dekat. Butuh waktu 20 menit berjalan. Karena keindahan tempat ini, sembari berjalan, anggota tim menyempatkan diri untuk berfoto dengan latar belakang edelweis maupun puncak Gede.

Waktu merujuk angka 12. 23 WIB, saat kami tiba di alun-alun timur Suryakencana. Di tempat ini kami dibuat kaget, dengan banyaknya tenda pendaki lain yang telah lebih dahulu tiba. Sebagian dari mereka berada dalam kelompok-kelompok kecil, sedang sisanya berkeliling.

Usai mencari tempat yang rata dan terlindung dari angin, sejurus kemudian aku pun mendirikan tenda untuk bermalam. Sementara teman-teman sibuk dengan aktivitas lainnya, seperti; mencari air, berbenah dan memasak. Berhubung tubuh sudah lemah akibat perjalanan panjang, keinginan menggapai puncak ditangguhkan dulu. Rencananya besok kami akan kesana.

Rintik hujan turun perlahan namun pasti, sesaat akan menggelar acara memasak. Ruang tenda yang sempit dengan aneka barang membuat kami tak bisa bergerak leluasa. Untungnya, dalam keperluan memasak kami menggunakan Trangia -kompor ringkas dengan pembakaran sempurna, buatan Swedia-. Sehingga kita tidak perlu khawatir dengan ruang maupun asap yang ditimbulkannya. Selesai makan, tak ada segmen yang paling menarik selain ngobrol tentang banyak hal ditemani secangkir susu hangat. Sampai ketika kami terlelap, hujan tetap awet diluar sana ditingkahi gemuruh angin kencang.

Keesokan paginya, sekeliling terlihat cerah usai hujan. Selepas sarapan, kami berencana menuntaskan sisa perjalanan, yakni puncak Gunung gede (2958m). Dari sini, jaraknya tidak jauh, hanya berjalan kaki selama 30 menit. Namun medannya sangat sulit, sehingga dibutuhkan kewaspadaan. Sesekali gerakan memanjat dibutuhkan untuk membantu meraih pegangan maupun injakan untuk kaki. Saat aku melirik keatas, ternyata tak ada tempat yang lebih tinggi. Aku berkesimpulan, bahwa puncak tinggal sejengkal lagi. Betul saja, dengan nafas penghabisan, dari sela-sela pepohonan aku melihat dataran dan banyak orang beristirahat disana. Ternyata, kami telah berhasil menjejak puncak Kubah Ageung, sebutan masyarakat lokal untuk Gunung Gede.

Sejurus kemudian, momen istimewa ini kami abadikan di sebuah titik Triangangulasi Tersier (titik ketinggian buatan belanda) yang mulai terlihat rusak akibat vandalisme orang tak bertanggung jawab. Di sela-sela kabut tipis, jauh di sebelah kiri dapat kulihat kokohnya Pangrango, sementara di depan kami tersaji kawah yang sangat luas, sisa letusan puluhan tahun silam. Saat dirasa cukup, akhirnya kami pun turun ke alun-alun, selanjutnya pulang melalui rute Gunung Putri. Sungguh, perjuangan belum selesai.

Dalam perjalanan pulang, tak henti-hentinya ucapan syukur kami panjatkan atas perbuatanNya yang ajaib. Ah... ternyata kebesaran Tuhan nyata di tempat ini. Semoga saja kau tetap lestari!

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN