Sunday, March 11, 2007

"Sebuah Essay, Jendela Nurani Anak-Anak Sampah"

Di balik jendela nuranimu
Kami orang kumuh dan berdebu
Di balik sinar kasih hatimu
Kami yang terbuang bagai barang sampahan

Reff:
Kunanti hari-hari di bawah sinar kasih mentari
Kunanti hari-hari di bawah sinar kasih mentari

Walau sikut harus berpautan
Kami yang terkulai bagi sinarMu Tuhan


Inilah lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak yang tinggal di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi. Lagu ini telah menjadi semacam mars bagi mereka. Lagu ini mulai di populerkan oleh Sanggar “Satu Untuk Semua”, tempat anak-anak tersebut belajar sambil bermain. Di iringi piano kecil, anak-anak ini melantunkan lagu “Jendela Nurani” (ciptaan Lukman; mantan anak sanggar) dengan begitu bersemangat.

Walau beberapa diantara mereka (baca: anak-anak sanggar) bukanlah anak pemulung, perkawanan mereka ternyata tidak mengenal strata. Buktinya, anak anak ini -baik pemulung maupun tidak- selalu berkumpul setiap hari Minggu di sebuah sanggar yang berdiri tahun 2005 lalu. Kemunculannya pun sempat didukung oleh sebuah stasiun tivi swasta dalam pengadaan sekretariat.

Di sanggar inilah mereka mendapat pendidikan informal yang tidak mereka dapatkan di sekolah maupun di rumah. Di sanggar berukuran 7x5 m ini anak-anak diajarkan bagaimana caranya membaca dan menulis, bahasa Inggris, bernyanyi, memainkan alat musik, berpikir kreatif dan mengolah sisa-sisa/ limbah rumah tangga.

Untuk kegiatan yang terakhir ini, telah menjadi semacam “ikon” kegiatan anak-anak disini. Pasalnya, pertama kali menjejakkan kaki di sanggar yang berlokasi di Jl. Naragong Pangkalan V, Bantar gebang, Bekasi, kita akan disuguhi aneka kerajinan buatan anak-anak ini. Mulai dari pintu masuk sampai dalam ruangan, semua dipenuhi bermacam-macam kreasi olahan tangan, seperti; lukisan dari bahan goni, wayang kardus, kotak aneka warna, maket dari gabus, hiasan dinding dan kerajinan dari ranting kering.

Melihat realitas ini, aku jadi teringat masa kecil dulu. Saat itu, di kampungku juga ada tempat semacam ini, hanya bedanya disana tidak diajarkan bagaimana caranya berpikir kritis. Semua lebih terfokus pada pelajaran sekolah, yang secara tidak langsung membuat anak-anak Indonesia terjebak pada sistem pemeringkatan, yang dalam bahasa populisnya disebut “rangking”. Mereka akan dikatakan bodoh, jika tidak bisa mencapai rangking 1 sampai 10 besar. Tapi benarkah demikian?

Sistem pendidikan kita yang bersifat linear tak pernah memperhatikan keadaan psikologis dan perkembangan anak. Semua di jejali begitu rupa, sehingga anak menjadi jenuh. Pendidikan telah dianggap sebagai momok yang mengerikan. Bahkan begitu mendengar kata “matematika” saja, banyak anak yang alergi karenanya. Semua itu tercipta karena “gaya” pendidikan dijadikan ajang uji coba oleh menteri yang menjabat. Belum lagi, jika kita bicara tentang anggaran 20% APBN yang katanya dialokasikan buat pendidikan, rasanya masih jauh! Pasalnya, disela-sela mahalnya biaya pendidikan, ternyata 20% anggaran, tidak langsung di kucurkan begitu saja, masih dibagi-bagi dalam beberapa tahapan. Bahkan, jamak terdengar adanya “penguapan” anggaran demi pengadaan barang ini dan anu. Yang, kalo di telaah lebih lanjut, membuat kita semakin pesimis dengan pendidikan bangsa ini.

Nah, dari pada semakin pusing, ijinkan “sang kelana” berceloteh lagi tentang anak-anak Bantar Gebang yang kini semakin paham akan hak-haknya. Saat kami berkesempatan mengunjunginya minggu siang (11/03/07), tawa canda dan senyum ramah begitu tulus tergambar dari wajah-wajah mungil mereka. Menurut Resha (21) -penanggungjawab sanggar-, ada empat puluhan anak yang tergabung di sanggar ini. Tapi, karena beragam kesibukan, tak semua bisa hadir dalam setiap pertemuan. Sama seperti hari ini, hanya dua puluhan anak yang terlihat wara wiri.

Mereka pun terbagi dalam beberapa kelompok kecil. Ada yang sibuk berlatih vokal, sebagai ajang latihan dan persiapan guna mengikuti “Festival Anak Pinggiran” yang rencananya akan berlangsung medio Juni 2007. Sekelompok lagi (anak usia 8 – 11 tahun) malah sibuk membuat kerajinan wayang dari kardus yang di mentor oleh seorang anak yang lebih besar. Kelompok lain juga tak mau kalah. Anak-anak yang punya hobi musik bisa mengembangkannya di sini. Dengan peralatan seadanya, seperti; gitar, tam-tam, pianika dan piano kecil, mereka pun belajar alat-alat musik. Walau nada yang dihasilkan terdengar gak jelas, tetap saja anak-anak ini antusias. Maklum, menggunakan alat musik menjadi permainan baru yang tidak mereka miliki di rumah. Sedangkan sisanya tergabung dalam kelompok prakarya yang menggunakan media gabus. Akhirnya, dari tangan-tangan kecil ini tercipta aneka maket, seperti rumah dan peta kawasan sampah Bantar Gebang

Di waktu-waktu tertentu, di sanggar ini pun sering dilakukan pertemuan, baik melalui diskusi maupun pameran dengan penduduk sekitar, guna menunjukkan kemampuan anak-anak yang tergabung disini. Pernah suatu ketika, orang tua seorang anak merasa bersalah dengan tindakan kasarnya, setelah membaca puisi hasil tulisan tangan anaknya. Orangtua tersebut menangis sejadi-jadinya. Dalam puisi itu, si anak menceritakan perlakuan kasar yang kerap dialaminya. Atau.., ada juga orang tua yang semakin sayang pada anaknya, setelah tahu anaknya punya kelebihan lain, seperti seni peran, menggambar ataupun bermain musik. Forum-forum seperti ini akan terus dibudayakan, untuk menunjukkan bahwa sanggar ini bukan sekedar tempat bermain, tetapi juga untuk menggali kemampuan si anak yang sering terabaikan oleh orangtua.

Awal Mulanya

Sanggar yang resmi berdiri awal 2005 lalu, ternyata tidak hadir begitu saja. Ada rentetan cerita yang mengikutinya. Cerita sedih yang jadi sejarah berharga bagi perkembangan pendidikan alternatif di tempat ini.

Awalnya, tersebutlah sebuah nama. Alex, demikian orang-orang kampung memanggilnya. Dia adalah seorang pemuda asal Jakarta yang mendedikasikan hidupnya bagi kaum marjinal, khususnya anak-anak yang terpinggirkan. Dengan modal semangat, pemuda yang pernah berafiliasi dengan NGO dan sempat mengecam pendidikan tinggi ini, memulai perjalanan panjangnya dengan menyusuri kampung demi kampung di daerah Bekasi, Bantar Gebang khususnya.

Penerimaan terhadapnya juga beragam. Ada yang sepakat dengan pola pengajarannya dan ada juga yang menolak. Mereka setuju karena ada yang rela mengajari anak-anak kampung yang sebagian besar buta huruf dengan orangtuanya pemulung. Sedang sebagian menolak, karena waktu yang melibatkan anak-anak untuk urusan produksi harus terbuang percuma. Menurut mereka, belajar hanya cukup di sekolah. Ya, begitulah kehidupan, ada yang kontra dan ada yang pro.

Sejak dimulai tahun 2001 silam, jumlah anak-anak yang diajarinya cukup fluktuatif. Kadang banyak, kadang sedikit. Ini terjadi, karena pola pengajaran dengan “system gerilya” yang dianutnya memiliki banyak kelemahan. Bayangkan saja, untuk mengajar anak-anak kampung yang masih belum bisa menulis maupun membaca, harus dilakukan di banyak tempat. Bisa di rumah orang, bisa di kandang ayam, bahkan di lapangan terbuka. So, bisa dipastikan, tak semua anak mengikuti sampai selesai. Pasalnya, selain kekurangan bahan ajar seperti buku dan alat peraga, dia pun sering kewalahan karena bertindak “one man show”.

Karena merasa sendiri itulah dia membutuhkan seorang partner yang bisa diajak berbagi beban, saat mengajari anak-anak pemulung tentang ilmu pengatahuan. Untungnya, di tahun 2003 lalu, Alex mengalami perjumpaan dengan Rhesa, perempuan setempat yang punya minat besar tehadap pendidikan anak. Setelah melalui diskusi dan pertemuan yang intens, mereka berdua sepakat untuk memajukan ide tersebut dalam sebuah wadah yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘sanggar’.

Saat itu Rhesa berpendapat, jika ingin memajukan pendidikan anak-anak ‘sampah’ ini, kita harus punya tempat yang bisa memfasilitasi keinginan anak-anak tersebut, baik dalam hal pelajaran maupun bakat mereka. Dan lagi-lagi, aktualisasi rencana itu tidak terjadi begitu saja. Sampai tahun 2004, mereka masih melakukan pendidikan ‘gerilya’ pada anak-anak itu, kebanyakan sudah dilakukan di rumah-rumah warga, bukan di lapangan ataupun di kandang ayam yang tak terpakai.

Dan, di penghujung 2004, sebuah kisah tragis pun terjadi! Saat hendak pulang ke Jakarta, Alex yang sedang mengendarai sepeda motor di tabrak bus dari belakang. Sejurus kemudian, kendaraan besar tersebut melindas motor dan menghempaskan pengendaranya. Kecelakaan itu yang membuat Alex mengalami luka parah dan langsung di larikan ke rumah sakit terdekat. Namun malang, beberapa hari berselang nyawanya tak tertolong. Alex pun meninggal!

Kini tinggallah Rhesa sendiri dengan impian besar mereka! Awalnya Rhesa merasa ragu dengan keberhasilan pendidikan alternatif ini. Pasalnya, sepeser uang untuk mendirikan sanggar ia tak punya. Yang dia punya hanyalah semangat dan sumbangan buku-buku dari masyarakat sekitar. Tapi, dasar dia perempuan tegar, selesai SMU dia mulai bangkit. Loby sana loby sini pun dia lakukan, termasuk ke banyak perusahaan. Sampai akhirnya, tak dinyana tak di duga, sebuah stasiun swasta merasa tertarik dengan ide pendidikan alternatif. Perusahaan ini pun menyumbangkan sejumlah uang guna pembangunan sanggar.

Namun peruangan belum selesai. Pasalnya, mereka belum punya tanah yang bisa digunakan untuk mendirikan sanggar. Itu yang membuat Rhesa semakin bingung, sementara bahan bangungan akan tiba beberapa minggu lagi. Akhirnya, tak ada jalan lain selain mengadu ke orangtua. Untung, orang tuanya mengerti permasalahan anaknya.

Kemudian diberilah sebuah lahan seluas 7x5 m, berada di depan rumah mereka sebagai tempat pendirian sanggar. Kemudian tempat ini jadi titik awal berdirinya sangar “Satu Untuk Semua” yang sampai saat ini masih berdiri kokoh. Ternyata impian Alex yang kini diteruskan Resha tidaklah sia-sia.

Anak ‘Sampah’ Yang Beda

Hari itu, pada pertemuan informal yang lebih tepat disebut sebagai diskusi, terlihat bagaimana cara pandang dan pola pikir anak-anak tersebut. Ternyata mereka tak beda dengan anak kebanyakan. Cara mereka mengutarakan pendapat dan mendebat sesamanya, menjadi pertanda tumbuhnya iklim demokrasi di tempat yang mungkin tak banyak orang tahu.

Sama seperti, ketika anak-anak ini sedikit ‘jengah’ dengan sebutan anak pemulung, hanya karena posisi rumah mereka berada di Bantar Gebang. Menurut mereka tidak semua anak yang bergabung di sangggar ini adalah anak pemulung. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Ada yang orang tuanya wiraswasta, tukang ojek, pegawai, buruh pabrik dan pemulung tentunya.

Begitu juga dalam hal pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. Untuk waktu-waktu tertentu, mereka akan diajari Bahasa Inggris dengan benar oleh Resha, yang kini mengambil jurusan Sastra Inggris. Sehingga jangan heran, untuk kondisi tertentu anak-anak ini akan langsung menjawab dalam Bahasa Inggris. Sedangkan untuk mengajar Matematika, anak-anak ini akan di bimbing oleh kakak pengajar yang lain. Ini dilakukan, karena banyak anak yang terkendala dalam mata pelajaran ini.

Dalam hal bermusik pun, anak-anak ini patut diacungi jempol. Walau tak mengecap pendidikan/ les musik, beberapa anak terlihat mahir menggunakan alat musik. Bisa jadi, karena memang bakat yang kemudian di latih dengan serius. Hanya dengan memperhatikan mereka bisa mengikutinya. “... awalnya, cuman liat-liat doang! Trus diajarin! Kemudian gue coba-coba. Eh, ternyata bisa”, ungkap Anjun, seorang anak yang kini bisa menguasai tam-tam dan piano.

Dari segi pendidikan formal, anak-anak disini juga merupakan yang terbaik. Tak sedikit, anak-anak yang bergabung di tempat ini meraih rangking terbaik di kelasnya. Tuti, misalnya! Anak pemulung kelas kelas tiga ini, sejak mulanya selalu meraih peringkat dua di kelasnya. Orangtuanya pun mendukung Tuti menggapai cita-citanya.

Munculnya kendala.

Pada awalnya, perkembangan sanggar cukup membanggakan. Pasalnya, kucuran dana dari banyak pihak masih berjalan, termasuk stasiun televisi swasta tadi. Segala keperluan sanggar berhasil di benahi, mulai dari keperluan meja, bangku, lemari dan seperangkat alat musik sederhana disumbangkan oleh banyak pihak. Buku-buku penunjang pun mulai berdatangan dari berbagai kalangan termasuk NGO.

Karena konsep yang ditawarkannya, banyak NGO mulai meliriknya sebagai percontohan pendidikan luar sekolah. Aneka iming-iming pun mereka tawarkan. Mulai dari perbaikan sarana/ prasarana sampai beasiswa. Namun dalam pelaksanaannya tidak demikian. Kebanyakan mereka (baca: NGO) melakukannya demi kepentingan sendiri, atau lebih tepatnya demi sekelompok orang. Ini yang membuat Resha menjadi patah arang dan menolak setiap ada NGO yang menawarkan bantuan. Niat untuk menolong ternyata dibumbui aroma kepentingan.

Dalam tahun kedua, perkembangan sanggar mulai surut. Bantuan dari televisi swasta telah dihentikan dengan alasan yang tak jelas, sementara sumbangan donator tak bisa dipastikan. Jadilah sanggar berjalan dengan terseok-seok. Saat anak-anak berkumpul, sepertinya tak ada yang kurang. Kekurangan baru terjadi ketika anak-anak mulai berebut bahan ajar, seperti buku dan peralatan lainnya.

Awalnya, ada niatan melakukan iuran bagi anak-anak yang sering datang, guna kelangsungan sanggar. Namun, rencana itu pupus karena ketidakmampuan mereka. Apalagi, semua anak-anak itu masih bersekolah dan beberapa diantaranya harus ‘mulung’ membantu orang tua. “kayaknya, sulit untuk minta iuran kepada anak-anak ini”, ungkap Rhesa, perempuan yang kini duduk di semester empat sebuah PTS.

Sampai saat ini, sanggar bisa bertahan hanya dari sumbangan perorangan, khususnya orang tua anak-anak yang peduli dengan keberadaan sanggar. Selain itu, gak ada! Sehingga untuk kemungkinan kedepannya, tak ada yang bisa menjamin.

Hanya beban moril yang membuat Resha ikhlas menjalankan kegiatan yang disebutnya sebagai “kewajiban untuk berbagi”. Sebab, jika dihitung secara materi, dia tak mendapatkan apa-apa. Malah lebih sering ‘tekor’. Sepertinya, hanya kepuasan bathin yang membuatnya bisa bertahan sampai sekarang.

Saat kutanya, berapa lama dia bisa bertahan dengan pendidikan alternatif ini. Dengan ekspresi pasrah, dia berujar: sampai anak-anak yang datang hilang dengan sendirinya!
(Jakarta, Senin, 00.23.13 WIB)




... Kehidupan sosial pada dasarnya adalah bersifat praktis. Semua misteri yang menyesatkan teory kedalam mistik menemukan pemecahan rasional dalam kerja praktis manusia dan dalam pemahaman praktis tersebut.(Karl Marx)

1 comment:

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN