Tuesday, August 28, 2007

"CaTaTaN uNtUk SaNg MaEsTrO"


Sekali ku hidup, sekali ku mati,
Aku dibesarkan di Bumi Pertiwi,
Akan kutinggalkan warisan abadi,
Semasa hidupku sebelum aku mati.
Lambaian tanganku panggilan abadi,
Semasa hidupku sebelum aku mati

(…kata-kata puitis dari lirik lagu "Sebelum Aku Mati", karya Sang Maestro keroncong, Gesang.)


Hari begitu indah, ketika kami memasuki kota Solo, tepatnya di Jalan Bedoyo No. 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan. Di tempat itulah sang maestro tinggal. Sang maestro yang terkenal dengan karya abadinya “Bengawan Solo”. Yup, dialah Gesang Martohartono (89), salah seorang maestro keroncong yang masih hidup. Kecintaannya terhadap jenis musik ini tak usah ditawar lagi.

Di tempat ini Gesang tinggal bersama dua adiknya yakni Ny Kayati (75) dan Thoyib (73). Suami Kayati telah meninggal. Sedangkan Thoyib seperti Gesang selama ini hidup sendiri. Di rumah warisan orangtua mereka inilah, kini tiga kakak beradik tinggal bersama anak dan cucu Kayati.

Awalnya dia agak terkejut dengan kehadiran kami. Namun setelah dijelaskan, akhirnya sang maestro bisa mengerti. Pasalnya, kami datang bertamu dengan begitu tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih rinci terhadapnya. Melalui telepon beberapa hari sebelumnya, kami hanya menyampaikan rencana ini kepada salah seorang keponakannya. Untungnya si ponakan mempersilahkan kami berkunjung.

Ternyata sudah cukup lama Gesang tak dikunjungi banyak orang. Kabar terakhir, yakni beberapa bulan silam, dia sempat dikunjungi seorang artis yang peduli terhadapnya. Biasanya, jika ada artis, seniman, maupun politisi yang singgah di Solo, tak jarang mereka bertamu di rumah ini. Sekedar bersilahturahmi.

Di rumah ini, tepatnya di ruang tamu sekelilingnya penuh dengan piagam penghargaan dari pemerintah dan lembaga-lembaga swasta plus foto-foto Gesang bersama pejabat dan teman-teman lamanya. Bahkan ada foto Gesang dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Juga tak ketinggalan foto Gesang dengan pencipta lagu Koesbini, yang diakuinya sebagai mentor.

Saat ditemui siang itu, Gesang tampak senang. Menggunakan kemeja batik dengan peci hitamnya ia terlihat gagah. Di usia yang makin renta, tak banyak yang bisa ia lakukannya. Paling-paling hanya keliling ruangan dan tidur. Jika kondisi sedikit fit, tak jarang sang maestro yang dilahirkan 1 Oktober 1917 itu akan berkeliling lingkungan rumahnya, sekedar untuk berolah raga. Ketika ditanya tentang keadaannya, Gesang hanya mohon doa restu, biar cepat sehat.

Tanggal 1 Oktober nanti, penggubah lagu "Bengawan Solo" ini genap berusia 90 tahun. Di usianya yang makin senja, ia memang sering sakit-sakitan, jarang bepergian, dan lebih banyak mengahabiskan waktunya di rumah bersama dua adiknya yang juga sudah berusia lanjut.

Kendati Gesang mengaku ingatannya terganggu, namun dari percakapan dengannya sekitar dua jam, terlihat bagaimana ingatannya masih begitu kuat. Buktinya ia masih ingat saat penjajahan Jepang, ketika lagu keroncong tak hanya digandrungi masyarakat, tetapi juga oleh serdadu Matahari Terbit.

"Dulu keroncong pernah hebat. Pada waktu itu di mana-mana ada radio siaran lagu keroncong. Di jaman Jepang, cuma lagu keroncong atau lagu daerah yang boleh. Tapi setelah merdeka, kita sudah bebas dengan semua jenis lagu," ujarnya.

Ketika penyakit itu datang

Dengan langkah tertatih, Gesang Martohartono (89) menerima kami di rumahnya saat kami menjenguknya awal agustus ini. Kondisi yang sudah jauh lebih baik, masih membuatnya tak bisa bergerak banyak. Kini, Gesang dalam kondisi pemulihan setelah sembuh dari penyakit yang di deritanya.

Menurut sebuah situs berita, beberapa waktu lalu di medio April 2007, selama hampir sepekan (7-13 April 2007), Gesang dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo karena gejala penyakit tifus. Selain gangguan usus, jantung Gesang sempat melemah karena kondisinya yang drop. Menurut keluarga, sebelum dibawa ke RS Gesang sempat tiga hari berturut-turut tidak bisa makan.

Setelah dirawat seminggu, akhirnya Gesang diperbolehkan pulang oleh dokter yang mengobatinya. Pulang ke rumah yang selama enam tahun terakhir ini ditinggalinya. Rumah yang merupakan peninggalan orangtuanya.

Yang lebih mengharukan, dengan suara yang melemah dan agak bergetar, Gesang masih sanggup menyanyikan satu bait dari lagunya yang terkenal; Bengawan Solo. Selain itu, Gesang pun masih sanggup menjawab beberapa pertanyaan kami, walau untuk berkomunikasi kami harus sedikit berbisik. Pasalnya pendengarannya sudah mulai terganggu. Hal ini diperparah ketika telinga kirinya sempat rusak akibat letupan sengatan petir dari jarak dekat. Dengan suara terbata-bata, Gesang mengungkapkan kebanggaannya terhadap lagu Bengawan Solo yang melegenda. "Saya bangga. Lagu Bengawan Solo jadi dikenal orang," paparnya.

Awal berkiprah

Jika saja bocah kecil bernama Sutadi tidak menderita sakit-sakitan, bisa jadi jagat musik Indonesia tak pernah memiliki seorang maestro keroncong yang terkenal lewat karya fenomenalnya. Dialah Gesang, komponis kondang lagu ‘Bengawan Solo’ yang kesohor.

Sepertinya sudah takdir, ayahanda Sutadi yang bernama Martodihardjo, akhirnya mengganti nama anak lelaki paling bontot itu dengan ‘Gesang’. Sepotong nama yang sangat bermakna, yakni hidup dan membawa si pemiliknya sampai usia 89 tahun. Selama itu pula, Gesang mengabdikan hidup di jagat seni musik keroncong dengan karya-karya bermutu.

Kisah hidup Gesang yang masa kecilnya berada di lingkungan juragan batik Kampung Kemlayan, memang sering didera penyakit panas menggigil yang hampir merenggut nyawanya. Namun di usianya yang kian renta dan sering sakit-sakitan sekarang ini, jiwa seni masih mengalir. kondisi tubuhnya tetap tegar, menyiratkan semangat hidup yang tak pernah mati.

Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang sudah lama mengikutinya. Bahkan, ketika anak-anak seusianya --termasuk kakak kandungnya; Mas Yazid-- menggemari olah raga sepak bola, Gesang kecil lebih senang bersenandung, yang dalam bahasa Jawa disebut rengeng-rengeng. Dari kebiasaan rengeng-rengeng sambil berimajinasi itulah, akhirnya Gesang melahirkan karya-karya lagu berirama keroncong yang liriknya sederhana namun sarat makna.

Pertama kali Gesang menggubah lagu adalah pada tahun 1934. Ketika usianya belum genap 20 tahun. Saat itu ia telah menghasilkan lagu yang berjudul "Si Piatu". Sebuah lagu yang diilhami kisah hidupnya, karena sejak usia lima tahun dia telah ditinggal ibundanya, Sumidah.

14 tahun kemudian saat Gesang muda hidup bersama ibu tirinya, Sumirah, sejak itu pula ia telah bergabung dengan grup musik keroncong "Marko", melantunkan lagu "Si Piatu" lewat Radio SRV (Solosche Radio Vereeniging). Karya lagu itu menjadi tonggak kesenimanan Gesang sebagai seorang komponis yang karyanya mendapat pengakuan dunia.

Dalam meniti perjalanan berkesenian musik keroncong, Gesang lebih banyak sebagai penyanyi. Dia sering menyatakan dirinya bukanlah seorang musisi, karena tidak terampil memainkan alat musik. Kalaupun dia mahir mencipta lagu, itu hanya sebatas dengan bantuan alat musik sederhana, seperti seruling dan gitar akustik. Itu sebabnya, nada-nada ciptaan Gesang yang puitis selalu terkesan sesederhana dan polos.

Sebagai komponis lagu-lagu keroncong yang bermutu tingi, Gesang tidak tergolong sebagai pencipta yang produktif. Selama tahun 1938, Gesang tercatat hanya menghasilkan lagu ”Si Piatu". Dalam buku biografi “Gesang Mengalir Sampai Jauh” yang diterbitkan Balai Pustaka (1999), selama tahun 1939 Gesang juga hanya berhasil menggubah dua lagu berjudul "Roda Dunia" dan "Suasana Desa". Lagu "Bengawan Solo" yang legendaris itu, juga merupakan lagu satu-satunya yang dia ciptakan pada tahun 1940, selain lagu “Sebelum Aku Mati”, yang berhasil ditulisnya pada tahun 1963.

Sepanjang 89 tahun usianya, Gesang hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 42 karya, terdiri dari lagu-lagu berirama keroncong asli maupun langgam, termasuk sejumlah langgam Jawa. Selain lagu "Bengawan Solo", tercatat lagu-lagu berjudul "Kr. Jembatan Merah", "Kr. Saputangan", "Kr. Tirtonadi", "Kr. Sebelum Aku Mati," maupun langgam Jawa "Caping Gunung", "Ali-ali", "Ngimpi", "Pamitan" yang juga dinyanyikan mendiang Broery Pesulima dalam versi bahasa Indonesia. Semua lagu tersebut adalah lagu-lagu karya Gesang yang monumental.

Yayasan Gesang.

Gagasan mendirikan Yayasan Gesang sebenarnya pernah digulirkan pada ulang tahunnya yang ke-81. Sejumlah dana telah terkumpul, namun akhirnya yayasan tak jadi terbentuk. Kemudian pada ulang tahunnya ke-87, komponis Gesang juga kebanjiran kado. Selain kado berupa pembukuan 44 karya lagu Sang Maestro, Gesang juga mendapat cendera mata berupa uang tabungan dari Wali Kota Solo, serta setumpuk bingkisan dari pengagumnya.

Yang tak kalah menarik adalah, keinginan besar para pengagumnya dari luar negeri. Secara berkala fans-fans ini memberikan bantuan berupa uang untuk menunjang hidup sang maestro. Akhirnya sumbangan para penggemar yang kebanyakan orang Jepang dan China inilah, menjadi tonggak awal pendirian yayasan Gesang. Salah seorang diantaranya adalah Mr. Yokoyama, seorang musikus Jepang yang sangat terinspirasi oleh karya-karya Gesang.

Rencananya yayasan ini bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan keroncong sebagai sebuah aliran musik tradisional yang hanya satu-satunya di dunia. Tak ada negara lain yang memiliki jenis musik seperti ini selain Indonesia.

Atas partisipasi para pengagum inilah kemudian di tepi sungai Bengawan Solo, didirikan taman Gesang, untuk menghormati karyanya yang sangat legendaris itu. Di tepi sungai yang merupakan bagian dari kebun binatang Solo inilah di bangun sebuah monumen berupa patung, mengisyaratkan kharakter Gesang yang bersahaja. Sayang, saat itu kami tak berhasil membawa Gesang kesana, karena kondisi tubuhnya yang masih belum kuat.

Di kawasan sekitar 2 ha itu, dibangun sebuah panggung pementasan yang kondisinya kini kurang terawat. Di saat-saat tertentu, sering diadakan pementasan, khususnya musik keroncong, disana.

Selain itu, musisi dan pengusaha Jaya Suprana sebagai pimpinan Museum Rekor Indonesia (Muri), secara mengejutkan memberikan kado piagam penghargaan. Sang Maestro dinilai sebagai komponis yang lagu-lagunya paling banyak direkam dan dinyanyikan.

Ternyata diam-diam Jaya Suprana sebagai seniman musik mengungkapkan kekagumannya pada komponis Gesang, yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas lima Sekolah Rakyat Ongko Loro. Seperti pernyataannya yang dikutip Harian Pikiran Rakyat, dia menyatakan; nada-nada khusus pada gamelan slendro itu pula, yang digunakan para musisi Cina dan Jepang. Sehingga lagu-lagu ciptaan Pak Gesang dapat dimainkan dalam versi Cina maupun Jepang.

Banyak pihak berharap, sang maestro berumur panjang. Sebagai seorang komponis yang lagu-lagu karyanya banyak dikagumi, Gesang hanya berharap musik keroncong akan terus mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, terutama generasi muda saat ini. "Keroncong jangan sampai mati muda," ujarnya terbata-bata.

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN