Monday, August 20, 2007

Tentang Seorang Demonstran

(Gie di titik triangulasi Gn. Pangrango. source: ist)
Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda.

Jauh sebelum karakternya mulai di lirik orang. Jauh sebelum orang ikut-ikutan latah menyebut namanya. Jauh sebelum orang mulai menonton filmnya, nama itu telah begitu lekat di telingaku sejak kuliah dulu. Sebuah nama yang menjelma jadi semacam ikon bagi anak-anak muda yang progressif dan para penggemar kegiatan alam bebas, seperti kami. Nama yang selalu mengingatkanku akan pentingnya sebuah integritas dalam memberi warna. Nama yang mengarah pada satu tokoh yang sangat peduli rakyat kecil. Ya, dialah Soe Hok Gie, eksponen 66 yang terkenal gigih dalam perjuangannya menumbangkan rezim Soekarno. Menurutnya, Presiden Soekarno tidak lebih dari lanjutan raja-raja Jawa, beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton.

Jumat malam kemarin, tepatnya tanggal 17 Agustus 2007, saat Indonesia merayakan HUT ke 62, untuk ketiga kalinya aku berkesempatan menonton kembali film yang menurutku masih yang terbaik. Rasanya belum ada film biografi yang mendekati realitas seperti ini.

Film yang dibuat atas interpretasi sineas muda, Riri Reza dan Mira Lesmana, berdasarkan buku harian Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Seorang Demonstran (LP3ES, 1983), mencoba menghidupkan kembali seorang tokoh pergerakan yang pernah ada di jamannya, sekitar tahun 1959 – 1969. Tak melulu mengikuti cerita bukunya, mereka mengambil garis besar buah pikir dan kehidupan Gie yang cukup kompleks dan diproses untuk sebuah tontonan komersil.

Tentunya tak mudah mencari seting lokasi seperti pada tahun 1960-an. Akhirnya melalui riset lapangan, Semarang menjadi lokasi syuting yang dianggap memadai sebagai penggambaran Jakarta kala itu. Mobil-mobil tua pun harus dipoles sedemikian rupa agar tampak mendekati. Dan untuk mendapatkannya dibutuhkan perjuangan yang ekstra keras.

Hasilnya, cukup memuaskan. Film ini layak menjadi tontonan bagi siapa pun yang berkesan dengan pemikiran orisinil seorang Gie dan mencari tontonan alternatif di tengah maraknya film bergenre remaja dan horor.

Rekam Adegan
Di adegan-adegan awal, imaji yang tercipta membawa penonton masuk ke dalamnya. Sebagai generasi terakhir, kita mendapat gambaran jelas tentang kondisi Indonesia di era 50 – 60’an. Dimulai dari bagaimana hubungan antar etnis di saat itu, bagaimana keluarga peranakan Cina hidup di zaman itu, hingga dinamika persahabatan antara Gie dan Tjin Han terpampang begitu jelas.

Penggambaran sosok ayah Gie, Soe Lie Piet (Robby Tumewu), sastrawan Cina peranakan pun, terasa sangat pas. Tak banyak omong, hanya mengandalkan gesture dan mimik, tapi mampu membuat penonton mengerti tentang kegelisahan pribadinya.

Sejak umur 15 tahun, Gie yang duduk di bangku SMP sudah mulai menorehkan kesehariannya dalam sebuah buku. Inilah awal pembuka film yang harus menjalani proses produksi selama tiga tahun.

.…saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Kira-kira pada umur lima tahun saya masuk sekolah Sin Hwa dan seterusnya..... (demikian suara Nicholas Saputra memperkenalkan diri sebagai pembuka)

Gambar dimulai dengan keresahan masyarakat akan revolusi di tahun 1957. Tembok-tembok menjadi sasaran coretan kaum miskin kota yang ingin perubahan menuju perbaikan hidup yang layak. Sosok Gie, yang bercelana pendek dan berkaos oblong, menjadi saksi mata akan ketidakpuasan sebagian masyarakat kala itu.

Walau terbilang cukup muda, Gie memiliki pemikiran-pemikiran radikal yang tak terbendung. Jika ada yang tak berkenan menurutnya, tak segan-segan ia bantah. Ia berani mengoreksi gurunya yang mengatakan Chairil Anwar adalah pengarang prosa Pulanglah dia si anak hilang. Gie yakin pengarangnya adalah Andre Gide, seorang sastrawan yang bukunya sudah dilahapnya dan Chairil hanyalah penerjemah. Sang guru tadi tetap ngotot akan pendapatnya. Tak ada yang mengalah, Gie pun menerima nilai yang jelek. Dan itu kembali diprotesnya.

Sejak SMP, Gie memang gemar dengan sastra. Buku karya Spengles, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Shakepeare sudah selesai dibacanya. Namun itu juga dikritisinya habis-habisan. Misalnya kisah legendaris 'Romeo and Juliet'. Romantisme yang tertuang di dalamnya dianggap tak masuk akal dan menjemukan.

Dengan alur maju, pembuatnya berhasil membuat transisi dengan sangat baik, saat Gie masih muda menuju dewasa. Keterangan waktu di film ini menjadi babak penting kehidupan Gie. Saat SMP menginjak SMA, Gie muda diperankan Jonathan Mulia. Saat ia menginjak bangku kuliah di Universitas Indonesia pada tahun 1962, sosok Gie dewasa beralih ke Nicholas Saputra. Untungnya kedua pemeran ini memiliki karakter wajah yang hampir mirip.

Tak semua tokoh yang ada dalam film Gie ini pernah ada. Misalnya Shinta dan Ira. Dua wanita yang digambarkan dekat dengan Gie itu hanyalah nama rekaan. Pujaan hati Gie sesungguhnya bernama Maria. Dalam kenyataannya, Gie tak bisa memiliki Maria karena tidak disetujui keluarganya.

Diam menjadi kekuatan karakter sosok Gie. Pada nyatanya, Gie memang sangat pendiam. Menurut pengakuan Arif Budiman, kakak beradik itu pernah tak bicara selama 10 tahun hanya karena mempertahankan pandangan masing-masing.

Menjadi bumbu penyegar, tak lupa film ini menyelipkan kisah romansa sang demonstran di tengah-tengah kesibukannya membagi pemikiran di kampus. Gie yang kaku, harus menahan rasa sukanya pada Ira, teman seperjuangannya di kampus. Kendati begitu, ciuman pertamanya berlabuh di bibir Sinta, seorang wanita yang pada akhirnya digambarkan menyerah pada kekayaan materi.

Namun hidup terus berjalan. Ia makin kritis kepada pemerintah yang bertindak sewenang-wenang menaikkan harga. Hatinya miris melihat rakyat yang mengantri demi mendapatkan sembako. Buah pikirnya menjadi sajian koran-koran terkemuka sekaligus menampar pemerintah. Akibat perbuatannya itu, ia mulai dicari-cari 'seseorang' untuk 'diamankan'.

Hati Gie semakin resah melihat teman seperjuangan yang lupa akan idealismenya. Mereka menduduki bangku parlemen dan mulai mengecap asyiknya menghisap uang rakyat. Gie pun mulai kembali ke keterasingannya. Di puncak Semeru, 16 Desember 1969, sang demonstran merasakan sesaknya menghirup gas beracun. Sehari menjelang usianya ke 27 tahun. Soe Hok Gie yang enggan berganti nama menghembuskan nafas terakhirnya disaksikan sahabat karibnya, Herman Lantang.

Dari semua itu, yang paling mengharukan adalah di bagian akhir, saat seorang teman Gie yang diperankan Indra Birowo menyerahkan sepucuk surat kepada Ira, cinta sejatinya, sebagai surat terakhir. Di film itu digambarkan betapa puitisnya kata-kata yang tertulis, sampai-sampai Sita (memerankan Ira) meneteskan air mata, tak kuasa menahan haru dan duka. Kata-kata puitis yang membuat setiap penonton akan terenyuh. Sungguh luar biasa. Begitu Romantis dan idealisnya tokoh yang satu ini.

Gie
Sosok Soe Hok Gie sendiri dilahirkan pada 17 Desember 1942, Anak keempat dari lima bersaudara, keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Sejak kecil ia amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarganya tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-lakinya adalah Soe Hok Djien yang kini berganti nama menjadi Arief Budiman (akademisi, pengamat politik dan ketatanegaraan yang bermukim di Australia). Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk korespondesi dengan teman-temannya.

Semakin besar, ia semakin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam. Didalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Begitu tulisnya.

Sikap kritisnya tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp. 2,50 kepada pengemis itu. 

Di catatannya ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.

Gie melewatkan pendidikannya di SMA Kanisius. Tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan ilmu sejarah. Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali akibat inflasi mengakibatkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang menurut Gie hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia. Dia mencatat: Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang demonstran.

Mulai saat itulah hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dunia progresif seperti rapat-rapat, demonstrasi, aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda, sampai dengan ancaman teror serta cacian dari penguasa karena aktivitas pergerakannya. 

“Aku ingin mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya … Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas”, begitu tulisnya. 

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie kemudian menggabungkan diri didalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat rapi dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Gie juga salah satu tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-Militer pada tahun 1966. Gie sendiri dalam buku Catatan Seorang Demonstran, menulis soal aktivitas gerakannya tersebut: Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran … (Jakarta, 25 Januari 1966)

Mendaki gunung
Bersama Mapala UI yang didirikannya, Soe Hok Gie berencana mendaki Gunung Semeru (3.676m) setelah sebelumnya berhasil menaklukkan G, Slamet. Sewaktu mencari pendanaan, pihak sponsor menanyakan mengapa mereka mendaki gunung. Dengan lantang Gie pun berkata:

Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong (temannya) dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango, tempatnya menghasilkan puisinya yang terkenal Pangrango - Mandalawangi.

Pelajaran Berharga
Ada pelajaran berharga yang terjadi setelah meninggalnya Gie, seperti yang dituliskan Arif Budiman sebagai pengantar dalam Catatan Seorang Demonstran, edisi 1993. Arif ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang sangat mempengaruh dirinya dan orang lain yang membaca buku ini.

Dia ingat, pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah Gie bicarakan dengannya. Gie berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Arif tahu, mengapa dia berkata begitu. Gie menulis kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu sering gelisah dan berkata: “ Gie, untuk apa semuanya ini? Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibu dia Cuma tersenyum dan berkata “Ah, mama tidak mengerti”.

Ketika seorang teman Gie dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib, Herman lantang.

Arif melihat Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Dia berpikir: “Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu”.

Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri Arif Budiman adalah apakah hidupnya sia-sia? Jawabannya di dapatkan sebelum tiba kembali di Jakarta.

Dia sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Teman itu bertanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab “Tidak. Mengapa?” Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. “Soe Hok Gie yang suka menulis di koran? Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab “ Dia orang berani. Sayang dia meninggal”.

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, Arif turun dari pesawat dan duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut ikutan duduk. Mereka bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Setelah membenarkan, dia kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”. Arif memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan khayalannya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Arif tahu, di mana Gie menulis karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, Soe Hok Gie sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba, sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam dirinya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun cuma di dalam hatinya.

Arif Budiman terbangun dari lamunannya ketika dipanggil naik pesawat terbang. Mereka akan berangkat lagi. Dia berdiri kembali di samping peti mati. Di dalam hati ia berbisik “Gie, kamu tidak sendirian”. Dia tak tahu apakah Gie mendengar atau tidak, apa yang katakannya. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN