Sunday, August 19, 2007

"SePeNgGaL KiSaH MoMoYe"



Tiada yang menyangka, penderitaan lahir dan bathin harus ditanggung oleh perempuan renta ini. Cita-citanya sebagai pemain sandiwara, harus pupus oleh tipu daya seorang Jepang. Ia pun harus merelakan diri menjadi Jugun Ianfu, pemuas nafsu birahi serdadu Jepang. Serta tak ketinggalan, penolakan masyarakat kala itu turut menghancurkan hatinya. Sungguh menyakitkan!

Di suatu sore yang indah, di salah satu gang di sudut kota Yogya, tepatnya di daerah Pathuk (yang terkenal dengan bakpianya), kami berkesempatan bertamu ke rumahnya yang mungil. Di rumah mungil yang terletak di pojokan itu, ia dan seorang putranya tinggal menghabiskan masa tuanya.

Bagi penduduk setempat, tak ada yang tak mengenal perempuan tua yang sempat jadi abdi dalem ini. Mbah Mardiyem, demikan masyarakat menyebutnya. Mardiyem merupakan satu dari ribuan orang yang sempat mengalami penderitaan pahit di masa pendudukan Jepang. Saat itu, Mardiyem muda di pekerjakan sebagai pemuas nafsu tentara Jepang yang terkenal dengan sebutan jugun ianfu.

Di usianya yang kini 78 tahun, tak banyak yang bisa di kerjakan, selain membersihkan rumah mungilnya sembari merawat bunga-bunga kertas (baca: dalam bahasa Jepang disebut ‘Momoye’) yang tumbuh subur di pekarangannya. Karena identik dengan kecantikan bunga bunga itu pula, serdadu Jepang menganugerahi gelar ‘Momoye’ padanya. Akibat gelar ini pula, sesama jugun ianfu (baca: pelacur) yang dipekerjakan saat itu memanggilnya Momoye. Sampai akhirnya penulis muda bernama Eka Hindrati dan seorang Jepang, Koichi Kimura berkesempatan menulis kisahnya menjadi sebuah buku yang lagi-lagi berjudul “MoMoYe” hingga akhirnya di terbitkan oleh Erlangga.

Saat itu, dia sedang asyik membaca beberapa bagian di halaman tengah buku tersebut, ketika kami mengunjunginya. Dengan kaca mata tebal sembari mengernyitkan dahi, dia terlihat bingung dengan kehadiran kami. Maklum, kami bukanlah orang yang familiar baginya. Tetangga bukan, apalagi saudara. Kami hanyalah jurnalis muda yang ingin menguak fakta tentang keberadaan Jugun Iyanfu yang kabarnya semakin susah ditemui. Pasalnya, tak sedikit diantaranya yang sudah meninggal dunia.

Kini, hanya sedikit orang yang bersedia mengunjunginya. Paling-paling hanya kalangan yang bersimpati. Diantaranya: jurnalis, perwakilan pemerintah Jepang yang merasa bertanggungjawab (terhadap) kejahatan perang yang dilakukan serdadunya, serta LBH Jogya yang menjadi tim pengacaranya sejak tahun 2000 lalu, ketika permasalahan ini mencuat di dunia Internasional sebagai kejahatan perang terhadap perempuan.

Dengan wajah yang bersahaja, akhirnya dia bisa mengerti kedatangan kami. “Beginilah aku sekarang” ungkapnya dalam bahasa Jawa sembari memperkenalkan diri. “... tapi, mbah masih tetap terlihat cantik, kok” tutur temanku menimpali. Demikianlah akhirnya pembicaraan singkat menjadi pembuka perbincangan kami sore itu.

Jika dilihat sekilas, tak tampak kesedihan di wajah perempuan yang lahir pada tahun 1929 di Yogyakarta. Wajah dan kulit yang terlihat putih menjadi penanda sisa-sisa kecantikan masa lalunya. Pendengarannya pun masih setajam dulu. Sepertinya tak banyak yang berubah dari perempuan tua ini, selain keriput yang makin melebar dan gerakannya yang terlihat lamban. Apalagi, beberapa bulan lalu ia baru saja sembuh dari penyakit yang hampir saja merenggut jiwanya. “ibu baru saja sembuh dari penyakit, mas” ungkap anak lelakinya yang kini setia mendampingi.

Berbeda dengan kegiatan prostitusi yang saat ini lebih didasari oleh faktor ekonomi. Kala itu, kaum jugun ianfu melakukannya karena unsur paksa di bawah tekanan. Tak ada cara lain selain mengikuti apa yang diinginkan serdadu Jepang. “kondisi saat itu betul-betul sulit. Mau lari gak tahu harus kemana”, tuturnya dengan wajah nanar.

Walau kenangan itu telah lama berlalu, tak serta merta pandangan warga terhadapnya berubah. Sekembalinya dia dari kalimantan ke Yogyakarta di tahun 1950, masyarakat yang awalnya tak pernah tahu akhirnya mulai mencibir. Bahkan kegiatan kateringnya yang sempat laris kala itu, harus direlakan bangkrut di tahun 1993, begitu tahu ia merupakan bekas jugun ianfu. Akhirnya dengan bersusah payah ia menata kembali kehidupannya yang hancur bersama sang suami, Aminun, seorang pensiunan TNI yang terpaut usia 38 tahun dengannya. “sampai sekarang saya tak pernah rela kalau di sebut pelacur” ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Ikhwal sedih itu

Saat itu, Mardiyem kecil yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas II sekolah rakyat (SR) di Yogyakarta, memiliki talenta di bidang seni. Dia mahir menyanyi keroncong dan sering tampil di pergelaran sandiwara di kampungnya.

Suatu hari di jaman penjajahan di tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Waktu itu umurnya baru 13 tahun, ayah dan ibunya sudah meninggal. Kakak yang saat itu tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.

Sekitar 48 perawan Yogyakarta diangkut dengan kapal Nichimaru milik Jepang menuju Telawang, Kalimantan Selatan. Di pulau seberang itu mereka dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama ditempatkan di restoran Jepang. Kelompok kedua dipekerjakan sebagai pemain sandiwara. Kelompok ketiga, termasuk Mardiyem, dibawa ke sebuah asrama tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Orang menyebut tempat itu ian jo. Di area itu terdapat puluhan kamar berjejer teratur.

Cikada, pengurus asrama itu, segera menemui para gadis, termasuk Mardiyem. Para gadis itu diberi nama Jepang. Mardiyem pun menjadi Momoye, setelah terinspirasi cantiknya bunga kembang kertas yang dalam bahasa Jepang disebut Momoye. Setelah diperiksa dokter, para gadis diperintahkan menempati kamar masing-masing. Kamar itu sempit, luasnya tak lebih dari dua meter persegi.

Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11. "Dindingnya masih tercium ada bau cat," tuturnya, seperti yang dikutip dalam di buku Momoye.

Gadis remaja itu terhenyak. Ia merasa ditipu, karena ternyata pekerjaan menjadi pemain sandiwara muslihat belaka. Mulai saat itu ia resmi menjadi jugun ianfu, budak seks bagi tentara Jepang. Sejak itu pula Mardiyem tak akan pernah bisa melupakan pengalaman duka itu

Pada hari pertama "kerja" itu tiba-tiba saja seorang pria Jepang nyelonong ke kamarnya. Lelaki berewok itu membawa karcis. "Saya tendang. Saya lawan. Tapi, seberapa sih kekuatan anak umur 13 tahun?" ujar nenek yang kini berumur 78 tahun itu. Benteng itu hancur lah sudah. Air matanya mengucur deras menahan pedih. Sakit! Dia tak pernah lupa pada derita perih saat kegadisannya direnggut.

Ternyata lelaki berewok itu baru permulaan, pembuka petaka. Siang itu pula enam laki-laki bergiliran mendatangi kamarnya. Kamar sempit itu segera menjadi neraka bagi Mardiyem. Kemaluan remaja yang belum mendapat haid itu mengalami perdarahan hebat. "Saat berjalan saja darahnya sampai netes. Kain saya basah jadinya," ujarnya lirih seperti yang dikutip dalam sebuah situs berita.

Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Siang-malam dia harus melayani birahi tentara Jepang. Waktunya habis dalam kamar "pemerkosaan" itu. Bahkan, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari pun sering tak sempat.

Bukan hanya kekerasan seksual yang dialami Mardiyem selama tiga tahun itu. Pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari. Para tamu ataupun pengelola ian jo begitu ringan tangan setiap Mardiyem menolak melayani. Setiap hari Mardiyem harus menjadi Momoye dan dipaksa melayani sedikitnya 5 hingga 10 lelaki.

Ternyata para pengunjung ian jo harus membeli karcis untuk bisa memperkosa Mardiyem dan kawan-kawannya. Semakin malam, harga karcisnya kian mahal. Setiap jugun ianfu harus mengumpulkan karcis yang dibawa para tamu. Menurut pengelola ian jo, karcis-karcis itu akan ditukarkan dengan uang di kemudian hari. Tiga tahun berlalu sudah, namun para gadis itu tidak menerima satu sen uang pun . Padahal, selama tiga tahun menjadi Momoye, Mardiyem mengumpulkan satu keranjang karcis.

Dua tahun berlalu. Suatu hari, Cikada, pengelola ian jo, memanggil Mardiyem ke kantornya. Mardiyem dibawa ke rumah sakit, karena gadis yang baru menginjak usia 15 tahun itu hamil. Petugas rumah sakit menggugurkan paksa kandungannya tanpa bius. Seorang perawat menekan perut gadis malang itu kencang-kencang. Mardiyem pun menjerit keras. Janin yang berusia 5 bulan itu keluar dari rahimnya. Sakitnya pasti luar biasa. Akhirnya, janin yang berwujud manusia itu hanya sesaat merasakan dunia.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Mardiyem dan rekan-rekannya lepas dari cengkeraman tentara Jepang. Tak lama setelah mereka lari, pasukan Sekutu menghujani asrama itu dengan bom.

Tidak Puas

Selama tiga tahun, (1943-1945), Momoye, begitu panggilan tentara Jepang kepadanya, harus melayani tamu. Entah tentara atau sipil. Jika mereka tak puas, pukulan dan tendangan sepatu lars sering mendarat di tubuhnya.

Sejarah kelam perempuan Indonesia yang dialami ribuan anak perempuan itu, tak sedikitpun tertulis dalam buku sejarah. Jugun ianfu dianggap aib oleh negara.

Tak ada hal lain yang diinginkan perempuan tua ini (baca: yang dulu sempat membantu tentara dengan menyeludupkan senjata dari markas Jepang), selain pengakuan dosa oleh penjajah Jepang. Dari sebuah NGO lokal terungkap, bahwa pada tahun 1993, tiga pengacara dari Negeri Matahari Terbit datang ke Indonesia melalui Menteri Sosial kala itu (baca: Inten Soeweno) meminta mereka untuk mendata para eks jugun ianfu yang masih hidup.

Setidaknya terdata sekitar 1.156 eks jugun ianfu dari Lampung hingga NTB. Mardiyem kemudian dihadirkan sebagai saksi dari Indonesia dalam persidangan Pengadilan Internasional di Tokyo untuk Kejahatan Perang terhadap Perempuan dalam Kasus Perbudakan Seksual Militer Jepang pada masa Perang Dunia II di Desember 2000.

Selanjutnya, di tahun 2001, Pemerintah Indonesia, lewat Mensos, menerima 38 juta yen dari pemerintah Jepang. Uang itu lantas digunakan untuk membangun panti jompo. Meskipun demikian, penggunaan dana itu tidak melibatkan para korban. Kantor Departemen Sosial di Yogyakarta membenarkan adanya dana sebesar Rp 285 juta untuk pembangunan panti jompo bagi para eks jugun ianfu.

Bu Mardiyem dan 12 kawannya menolak, karena selain tidak ingin tinggal di panti jompo, kala itu, permintaan maaf itu tidak kunjung datang. Sampai sekarang aliran dana itu ke mana, tidak ada kejelasan, padahal pengucuran dana AWF itu masih berlangsung hingga tahun 2007 ini.

Masalah Lain

Walau kini beban itu telah sedikit terangkat, tak serta merta hidupnya kembali tenang. Masalah lain kini sedang mendera. Masalah yang berawal dari penulisan kembali kisah hidupnya oleh penulis muda dan seorang Jepang. Ntah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja, kedua penulis itu bertamu kepadanya. Kurang lebih 2 minggu mereka tinggal bersama di gubuk reotnya itu.

Selama 2 minggu itu mereka berkesempatan mengurai kembali kisah sedih yang pernah dialami Mardiyem selama 3 tahun sebagai jugun ianfu. “Aku semakin sedih jadinya, kalo ingat masa-masa itu”, tuturnya padaku. Kegiatan penulisan buku ini juga yang membuatnya jatuh sakit, sepulangnya penulis tadi. Jika sudah begitu, hanya putra tunggalnya yang jadi repot karenanya. Sementara para penulis tadi, tetap berlalu, tak punya kepedulian sedikit pun, padahal mereka mengetahui ikhwal sakitnya sang momoye.

Selain itu, di awal pertemuan mereka, sang Momoye dijanjikan royalti untuk penulisan jika buku itu akhirnya terbit. Namun sayang, hingga kami bertamu ke rumah mungilnya, janji royalti tak kunjung tiba. Ketika lounching buku itu dilakukan disebuah mal di Jogyakarta, si penulis pun tak berani bertemu bahkan bertatap muka dengan Mardiyem. Itu pula yang terjadi ketika di acara Kick Andy -sebuah acara talk show di sebuah televisi swasta-, lagi-lagi, si penulis tak berani bertegur sapa dengannya. Bisa saja terjadi karena janji tersebut hanyalah pepesan kosong.

Akhirnya, hanya tersisa satu cara, yakni mengadukan kasus ini lewat jalur hukum. Untunglah pihak LBH Jogya yang pernah membelanya di kasus kejahatan perang di pengadilan internasional di Jepang waktu itu, masih berbaik hati mendampinginya. Sampai tulisan ini dibuat, pihaknya masih memperkarakan kasus perdata ini di pengadilan negeri Jogya.

Jika dirunut, sebenarnya permintaan perempuan tua ini sangat sederhana. Ia ingin agar penulis sedikit perhatian terhadapnya. Pasalnya, ia harus dirawat beberapa lama di rumah sakit karena rasa traumatis yang ditimbulkan oleh penulisan kembali kisah hidupnya itu. Dia hanya ingin para penulis itu punya hati. Belum lagi, ternyata janji royalti yang rencananya harus diberikan, ternyata tak kunjung tiba.

Akhir cerita

Bagi Mardiyem, penolakan masyarakat sudah membuatnya sakit hati. Hal itu diperburuk oleh pemerintah Indonesia yang juga tidak pernah peduli dengan perjuangannya. "Waktu saya ke Tokyo, hanya ditemani orang LBH. Kalau orang Korea, yang menemani wali kota bahkan gubernur sampai anggota parlemennya. Ini bukti kalau pemerintah tidak peduli," keluhnya dalam sebuah konperensi pers saat penerbitan bukunya.

Setiap malam tiba, penderitaan selama menjadi Momoye selalu terbayang. Air matanya pun menetes. Apalagi ketika buku yang berisi penderitaan hidupnya akan disusun. Semua kenangan sedih itu terurai kembali.

Setelah beberapa tahun berupaya mencari keadilan, akhirnya permintaan maaf dari pemerintah Jepang itu pun tiba. Walau tak sepenuhnya bisa menghalau pedih itu, dengan sedikit haru, kini ia bisa bernafas lega. Sepertinya, kepedihan tak akan pernah lekang dari ingatannya. Kepedihan yang hanya akan sirna ketika ia mati.

Kini, tahun-tahun pilu itu sudah 65 tahun berlalu. Mardiyem sudah renta. Saat ini perempuan tua yang sangat tegar ini hanya menggantungkan hidup dari uang pensiun suaminya, Rp 500.000 sebulan. Sesekali dia menerima belas kasih orang lain. Menurutnya, pengorbanannya di masa lalu, tidak akan terbayarkan dengan kompensasi sebesar apapun. “Saya hanya ingin hidup layak dan tenang”, ungkap pejuang yang terlupakan ini, seraya menutup perjumpaan kami malam itu.

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN