Monday, August 13, 2007

"KiSaH SaNg PeNgAbDi"



Bekerja dengan dengan dedikasi yang tinggi dan dibayar mahal tentunya sudah biasa. Tapi tahukah anda, jika ada sekelompok orang yang bekerja dengan dedikasi tinggi, namun dibayar dengan harga murah. Ya.., merekalah para pengabdi.

Matahari baru saja beranjak ke peraduannya, ketika kami menyusuri daerah Bantul, sebuah kawasan administratif berstatus kabupaten di Daerah Istimewa Jogyakarta. Dikawasan ini, tepatnya satu tahun silam, gempa tektonik sebesar 5,6 skala ritcher sempat meluluhlantakkannya dengan menelan ribuan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tak ternilai.

Berdasarkan informasi yang kami terima, tepatnya di Desa Pandes - Kab. bantul, terdengar kabar tentang sesosok pribadi yang sangat setia terhadap tradisi. Tradisi yang masih dipegang teguh oleh para pengabdi di lingkungan keraton Jogya. Yup…, dia adalah satu dari puluhan abdi dalam, yang bertugas di lingkungan kesultanan Jogya. Abdi dalam, merupakan sebutan bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi bagi sultan dan keluarganya di lingkungan keraton.

Bagi pria berusia 85 tahun ini, mengabdi bagi keraton merupakan panggilan hidup yang sangat diinginkannya. Terbilang sudah 26 enam tahun ia bekerja disana. Di tempat itu, bermacam pekerjaan pun telah digelutinya, mulai dari merawat kebun dan tanaman, membersihkan aula dan istana, mempersiapkan semua hal yang berhubungan dengan kedatangan tamu sultan, hingga merawat gamelan dan benda-benda pusaka yang sering digunakan dalam acara-acara sakral.

Namun kini, seiring usia yang mulai senja, tugasnya tak lagi seberat dulu. Saat ini dia lebih terlihat sebagai supervisor bagi beberapa orang abdi dalam yang lebih muda. Jika ia tiba lebih dahulu, sesekali dia harus mengerjakan kegiatan rutin, seperti mengepel aula keraton dan merawat kebun yang ada disana.

Awal Perjumpaan.

Setiap detik perjalanan hidup sungguh merupakan sebuah misteri. Misteri yang tak akan kita tahu akan berujung seperti apa. Setidaknya ini yang dialami pria berusia 85 tahun yang dikenal masyarakat sekitar sebagai “Mbah Udi”. Di usia yang semakin uzhur, badannya masih terlihat bugar, meski kini ia tinggal sendiri semenjak ditinggal mati sang istri beberapa tahun silam. Pola pikirnya pun masih tetap sama. “hidup ini sebuah misteri yang mesti di jalani” ungkapnya padaku di sela-sela makan siang waktu itu.

Di rumah berukuran 8 x 4 meter yang di dalamnya tak terawat inilah orang tua tersebut tinggal. Sekeliling tembok yang tak di plester semakin menimbulkan kesan kelamnya. Benda-benda berbentuk usang tampak berserakan di sepenjuru ruangan, pertanda simbol kemiskinan. Serta tak ketinggalan sepeda “onthel” yang usianya teramat tua, teronggok di ujung ruang tamu. Jika ditaksir, umurnya mungkin sepantaran dengan usia pemiliknya yang kini semakin rapuh.

Di sela-sela istirahatnya, ia pun menuturkan ikwal perjumpaannya dengan dunia abdi dalam di keraton. Saat itu usianya sekitar 59 tahun, ketika tawaran tersebut datang. Berhubung orangtuanya juga merupakan abdi dalam, sifatnya ke-abdiannya bisa turun ke anaknya. Begitulah Mbah Udi yang bagi masyarakat sekitar dianggap tetua desa, mulai berkecimpung di lingkungan keraton.

Ternyata, sejak mudanya Mbah Udi telah akrab dengan kegiatan bersih-bersih di lingkungan keraton. Di sela-sela kegiatannya, ia kerap membantu pekerjaan orangtuanya yang bertugas di istana. Akhirnya, karena kerja keras dan keuletannya itu, Sultan Hamengkuwono X mengangkatnya sebagai abdi dalam dan dianugerahi gelar Wiryudikseno hingga sekarang. Ketika ku tanya sampai kapan ia akan bertahan menekuni profesi ini, dengan sumringah ia menjawab, “sampai ajal menjemput”, ujarnya.

Menuju Tempat Kerja

Seperti kesepakatan sebelumnya, kami berencana mengikuti rutinitas keseharian bapak 5 orang anak ini keesokan harinya. Benar saja, saat sebagian orang masih terlelap dalam selimut hangatnya. Sosok yang satu ini sudah siap sedia saat jam menunjuk angka 5.20 WIB. Ditemani sepada bututnya sebagai satu-satunya alat transportasi, ia telah berdandan dengan pakaian kebesaran, berupa baju sojan berwarna merah dengan bawahan dari batik, tak beralas kaki, serta tak ketinggalan topi ‘blangkon’, sebagai ciri khas seorang abdi.

Berhubung hari masih subuh, sarapan berupa bubur yang disiapkan oleh anak perempuannya tak pernah ketinggalan menghiasi tas kecilnya yang selalu tergantung di ‘stang’ sepeda.

Dari rumahnya yang terletak di Desa Pandes, Kab. Bantul, ia akan menyusuri jalan-jalan kampung yang masih terlihat sepi, hingga akhirnya akan bertemu jalan besar yang akan mengantarkannya tiba di keraton Jogya. Sedikitnya, ia menghabiskan waktu 30 menit untuk tiba disana.

Sifatnya yang sangat terbuka, membuat kami gampang berkomunikasi hingga boleh mengikuti kesehariannya. Sesekali ia terlihat tersenyum, tak kala aku menyebutkan sebuah kata yang ternyata berlainan makna. Maklum, saya bukan lah orang jawa. Saya hanyalah keturunan seberang yang tertarik dengan kehidupan kaum minoritas, terlepas apapun sukunya.

Secara sigap ia pun mendorong sepeda tuanya keluar dari rumah idamannya. Rumah yang sudah puluhan tahun ditinggalinya. Rumah tempat ia dan istrinya membesarkan kelima orang anaknya yang kini telah mandiri.

Selanjutnya, dari rumah ia akan melaju ke arah Krapyak, daerah luar karaton yang mulai dipadati penduduk. Krapyak merupakan bangunan berbentuk simetris (nyaris seperti kubus). Pembagian ruangan dipisahkan oleh koridor-koridor dengan langit-langit atas berbentuk melengkung. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (13 Februari 1755 - 24 Maret 1792). Panggung Krapyak terdiri atas dua lantai. Kedua lantai tersebut dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu (tangga ini sekarang sudah tidak ada lagi). Lantai atas merupakan lantai yang terbuka dengan pagar yang juga terbuat dari tembok mengelilingi setiap sisi lantai.

Dulunya, bangunan ini dipergunakan sebagai tempat membidik binatang sambil berlindung. Binatang-binatang tersebut ditempatkan di bagian selatan Panggung Krapyak. Di samping sebagai tempat berburu, tempat itu diduga juga sebagai tempat pertahanan/pengintaian prajurit keraton dari serangan musuh.

Dari Krapyak ia terus menyusuri jalan-jalan yang mulai dipenuhi oleh pengendara lain. Suasana tampak berubah. Sekeliling mulai dipadati oleh ratusan orang yang sibuk dengan aneka keperluan. Ada yang membawa anak sekolah dan ada yang pergi ke tempat kerja. Hingga tak terasa akhirnya ia tiba di derah Plengkung Gading, sebuah pintu masuk menuju alun-alun selatan Keraton Jogya.

Di pintu gapura yang berbentuk melengkung ini, lagi-lagi mbah udi harus beradu cepat dengan pengendara lain. Pasalnya pintu itu tak terlalu lebar. Dengan sedikit tertatih, terlihat jelas bagaimana pria tua ini harus meloloskan diri hingga akhirnya berhasil masuk, untuk selanjutnya menuju Alun-Alun Selatan (baca; Kidul).

Dari Alun-Alun Kidul, ia terus menggoet sepedanya menuju bagian samping Sasono Hinggil. Sasono Hinggil merupakan salah satu kompleks bangunan di kawasan Keraton Yogyakarta. Kompleks bangunan Siti Hinggil Kidul terletak di utara Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Siti Hinggil Kidul untuk saat ini lebih terkenal dengan nama Sasana Hinggil Dwi Abad.

Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Grebeg dan pada zaman dulu, juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad) juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya:Tratag Rambat dan Bangsal Siti Hinggil.

Dari tempat ini, akhirnya dia tiba di daerah ‘megangan’. Megangan merupakan pintu belakang keraton yang akan menghubungkannya dengan kawasan inti keraton. Dari tempat ini, setiap orang yang akan melintas, diwajibkan mematikan serta mendorong kendaraannya. Itu juga yang dilakukan abdi dalam yang satu ini. Setelah lelah berkendara selama 30 menit, ia pun mendorong sepeda tuanya menuju tempat parkir yang disediakan di samping pintu utama. Dari sini ia akan memulai tugas utamanya, sebagai tukang bersih-bersih aula dan alat-alat kesenian.
Tugas Utama.

Berbeda dengan abdi dalam yang lain, tugas abdi dalam yang berpakaian merah seperti dirinya, lebih ditujukan pada bagian dalam keraton. Saat itu, kami berkesempatan untuk mengikuti kegiatannya setelah lebih dahulu meminta ijin pada polisi (pengamanan) keraton.

Di aula tempat penyimpanan alat-alat musik tradisional, dengan cekatan ia mengambil se-ember air plus tongkat pel yang akan digunakan untuk membersihkan aula seukuran ¼ lapangan bola. Di tempat ini, ia akan memulai kegiatan utamanya.
Namun sayang, ketika akan mengikuti kegiatan selanjutnya, langkah kami dihentikan oleh pihak pengamanan tadi. Pasalnya, kami hanya diberi waktu beberapa menit untuk melihat kegiatan abdi dalam yang satu ini dari dekat. Sepertinya sudah jadi peraturan tak tertulis di tempat ini, kegiatan para abdi dalam merupakan kegiatan yang tertutup dari pihak media.

Akhirnya dengan berat hati kami harus kembali ke pintu megangan. Dari sini kami akan menunggu kepulangannya, untuk selanjutnya melakukan sedikit wawancara mendalam. Namun dari sela-sela pembatas ruangan, masih terlihat jelas, bagaimana bapak tua ini terlihat cekatan dengan alat-alat kerjanya. Sepertinya, ia sangat mencintai pekerjaan ini.

Pengabdian

Pengabdian merupakan cerminan kata yang sangat cocok dengan pribadi Mbah udi sebagai seorang abdi dalem. Makna pengabdian bisa saja berarti makan sehari sekali untuk bisa menghidupi tubuh renta-nya. Seringkali pak tua ini tidak peduli dengan harga-harga sembako yang selalu naik, mahalnya BBM, atau gula yang makin langka. Pernah pula sepedanya rusak dan ia bingung bagaimana memperbaikinya. Untunglah menantu (baca; suami anak perempuannya) yang kini hidup berdampingan dengannya dapat memberikan bantuan.

Mengabdi pada hidup-lah yang membuat orang kampung dari Desa Pandes ini terus bertahan. Meskipun hanya 1 atau 2x makan nasi campur gaplek, anugerah hidup tetap menopang tubuh-kurusnya untuk terus berusaha. Jika ia selesai ngabdi, -demikian kata-kata yang sering terdengar untuk mengasosiasikan kegiatan mengabdi di keraton- tak lupa ia mengambil sejumput rumput untuk makanan ternak kambingnya.

Di usianya yang tak lagi muda, tak banyak yang bisa ia lakukan. Biasanya selesai mengambil rumput ia pun akan bersantai di bangku kayu di depan rumahnya, sembari memilin tembakau lintingan yang dibelinya di pasar. “Inilah hidup. Apapun itu harus kita syukuri dan nikmati” ungkapnya disela-sela hisapan tembakau lintingannya.

Pengabdian baginya menjadi kunci penting yang bisa membawanya bertahan hingga saat ini. Di usianya yang kini 85 tahun, tak terhitung sudah banyaknya pengalaman yang dijalani. Sebagai abdi dalam yang dulunya hanya di gaji 3 ribu rupiah hingga mencapai 9 ribu perbulan kini, tak membuatnya kecil hati. Baginya gaji kecil tak jadi penghalang untuk terus mengabdi. Mengabdi bagi sultan dan keraton merupakan anugerah.

Dari gaji yang demikian kecil, bisa dipastikan tentunya tak cukup untuk menghidupi keluarga. “Namun, itulah muzijat”, Kilahnya. Jika kita bekerja dengan tulus semua muzijat bisa terjadi. Sehingga jangan heran jika kebutuhan primer bisa tercukupi. Namun tidak demikian halnya dengan kegiatan pendidikan. Anak-anaknya hanya mampu mengecam hingga bangku Sekolah Dasar (SD) sebelum akhirnya bekerja.

Nrimo dan Pasrah

Selain pengbadian, Mbah Udi pun selalu nrimo dan pasrah dalam menjalani hidup. Rasa itu yang membuatnya bisa menikmati hidup hingga sekarang. Biasanya gaji 9 ribu selalu utuh dibawa pulang untuk digunakan sendiri. Jika dulu, sewaktu istri masih ada, uang itu akan digunakan untuk keperluan keluarga. Tidak pernah ada keinginan yang di luar jangkauannya. Bila hari itu ia bisa bekerja dengan baik, menikmati makan siang, berupa sayur bayam dan tempe dan pulang siang hari, cukuplah baginya.

Karena prinsip nrimo dan pasrah ini, akhirnya sultan memberinya tanah seluas 1000 m di kawasan Parangtritis, selatan Jogya. Selain itu, ia pun kerap diberi tambahan uang oleh kerabat keraton yang peduli terhadap kehidupan abdi dalam.

Prinsip ini pula yang membuat ia selamat takkala gempa tektonik sebesar 5,6 skala ritcher mengguncang Jogya. Saat semua orang yang ada di jalan berjatuhan akibat goncangan gempa, ia sendiri terlihat kokoh mengayuh sepedanya menuju keraton. Ia sendiri tak tahu mengapa banyak orang yang jatuh dan luka-luka. Ia baru tahu ketika banyak orang teriak; ‘gempa’. Selain itu, ia pun dapat mengingat dengan jelas, bagaimana rumah reotnya tak rubuh oleh guncangan, ketika banyak rumah di sekelilingnya roboh dan menyatu dengan tanah. “Itulah kekuatan nrimo dan pasrah”, kilahnya.

Sepertinya banyak hal yang bisa dipelajari dari kehidupan para pengabdi ini. Selain pasrah, mereka pun konsisten dengan pengabdianya terhadap profesi. Bagi mereka tak ada kebahagiaan lain, selain bisa mengabdi seutuhnya pada sultan, simbol kekuasaan keraton Jogyakarta.

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN