Thursday, February 07, 2008

Tahun Baru Imlek Setara Dengan Thanksgiving Day


Tak banyak orang yang tahu, kalau Tahun Baru Imlek bukan merupakan hari raya agama, seperti Idul Fitri ataupun Natal. Perayaan yang setiap tahunnya diperingati oleh semua etnis Tionghoa di seluruh dunia, tak lebih dari sekedar perayaan ucapan syukur, seperti Thanksgiving Day di Amerika.

Tahun Baru Imlek adalah salah satu hari raya Tionghoa tradisional, yang dirayakan pada hari pertama dalam bulan pertama kalender Tionghoa, jatuh pada hari terjadinya bulan baru kedua setelah hari terjadinya hari terpendek musim dingin (Latin: solstitium => bahasa Inggris: solstice). Namun, jika ada bulan kabisat kesebelas atau kedua belas menuju tahun baru, tahun baru Imlek akan jatuh pada bulan ketiga setelah hari terpendek. Hari raya ini juga dikenal sebagai 春節 Chun1jie2 (Festival Musim Semi), 農曆新年 Nong2li4 Xin1nián (Tahun Baru), atau 過年 Guo4nián.

Imlek dirayakan di seluruh dunia, termasuk di Pecinan di berbagai negara, dan merupakan hari raya terpenting bagi bangsa Tionghoa, dan banyak bangsa Asia Timur seperti bangsa Korea dan Vietnam (Tết) yang memiliki hari raya yang jatuh pada hari yang sama. Sekitar masa tahun baru orang-orang memberi selamat satu sama lain dengan kalimat: Aksara Tionghoa Sederhana: 恭喜发财 - Aksara Tionghoa Tradisional: 恭喜發財 = "selamat dan semoga banyak rejeki", dibaca: "Gōngxǐ fācái" (bahasa Mandarin), "Kung hei fat choi" (bahasa Kantonis), "Kiong hi huat cai" (bahasa Hokkien).

Tahun Baru Imlek di Indonesia

Di Indonesia, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Alm. Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur) dan Hari Raya Imlek.

Oleh sebab itu, pada Hari Raya Imlek anggota keluarga akan mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) le- luhur untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan ling- wei leluhur untuk bersem- bahyang.
Di Jakarta terdapat banyak Rumah Abu tempat penitipan abu leluhur yang dikremasi atau lingwei dari leluhur yang sudah dimakamkan. Pemujaan terhadap leluhur merupakan salah satu bagian penting dari kebudayaan etnis Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa yang percaya bahwa alam semesta adalah Chi (energi).

Ketika manusia meninggal dunia maka jasadnya turun ke bumi, sedangkan rohnya hidup terus di langit sebagai Chi. Hal ini memungkinkan orang yang masih hidup untuk berhubungan dengan leluhur mereka yang sudah meninggal dunia melalui pemujaan, ritual, dan upacara.

Angpao

Angpao (Hanzi: 紅包, hanyu pinyin: hong bao) adalah bingkisan dalam amplop merah yang biasanya berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun baru Imlek.

Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.

Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan/amplop merah. Namun angpao sebenarnya bukan hanya monopoli perayaan tahun baru Imlek semata karena angpao melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik, sehingga angpao juga ada di dalam beberapa perhelatan penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain yang bersifat suka cita.

Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak2 menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.

Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.

Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.

Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.

Imlek Bukan Hari Raya Agama

Saat ini masyarakat keturunan Tionghoa merayakan Hari Raya Imlek. Imlek adalah hari raya tahun baru berdasarkan penanggalan Imlek yang dirayakan setiap tanggal 1 bulan pertama kalender Imlek. Maka perayaan Imlek disebut Sin Cia (tahun baru).
Kalender Imlek adalah penanggalan yang menganut perhitungan berdasarkan peredaran bulan (lunar calendar). Tidak seperti kalender masehi (kalender Gregorian) yang berdasarkan peredaran matahari (solar calendar).

Perayaan Imlek juga disebut Chun Cie (pesta musim semi). Hal itu erat kaitannya dengan keadaan musim di Tiongkok, di mana penduduk mengalami perubahan dari musim dingin yang suram dan dingin menjadi musim semi yang cerah dan sejuk, serta penuh dengan kehidupan baru dari flora dan fauna. Maka kedatangan musim semi sangat disyukuri dan dirasakan patut dirayakan dengan penuh sukacita.

Pada Hari Raya Imlek, wihara dan kelenteng penuh sesak oleh orang-orang yang datang untuk sembahyang. Oleh sebab itu, banyak orang yang bukan etnis Tionghoa dan bukan beragama Buddha mengira Imlek adalah hari raya agama Buddha sebab wihara adalah tempat beribadat umat Buddha.

Imlek bukan hari raya agama Buddha. Hari raya agama Buddha adalah Tri Suci Waisak yang memperingati tiga peristiwa penting, yaitu hari lahir Pangeran Sidharta Gautama, hari Pangeran Sidharta Gautama menjadi Buddha dengan dicapainya penerangan sempurna, dan hari wafatnya Sang Buddha dan masuk Pari Nirwana.

Imlek juga bukan hari raya agama Konghucu. Hari raya agama Konghucu adalah hari lahir Nabi Konghucu, hari wafatnya Nabi Konghucu dan Hari Genta Rohani (Hari Nabi Konghucu meninggalkan jabatan pemerintah dan mengembara ke dalam dunia spiritual).
Hari Raya Imlek adalah pesta rakyat yang paling utama dalam almanak Tionghoa, yang dirayakan dari tanggal satu bulan satu Imlek sampai dengan tanggal 15 bulan satu Imlek (Cap Go Me), selama 15 hari.

Etnis Tionghoa merayakan Imlek di wihara dan kelenteng bukan hanya menyembah Buddha, tetapi juga untuk menyembah dewa-dewa dan orang suci untuk menyatakan rasa syukur, berterima kasih, serta memohon perlindungan dan kebaikan bagi keluarganya di tahun-tahun yang akan datang.

Sejak ribuan tahun lalu, di negeri Tiongkok banyak orang sekaligus menganut tiga agama, Buddha, Tao, dan Konghucu, sehingga dapat disebut sebagai agama Sam Kao atau Tri Dharma. Ciri agama orang Tionghoa sampai sekarang masih banyak yang bercorak agama majemuk. Dalam hal kepercayaan, orang Tionghoa umumnya tidak mutlak percaya pada satu agama, melainkan mengambil unsur-unsur tertentu dari berbagai agama masing-masing. Banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang juga menyembah dewa-dewa majemuk.

Prof Kong Yuanzhi, Guru Besar Bahasa dan Kebudayaan Indonesia, Fakultas Studi Ketimuran (Oriental Studies), Universitas Peking, dalam bukunya Silang Budaya Tiongkok Indonesia, menyatakan, di Jakarta selama 1650 - 1975, berturut-turut telah dibangun 72 wihara dan kelenteng. Dewa-dewa dan orang suci yang dipajang di dalam 72 wihara dan kelenteng itu seluruhnya berjumlah 115 macam.

Jadi, di wihara atau kelenteng tidak hanya ada patung Buddha, tetapi juga banyak patung lainnya. Antara lain, Kwan Im, Kwan Kong, Konghucu, Toa Pekong, Dewi Langit, Dewi Samudra, Dewa Tanah, dan Delapan Dewa.

Sebagai contoh, di Wihara Dharma Bakti (Kelenteng Kim Tek Yan) yang dibangun sekitar 1650 di Jalan Toa Se Bio, Glodok, Jakarta, dipajang patung-patung: Bodhisatwa Kwan Im, Bodhisatwa Ksitigarbha, Zhao Gongming, Kwan Kong, Dewa Tanah, Dewi Tian Hou, dan lain-lain.

Setara dengan Thanksgiving Day

Perayaan Imlek mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan yang sudah diterima pada tahun yang baru lalu dan permohonan berkat dan pertolongan baik dari Thian (Tuhan), dewa-dewa, maupun leluhur pada tahun yang akan datang.
Di Amerika Serikat diselenggarakan pesta rakyat "Thanksgiving Day" yang dirayakan pada hari Kamis kedua bulan November. "Thanksgiving Day" bermula dari tradisi pesta panen masyarakat pertanian yang sudah dirayakan sejak masa kejayaan Yunani dan Romawi. "Thanksgiving' dirayakan sebagai tanda terima kasih pada Tuhan atas keberhasilan panen pada musim itu.

Di Amerika Serikat sejak 1863, "Thanksgiving Day" ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional. "Thanksgiving Day" menjadi pesta rakyat yang tidak terkait dengan suatu agama, sehingga segenap warga negara Amerika Serikat merayakannya dengan sepenuh hati.

Seperti halnya "Thanksgiving Day" Imlek juga bukan hari raya keagamaan. Imlek adalah pesta rakyat yang dirayakan secara tradisional oleh etnis Tionghoa dari segala macam agama di seluruh dunia. Dan mereka merayakannya dengan penuh suka cita dan mengucap syukur sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

1 comment:

  1. Anonymous1:25 PM

    jadi kalau begitu, imlek adalah satu-satunya hari besar etnis yang diliburkan di indonesia....., ini berbeda dengan thanksgiving yang bukan milik salah satu etnis di amerika.....
    ada yang aneh di sini kenapa hanya etnis tionghoa saja yang hari besarnya dipaksakan sebagai libur nasional? kebayangkan jika saja semua etnis menginginkan kalender etnisnya di jadikan libur nasional?ada berapa tanggal merah dalam setahun hehehehehe,....
    salam kenal....

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN