Thursday, March 06, 2008

Bertindak dalam Ketidakadilan dan Mengucap Syukur


Jumat malam lalu(28-02-08), saya mengalami hal yang sedikit berbeda, setidaknya menurut pengamatanku selama ini. Pengalaman yang membuatku tak kan bisa lupa hingga tua nanti. Peristiwa ini bermula pada tanggal 27 Februari lalu, ketika untuk kesekian kalinya, kantor memberikan surat keterangan perihal kenaikan gaji karyawannya.

Tak berbeda dengan rakan-rekan lain, saya pun menunggu dalam antrian panjang, demi mendapatkan selembar kertas yang kata(nya) rahasia, berisi keterangan besaran gaji untuk setahun ke depan. Rasanya cukup lama juga saya antri di lorong yang menghubungkan antara pintu masuk dengan ruangan Kadiv (kepala divisi) yang letaknya berseberangan dengan meja sekret, tempat pembagian surat tadi berada.

Momen-momen seperti ini emang terbilang langka, apalagi antriannya terlihat panjang. Ntah mengapa, tiba-tiba saja terbersit asa mendokumentasikan kejadian tersebut dengan kamera HP beresolusi 2 MP yang senantiasa terselip di saku. Akhirnya dengan sedikit kerja keras, jadilah beberapa momen ajaib itu terjepret sempurna. Rencananya, Ntar, jika ada waktu, foto-foto itu akan ku publish lewat blog, biar semua orang bisa melihat keriuhan yang terjadi.

Puas dengan acara jepret-jepret, kembali aku masuk ke barisan. Kali ini, antriannya tak seramai 10 menit lalu. Ternyata telah banyak teman-teman yang mendapatkan surat ajaib itu. Sedetik berlalu, aku pun berhasil mendapatkannya.

Tanpa pikir panjang, secepat kilat ku sobek amplop pembungkusnya. Namun sebelumnya, aku lihat sekeliling, takut jika ada yang melihat aksi nekat ini. Pasalnya, aku membukanya di hadapan teman-teman yang masih antri.

Dari celah lipatan itu dapat kulihat dengan jelas angkanya. Sebuah angka yang membuat aku terperanjat. Bukan karena nilainya yang besar, tetapi karena besarannya yang jauh dari harapan. Tapi apapun itu aku harus bersyukur, setidaknya itu pesan orangtuaku dulu.

Dua Hal Berbeda

Sejurus berlalu, aku masih bingung dengan kenaikan gaji kali ini. Apalagi, saat bertemu “anto”, teman sekantor yang masuknya setelah aku. Dari ungkapannya tergambar jelas ketidakpuasan.

“masa aku cuma naiknya sedikit, sih?” kilahnya
“...tapi, masih masih diatas ****, kan? Tanyaku.
“ya, sih! Tapi kenaikannya gak signifikan” jawabnya menimpali.

Puas ngobrol dengan anto, aku pun bergegas ke kantin -–LG--. Sepertinya, di sana lah unek-unek ini akan ditumpahkan. Apalagi di salah satu meja telah hadir beberapa orang rekan yang kebanyakan anak-anak baru (baca: batch VII). Budi –-teman se program-- yang rencananya ingin ngobrol juga, ternyata tak juga nongol. Akhirnya aku pun bergabung dengan mereka.

Beberapa saat kemudian, setelah memesan menu makan malam, Budi akhirnya tiba dengan wajah yang lebih cerah.

“gimana bud? Kayaknya ceria banget!” tanyaku.
“ya... lumayanlah, ada kenaikan!” sahutnya
“Kalo lu sendiri, gimana?” tanyanya
“wah.., kayaknya jauh dari harapan, nih!” jawabku dalam hembusan nafas panjang.
“emang kenapa?” tanyanya lagi.
“masa aku dapatnya segini,” tandasku sembari menunjukkan surat yang kata(nya) bersifat rahasia itu.
“Kok bisa segitu, ya? Padahal elu kan lebih senior dari gua! Masa besarannya sama dengan gua, sih? Gua pikir elu dapatnya segini (sembari menunjukkan simbol angka dengan jemarinya)?” sahutnya dengan ekpresi bingung.
“nah.., itu dia yang aku tanyakan. Apa gua terlalu tolol, ya?” ungkapku

Dari pembicaraan itu, terlihat bagaimana budi pun merasa aneh dengan kenaikan gajiku. Apalagi ketika kami tahu, kenaikan itu tak beda jauh dengan karyawan yang baru bergabung setahun – dua tahun di perusahaan ini. Paling-paling bedanya hanya seratus hingga dua ratus ribu rupiah saja. “dasar edan!” pikirku.

Dari peristiwa ini ada dua pelajaran penting yang mesti digarisbawahi. Pertama, tentu saja mengucap syukur. Mengucap syukur, merupakan ungkapan kata yang telah kuketahui sejak kecil. Dalam semua keadaan, agama menganjurkan kita mengucap syukur. Kata-kata itu ibarat kompas yang membuat kita kembali berpijak di tempat yang sebenarnya, saat melakukan orientasi agar tak hilang arah. Kata-kata itu juga telah menjadi semacam penentu, dalam menentukan jarak pandang yang lebih aman, sehingga semuanya terlihat lebih jelas. Kata-kata itu pun memampukan kita melihat ke atas atau ke bawah, sejauh mata sanggup memandang.

Namun, kesadaran akan adanya ketidakberesan, membuatku mempertanyakan kondisi yang terjadi. Apakah cukup hanya dengan mengucap syukur?

Sepertinya pertanyaan itu terdengar klise. Bahkan banyak orang akan menilaiku berlebihan jika melakukan protes. Sedikitnya mereka akan berkata: “Sudahlah buat apa di pertanyakan lagi! Toh, kamu juga sudah mendapat kenaikan. Bayangkan kalo kamu tidak naik gaji sama sekali, seperti yang dialami seorang teman”.

Ungkapan itu tentu saja benar! Tapi, apakah pantas jika saya mendapatkan kenaikan yang relatif kecil jika di banding dengan rekan-rekan yang lama bekerjanya sama dengan saya, bahkan jauh di bawah. Apalagi, ketika mereka tahu tahu kenaikan saya sangat tidak signifikan. “kok bisa gitu, ya?” ujar mereka.

Melihat ketidakadilan ini, hanya tersisa satu cara, yakni mempertanyakan langsung ke pimpinan. Apalagi pimpinan membuka pintu jika ada teman-teman yang merasa keberatan. Dan.. inilah cara saya untuk melawan, menuntut hak yang sepatutnya.

Mengucap syukur dan menuntut keadilan, tentunya dua hal yang berlainan. Selintas terlihat sama, namun maknanya jauh berbeda. Karena itulah aku akan tetap berjuang, nenuntut keadilan. Walau pada akhirnya harus kalah, setidaknya aku sudah melawan, sekuat-kuatnya, se hormat-hormatnya.

Datangnya Jawaban

Esoknya, masih dalam antrian, aku pun harus menunggu untuk bisa mengutarakan maksud hati pada sang pimpinan. Pasalnya, dalam urusan protes pun masih banyak teman-teman yang merasa tidak puas, berbuntut pada antrian panjang. Kalo gak salah aku mendapat nomor urut delapan dalam sesi kedua antrian malam itu.

Cukup lama juga aku menanti, sebelum di bolehkan masuk. Untaian kata yang telah kupersiapkan sejak tadi sepertinya raib ntah kemana. Bisa jadi, karena rasa jenuh akibat menunggu dan mencoba merapalkan dalam hati, kalimat-kalimat apa yang harus ku pilih, saat bertatapan nanti.

Akhirnya, waktu itu pun tiba. Dengan terbata-bata dan penuh kehati-hatian, aku mulai menceritakan maksud kedatanganku. Sebenarnya poin intinya hanya dua, yakni, mengapa kenaikan gajiku jauh dari harapan padahal penilaianku sangat baik, dan mengapa kisaran gaji antara junior dan senior yang di beritahukan tempo hari tak sesuai kenyataan.

Namun, sebelum memulainya, aku menggunakan metode kuno yang sanggup mendekatkan jarak, demikian menurut analisaku. Metode yang membuat lawan bicara akan simpati, bukannya defense or nyerang balik dengan omongan kita. Jika banyak teman-teman sebelum aku menggunakan cara yang relatif frontal dan terkesan keras, aku malah memilih menggunakan kelemahlembutan.

“Mas, aku ingin cerita, bahwa sebenarnya aku hanya seorang diri di belantara Jakarta ini. Tak punya sanak saudara sama sekali!” ujarku sebagai pembuka pembicaraan kami malam itu.
“Tapi, aku masih punya satu orang saudara yang kuanggap orang tua, mas, yaitu mas sendiri!” lanjutku.

Melihat itu, wajahnya langsung berubah. Ada ekspresi kesedihan disana. Bibir dan matanya yang tadi terlihat keras, tiba-tiba mendadak layu. “Aku juga mengalami hal yang sama dulu. Gak punya siapa-siapa.” Jawabnya. “Aku pun mengerti perasaanmu! Lagian kamu sudah aku anggap anak, seperti rekan-rekanmu yang lain. Semua kalian anak-anakku.” Ungkapnya kemudian dalam desahan nafas yang terasa berat.

Mendapat jawaban itu, aku gak bisa berbuat banyak. Hanya pasrah saja. Hingga akhirnya keluar dari ruangan yang baru kuinjak untuk pertama kalinya dalam dekapan sang pimpinan, aku bisa bernafas lega.

Bukan lega, karena adanya perubahan dalam besaran gaji, tapi lega karena berhasil mengeluarkan unek-unek yang mengganjal sejak kemarin malam. Walau tak merubah keadaan, sepertinya penjelasan tadi membuat aku mengerti beban yang dialaminya. Menurutnya, 80% anggaran perusahaan tersedot untuk menaikkan gaji anak-anak baru yang jauh dari standar. Bisa jadi aku hanya korban dari dampak tersebut. Selain itu, dengan jujur ia pun mengakui, bahwa kisaran angka yang sempat di setujui dalam raker tahunan tempo lalu belum bisa dilaksanakan, karena besarnya nilai yang harus dikeluarkan untuk menaikkan gaji anak-anak baru itu. “Mungkin tahun depan,” kilahnya.

Malam itu, aku hanya bisa tersenyum dalam diam! Semoga hanya aku yang mengalami kesialan seperti ini. Apakah ini konsekwensi yang harus kujalani karena sikap kritisku selama ini? Ah..., sungguh aku gak tahu! Yang pasti aku harus tegar!

Sedetik kemudian, aku harus berkutat dengan loading alat yang akan kami gunakan untuk kerja besok. Malam ini kami harus menuju Bandung.

Kejadian Unik

Pada pukul 11 siang, saat sedang bekerja di sudut kota Bandung, sebuah panggilan masuk menggugah akal sehatku. Ternyata diujung sana, sang pimpinan mengundangku bertemu 4 mata, jika pekerjaan kelar. “ada apa lagi, nih?” gumanku
lirih. Bisa jadi karena akses pembicaraan kemarin malam. Sesuai arahannya, begitu sampai di kantor, saya harus menemuinya di ruangannya.

Hingga akhirnya, kegiatan bekerja seharian itu kelar, aku masih bertanya-tanya. “jangan-jangan, ada apa-apa, neh!”

Tapi, teman-teman menanggapinya dengan pikiran lain. “Udah datang aja, mana tahu gaji lu berubah!” demikian ungkap mereka.

Akhirnya aku dan teman-teman kembali lagi ke Jakarta saat malam makin larut. Ternyata sang pimpinan masih setia menunggu di ruangannya. Saat itu ia sedang menonton tivi, ketika ku ketuk pintunya yang sedikit terbuka.

“maaf mas, aku baru kembali dari Bandung” ujarku.
“gimana pekerjaanmu, lancar?” tanyanya.

Demikanlah pertanyaan basa-basi itu, menjadi pembuka perbincangan kami yang kedua kalinya. Dia akhirnya tahu dan gak menyangka sama sekali, bahwa saya belum pulang ke rumah karena harus berangkat ke Bandung untuk bekerja. “Berarti kamu belum pulang? Pasti tidurmu juga gak cukup, ya? Tanyanya kembali. “ya begitu lah, mas!” Jawabku.

Kini, lagi-lagi ia merasa sedih dengah keberadaankua. Dari raut wajahnya yang kian bersimpati, seakan ia berkata: “Gila, udah gaji kecil, kerjaaanya juga gak tanggung-tanggung! Udah itu harus ninggalin anak-istri, lagi!”

Puas bertukar pikiran, ia pun berdiri sembari mengeluarkan selembar amplop. Melihat itu, aku gugup dan ikut berdiri.

“ini buat cucuku,” katanya.
Ternyata ia sedih bukan karena diriku yang seorang diri, tapi karena kedua anakku yang harus bertahan hidup di ganasnya Jakarta dengan gaji papanya yang jauh dari standard.
“ah... ngak mas! Aku masih sanggup, kok” seruku menimpali.
“jangan...jangan..., kamu harus terima!” pintanya
“ini untuk kedua cucuku! Terima lah! Kalau kamu tidak terima berarti kamu menghina saya” ungkapnya lagi.

Sesaat kemudian aku hanya terdiam, gak bisa berbuat apa-apa. “kok bisa sejauh ini” tanyaku membathin.

Kalau sudah begini, tak ada cara lain selain menerima pemberian itu. Pemberian pertama dari seorang atasan terhadap bawahan sepertiku. Pemberian tulus seorang atasan yang awalnya sempat ku tolak karena takut akan disalahartikan, telah menjadi penyambung tali silahturahmi kami. Pemberian itu pun akan tetap kuingat sepanjang umurku.

Jujur, aku gak ingin menerima pemberian ini, karena akan berdampak buruk pada independensiku. Aku yang terkenal radikal dan cenderung kiri, merasa lebih senang dikenal miskin ketimbang menerima uang yang bukan hakku. Aku takut, kedekatan ini akan membuatku kompromi dengan mereka-mereka yang dulunya sempat ku cap oportunis sejati dan tak punya hati.

Haruskah aku berubah karena itu? Jawabnya, tidak! Bagiku idealisme tetaplah sebuah idealisme yang harus di junjung tinggi. Bukan berarti ketika dekat dengannya, aku tak bisa kritis lagi. Tidak, tidak seperti itu. Aku akan terus teriak saat melihat ketidakadilan, even itu dialami oleh orang lain. Karena itulah jati diriku yang sebenarnya. Pasalnya, ketika kita meninggalkannya, berarti kita sudah mendustai kata hati. Terserah apakah mereka (baca: teman-teman) akan melakukannya atau tidak? Aku tetap tak bergeming untuk teriak.

Hanya saja, dari pertemuan singkat itu, ada pelajaran penting yang menarik untuk di simak. Pelajaran yang sanggup menggugah hati seorang pimpinan, ketika tahu anak buahnya menerima ketidakadilan. Siapa yang menyangka, kalau sang pimpinan mengerti kesulitanku. Rasanya tak ada yang tahu! Sepertinya tak gampang mendapatkan pimpinan seperti dia. Semoga ia dikaruniai kesehatan dan umur panjang. Amin!

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN