Friday, January 11, 2013

Hah, Pengawasan PP Tembakau Diserahkan ke Masyarakat?


(hypnoterapi solusi kecanduan rokok, video by: jacko agun)

Adalah sangat mencengangkan saat membaca berita tentang pelaksanaan PP no. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, atau dikenal dengan sebutan PP Tembakau. Pasalnya, kemarin (11/1) Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi dalam konferensi pers di Keminfo menyerahkan pengawasan PP ini kepada masyarakat, padahal pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan merupakan pemegang mandat  pelaksana PP ini.

“Oleh karena itu, kami berharap partisipasi aktif adalah masyarakat demi untuk kepentingan masyarakat juga”, ujar  Nafsiah Mboi kepada salah satu media online di Jakarta.

Sebelumnya, PP ini sendiri hampir 3 tahun lamanya terkatung-katung dari satu kementerian ke kementerian yang lain, sebelum akhirnya di ketuk palu oleh presiden secara diam-diam pada 24 Desember 2012 lalu. Dari pemberitaan disebutkan bahwa penghalang terbesar adalah lobi-lobi industri rokok. Jamak diketahui bagaimana industri  rokok memiliki kedekatan dengan pihak istana.

Sejatinya, kehadiran PP ini memang sangat diperlukan sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam mengendalikan produk tembakau, sehingga masyarakat terhindar dari bahaya buruk tembakau. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengajak masyarakat untuk menyambut kehadiran PP tembakau karena saat ini belum banyak orang yang menyadari bahaya merokok berdampak buruk bagi kesehatan orang lain.

Lebih jauh, Nafsiah mengajak masyarakat sebagai ujung tombak dalam pengawasan pelaksanaan PP Tembakau. “Pengawasan yang paling utama adalah dari masyarakat, kalau masyarakat cinta akan kesehatan bagi orang-orang di sekitarnya maka masyarakat harus mengawasi ini,” tuturnya, seperti dikutip dari salah satu media online.

Selain itu, pasal 60 pada PP No. 109 Tahun 2012 tentang Tembakau mensyaratkan, pengawasan terhadap produk tembakau yang beredar, promosi, dan pencantuman peringatan kesehatan dalam iklan dan kemasan produk tembakau akan dilaksanakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Secara spesifik, PP Tembakau juga mengatur tentang kadar nikotin dan zat berbahaya lain dalam rokok. Dalam  pasal 10 PP Tembakau menegaskan setiap orang yang memproduksi produk tembakau berupa rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar perbatang untuk setiap varian yang diproduksi. Ketentuan mengenai pengujian tidak berlaku terhadap rokok klobot, rokok klembak menyan, cerutu, dan tembakau iris.

“Pengecualian tidak berlaku apabila perkembangan teknologi telah mampu melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar terhadap Rokok klobot, Rokok klembak menyan, cerutu, dan tembakau iris,” bunyi Pasal 10 Ayat (3) PP ini.

Artinya, setiap orang yang memproduksi produk tembakau juga dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan. Bagi yang memproduksi produk tembakau yang menggunakan bahan tambahan sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi administratif berupa penarikan produk atas biaya produsen.

Tetapi, kata Nafsiah, PP ini hanya terbatas mengenai kadar nikotin dan zat berbahaya lainnya. Sementara di lapangan, masyarakat yang jadi penentu.

“Jadi dalam hal pengawasan, masyarakatlah yang bisa mengawasi. Kalau masyarakat  mentolerir itu maka tentu pengendalian mengenai dampak kesehatan akibat tembakau ini tidak akan terlaksana,” tambahnya, masih dari berita online yang sama.

Lalu bagaimana dengan sanksinya? Menurut PP Tembakau, akan ada penindakan mulai dari teguran sampai kepada pencabutan izin. Hal ini diatur dalam Pasal 40, Pasal 59 Ayat (2), Pasal 60 Ayat (3) yang kemudian akan dilengkapi lagi melalui peraturan BPOM dan Peraturan Menteri Kesahatan (Permenkes). Selain itu, bisa juga dipakai Pasal 199 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi cantolan dari PP ini.

Sekali lagi, pemerintah tetap berharap bahwa pengawasan tetap dilakukan oleh masyarakat. Alasannya, karena masyarakat dirasa lebih efektif dalam menjalankan ketentuan PP ini. Dan, masyarakat yang merasakan langsung dampak buruk tembakau. “Kalau masayarakat mau sehat, masyarakat yang menegur, itu yang paling penting,” kata Nafsiah.

Padahal, kalau saja batasan peredaran produk tembakau diatur secara detil, pasti masyarakat tinggal mengikuti. Adalah sebuah hal yang muskyil masyarakat bisa mengawasi dan membatasi penggunaan tembakau, jika rokok sebagai produk tembakau gampang ditemui dan bertebaran di setiap pojok kehidupan mereka.

Karena itu, usulan agar ada pasal yang membahas tentang penjualan rokok secara ketengan (baca: batangan), harusnya menjadi salah satu solusi penting agar rokok tidak menjangkau anak-anak. Sudah rahasia umum, betapa rokok telah  menjerat anak karena keberadaannya yang gampang ditemui.

Peningkatan cukup signifikan sudah terlihat sejak tahun 1995.  Menurut data Kementerian Kesehatan, saat itu ada 33,4 persen laki-laki yang merokok. Lalu bertambah menjadi 67,4 persen pada tahun 2011, sedangkan jumlah perempuan dari 0,7 persen pada 1995 menjadi 4,5 persen pada tahun 2011. Hal ini bisa sangat berbahaya bagi rakyat muda.

Sementara itu jumlah perokok pasif di Indonesia untuk perempuan sebanyak 62 juta, laki-laki 30 juta dan balita usia 0-4 tahun ada 11,4 juta yang terpapar asap rokok pada tahun 2011. Jumlah ini menunjukkan orang-orang tersebut bisa menjadi sakit karena orang lain yang merokok.

Dan balik lagi ke pengawasan, menteri kesehatan hanya berjanji akan segera menyusun rencana sosialisasi secara sistematis dan berkala untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok. Dengan memahami dan mengerti akan bahaya merokok bagi kesehatan, masyarakat diharapkan dapat mengendalikan dan mengawasi sendiri ditengah lingkungannya. Dan pertanyaannya, apakah mungkin, ketika rokok masih gampang ditemukan?

Banyak orang yang berusaha menghindari kebiasan merokok. Namun harapan itu pupus, ketika orang-orang disekitarnya banyak yang merokok. Pun, rokok bisa ditemukan dengan mudah.

Dari begitu banyaknya penghalang, Nafsiah tetap optimis adanya PP Tembakau bisa melakukan perubahan. Namun ia menyadari proses ini akan membutuhkan waktu dan tenaga yang besar. Sedangkan, jika PP ini mandek, Menteri berjanji akan mendorong perombakan terhadap PP ini apabila dilapangan ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sementara itu, Staf Ahli Kemenkes Bidang Medikolegal yang juga terlibat dalam penyusunan PP Tembakau, Budi Sampurno, menilai desain model pengawasan yang diatur dalam PP tersebut memang tidak terlalu rinci dan jelas mengatur bagaimana mekanisme pengawasan mulai dari  proses produksi sampai tahap diedarkan. Menurutnya, hal itu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan berupa Permen dan/atau peraturan BPOM.

“Di PP ini, ketentuan mengenai pengawasan akan dilanjutkan pengaturannya oleh Permen atau Peraturan BPOM”, ujarnya kepada kepada salah satu media online.

Sementara secara detail model pengawasan yang melibatkan masyarakat, ia pun mengaku masih belum memiliki gambaran secara jelas. Pasalnya, hal ini masih akan dibahas dalam rapat kementerian terkait penyusunan peraturan turunan dalam melaksanakan amanat PP tersebut.

Belum lagi, ternyata pelaksanaan PP ini mulai berlaku pada awal 2014 mendatang. Bisa dibayangkan bahwa pada rentang waktu tersebut, berapa banyak orang, khususnya anak-anak yang akan terpapar bahaya rokok. Alasannya, hanya karena pemerintah butuh waktu sosialisasi yang sebenarnya mendukung industri rokok. Bagaimana tidak, dengan dalih perubahan sampul/perwajahan bungkus rokok, 18 bulan akan dipergunakan secara maksimal oleh industri rokok untuk menggenjot produksi rokok, sebelum aturan baru diterapkan. (jacko agun)


No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN