(hypnoterapi solusi kecanduan rokok, video by: jacko agun)
Adalah
sangat mencengangkan saat membaca berita tentang pelaksanaan PP no. 109 Tahun
2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan, atau dikenal dengan sebutan PP Tembakau. Pasalnya,
kemarin (11/1) Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi dalam konferensi pers di Keminfo menyerahkan pengawasan
PP ini kepada masyarakat, padahal pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Kesehatan merupakan pemegang mandat pelaksana PP ini.
“Oleh
karena itu, kami berharap partisipasi aktif adalah masyarakat demi untuk
kepentingan masyarakat juga”, ujar Nafsiah
Mboi kepada salah satu media online di Jakarta.
Sebelumnya,
PP ini sendiri hampir 3 tahun lamanya terkatung-katung dari satu kementerian ke
kementerian yang lain, sebelum akhirnya di ketuk palu oleh presiden secara
diam-diam pada 24 Desember 2012 lalu. Dari pemberitaan disebutkan bahwa penghalang
terbesar adalah lobi-lobi industri rokok. Jamak diketahui bagaimana industri rokok memiliki kedekatan
dengan pihak istana.
Sejatinya, kehadiran
PP ini memang sangat diperlukan sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam
mengendalikan produk tembakau, sehingga masyarakat terhindar dari bahaya buruk
tembakau. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengajak masyarakat untuk menyambut
kehadiran PP tembakau karena saat ini belum banyak orang yang menyadari
bahaya merokok berdampak buruk bagi kesehatan orang lain.
Lebih
jauh, Nafsiah mengajak masyarakat sebagai ujung tombak dalam pengawasan pelaksanaan PP Tembakau.
“Pengawasan yang paling utama adalah dari masyarakat, kalau
masyarakat cinta akan kesehatan bagi orang-orang di sekitarnya maka masyarakat
harus mengawasi ini,” tuturnya, seperti dikutip dari salah satu media online.
Selain
itu, pasal 60 pada PP No. 109 Tahun 2012 tentang Tembakau mensyaratkan,
pengawasan terhadap produk tembakau yang beredar, promosi, dan pencantuman
peringatan kesehatan dalam iklan dan kemasan produk tembakau akan dilaksanakan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Secara
spesifik, PP Tembakau juga mengatur tentang kadar nikotin dan zat berbahaya
lain dalam rokok. Dalam pasal 10 PP Tembakau
menegaskan setiap orang yang memproduksi produk tembakau berupa rokok harus
melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar perbatang untuk setiap
varian yang diproduksi. Ketentuan mengenai pengujian tidak berlaku terhadap
rokok klobot, rokok klembak menyan, cerutu, dan tembakau iris.
“Pengecualian
tidak berlaku apabila perkembangan teknologi telah mampu melakukan pengujian
kandungan kadar Nikotin dan Tar terhadap Rokok klobot, Rokok klembak menyan,
cerutu, dan tembakau iris,” bunyi Pasal 10 Ayat (3) PP ini.
Artinya,
setiap orang yang memproduksi produk tembakau juga dilarang menggunakan bahan
tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut
tidak berbahaya bagi kesehatan. Bagi yang memproduksi produk tembakau yang
menggunakan bahan tambahan sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi administratif berupa
penarikan produk atas biaya produsen.
Tetapi,
kata Nafsiah, PP ini hanya terbatas mengenai kadar nikotin dan zat berbahaya
lainnya. Sementara di
lapangan, masyarakat yang jadi penentu.
“Jadi
dalam hal pengawasan, masyarakatlah yang bisa mengawasi. Kalau masyarakat mentolerir itu maka tentu pengendalian
mengenai dampak kesehatan akibat tembakau ini tidak akan terlaksana,” tambahnya,
masih dari berita online yang sama.
Lalu
bagaimana dengan sanksinya? Menurut PP Tembakau, akan ada penindakan mulai dari
teguran sampai kepada pencabutan izin. Hal ini diatur dalam Pasal 40, Pasal 59
Ayat (2), Pasal 60 Ayat (3) yang kemudian akan dilengkapi lagi melalui
peraturan BPOM dan Peraturan Menteri Kesahatan (Permenkes). Selain itu, bisa juga
dipakai Pasal 199 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi cantolan
dari PP ini.
Sekali lagi, pemerintah tetap berharap bahwa pengawasan tetap dilakukan oleh
masyarakat. Alasannya, karena masyarakat dirasa lebih efektif dalam
menjalankan ketentuan PP ini. Dan, masyarakat yang merasakan langsung dampak
buruk tembakau. “Kalau masayarakat mau sehat, masyarakat yang menegur, itu yang
paling penting,” kata Nafsiah.
Padahal,
kalau saja batasan peredaran produk tembakau diatur secara detil, pasti
masyarakat tinggal mengikuti. Adalah sebuah hal yang muskyil masyarakat
bisa mengawasi dan membatasi penggunaan tembakau, jika rokok sebagai produk
tembakau gampang ditemui dan bertebaran di setiap pojok kehidupan mereka.
Karena
itu, usulan agar ada pasal yang membahas tentang penjualan rokok secara
ketengan (baca: batangan), harusnya menjadi salah satu solusi penting agar rokok tidak
menjangkau anak-anak. Sudah rahasia umum, betapa rokok telah menjerat anak karena keberadaannya yang
gampang ditemui.
Peningkatan
cukup signifikan sudah terlihat sejak tahun 1995. Menurut data Kementerian Kesehatan, saat itu
ada 33,4 persen laki-laki yang merokok. Lalu bertambah menjadi 67,4 persen pada
tahun 2011, sedangkan jumlah perempuan dari 0,7 persen pada 1995 menjadi 4,5
persen pada tahun 2011. Hal ini bisa sangat berbahaya bagi rakyat muda.
Sementara
itu jumlah perokok pasif di Indonesia untuk perempuan sebanyak 62 juta,
laki-laki 30 juta dan balita usia 0-4 tahun ada 11,4 juta yang terpapar asap
rokok pada tahun 2011. Jumlah ini menunjukkan orang-orang tersebut bisa menjadi
sakit karena orang lain yang merokok.
Dan
balik lagi ke pengawasan, menteri kesehatan hanya berjanji akan segera menyusun
rencana sosialisasi secara sistematis dan berkala untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan bahaya merokok. Dengan memahami dan mengerti akan bahaya
merokok bagi kesehatan, masyarakat diharapkan dapat mengendalikan dan mengawasi
sendiri ditengah lingkungannya. Dan pertanyaannya, apakah mungkin, ketika rokok
masih gampang ditemukan?
Banyak
orang yang berusaha menghindari kebiasan merokok. Namun harapan itu pupus,
ketika orang-orang disekitarnya banyak yang merokok. Pun, rokok bisa ditemukan
dengan mudah.
Dari
begitu banyaknya penghalang, Nafsiah tetap optimis adanya PP Tembakau bisa
melakukan perubahan. Namun ia menyadari proses ini akan membutuhkan waktu
dan tenaga yang besar. Sedangkan, jika PP ini mandek, Menteri berjanji akan
mendorong perombakan terhadap PP ini apabila dilapangan ternyata tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Sementara
itu, Staf Ahli Kemenkes Bidang Medikolegal yang juga terlibat dalam penyusunan
PP Tembakau, Budi Sampurno, menilai desain model pengawasan yang diatur dalam PP
tersebut memang tidak terlalu rinci dan jelas mengatur bagaimana mekanisme
pengawasan mulai dari proses produksi sampai
tahap diedarkan. Menurutnya, hal itu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
turunan berupa Permen dan/atau peraturan BPOM.
“Di
PP ini, ketentuan mengenai pengawasan akan dilanjutkan pengaturannya oleh
Permen atau Peraturan BPOM”, ujarnya kepada kepada salah satu media online.
Sementara
secara detail model pengawasan yang melibatkan masyarakat, ia pun mengaku masih
belum memiliki gambaran secara jelas. Pasalnya, hal ini masih akan dibahas
dalam rapat kementerian terkait penyusunan peraturan turunan dalam melaksanakan
amanat PP tersebut.
Belum
lagi, ternyata pelaksanaan PP ini mulai berlaku pada awal 2014 mendatang. Bisa
dibayangkan bahwa pada rentang waktu tersebut, berapa banyak orang, khususnya
anak-anak yang akan terpapar bahaya rokok. Alasannya, hanya karena pemerintah
butuh waktu sosialisasi yang sebenarnya mendukung industri rokok. Bagaimana
tidak, dengan dalih perubahan sampul/perwajahan bungkus rokok, 18 bulan akan
dipergunakan secara maksimal oleh industri rokok untuk menggenjot produksi rokok, sebelum aturan baru
diterapkan. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment