Saat ini
konsumsi rokok telah mencapai 265 milyar batang pertahun, menempatkan Indonesia
sebagai negara ketiga terbesar didunia dalam hal mengkonsumsi rokok. Ironisnya,
265 milyar batang tersebut 70% nya dihisap oleh masyarakat kelompok rumah
tangga rentan (miskin). Kelompok rentan ini, menurut data Badan Pusat
Statistik, lebih rela membelanjakan uangnya untuk membeli rokok ketimbang untuk
kesehatan, telor, susu dan pendidikan. Belanja rokok hanya dikalahkan oleh
belanja padi-padian.
Di lapangan
survey BPS ini terbukti benar. Salah satunya dialami oleh Ruswadi (34),
pemulung yang tinggal di bantaran rel di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Kami temui suatu
siang di gubuknya, ia tengah bersantai bersama keluarganya. Tak banyak aktivitas
yang dilakukan selain duduk sembari mengisap sebatang rokok. Saat itu ia tidak bekerja, karena sedang tidak enak badan.
Biasanya,
setiap hari ia berangkat mulung dari gubuknya di Jakarta Pusat hingga ke kawasan
Pulo Gadung, Jakarta Timur. Sedikitnya lebih dari 10 Km. Ia akan memungut sampah rumah tangga dan barang buangan gedung perkantoran yang mungkin masih bisa di jual kembali.
Kegiatan
mulung ini pun ia lakoni sejak subuh menjelang. Alasannya, agar tidak
ketinggalan rejeki. Bagi sesama pemulung, kegiatan mulung di pagi buta memang
telah menjadi semacam aturan tidak tertulis. Tiap pemulung punya wilayah
teresterial tersendiri yang tidak boleh di jamah oleh pemulung lain. Itu sebabnya
Ruswadi rela berjalan puluhan kilometer.
“disana (Pulo
Gadung) masih banyak barang yang bisa di ambil” ujarnya sumringah.
Biasanya jika
barang yang di kumpulkan cukup banyak, ia pun bergegas pulang. Sementara jika
barang yang dikumpulkan belum cukup, ia akan memilih menginap di jalan, sembari
mengumpulkan barang-barang dari tempat lain.
“ya, kalo
barangnya belum banyak, saya milih nginap di jalan. Abis, kasihan, kalo barang di
gerobak belum penuh, uang yang dikumpulkan jadinya tidak banyak”, ujarnya.
Sehari
rata-rata penghasilan Ruswadi Cuma Rp.30.000. Namun, jika sedang apes tak
jarang penjualan barang bekas miliknya hanya laku Rp.10.000 – Rp.15.000 saja.
Jumlah ini tentu tidak cukup untuk menghidupi ke lima anaknya.
Dari jumlah
tersebut sepertiganya ia habiskan untuk membeli rokok. Sehari sedikitnya ia
menghabiskan 1 bungkus rokok. Demikian informasi yang berhasil kami kumpulkan
dari Karwati, istrinya.
Kisah Ruswadi jadi bukti nyata, bahwa dengan 1 bungkus rokok perhari (misalnya harga
Rp 9.000 perbungkus) berarti dalam sebulan telah menyedot anggaran belanja
rumah tangga sebesar 270.000. Sebuah angka yang cukup besar bagi keluarga
miskin.
Sebuah ironi
saat pemerintah mendapatkan dana cukai Rp 65 trilyun, plus ratusan ribu
buruh/petani yang terserap oleh industri nikotin ini. Namun pada saat bersamaan
pemerintah dan masyarakat Indonesia justru menggelontorkan dana empat kali
lipat untuk menanggulangi penyakit akibat merokok.
Data yang sama
dirilis oleh BPS beberapa waktu lalu lalu (2/1) menunjukkan kontribusi rokok
terhadap pembentukan garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah beras,
yakni sebesar 8,31 persen di perkotaan dan 7,11 persen di perdesaan. Ini
menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan penduduk miskin, selain
dialokasikan untuk membeli beras, juga dialokasikan untuk membeli rokok.
Padahal,
dengan mengkonsumsi rokok tidak ada sama sekali kalori yang diperoleh, dan
tentu akan lebih bermanfaat jika pendapatan yang digunakan untuk membeli rokok
dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, misalnya, untuk pemenuhan
protein atau untuk biaya pendidikan dan kesehatan.
Tingginya
konsumsi rokok di kalangan penduduk miskin menjadi sebuah ironi jika dikaitkan
dengan kenyataan bahwa mereka yang terkaya di negeri ini justru adalah para
penggiat industri racun ini, para pemilik pabrik-pabrik rokok.
Sebagaimana
diberitakan dalam majalah Forbes beberapa waktu yang lalu (23/11/2011). Orang
terkaya di Indonesia adalah dua bersaudara Budi Hartono dan Michael Hartono
dengan nilai kekayaan mencapau 14 milai dollar AS atau setara dengan 127
triliun rupiah, disusul oleh Susilo Wonowijoyo di posisi kedua dengan nilai
kekayaan mencapai 10 miliar dollar AS atau sekitar 91 triliun rupiah. Hartono
bersaudara adalah pemilik PT. Djarum, begitupula dengan Susilo Wonowijoyo adalah
pemilik PT.Gudang Garam.
Pada tahun
ini, produksi rokok nasional diperkirakan akan mencapai 268,4 miliar batang.
Jumlah yang sudah barang tentu tidak sedikit jika dirupiahkan. Jika diasumsikan
harga satu batang rokok Rp500,- rupiah saja, itu artinya nilai produksi rokok
tahun ini bisa mencapai Rp134,2 triliun rupiah.
Angka yang
sangat fantastis, dan tentu bisa dipastikan siapa yang bakal diuntungkan dan
menjadi lebih kaya dengan nilai produksi sebesar itu. Mereka tidak lain adalah
produsen rokok seperti nama-nama yang telah disebutkan di atas. Terus
bagaimana nasib perokok miskin di negeri ini, apakah mereka juga bakal
diuntungkan? Apapun jawabannya, yang pasti mereka sama sekali tidak mendapatkan
manfaat dan keuntungan dari setiap batang rokok yang mereka hisap. Yang terjadi
adalah mereka semakin terikat dan tidak bisa keluar dari jerat tembakau
tersebut. (Jacko Agun)
Serem Gan... Kasian yang pada ngerokok !
ReplyDelete