Thursday, October 01, 2015

Ketika Nyawa Tak Semahal Tambang


(Poster Pembunuhan Salim Kancil. Sumber; facebook)

Beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan dengan gambar bertuliskan “DI TANAH KAMI NYAWA TAK SEMAHAL TAMBANG. SALIM KANCIL DIBUNUH”. Beberapa teman tampak mengubah profile picture mereka dengan gambar itu, dan tak sedikit yang mem-postingnya sebagai bentuk dukungan pengungkapan kasus atas terbunuhnya Salim Kancil.

Kekerasan dan pembunuhan terhadap Salim Kancil terjadi pada Sabtu, 26 September 2015. Saat itu bersama temannya, Salim asal Desa Selo Awar-awar, Kab. Lumajang, diculik dan dianiaya saat sedang mempersiapkan aksi damai menolak pertambangan pasir besi. Aksi penculikan dan penganiayaan tersebut dilakukan oleh sekelompok preman yang diduga suruhan Kepala Desa pemilik tambang pasir.

Oh ya, kabar tentang pembunuhan Salim Kancil, seorang petani yang juga aktivis lingkungan itu saya terima lewat seorang kolega yang bekerja di sebuah NGO di Jakarta pada 27 September lalu. Biasanya, bila ada informasi yang berhubungan dengan advokasi tambang, penolakan warga terkait tambang hingga massa aksi, tak segan-segan kawan itu mengabarkannya, dengan harapan media mau memberitakannya.

Begitu mendapat info adanya konpers terkait tewasnya Salim Kancil yang digagas oleh beberapa NGO, seperti JATAM, WALHI, KONTRAS, KPA dan Komnas HAM, segera saya membaginya ke beberapa jaringan yang saya miliki. Namun yang utama, saya memberitahukannya ke kantor, baru kemudian menyebarkannya ke beberapa milis terkait jurnalisme.

Sayangnya, ketika info itu saya bagikan, kantor ternyata tak mengirim orang untuk meliputnya. Alasannya, klasik. Jumlah tim yang terbatas. Hiks... Sedih ajah! Dan kejadian seperti ini bukan yang pertama. Sudah sering terjadi, ketika info-info yang menurut saya layak diliput ternyata dibiarkan menguap begitu saja.

Padahal, saya sengaja membagi info itu, karena saya tahu dampaknya sangat besar. Pasalnya, sisi kemanusiaan biasanya selalu menjadi magnet besar pemberitaan bagi banyak media. Selain itu, media sejatinya memberi ruang bagi mereka yang hak-haknya terpinggirkan, memberi ruang bagi mereka yang tidak memiliki tempat untuk menyatakan pendapatnya. Istilahnya Giving Voice to the Voiceless.

Dalam keterangan persnya, di Kantor Komnas HAM Jl. Latuharhari Jakarta Pusat, beberapa NGO itu mengutuk aksi kekerasan yang berujung pada pembunuhan Salim Kancil, petani di Lumajang yang berjuang menolak pembangunan pertambangan pasir besi di desanya.

Kronologis Kejadian
Pembunuhan keji Salim Kancil bukanlah kriminal biasa, tapi pembunuhan berencana yang dipicu penolakan terhadap penambangan pasir besi. Salim Kancil adalah seorang aktivis lokal yang menolak tambang pasir besi di desa lumajang. Salim tewas setelah dikeroyok oleh lebih dari 30 orang. Sementara rekannya Tosan, masih dalam perawatan intensif karena mengalami luka berat.

Dikutip dari laman facebook Walhi Indonesia, diketahui kejadian itu bermula dari Penolakan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Awar-Awar, Kab. Lumajang terhadap penambangan pasir besi yang berkedok pariwisata, justru berdampak pada rusaknya lingkungan desa pada Januari 2015. 

Warga mulai menyampaikan penolakan dan permohonan audiensi kepada Bupati (Juni 2015) namun tak mendapat tanggapan, sampai akhirnya mereka memutuskan menyetop truk pengangkut pasir pada 9 September, 2015. Sehari setelahnya, sekelompok preman suruhan kepala desa mulai melakukan intimidasi bahkan mengancam akan membunuh Tosan, salah satu tokoh yang menolak penambangan tersebut.

Pada 11 September, forum komunikasi  melaporkan ancaman pembunuhan itu ke Polres Lumajang. Namun tidak ada tindakan tegas dari aparat Polres. Mereka juga melaporkan bahwa tambang itu ilegal pada 21 September 2105 dan berencana menghentikan pertambangan yang terus berjalan pada 26 September.

Pada pagi hari, 26 September 2015, Tosan (tokoh masyarakat) didatangi puluhan preman yang langsung mengeroyoknya. Tosan terjatuh akibat dianiaya dengan pentungan kayu, pacul, batu dan clurit. Setelah terjatuh, mereka sempat melindasnya dengan sepeda motor. Tosan akhirnya diselamatkan temannya dan dibawa ke rumah sakit.

Gerombolan preman kemudian  mendatangi rumah Salim Kancil -salah satu tokoh forum komunikasi-, yang pagi itu sedang menggendong cucunya. Salim lantas menaruh cucunya di lantai, sebelum akhirnya tangannya diikat  lalu diseret ke balai desa yang jaraknya sekitar 2 km. Aksi itu disaksikan warga yang ketakutan, termasuk anak-anak yang sedang belajar di PAUD.

Sampai di balai desa, Salim dipukuli, disiksa hingga distrum listrik, dan digergaji lehernya. Jenasahnya di buang di jalan depan pintu masuk kuburan. Tega!

Disaksikan Anak Bungsu
Kabar terakhir menyebut, sebelum dibunuh, Salim Kancil sempat dipukuli di depan anak bungsunya, Dio (13), di halaman rumah mereka. Salim atau dikenal sebagai Kancil, kemudian tewas di hutan sengon dekat kuburan, tak jauh dari rumahnya.

Dari penelusuran media, diketahui jika di rumah itu hanya ada Dio dan bapaknya, Salim. Sementara ibunya, Tijah, sedang mencari rumput di tegalan semak jauh dari rumah.

Ketika massa sekitar 30 orang mendatangi rumah mereka, Salim sedang mengeluarkan motor. Sebelumnya, mereka memang hendak pergi ikut demonstrasi menolak tambang pasir besi. Pagi itu, sekitar pukul 07.30 WIB, rombongan sepeda motor menyerbu ke halaman rumahnya dan langsung melakukan aksi kekerasan.

"Bapak diteriaki, dipukul. Tangannya dipegangi, dipukul pakai batu kepalanya," ujar Dio di rumahnya, Senin (29/9) seperti dikutip dari Republika.

Melihat kondisi itu, Dio ketakutan dan menangis. Ia lalu berlari ke arah samping menuju rumah pamannya. Dia berteriak memanggil pamannya untuk keluar. Namun, salah seorang preman mengancamnya agar tidak macam-macam.

"Kon ojo rame, tak pateni pisan (kamu jangan teriak, kubunuh sekalian)," ujar Dio menirukan teriakan si preman.

Dio hanya sanggup menangis melihat tangan bapaknya 
diikat ke belakang. Ia juga sempat melihat bapaknya diimpit di motor sebelum akhirnya dibawa ke balai desa. Tak rela melihat bapaknya disiksa, Dio juga sempat mengejar hingga jalan raya. Namun usahanya sia-sia. Selanjutnya, ia pun menangis sejadi-jadinya. 

Atas trauma yang dialami Dio, aktivis lingkungan meminta Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera memberikan trauma healing kepada anak dan cucu Salim Kancil, serta anak-anak PAUD yang menyaksikan insiden penganiayaan Salim Kancil di Balai Desa Selok Awar-Awar.

Dampak Pertambangan Pasir Besi
Maraknya pertambangan pasir di berbagai daerah, telah menyisakan segudang persoalan, baik dari sisi lingkungan maupun konflik horizontal. Dan hingga saat ini, pertambangan pasir lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Pasalnya, lubang-lubang menganga bekas galian pasir, biasanya ditinggalkan begitu saja. Dan lubang itu tidak bisa digunakan lagi.

Sementara terkait dengan pertambangan pasir besi di kawasan Lumajang, sedikitnya ada tiga wilayah yang rentan menghadapi kerusakan lingkungan, yakni Desa Baku, Selok Awar-Awar dan Selok Anyar.

Kejadian itu juga berpotensi menimbulkan kerentanan, mengingat pertambangan di pesisir selatan Lumajang telah menimbulkan penolakan dari masyarakat. Mulai Desa Wotgalih -Kecamatan Yosowilangun hingga desa Pandanarum dan Pandanwangi- Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang.

Banyaknya tambang pasir besi yang beroperasi di Lumajang secara ilegal telah merusak lahan pertanian pesisir pantai. Kawasan pesisir pantai rusak dan air laut membanjiri lahan pertanian warga. Dipastikan panen mereka terganggu.

Tak hanya itu, truk pengangkut pasir yang lalu lalang selama 24 jam juga meresahkan warga, lantaran sering mencelakakan pengguna jalan. Selain itu, truk-truk pasir yang melintas juga telah merusak beberapa sisi jalan umum yang biasa digunakan warga.

Kondisi terakhir, penambangan pasir besi juga rentan menimbulkan konflik antara penambang dengan petani penggarap lahan pesisir. Pasalnya, upaya penambangan yang dilakukan cenderung suka-suka. Di mana lokasi yang dekat dengan jalan, biasanya disitu usaha pertambangan dilakukan.

Berkaca dari kondisi itu, tak ada cara lain, selain mendesak pemerintah daerah Kabupaten Lumajang segera menutup seluruh pertambangan pasir di pesisir selatan Lumajang.

Pemerintah melalui penegak hukum juga perlu segera mengusut  para pelaku pembantaian terhadap Salim Kancil dan Tosan hingga aktor intelektual dibalik peristiwa kekerasan tersebut, dan mengganjar pelaku dengan hukuman seberat-beratnya sesuai pasal 340 KUHP.

Selanjutnya, Komnas HAM juga diperlukan segera turun ke lapangan dan melakukan Investigasi atas peristiwa pembunuhan Salim Kancil dalam kaitannya terhadap penolakan pertambangan pasir besi.

Terakhir, para saksi juga perlu dilindungi dari segala bentuk ancaman dan intimidasi yang terjadi. Untuk itulah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu dilibatkan memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. (jacko agun)



No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN