Beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan dengan gambar bertuliskan “DI TANAH KAMI NYAWA TAK SEMAHAL TAMBANG. SALIM KANCIL DIBUNUH”. Beberapa teman tampak mengubah profile picture mereka dengan gambar itu, dan tak sedikit yang mem-postingnya sebagai bentuk dukungan pengungkapan kasus atas terbunuhnya Salim Kancil.
Kekerasan dan pembunuhan terhadap Salim Kancil terjadi pada Sabtu, 26 September 2015. Saat itu bersama temannya, Salim asal Desa Selo Awar-awar, Kab. Lumajang, diculik dan dianiaya saat sedang mempersiapkan aksi damai menolak pertambangan pasir besi. Aksi penculikan dan penganiayaan tersebut dilakukan oleh sekelompok preman yang diduga suruhan Kepala Desa pemilik tambang pasir.
Oh
ya, kabar tentang pembunuhan Salim Kancil, seorang petani yang juga aktivis
lingkungan itu saya terima lewat seorang kolega yang
bekerja di sebuah NGO di Jakarta pada 27 September lalu. Biasanya, bila ada
informasi yang berhubungan dengan advokasi tambang, penolakan warga terkait
tambang hingga massa aksi, tak segan-segan kawan itu mengabarkannya, dengan
harapan media mau memberitakannya.
Begitu
mendapat info adanya konpers terkait tewasnya Salim Kancil yang digagas oleh
beberapa NGO, seperti JATAM, WALHI, KONTRAS, KPA dan Komnas HAM, segera saya membaginya
ke beberapa jaringan yang saya miliki. Namun yang utama, saya memberitahukannya ke kantor, baru kemudian menyebarkannya ke beberapa
milis terkait jurnalisme.
Sayangnya,
ketika info itu saya bagikan, kantor ternyata tak mengirim orang untuk meliputnya.
Alasannya, klasik. Jumlah tim yang terbatas. Hiks... Sedih ajah! Dan kejadian
seperti ini bukan yang pertama. Sudah sering terjadi, ketika info-info yang
menurut saya layak diliput ternyata dibiarkan menguap begitu saja.
Padahal,
saya sengaja membagi info itu, karena saya tahu dampaknya sangat besar. Pasalnya,
sisi kemanusiaan biasanya selalu menjadi magnet besar pemberitaan bagi banyak media.
Selain itu, media sejatinya memberi ruang bagi mereka yang hak-haknya
terpinggirkan, memberi ruang bagi mereka yang tidak memiliki tempat untuk
menyatakan pendapatnya. Istilahnya Giving Voice to the Voiceless.
Dalam
keterangan persnya, di Kantor Komnas HAM Jl. Latuharhari Jakarta Pusat, beberapa
NGO itu mengutuk aksi kekerasan yang berujung pada pembunuhan Salim Kancil, petani
di Lumajang yang berjuang menolak pembangunan pertambangan pasir besi di
desanya.
Kronologis Kejadian
Pembunuhan
keji Salim Kancil bukanlah kriminal biasa, tapi pembunuhan berencana yang
dipicu penolakan terhadap penambangan pasir besi. Salim Kancil adalah seorang
aktivis lokal yang menolak tambang pasir besi di desa lumajang. Salim tewas setelah
dikeroyok oleh lebih dari 30 orang. Sementara rekannya Tosan, masih dalam
perawatan intensif karena mengalami luka berat.
Dikutip
dari laman facebook Walhi Indonesia, diketahui kejadian itu bermula dari Penolakan
Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Awar-Awar, Kab.
Lumajang terhadap penambangan pasir besi yang berkedok pariwisata, justru berdampak
pada rusaknya lingkungan desa pada Januari 2015.
Warga
mulai menyampaikan penolakan dan permohonan audiensi kepada Bupati (Juni 2015) namun
tak mendapat tanggapan, sampai akhirnya mereka memutuskan menyetop truk
pengangkut pasir pada 9 September, 2015. Sehari setelahnya, sekelompok preman
suruhan kepala desa mulai melakukan intimidasi bahkan mengancam akan membunuh
Tosan, salah satu tokoh yang menolak penambangan tersebut.
Pada
11 September, forum komunikasi melaporkan ancaman pembunuhan itu ke
Polres Lumajang. Namun tidak ada tindakan tegas dari aparat Polres. Mereka
juga melaporkan bahwa tambang itu ilegal pada 21 September 2105 dan berencana
menghentikan pertambangan yang terus berjalan pada 26 September.
Pada
pagi hari, 26 September 2015, Tosan (tokoh masyarakat) didatangi puluhan preman
yang langsung mengeroyoknya. Tosan terjatuh akibat dianiaya dengan pentungan
kayu, pacul, batu dan clurit. Setelah terjatuh, mereka sempat melindasnya
dengan sepeda motor. Tosan akhirnya diselamatkan temannya dan dibawa ke rumah sakit.
Gerombolan
preman kemudian mendatangi rumah Salim Kancil -salah satu tokoh forum komunikasi-, yang pagi itu sedang menggendong cucunya. Salim lantas menaruh
cucunya di lantai, sebelum akhirnya tangannya diikat lalu diseret ke
balai desa yang jaraknya sekitar 2 km. Aksi itu disaksikan warga yang
ketakutan, termasuk anak-anak yang sedang belajar di PAUD.
Sampai
di balai desa, Salim dipukuli, disiksa hingga distrum listrik, dan digergaji
lehernya. Jenasahnya di buang di jalan depan pintu masuk kuburan. Tega!
Disaksikan Anak Bungsu
Kabar
terakhir menyebut, sebelum dibunuh, Salim Kancil sempat dipukuli di depan anak
bungsunya, Dio (13), di halaman rumah mereka. Salim atau dikenal sebagai
Kancil, kemudian tewas di hutan sengon dekat kuburan, tak jauh dari rumahnya.
Dari penelusuran media, diketahui jika di rumah itu hanya ada Dio dan bapaknya, Salim. Sementara
ibunya, Tijah, sedang mencari rumput di tegalan semak jauh dari rumah.
Ketika
massa sekitar 30 orang mendatangi rumah mereka, Salim sedang mengeluarkan
motor. Sebelumnya, mereka memang hendak pergi ikut demonstrasi menolak
tambang pasir besi. Pagi itu, sekitar pukul 07.30 WIB, rombongan sepeda motor
menyerbu ke halaman rumahnya dan langsung melakukan aksi kekerasan.
"Bapak diteriaki, dipukul. Tangannya dipegangi, dipukul pakai batu kepalanya," ujar Dio di rumahnya, Senin (29/9) seperti dikutip dari Republika.
Melihat
kondisi itu, Dio ketakutan dan menangis. Ia lalu berlari ke arah samping menuju
rumah pamannya. Dia berteriak memanggil pamannya untuk keluar. Namun,
salah seorang preman mengancamnya agar tidak macam-macam.
"Kon
ojo rame, tak pateni pisan (kamu jangan teriak, kubunuh sekalian)," ujar
Dio menirukan teriakan si preman.
Dio hanya sanggup menangis melihat tangan bapaknya diikat ke belakang. Ia juga sempat melihat bapaknya diimpit di motor sebelum akhirnya dibawa ke balai desa. Tak rela melihat bapaknya disiksa, Dio juga sempat mengejar hingga jalan raya. Namun usahanya sia-sia. Selanjutnya, ia pun menangis sejadi-jadinya.
Atas
trauma yang dialami Dio, aktivis lingkungan meminta Komnas Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) segera memberikan trauma healing kepada anak dan cucu Salim
Kancil, serta anak-anak PAUD yang menyaksikan insiden penganiayaan Salim Kancil
di Balai Desa Selok Awar-Awar.
Dampak Pertambangan
Pasir Besi
Maraknya
pertambangan pasir di berbagai daerah, telah menyisakan segudang persoalan,
baik dari sisi lingkungan maupun konflik horizontal. Dan hingga saat ini, pertambangan
pasir lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Pasalnya, lubang-lubang
menganga bekas galian pasir, biasanya ditinggalkan begitu saja. Dan lubang itu
tidak bisa digunakan lagi.
Sementara
terkait dengan pertambangan pasir besi di kawasan Lumajang, sedikitnya ada tiga
wilayah yang rentan menghadapi kerusakan lingkungan, yakni Desa Baku, Selok
Awar-Awar dan Selok Anyar.
Kejadian
itu juga berpotensi menimbulkan kerentanan, mengingat pertambangan di pesisir
selatan Lumajang telah menimbulkan penolakan dari masyarakat. Mulai Desa
Wotgalih -Kecamatan Yosowilangun hingga desa Pandanarum dan Pandanwangi-
Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang.
Banyaknya
tambang pasir besi yang beroperasi di Lumajang secara ilegal telah merusak
lahan pertanian pesisir pantai. Kawasan pesisir pantai rusak dan air laut
membanjiri lahan pertanian warga. Dipastikan panen mereka terganggu.
Tak
hanya itu, truk pengangkut pasir yang lalu lalang selama 24 jam juga meresahkan
warga, lantaran sering mencelakakan pengguna jalan. Selain itu, truk-truk pasir
yang melintas juga telah merusak beberapa sisi jalan umum yang biasa digunakan
warga.
Kondisi
terakhir, penambangan pasir besi juga rentan menimbulkan konflik antara
penambang dengan petani penggarap lahan pesisir. Pasalnya, upaya penambangan
yang dilakukan cenderung suka-suka. Di mana lokasi yang dekat dengan jalan,
biasanya disitu usaha pertambangan dilakukan.
Berkaca
dari kondisi itu, tak ada cara lain, selain mendesak pemerintah daerah
Kabupaten Lumajang segera menutup seluruh pertambangan pasir di pesisir selatan
Lumajang.
Pemerintah
melalui penegak hukum juga perlu segera mengusut para pelaku pembantaian
terhadap Salim Kancil dan Tosan hingga aktor intelektual dibalik peristiwa
kekerasan tersebut, dan mengganjar pelaku dengan hukuman seberat-beratnya sesuai pasal
340 KUHP.
Selanjutnya,
Komnas HAM juga diperlukan segera turun ke lapangan dan melakukan Investigasi
atas peristiwa pembunuhan Salim Kancil dalam kaitannya terhadap penolakan
pertambangan pasir besi.
Terakhir,
para saksi juga perlu dilindungi dari segala bentuk ancaman dan intimidasi yang
terjadi. Untuk itulah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu dilibatkan memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment