(Berpose di puncak Gunung Ciremai 3078 mdpl. Foto: dok. pribadi) |
“Promoting mountain products for better livelihoods”
-- International Mountain Day – 11 December 2015
11 Desember merupakan hari paling bersejarah bagi komunitas pendaki gunung maupun veteran pendaki. Pasalnya pada tanggal itu disepakati atau diperingati sebagai International Mountain Day (IMD) atau “Hari Gunung Internasional”
Hari itu sengaja dibuat untuk membangun kesadaran tentang pentingnya gunung bagi kehidupan. Tak hanya itu, peringatan “Hari Gunung Internasional” juga sengaja hadir untuk mengembangkan peluang dan membangun kemitraan yang akan membawa perubahan positif bagi kawasan gunung dan pemanfaatannya bagi manusia.
Bagi mereka yang gemar beraktivitas di kawasan gunung, tentunya sudah tak asing, ketika ditanya apa manfaat gunung yang sesungguhnya? Secara khatam pasti banyak yang berujar tentang produsen penghasil udara bersih bagi manusia yang siap pakai. Tentang lingkungan asri yang dipenuhi beragam jenis satwa yang memberi kedamaian dan keteduhan, hingga gunung sebagai penjaga kestabilan air tanah.
Tak hanya itu, dipastikan bakal banyak juga yang berujar tentang gunung sebagai penghasil kayu, rumah bagi bejibunnya keanekaragaman hayati, hingga tempat untuk berkegiatan di alam bebas.
Yup, benar saja, bagi sebagian orang, termasuk saya, gunung merupakan kawasan indah yang layak dinikmati pemandangannya. Tenang, damai dan dingin merupakan sinonim kata yang identik, jika ingin mendeskripsikan kata ‘gunung’. Itu sebabnya, ketika bosan dan jenuh dengan hiruk pikuk kota, pergi ke gunung, jadi solusi. Bagi saya, gunung ibarat oase yang menyejukkan. Menyegarkan dan mampu membangkitkan kembali energi positif. Bukan itu saja, di gunung, ide-ide kreatif kerap muncul.
Gunung selain tempat ber-rekreasi karena nilai estetika dan memberi ketenangan, juga merupakan sumber mata pencaharian masyarakat dengan bercocok tanam atau berkebun. Gunung menjadi lokasi yang pas untuk bercocok tanam, karena tanahnya kaya akan unsur hara. Disitu masyarakat menggantungkan harapannya pada gunung yang memberi kesuburan.
Sayangnya, gunung juga menjadi salah satu wilayah yang paIing rentan terkena dampak perubahan iklim. Gunung sebagai tempat yang menyediakan beragam hal yang dibutuhkan manusia kini terancam oleh pemanasan global. Belum lagi, ulah manusia seperti eksploitasi tambang, konflik sumberdaya alam, kemiskinan turut mengancam kelestarian gunung sebagai sumber plasma nuftah.
Di sisi lain, gunung juga bisa berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Misalnya, ketika meletus menyemburkan lahar/ awan panas, longsor, banjir gempa bumi, hingga kebakaran hutan. Sebuah kondisi yang akhir-akhir ini begitu nyata di Indonesia. Kondisi yang tidak saja mempengaruhi masyarakat di sekitar gunung, namun juga masyarakat yang letaknya jauh dari gunung.
Sebuah Sejarah
Beranjak dari kesadaran penuh akan pentingnya gunung bagi kehidupan, memaksa PBB merujuk tanggal 11 Desember sebagai “Hari Gunung Internasional” sejak 2003 lalu.
Selanjutnya, PBB melalui FAO, organisasi yang mengurusi pangan, setiap tahunnya telah memberi tema-tema khusus dalam peringatan “Hari Gunung Internasional”. Dan sejak 2003, FAO merupakan lembaga yang konsern melihat peran penting gunung dalam menjaga kestabilan ekosistem dan kaitannya dengan kebutuhan pangan. Oleh sebab itulah FAO menjadi lembaga dunia yang diamanatkan untuk mengadakan dan memimpin peringatan “Hari Gunung Internasional”, lengkap dengan temanya.
Sejak dipopulerkan tahun 2003, “Hari Gunung Internasional” semakin dikenal di seluruh penjuru dunia. Namun yang perlu disadari bersama, bahwa gunung merupakan ekosistem yang berdampingan dan sejajar dengan kehidupan manusia, hewan maupun tumbuhan. Beragam kajian telah diterbitkan untuk membuktikan pentingnya gunung bagi kehidupan.
Luas pegunungan yang mencakup seperempat permukaan dunia dan merupakan rumah bagi 12% populasi manusia telah membuktikan bahwa gunung menjadi sumber air tawar, setidaknya bagi setengah penduduk dunia. Gunung telah menjadi semacam menara air dunia.
Kini, gunung juga berbicara tentang pertumbuhan penduduk, globalisasi ekonomi, dan urbanisasi kaum laki-laki ke perkotaan. Pasalnya, globalisasi telah memberi kesempatan bagi para produsen produk-produk pertanian untuk memasarkan barang-barang pertanian gunung yang berkualitas tinggi kepada masyarakat perkotaan. Sebut saja; kopi, kakao, madu, tumbuhan herbal, palawija, hingga kerajinan tangan (souvenir).
Hari Gunung Internasional 2015
Setelah sebelumnya pada tahun 2014, FAO menyoroti masalah “Mountain Farming”, seiring perkembangan pertanian di daerah pegunungan yang cepat, maka pada tahun ini, peringatan “Hari Gunung Internasional” mengambil tema tentang “promosi produk-produk pertanian dari kawasan gunung demi hidup yang lebih baik”. Tema itu saya kutip langsung dari laman resminya FAO.
Selintas tema tahun ini tampak serupa dengan tahun sebelumnya. Sama-sama mengangkat ide tentang promosi produk-produk pertanian di pegunungan. Ternyata, tema itu dibuat mirip untuk menekankan tentang kesadaran akan pentingnya pegunungan bagi kehidupan. Termasuk menyoroti peluang dan hambatan dalam pengembangan gunung serta membangun alienasi yang akan membawa perubahan positif bagi masyarakat di sekitar gunung dan lingkungan di seluruh dunia.
Sembari mengelola pertanian, orang-orang gunung juga mendapatkan penghasilan lebih dengan adanya kegiatan pariwisata yang kini terus digalakkan. Menjadi pemandu, pembawa barang (porter), menyediakan jasa transportasi, atau menjual makanan dan buah tangan bagi para pengunjung, telah memberi manfaat baru bagi penduduk, khusus tentang pentingnya menjaga kelestarian gunung. Singkatnya, upaya itu telah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal secara nyata.
Hari Gunung Internasional 2015 juga memberi kesempatan untuk menyoroti bagaimana masyarakat di kaki gunung mampu melindungi keanekaragaman hayati yang ada dengan memproduksi beragam produk khas setempat, sembari menyediakan barang dan jasa penting yang diperlukan.
Sementara mempromosikan produk gunung adalah tema untuk tahun ini, maka negara-negara, masyarakat maupun organisasi lingkungan dipersilakan merayakan hari gunung internasional dengan tema berbeda yang mungkin lebih sesuai bagi kebutuhan masing-masing. Tidak ada pemaksaan.
Kendati demikian, salah satu contoh nyata yang bisa dipraktikkan selaku pendaki gunung adalah dengan membeli produk-produk pertanian yang ditawarkan oleh penduduk yang tinggal di kawasan gunung. Atau tak ada salahnya membeli souvenir yang dihasilkan oleh mereka.
Bicara tentang produk masyarakat di sekitar gunung, saya jadi teringat “Sarongge”, sebuah kampung di lereng Gunung Gede Pangrango. Sarongge tepatnya berada di desa Ciputri, kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat.
Tahun 90-an hingga awal tahun 2000an, Sarongge lebih dikenal sebagai kampung perambah hutan, lantaran aktifitas merambah hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) untuk kepentingan pembukaan lahan, sangat tinggi.
Kisah tentang Sarongge kini berubah drastis setelah “Green Radio” melakukan program adopsi pohon yang diikuti berbagai program pemberdayaan masyarakat perambah di sana.
Masyarakat yang awalnya merambah hutan secara perlahan mulai meninggalkan lahan taman nasional setelah dilakukan penyadaran. Ternyata setelah masyarakatnya sadar, selain menyelamatkan dan menghidupkan keseimbangan hutan juga dapat menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Sarongge pun berubah status dari desa kebun sayur menjadi desa ekowisata pada 29 Juni 2013 lalu. Kala itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, dan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan menetapkan desa Sarongge sebagai model desa konservasi, ketika berhasil menggelar pesta rakyat selama 3 hari berturut-turut, pada 29 Juni hingga 1 Juli 2013.
Deforestasi Indonesia 24 ribu ha
Pada Juli 2014, Kemenhut melalui Direktorat Jenderal Planologi, merilis data laju deforestasi sebesar 24 ribu ha. Angka itu merupakan laju deforestasi pada hutan primer di Indonesia untuk periode 2011 -2012. Angka itu relatif kecil jika dibanding data tahun-tahun sebelumnya yang besarannya mencapai jutaan hektar per tahun.
Laju deforestasi pada hutan primer, salah satunya terjadi di kawasan pegunungan hingga kawasan mangrove. Khusus kawasan pegunungan deforestasi utamanya terjadi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, ladang hingga pemukiman.
Sebelum laju deforestasi dirilis, setahun sebelumnya, tepatnya pada Mei 2011, pemerintah telah memberlakukan moratorium (penghentian) pemberian izin baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut yang sudah diperpanjang 5 kali dan kini dilengkapi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru Revisi ke 5 (PIPIB V). Kebijakan itu harusnya tepat karena diharapkan mampu menurunkan laju deforestasi.
Uniknya, jurnal Nature Climate Change menyebut laju deforestasi di Indonesia pada tahun 2012 telah mencapai 840.000 hektar. Ditengarai besaran itu mengalahkan angka deforestasi di Brasil sebesar 460.000 hektar, di tahun yang sama.
Atas besaran itu, sebagaimana dikutip dari bbc.co.uk/indonesia, Kementerian Kehutanan membantah deforestasi di Indonesia telah mencapai 840.000 hektar pada 2012 lalu. Kendati demikian, Kementerian Kehutahan mengakui hutan di Indonesia telah berkurang luasnya, tetapi jumlahnya jauh lebih kecil ketimbang hasil penelitian itu.
"Data di Kementerian Kehutanan memang terjadi deforestasi, penyebabnya antara lain adalah kebakaran hutan, mungkin ada alih fungsi dan kemungkinan illegal logging, deforestasi yang terjadi setiap tahun itu sekitar 450.000 hektar, tetapi angkanya fluktuatif, kalau terjadi kebakaran hutan maka itu lunas (penanaman lagi)," ujar Eka Widodo, humas Kementerian Kehutanan.
Sementara itu, Belinda Margono, Mantan peneliti di Kementrian Kehutanan dan kini bekerja di Universitas Maryland AS menyebutkan Indonesia telah mengalahkan angka deforestasi Brasil 460.000 hektar, setahun setelah moratorium penebangan hutan diberlakukan.
"Ada peningkatan kehilangan luas hutan alam dari tahun 2000-2012, bahkan di tahun 2012 kehilangannnya lebih besar dibandingkan Brasil, ada peningkatan proporsi di wetland, ada peningkatan proporsi forest land use yang seharusnya tak boleh diganggu," tutur Belinda.
Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen gas emisi rumah kaca ketiga terbesar di dunia, setelah Tiongkok dan AS dengan 85% emisi berasal dari kerusakan dan berkurangnya luas hutan. Pasalnya, hutan alam tempat gunung berada merupakan penyimpan karbon terbesar di dunia. Oleh karena itu, laju deforestasi tidak hanya menjadi PR besar pemerintah, melalui Kementerian Lingkunan Hidup dan Kehutanan (KLHK) namun juga menjadi perhatian bersama semua pihak.
Partisipasi seluruh stakeholder di sektor kehutanan, termasuk pendaki gunung sangat ditunggu lewat aksi-aksi nyata. Harapannya, persoalan untuk menjaga gunung tetap lestari dapat terwujud, meskipun dengan cara yang sangat perlahan. (jacko agun)
Kandungan Gizi Sawi Yang Dibutuhkan Ayam
ReplyDeleteTips Menentukan Ayam Pullet Yang Berkualitas