(Ilustrasi, sumber: http://pre09.deviantart.net) |
Sejak kecil, Dara hidup dengan curahan cinta kasih kedua orangtua yang berlimpah-limpah. Hidupnya mulai berubah, ketika secara tak sengaja bertemu pria lucu di sekolahan (baca: SMA). Belakangan, pria itu mencuri perhatiannya lewat pola pikirnya yang anti mainstream.
Singkat cerita, Dara jatuh hati dan memiliki 'rasa' terpendam kepada pria, yang tak lain adalah teman karibnya itu. Korakoram nama lelaki itu, biasa dipanggil "Kora" Namun, karena budaya timur, ia malu tuk mengakuinya. Ia pun memilih memendamnya.
Dara beranggapan, tak etis jika menyatakan rasa terlebih dahulu. Selain itu, ia tak memiliki energi besar untuk melakukannya. Akhirnya, ia beranggapan, biarlah rasa itu disimpan sendiri. Jadi pembelajaran. Jadi kisah indah yang menarik tuk dikenang. Yang mungkin suatu waktu bisa dibagikan, kepada mereka yang mau mendengarkan.
***
Di setiap waktu, sebisa mungkin, Dara selalu memberi perhatian lebih kepada Kora. Perhatian tulus nan sederhana, sebenarnya. Namun, sesederhana apapun itu, ketika yang satu tak cakap menangkap makna, semua terasa sia-sia. Nihil.
Dan benar saja, Kora ternyata tak menyadari hal itu. Ia merasa, Dara hanyalah teman biasa. Maklum, Kora tipikal pria lugu yang memang kurang mengerti makna cinta, mirip seperti penulis. Dia lalu beranggapan bahwa Dara hanyalah teman sekolah yang kerap membantu di waktu yang tepat. Tidak lebih dan tidak kurang.
Tahun berganti tahun, Dara berubah menjadi gadis dewasa. Lebih matang dalam bertindak dan bersikap. Kendati demikian, tidak untuk urusan hati. Sesuatu masih mengganjal. Sesuatu yang gak bisa hilang. Sesuatu yang selalu muncul ketika hati sedang gundah, merayapi pojok-pojok sepi.
Dan ketika sedang galau, Dara punya jurus jitu untuk mengalihkannya, yakni dengan melukis. Ya, minimal untuk sementara. Melukis dengan guratan-guratan yang kadang tegas dan tak jarang samar. Ketika melukis, Dara lebih suka menggunakan palet ketimbang kuas. Alasannya, ia suka tekstur yang kasar, tebal dan tegas.
Dari puluhan karya lukisnya, ada yang jadi penanda jika hatinya sedang gundah. Penanda itu adalah munculnya huruf (K) yang selalu ia sematkan di ujung lukisannya. Tak hanya itu, ia juga kerap memunculkan sebentuk imaji wajah. Yup, wajah itu adalah Kora.
***
Pada suatu pagi, Dara kaget ketika mendapat kabar bahwa Kora akan segera menikah. Ini artinya, peluangnya untuk dekat dengan sang pujaan hati, kian pupus. Dara lalu membulatkan tekad untuk menjadi seorang realis. Seseorang yang bertindak berdasarkan realita. Ia harus siap dengan kondisi terburuk. Ia harus melupakan Kora.
Kendati sulit, Dara berusaha terlihat tegar. Ia tersenyum sembari bergumam, “Aku harap kau bahagia, Kora“. Ia pun mulai mendoakan pujaan hatinya itu agar diberi kebahagiaan dan kesuksesan di kehidupannya.
Lalu, pada Juli 2009, Dara menerima copy undangan pernikahan Kora yang siap untuk dicetak. Saat bertemu, Kora meminta Dara hadir di hari bersejarahnya itu. Di pertemuan itu, kondisi Dara agak berubah. Dara terlihat lebih kurus dan sepertinya kurang sehat.
Kora itu lalu bertanya : “Ada apa dengamu, ra? Kamu baik-baik saja, kan?”
Dara lalu membalasnya dengan senyuman.
”Aku baik-baik saja. Gak ada masalah. Oh ya, contoh undanganya bagus, tapi aku lebih suka jika warnanya oranye, lebih bersemangat”, ujar Dara mengomentari surat undangan itu.
“Baiklah, kuusahakan tuk menggantinya. Terima kasih sarannya, ra", jawab Kora.
"Oh ya, aku harus pamit, ada hal lain yang mesti diurus. Thanks buat pertemuan ini, ya!", ujar Kora menimpali.
"Baiklah. Hati-hati di jalan", pinta Dara.
Melihat sosok yang dikasihinya itu pergi, hati Dara kembali sedih. Jari-jarinya sedikit bergetar ketika melambaikan tangan. Dalam hatinya Dara berdecak, seandainya ia tak bertemu Kora hari itu, gejolak aneh itu pasti tak akan muncul.
"Damn, aku gak bisa membuang perasaan ini!"
***
Pada September 2000, penyakit yang diderita Dara kian parah, hingga akhirnya ia harus berlabuh di rumah sakit. Penyakit yang dideritanya adalah kanker darah stadium akhir.
Dokter memprediksi kemungkinan hidup Dara tidak lama. Pasalnya, pasien-pasien dengan penyakit seperti itu, akan mengalami komplikasi. Komplikasi, karena fungsi organ lainnya mulai ikutan rusak, tidak bekerja secara maksimal. Organ-organ itu akan mati secara perlahan.
Dengan kondisi separah itu, hanya muzizat yang mampu menyembuhkannya. Namun, mencari muzizat di jaman seperti sekarang ini, bukanlah perkara mudah. Jika memang ada, pastinya akan di cari. Namun dimana?
Secara perlahan, Dara mengalami kesulitan dengan pendengaran dan kemampuannya berbicara mulai terbatas. Tak hanya itu, ia pun tak bisa berpikir jernih layaknya manusia normal. Kini, ia harus bergantung pada alat bantu kedokteran yang terpasang di sekujur tubuhnya.
Uniknya, dengan kondisi seperti itu, Kora tidak melupakannya. Ia kerap hadir menjenguk. Seminggu bisa beberapa kali. Pun, tak jarang ia yang terpaksa berjaga, ketika orangtua Dara ada keperluan. Dan yang lebih mengesankan, Kora terpaksa menunda pernikahannya, karena tak kuasa melihat Dara lunglai di bangsal rumah sakit.
Sementara itu, karena tak punya harapan hidup, pihak keluarga pasrah. Mereka bahkan setuju, ketika usulan "suntik mati" ditawarkan. Orangtua Dara tak kuasa melihat penderitaan Dara. Selain itu, keadaan finansial keluarga juga mulai memburuk.
***
Desember 2000, keluarga akhirnya setuju jika kesedihan Dara harus diakhiri dengan cara suntik mati. Semua telah ikhlas, termasuk Dara. Semua keluarga, kerabat dan handai tolan telah dikabari soal itu. Tak heran jika banyak yang berkunjung ke rumah sakit di hari-hari terakhir. Mereka memberi kata-kata penghiburan bagi keluarga dan Dara.
Lalu, pada momen istimewa itu, ketika pelaksanaan suntik mati akan dilakukan, Kora muncul di depan pintu. Ia menatap Dara dengan penuh kasih. Kembali, lembaran demi lembaran kenangan kebersamaan itu menyeruak. Dalam momen singkat itu, Kora seakan sedang menonton film perjalanan hidupnya bersama Dara. Kora lalu membungkuk dan mulai membisikkan sesuatu di telinga Dara.
"ra, apakah kau masih ingat ketika kita mengerjakan tugas sekolah bersama-sama? Ingatkah kau, ketika kita hujan-hujanan pulang dari sekolah? Atau ketika kita tersesat, sepulang dari rumah pak guru?"
"Kamu tentu masih ingat, ra, ketika aku dihukum di depan kelas, dan kamu meminta bu guru menghentikannya, karena batas waktunya telah lewat. Atau, ketika aku membuatkanmu prakarya dari kayu jelutung, karena kamu gak bisa memahat"
"Dara, aku ingin kau sembuh! Sumpah! Aku hanya ingin kau sembuh. Seperti dulu"
"ra, aku masih merindukan lesung pipimu yang merona ketika tersenyum. Aku juga merindukan buah-buahan dari kebunmu. Tolong bangun, ra! Jangan biarkan aku sendiri!", rengek Kora.
Tanpa sadar, Kora mulai menangis. Air matanya menetes membasahi wajah Dara.
"ra, kau harus tahu, bahwa aku mengerti sekarang. Aku tahu betapa berartinya dirimu buatku"
"Dan, tentang suntik mati ini, aku sama sekali gak setuju. Aku gak rela melihat kau mati di depanku. Karena itu, aku ingin kau hidup, ra", ujar Kora sesegukan, sambil sesekali menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir.
"ra, setelah kusadari, aku hanya mau bilang, aku mengasihimu. Aku sayang kau, ra. Rasa itu sebetulnya sudah ada sejak dulu. Tapi aku takut. Takut kalo kau menolaknya."
"Seandainya, kau memang tak menyukaiku, tak masalah, ra. Yang penting kau hidup. Aku ingin kau bisa tersenyum lagi. Aku ingin kau hidup, ra!"
"Plis.... bangun, ra. Aku hanya ingin kau bangun!"
Kora menangis kian keras. Tanpa sadar, ia telah menggenggam tangan Dara dengan erat.
"Dara, aku berdoa demi Tuhan, berikan keajaiban itu. Keajaiban buat Dara. Tuhan, sembuhkan Dara. Ijinkan ia boleh sembuh. Aku percaya!"
Kora terpaksa mengungkapkan semua itu, karena ia tak kuasa jika harus menghadiri pemakaman Dara, esok. Kora merasa tidak sanggup. Lamat-lamat, kora kembali berbisik.
"Ketahuilah, ra, aku menikah, biar kau tidak terbebani. Terbebas dari bayang-bayang diriku, sehingga kau bebas memilih lelaki terbaikmu. Lelaki impianmu."
"Dan, seandainya, sejak saat itu, kamu bilang mengasihiku, aku akan membatalkan pernikahan itu, ra. Sumpah! Aku lebih memilih bersamamu, meski sepertinya sulit."
Untuk terakhir kalinya, Kora kembali berbisik:
"ra, aku mengasihimu. Aku sayang kamu. Sungguh!"
Tak berapa lama, pegangan tangan Kora seakan berbalas. Selintas, Kora berpikiran itu hanya ilusinya semata. Namun tidak. Tubuh Dara tiba-tiba memberi respon.
***
5 jam setelah itu, dokter menemukan keanehan. Tubuh Dara semakin sering bergerak. Awalnya dari jemari tangannya, lalu menjalar ke ujung kaki. Meski tidak sering, gerakan-gerakan itu menunjukkan ada yang berubah. Sepertinya tubuh Dara semakin membaik.
Dan benar saja, keajaiban itu nyata. Tak lama setelahnya, Dara mulai bergerak. Jantungnya yang tadinya lemah, kini berfungsi baik. Juga dengan organ-organ lainnya. Dara kini mulai bisa bernafas normal.
Mengetahui hal itu, pihak rumah sakit segera memanggil keluarga Dara. Dokter lalu menjelaskan keajaiban yang terjadi. Secara perlahan, masa koma pun lewat.
***
20 Desember 2000, Dara telah mampu membuka mata. Tak lama setelah itu, Dara mulai berkata-kata. Saat itu, ia mengucapkan kata pertamanya: "Tolong beri aku minum. Aku haus".
Mendengar itu, sontak semua anggota keluarga yang setia menunggu, tertawa gembira. Mereka akhirnya bisa mendengar Dara berkata-kata. Pun tak terkecuali dengan Kora.
Begitu mendengar permintaan minum, Kora langsung mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Sejurus kemudian, gelas itu ia sodorkan ke Dara, sembari membetulkan posisi duduknya.
"Ini buatmu, ra", ujar Kora.
"Makasih! Tapi, kok kamu masih ada di sini. Kamu gak pulang?", tanya Dara dengan ekspresi bingung.
Kora hanya menggeleng. Dara lalu mulai bercerita, bagaimana ia bisa bangun. Semua yang ada di ruangan itu mulai mendengarkan dengan seksama.
"Kora, sadarkah, kau, kamulah yang membangunkan aku. Kamu yang memintaku bangun, kan? Saat itu aku tersadar. Ya, aku harus bangun!"
"Lalu, ketika kamu mengucapkan betapa kamu mengasihi aku. Aku pun menjawabnya. Ya, aku mengasihimu, Kora jelek"
Mendengar itu, Kora lalu memeluk Dara. Lama ia memeluknya, sebelum akhirnya membisikkan sesuatu;
"ra, aku memang mengasihimu. Plis, jangan tinggalkan aku lagi, ya!"
"Ya, aku tidak akan meninggalkanmu", sahut Dara
"ra, kalo gitu, bersediakah kau jadi istriku?"
***
12 Februari 2001, Dara dan Kora akhirnya menikah. Mereka hidup bahagia dan selalu penuh dengan ucapan syukur. Tak berapa lama, pasangan itu kemudian dianugerahi seorang anak laki-laki. Dan dua tahun setelahnya, bayi mungil perempuan menambah kemeriahan rumah tangga mereka.
Anak laki-laki pertama diberi nama Adelardo Cetta Early, yang arinya laki-laki yang menjadi pangeran sebagai pemimpin dan berpengetahuan luas. Kata-kata itu berasal dari kata, Adelardo = pangeran. Lalu Cetta = berpengetahuan luas, dan terakhir Early = pemimpin.
Sementara anak kedua diberi nama, Adila Nisa Ardani, yang maknanya; perempuan yang memiliki rasa adil dan suci. Nama itu berasal dari kata, Adila = Pantas, tepat, adil. Lalu, Nisa = perempuan dan Ardani = Suci.
Kisah Korakoram dan Adara Fredella Ulani menjadi bukti bahwa kekuatan kasih tidak main-main. Kekuatan kasih itu nyata. Ia hadir tuk melengkapi. Ia hadir tanpa pamrih. Ia bahkan tak pernah kurang tuk dibagikan. (End)
No comments:
Post a Comment