Wednesday, January 27, 2016

*Ken

(Menunggu senja. Source: www.hypnotherapists.org.uk)
Ken, maafkan, jika aku mengajak Jingga, malaikat kecil kita, berkeliling menyusuri lagi, tempat-tempat yang sering kita singgahi dulu. Aku sengaja membawanya, sekedar tuk pastikan, bahwa sebagian ragamu, memang ada bersamaku, Ken!

“Ma, kita mau jalan kemana lagi”, tanya Jingga dengan ekspresi bingung, ketika aku mengajaknya pagi ini.
“Kita pergi ke tempat indah, dimana papa dan mama dulu sering singgah, nak!” sahutku.

Kulihat raut wajah Jingga agak berubah. Ia mencoba menyerap makna dari kata-kataku tadi. Setelah itu ia tak bertanya lagi. Ia memilih diam. Lalu, kugenggam tangan mungilnya. Kami pun melangkah.

***
Pagi itu, semburat sang surya seakan tak terbendung, ketika ia memaksa masuk lewat kisi-kisi jendela kayu yang terbuka. Ia kini hadir di kamarku yang hanya berukuran 4 x 5 m. Kilaunya berbentuk diagonal, mendarat persis di wajah mungil “Jingga Tak Bertepi” yang masih tertidur pulas. Jingga mulai gelisah karenanya, lalu merubah posisi tidur. Kali ini pilihannya jatuh pada formasi “tidur pistol”. Tidur dengan posisi meringkuk seperti pistol.

Aku memang sengaja tidak membangunkan Jingga, karena takut mengganggu tidurnya. Maklum, malam tadi, ia tidur agak larut, usai mendengar dongeng yang kusampaikan padanya. Biarlah ia menikmati masa-masa tidur lebih lama. Lagian, aku belum selesai berbenah. Berbenah disini, semata-mata tidak hanya untuk urusan pribadi, namun menyangkut kegiatan yang lebih besar. Urusan domestik. Urusan rumah tangga.

Sejak kedua adikku bekerja, otomatis semua kegiatan di handle sendiri oleh ibuku yang kini semakin renta. Ya, ibuku seorang diri yang turun tangan membereskan banyak hal yang berhubungan dengan rumah dan kebutuhan dapur. Seperti biasa, pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke pasar, yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Disana ia akan melengkapi semua kebutuhan selama sehari bahkan beberapa hari kedepan.

Lewat beberapa pedagang langganannya, ibuku akan membeli semua barang yang diperlukan, seperti: sayuran, ikan, bumbu dapur, hingga pernak-pernik yang hanya bisa ditemukan di pasar tradisional. Pernak-pernik itu bisa jadi; ember, gayung, keset, piring, gelas bahkan celana dalam.

Pagi itu, aku tak kuasa membiarkannya sendiri. Aku pun menemaninya ke pasar. Lama sudah, aku tak mengunjungi “Pasar Bengkok”, demikian nama pasar yang berada tak jauh dari rumah kami. Seingatku dulu, aku ke pasar itu saat masih kuliah. Itu pun sudah lama sekali. Ada mungkin, 15 tahun lalu.

Tiba di pasar, tak banyak yang berubah. Gapura dan lapak-lapak yang ada masih sama. Bedanya, lapak-lapak yang ada sekarang lebih permanen, ketimbang sebelumnya. Selain itu, pembeda lain adalah para penunggu lapak. Kebanyakan dari mereka terlihat tua, jika dibandingkan waktu itu.

Selama di pasar, banyak yang menyapaku. Mereka kaget. Maklum, mereka gak menyangka aku telah berubah. Aku yang mereka kenal dulu sebagai gadis manja dan bau kencur, kini menjelma jadi dewasa. Apalagi, saat itu, aku kerap menggoda para pedagang, lewat pertanyaan aneh yang seakan tiada henti. Ya, itu salah satu yang paling mereka ingat dariku. Dan aku hanya tersenyum simpul, karenanya.

Puas dengan semua item yang dibeli, kami beranjak pulang. Sepanjang perjalanan, kulihat dengan seksama rumah-rumah yang kami lintasi. Ada banyak yang berubah, ternyata. Namun, tak sedikit yang masih sama seperti puluhan tahun silam.

“Ya, persis seperti rumahku.”, gumamku.

Sepanjang jalan, ibu bercerita tentang perkembangan di lingkungan tempat tinggal kami. Tentang anak-anak tatangga, baik yang telah sukses maupun yang terjerumus karena jerat narkoba. Pun, tentang teman-teman sebayaku. Juga tentang banyak hal, yang tentu saja merupakan informasi baru bagiku. Aku sangat menikmati cerita-cerita itu. Lalu, tanpa sadar, bayangan masa kecilku bergelayut turun.

Tak terasa, 15 menit berjalan, kami sudah kembali ke rumah. Rumah yang terletak di dalam gang, yang di depannya terdapat sebuah warung. Sementara di sisi kanan dan kirinya telah berdiri rumah gedong. Sementara rumah kami masih tetap sama, seperti puluhan tahun silam. Rumah yang didalamnya terdapat 4 buah kamar. Rumah yang terbuat dari setengah bata dan sisanya kayu. Ya, itu adalah rumahku.

Rumah yang dulu selalu ramai didatangi oleh teman-teman sebayaku. Rumah yang jadi tempat belajar dan bermain bersama. Rumah yang penuh dengan kehangatan. Rumah yang membuatku bisa tidur lebih lama.

Dan di rumah itu, aku akhirnya kehilangan sosok ayahku. Sosok pelindung yang selalu membelaku, meski kadang aku yang salah. Sosok yang paling kubanggakan. Sosok yang paling kurindukan, akhir-akhir ini. Ya... Ayahku telah meninggal dunia 3 tahun lalu. Dan sejak itu, rumah ini kehilangan pesonanya.

***
Usai mengenakan pakaian terbaik, aku membangunkan Jingga. Dua, tiga kali namanya kupanggil, ia tak bergeming. Matanya masih menutup. Itu artinya ia masih larut dalam tidur panjangnya. Akhirnya, tak ada cara lain, selain mengangkatnya secara paksa dari tempat tidur dan membawanya ke ruang tamu. Biasanya, jika sudah berpindah tempat, ia langsung tersadar.

Pagi itu, dengan beberapa jurus “tanpa nama”, Jingga akhirnya bangun. Dan, hal pertama yang ia lakukan saat membuka mata adalah “pipis”. Jika sudah pipis, maka prosesi memandikannya lebih gampang.

20 menit berlalu, Jingga sudah berubah bentuk, dari yang tadinya kucel plus awut-awutan, kini menjelma bak bidadari kecil yang turun ke Bumi. Tubuhnya yang harum ditingkahi wajah lucu kerap membuat hati ini tak kuasa ingin memeluknya. Lagi dan lagi.

Jika sudah begitu, Jingga hanya berujar; “Udah ma, Jingga gak bisa nafas"

***
Tapi, Ken, itu baru secuil kisah dari rutinitasku pagi ini. Aku yakin, ketika kamu mengetahui semuanya, kamu pasti ingin ada disini. Disampingku saat ini. Menggandeng Jingga, atau ketika ia lelah berjalan, kamu menggendongnya. Dengan kekuatan tanganmu. Dengan kekokohan otot bisepmu yang selalu kugunakan sebagai pengganti bantal jika tidur disampingmu.

“Kamu pasti mau, kan? Kamu pasti rindu!”

Oh ya, hari ini, kami menyusuri kembali tempat-tempat bersejarah kita, Ken! Kami; aku dan Jingga. Berdua saja, gak ada yang lain. Pingin sih, ajak teman-teman, tapi tak satupun yang punya waktu hari ini. Maklum, sebagian besar pegawai kantoran. So, kudu masuk kerja.

Dan, perjalanan pertama kami pagi adalah mengunjungi kampus. Kampus merupakan tempat dimana kita menghabiskan sebagian besar waktu jaman kuliah dulu, Ken. Di tempat itu, Jingga aku ajak menjelajahi beberapa spot menarik. Mulai dari perpustakaan hingga naik ke lantai atas gedung perkuliahan.

Kamu pasti ingat, kan? Ketika kita berburu senja di atas gedung itu. Mengambil posisi memandang ke barat, kau dan aku selalu terpana menikmati mentari pulang keperaduannya. Saat itu, kita sering gak terima, ketika semburat jingga yang tersisa, kerap berlalu begitu saja, padahal kita ingin menikmatinya dalam tempo yang lebih lama. Namun apa daya, kita tak kuasa, karena sekeliling segera berubah pekat. Itu artinya kita harus beranjak.

Soal Jingga, ntah mengapa, kita berdua memang menyukainya. Yang kuingat, di awal-awal kita bertemu, tanpa sengaja, kita pernah sama-sama menggunakan sesuatu berwarna jingga. Saat itu, aku mengenakan baju berwarna jingga, sementara kamu mengenakan sepatu Solomon Gore-Tex berwarna jingga dipadu daypack Lowe Alpine “bapuk” yang juga berwarna jingga.

Lalu, karena tergila-gila dengan Jingga, kita akhirnya sepakat memberi nama “Jingga” pada bidadari kecil kita. Tentu, kau tidak lupa, kan, Ken???

Ya, Jingga kini genap berusia 5 tahun. Banyak hal yang telah ia pelajari. Namun, ia tidak mengenalmu, Ken. Ia lupa, sosokmu seperti apa. Ia betul-betul tidak ingat. Yang ia ingat hanya aku, mamanya. Selebihnya nenek, dan orang-orang yang ada dirumahku.

Oh ya, puas keliling kampus, aku juga ajak Jingga singgah ke salah satu tempat tongkrongan kita dulu, loh. Tempatnya udah banyak berubah, Ken. Lokasi yang berada di pojokan dan berbatasan dengan saluran air itu telah direnovasi. Tempatnya lebih cozy dibanding jaman kuliah dulu. Selain itu, lantai duanya sengaja didisain sedemikian rupa, sehingga menghasilkan ruang yang lebih luas. Beberapa meja telah tersedia disitu. Dan, dari lantai dua, Jingga aku ajak melihat sekeliling. Melihat jalanan yang ramai dengan kendaraan dan memantau lalu lalang mahasiswa yang bersiliweran, hingga melihat gunung di kejauhan.

Gunung, Ken! Ya, kesana kerap aku kau bawa. Minimal sekali dalam sebulan, kita selalu mendaki saat itu. Berbekal daypack (tas kecil) aku melenggang bebas. Sementara kau, berjalan terseok sembari memikul berat beban dipunggungmu, Ken. Ya, di ransel itu, aku pertaruhkan hidupku. Karena di dalamnya lah semua yang kita butuhkan berada. Mulai dari tenda hingga logistik makanan dan minuman.

Meski melenggang, aku selalu menunggumu loh. Ingat kan, Ken? Biasanya aku menunggumu di ujung tanjakan. Dan ditempat itulah kita melepas lelah. Rehat sejenak.

“Ayo sayang, tanjakannya udah gak ada lagi, kok”, begitu ucapku untuk menyemangatimu.

Selain itu, ingat kah, kau? Ditempat dimana kita kerap singgah, sebelum pulang ke rumah masing-masing. Di sebuah kedai di pinggir jalan, dekat kampus. Di kedai itu, kita menikmati aneka panganan yang ditawarkan. Dan, biasanya kamu memilih “Soda Gembira”. Minuman soda, yang mampu hilangkan haus dalam sekejab dan membuat kenyang setelah meminumnya. Warna yang ditawarkannya pun sangat menggoda. Sementara aku, cukup dengan Mie Aceh, atau kalau lagi kehilangan selera, aku beralih ke nasi goreng saja. Dan biasanya, kamu selalu mengganggu aku jika sedang makan.

Di tempat itu, kami tidak lama, Ken. Cuma singgah untuk makan siang. Maklum, Jingga sudah lapar, saat kami tiba disitu.

“Ma, makan... Jingga lapar!”, rengeknya.

Setelah dari situ, kami pergi ke beberapa tempat lainnya, Ken. Ke mal, tempat kamu selalu menemani aku belanja pakaian. Lalu ke taman kota yang memiliki rumput terindah seingatku, tempat dimana kita sering foto-foto. Salah satu foto jepretanmu masih kusimpan hingga sekarang.

Puas dari taman kota, kami lanjutkan ke bioskop favorit kita jaman itu, Ken. Kamu pasti ingat, dunk, waktu kita nonton “Seven Years on Tibet” “Forest Gump” dan “Vertical Limit”, film yang sangat nge-hit di jaman itu. Atau, ketika kamu ketahuan menangis saaat nonton “Titanic”, sementara aku merasa biasa-biasa saja.

“Kamu masih ingat, kan?”

Ken, hari ini, kakiku tak terasa menapaki lagi jejak-jejak kenangan kita tanpa kuminta. Tanpa dikomando. Menyusuri lagi jalan-jalan yang sering kita lewati dulu. Dan setiap kali aku berhenti, air mataku tak berhenti mengalir. Kamu tahu mengapa? Karena aku merasa kamu ada bersamaku, Ken!

Dan setiap kulihat wajah malaikat kecil kita, aku yakin, itu kamu! Ya, aku percaya itu. Lalu, aku buru-buru menghapus airmata ini, ketika Jingga mulai memperhatikanku.

“Mama kenapa? kok nangis?”, tanyanya dengan ekspresi ingin tahu.

Hari mulai senja, ketika langkahku berujung di sebuah tempat paling bersejarah bagiku, bagi kita, Ken! Yup, tempat itu adalah rumahmu. Rumah dimana aku dulu sempat tinggal. Waktu kamu masih ada, Ken.

Setibanya disana, aku hanya memandang dari jauh. Aku gak berani masuk. Aku takut, jika aku tak kuat membendung duka ini, Ken! Aku takut larut terlalu dalam atas kehilanganmu. Aku takut, jika ternyata aku tak hidup di alam nyata, namun di dunia mimpi tak berbatas waktu. Karena itu, aku takut.

Kini, ketika kau telah pergi. Aku merasa kau tetap ada disampingku. Bersamaku. Namun ketika kubuka mata, aku sadari ada yang berbeda. Kau tak disini.

“Kau dimana, Ken???”
“Aku membutuhkanmu!”

Terakhir yang aku ingat, ketika kamu berangkat ke kantor pagi itu. Setelah itu, kamu tak kembali padaku. Kamu pergi meninggalkan kami begitu saja. Dalam duka teramat sangat. Dalam kepedihan tak berujung. Aku kehilanganmu, Ken!

Kamu pergi meninggalkan kami. Aku dan Jingga. Karena itulah, aku meninggalkan rumah kita dan kembali ke rumah orangtuaku. Aku ingin lepas dari bayang-bayangmu, Tapi, aku tak kuasa. Aku belum mampu.

Lalu, tahu kah kau, Ken! Semua yang kulakukan pada hari ini, tak lain adalah cara untuk mengenangmu, mengingat semua hal indah yang telah kita lalui bersama. Tidak untuk melupakanmu. Tidak untuk meninggalkanmu.

Aku tahu, saat ini kondisinya telah berubah. Karena itu, ijinkan aku melangkah maju, Ken! Menata ulang hidupku yang sempat porak poranda akibat kehilanganmu. Yakinlah, kau tetap ada di hatiku, Ken! Kamu selalu istimewa. Kamu adalah segalanya bagiku.

Mungkin bagi sebagian orang, perasaan yang aku rasakan tak lebih dari kehilangan sementara. Kehilangan karena terlalu terbawa perasaan. Kondisi itu tidak berlaku bagiku, Ken. Entah buat yang lain.

Namun yang pasti, perasaan yang kumiliki, hanya untukmu. Bagimana denganmu, Ken?



--- 
*Untukmu, Kenny Sudiro Gautama.


No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN