Friday, April 22, 2016

Ketika Bumi Kian Rapuh!


(Poster Hari Bumi 2016. Sumber: http://www.earthday.org/)
Peringatan Hari Bumi atau Earth Day sengaja dibuat untuk menyadarkan manusia, yang merupakan penghuni planet Bumi, untuk lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan berbagai tatanan ekologi di Bumi.

Setiap tahun, para aktivis dan pemerhati lingkungan selalu memperingati Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April. Dan tahun ini, perayaan Hari Bumi mengusung tema “Pohon untuk Bumi”, sebagaimana seruan Earth Day Network

Tema “Pohon untuk Bumi” diusung setelah menemukan fakta, bahwa Bumi telah kehilangan 15 miliar pohon setiap tahunnya. Earth Day Network, sebuah jaringan gerakan lingkungan terbesar di dunia menginginkan, kegiatan Hari Bumi mampu mendorong dilakukannya penanaman 7,8 miliar pohon, setidaknya hingga perayaan Hari Bumi tahun 2020. Harapannya, setiap orang di planet ini  bersedia menanam minimal satu batang pohon.

Earth Day Network sendiri merupakan jaringan yang paling getol membangun gerakan peduli lingkungan yang terbesar di dunia. Dengan misi memperluas dan mendiversifikasi gerakan lingkungan dan melakukan mobilisasi sebagai kendaraan yang paling efektif untuk membangun kesadaran lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, Earth Day Network yakin upaya melindungi Bumi bagi generasi mendatang dapat terwujud.

Sebagai gerakan sosial yang pertama sekali mengkampanyekan Hari Bumi, Earth Day Network telah bekerja sama dengan lebih dari 50.000 mitra di 196 negara untuk satu tujuan, yakni membangun demokrasi berbasis lingkungan. Earth Day Network juga telah merambah berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kebijakan publik, hingga kampanye konsumen.

Lewat laman resminya, Earth Day Network menyebut, tahun ini merupakan peringatan ke-46 sebuah gerakan yang terus menginspirasi, menantang ide-ide, memicu gairah, dan memotivasi banyak orang untuk bertindak dan peduli terhadap lingkungan yang lebih baik.

Sejak dimulai pertama kali pada tahun 1970, peringatan Hari Bumi sengaja didengungkan untuk menumbuhkan kesadaran, membangkitkan kepedulian hingga menyalurkan energi potensial terhadap isu-isu lingkungan. Dan kini, 46 tahun berlalu, Earth Day Network masih terus memimpin dengan ide-ide kreatif dan inovatif untuk menyadarkan semua pihak tentang Bumi yang satu.

"Pada Hari Bumi ini, mari kita membuat hal-hal besar terjadi. Mari kita menanam 7,8 miliar pohon untuk Bumi”, demikian seruan Earth Day Network lewat situs resmi mereka.

Tak hanya itu, Earth Day Network juga mengingatkan tentang perlunya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mulai beralih ke energi terbarukan.

“Mari kita melakukan divestasi bahan bakar fosil dan membuat kota 100 persen terbarukan. Mari kita memanfaatkan momentum dari KTT Iklim Paris dan memulai dari situ." demikian lanjutan rilis yang dikeluarkan oleh Earth Day Network pada laman resmi mereka.

Pernah Merayakan
Di pemberitaan sebuah media online, saya membaca, setidaknya satu miliar orang diperkirakan ikut merayakan Hari Bumi yang jatuh pada Jumat, 22 April 2016. Dikabarkan pula bakal terjadi demonstrasi di lebih dari 190 negara di seluruh dunia untuk memperingati hari istimewa itu.

Membaca berita itu, tetiba akal sehat saya berkelana pada peristiwa puluhan tahun silam. Kejadian tepat ketika saya masih aktif di mapala (baca: mahasiswa pecinta alam). Kala itu, hampir setiap tahun, kami memperingati Hari Bumi, lewat beragam kegiatan, baik yang sifatnya resmi maupun tidak, termasuk melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD.

Seingatku, salah satu kegiatan besar yang sempat kami lakukan adalah menggelar perayaan Hari Bumi di Sayum Sabah, sebuah desa kecil yang berada di luar kota Medan. Di desa yang menjadi lokasi binaan itu, berbagai kegiatan dilakukan secara marathon dalam 3 hari, mulai dari diskusi, pemutaran film, menanam pohon, hingga aksi bersih sungai.

Saat itu, kami (baca: mapala) ikut berpartisipasi, berkat ajakan senioren yang kebetulan aktivis NGO lingkungan yang cukup disegani. Lewat beliau, kami bisa melakukan kegiatan peduli lingkungan. Singkat cerita, kegiatan itu merupakan aksi bersama antara NGO Lingkungan dan mapala tempatku bernaung.

Dari serangkaian kegiatan, yang paling berkesan adalah ketika kami melakukan aksi bersih sungai sepanjang 1 kilometer. Jika dihitung-hitung, jarak 1 kilometer tidaklah jauh, namun saat melakukannya, ditengah arus sungai yang kencang, jarak sejauh itu ternyata sungguh menyiksa.

Dengan penuh perjuangan, kami akhirnya bisa menuntaskan aksi bersih sungai selama kurang lebih 45 menit. Hasilnya, ratusan kilo sampah berhasil kami angkut dari sungai yang airnya jernih itu. Sampah-sampah itu kebanyakan plastik, kaca, hingga kain. Pun, beberapa diantaranya ada juga sampah-sampah jenis lain seperti kayu dan vinil.

Selain itu, saat masih mahasiswa dulu, saya juga terbilang aktif membangun jaringan dengan rekan-rekan mapala dari kampus lain. Tak heran jika saya banyak mengenal mereka. Dan pernah pada suatu ketika, lewat diskusi-diskusi kecil yang cukup intens, kami akhirnya bersepakat untuk melakukan aksi demonstrasi ke DPRD, bertepatan dengan Hari Bumi.

Saat itu, perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser sedang marak, meski penangkapan terkait hasil hutan ilegal terus dilakukan. Namun, dampak deforestasi yang terjadi sudah sangat mengkhawatirkan. Data Forest Watch saat itu menyebut, laju deforestasi telah mencapai 1,7 juta hektar per tahun. Jika dibayangkan angka itu sungguh fantastis. Ada yang menyebut, analoginya setara dengan 3 kali lapangan sepakbola, jumlah kawasan hutan yang hilang setiap harinya. Edan bukan?

Karena itulah kami protes. Protes kemudian disepakati ditujukan ke DPRD Medan, dengan harapan, pihak parlemen daerah mau menyuarakan keresahan para pemerhati lingkungan seperti kami. Pemerhati lingkungan yang masih amatir sebenarnya. Pemerhati lingkungan yang beranjak dari sebuah ketakutan kaum muda, yang tak terima, jika hutan hujan tropis yang tersisa bakal hilang dalam tempo tak begitu lama.

Saat itu, seingatku, perwakilan kami diterima oleh anggota DPRD. Uniknya, usai pertemuan, tak jelas solusinya seperti apa. Yang pasti, kami pulang, ketika mengetahui usulan-usulan yang kami buat diterima anggota DPRD sebagai sebuah masukan. Selanjutnya, berhubung data kerusakan lingkungan di Sumut masih merupakan barang langka, kami berharap pihak DPRD memilikinya.  Namun sayang, harapan itu kandas, begitu mengetahui pihak DPRD tidak memilikinya. Mereka bahkan meminta kami menanyakan hal itu ke dinas kehutanan. Sebuah upaya yang mustahil, sebab dari beberapa kali mencoba, tak sekalipun pihak kehutanan merespon keinginan kami.

Kami membutuhkan data itu, sebagai landasan berpijak untuk mengetahui lokasi-lokasi mana saja yang mengalami kerusakan lingkungan terparah. Saat itu, ada keinginan bersama untuk melakukan investigasi ke lapangan untuk melihat langsung separah apa laju deforestasi yang terjadi di Sumatera Utara.

Belakangan, kegiatan itu berhasil kami lakukan, beberapa tahun setelahnya, di sebuah kawasan terpencil di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di Kabupaten Langkat. Saat itu, kami berhasil mendokumentasikan sebuah kawasan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan sawit, padahal statusnya masih masuk kedalam kawasan TNGL. Uniknya, alih fungsi lahan itu melibatkan oknum-oknum tentara yang memang marak pada masa-masa itu.

Sebuah Sejarah
Peringatan Hari Bumi pertama kali dicanangkan oleh senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson pada tahun 1970. Dia juga merupakan seorang dosen mata kuliah lingkungan hidup.

Peringatan Hari Bumi saat itu dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran dan apresiasi manusia terhadap planet Bumi. Ide itu sendiri muncul, pasca-bencana tumpahan minyak di California di tahun 1969. Politikus dan aktivis kemudian bersatu mendorong reformasi lingkungan dan menyepakati hadirnya Hari Bumi pada 22 April 1970. Hari itu kemudian diperingati setiap tahunnya hingga seakrang.

Sejak saat itu, sedikitnya 20 juta warga Amerika ikut ambil bagian dalam peringatan Hari Bumi. Hingga saat ini kegiatan peringatan Hari Bumi terus berkembang untuk menciptakan Bumi yang lebih baik.

Dari serangkaian peristiwa penting di bidang lingkungan, keputusan paling signifikan terjadi pada 2015, ketika lebih dari 130 negara memberi dukungan untuk menyukseskan Paris Agreement. Kesepakatan yang mengganti Protokol Kyoto itu menuntut tiap negara menekan kenaikan suhu Bumi tak melebihi 2 derajat Celsius. Cara yang dilakukan adalah dengan berkontribusi melakukan penghijauan di lingkungan sendiri atau mendorong pemerintah memperbaiki kebijakan mereka terhadap lingkungan.

Sementara itu, Google Doodle menandai Hari Bumi yang jatuh tiap 22 April dengan berbagi ilustrasi warna-warni pemandangan alam dari seluruh dunia. Dengan konsep itu, Google mendorong setiap orang menjaga planet dengan memperhatikan kelestarian alam.

“Kita hidup di planet yang indah, dan itu satu-satunya yang kita punya. Selamat Hari Bumi!” tulis Sophie Diao, si pembuat gambar Google Doodle dalam situsnya.

Membumikan Bumi
Hari Bumi yang diperingati setiap 22 April seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap Bumi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menjadikan isu lingkungan sebagai topik utama, sama pentingnya seperti topik pemberantasan korupsi, narkotika maupun terorisme yang saat ini masih menjadi perbincangan sehari-hari.

Di satu sisi, masyarakat harus sadar bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman global yang nyata dan telah menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh hampir semua negara, mulai dari politisi hingga rakyat jelata.

Sayangnya, di Indonesia, isu lingkungan belum semenarik topik tentang politik, hukum, sosial budaya, ekonomi atau olahraga. Isu lingkungan hidup masih berada di rak paling bawah yang jarang tersentuh.

Oleh karena itulah, membumikan topik-topik lingkungan harus dilakukan, sehingga menjadi diskusi sehari-hari, sama halnya seperti mengobrol soal politik dan yang lain. Harapannya, kesadaran publik akan meningkat, karena menjaga Bumi dan lingkungan tidak kalah penting dengan bidang-bidang kehidupan yang lain.

Oh ya, bukankah dampak dari perubahan iklim sudah begitu nyata dirasakan oleh masyarakat. Mulai dari pergeseran musim hingga punahnya beberapa biota menjadi bukti bahwa sesuatu sedang terjadi pada Bumi ini. Karena itu langkah nyata sangat diperlukan.

Dengan kesadaran penuh, sudah saatnya kita memelihara dan terus melestarikan sumber daya alam yang tersisa di Bumi, sehingga tidak mengalami degradasi maupun kepunahan, namun memberikan manfaat optimal bagi kehidupan umat manusia. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN