Sunday, April 24, 2016

Tragedi 65 & Nyanyian Yang Dibungkam

(Album Prison Song. Sumber: rappler.com)
Simposium Tragedi 1965 yang berlangsung 2 hari sejak Senin (18/04) dan Selasa (19/04) baru saja usai. Simposium itu digelar pemerintah bersama Komnas HAM, akademisi, dan lembaga penyintas. Simposium itu diharapkan menjadi ajang rekonsiliasi nasional, meski pendekatannya mendapat banyak pertentangan.

Ketua panitia pengarah simposium, Agus Widjojo, seperti dikutip dari media massa, berharap pendekatan sejarah akan memberikan hasil objektif berdasarkan fakta dalam rangka "pengungkapan kebenaran untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang latar belakang terjadinya Tragedi 65".

Jika simposium menghasilkan hal-hal bermanfaat, nantinya akan dijadikan pedoman untuk menyusun kebijakan dalam rangka menjawab pertanyaan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Hasil simposium juga akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah.

Meski tidak mengejar pengungkapan sejarah secara detil, seperti bertanya tentang alasan mengapa bangsa ini mampu melakukan pembunuhan dalam jumlah besar, dalam kurun waktu yang lama, dengan segala dampaknya, simposium seharusnya menjadi pelajaran, sehingga reformasi kelembagaan bisa dilakukan untuk menjamin kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.

Uniknya, panitia menyakini, pendekatan penegakan hukum dengan model retributive justice sulit dilakukan karena kurangnya barang bukti dan pelaku sulit ditemui, sehingga panitia memilih konsep keadilan yang sifatnya alternatif, yakni rekonsiliasi.

Namun pernyataan tentang ketiadaan barang bukti dibantah Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma. Menurut Feri, hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2012 lalu telah mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, untuk menduga telah terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa 30 September 1965.

"Siapa bilang tidak ada alat bukti? Alat bukti sudah cukup. Semua fakta tentang 65 sudah banyak diberikan, penyelidikan Komnas HAM cukup, ada dugaan pelanggaran HAM berat," ujar Feri seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Simposium yang mempertemukan korban dan pelaku, menurut Feri, bukan ruang yang tepat untuk melakukan rekonsiliasi.

"Pelaku selama ini sudah mengalami impunitas, jangan malah keterangan mereka diperdebatkan dengan para korban. Dialog seperti ini benar, jika proses pengungkapan kebenaran sudah terjadi. Para korban secara mental belum kuat, belum siap, nama mereka belum direhabilitasi. Rekonsiliasi siapa dengan siapa, kalau korban tidak tahu siapa pelaku, tidak tahu peristiwa yang terjadi. (Rekonsiliasi) tempatnya nanti di ujung," ujar Feri.

Sebelumnya KontraS pernah mengajukan rekomendasi untuk membentuk komite kepresidenan agar bisa mengaudit hasil penyelidikan Komnas HAM dan melihat sejauh mana kinerja Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti dan menyidik temuan Komnas HAM tersebut.

Selain itu, pemerintah sudah memiliki dasar hukum untuk melakukan rehabilitasi terhadap para penyintas 1965, yakni lewat Mahkamah Agung yang pada 2003 lalu sudah mengajukan surat keputusan berisi permohonan kepada Presiden untuk melakukan rehabilitasi bagi korban 1965, diperkuat oleh DPR yang meminta Presiden menindaklanjuti surat keputusan MA tersebut.

Oleh karena itu KontraS khawatir, rekonsiliasi yang terjadi lewat simposium hanya ajang 'pemutihan atau penyangkalan, melanggengkan impunitas, dan sebatas diskusi biasa'. Pasalnya, tuntutan agar pemerintah mengungkap kasus pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota PKI telah disuarakan secara terbuka sejak berakhirnya rezim Orde Baru, namun tak kunjung membuahkan hasil. 

Atas simposium itu, KontraS menilai, logika penyelenggara simposium terbalik. Tanpa penegakan hukum, rekonsiliasi tak dapat berjalan. Alasannya, korban tidak tahu harus menerima dan memberikan maaf kepada siapa.

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pemerintah bisa saja memberi maaf kepada korban pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu. Lebih jauh Luhut mengatakan, pelanggaran HAM memang sangat mungkin terjadi pada masa lalu. Namun, pemerintah belum mengetahui bentuk dan bagaimana kejadian itu berlangsung. 

"Kami terbuka untuk apapun, maaf, semuanya, kami terbuka," ujar Luhut, Selasa (19/4) seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Selanjutnya, menurut Luhut, permintaan maaf tersebut bergantung pada sebuah syarat, yakni bukti sahih untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang dipersoalkan. Bukti-bukti itu harus berupa identitas korban dan pelaku, kronologi serta waktu peristiwa itu terjadi. 

Menanggapi pernyataan Luhut, sastrawan Martin Aleida yang juga korban Tragedi 1965 menyayangkan pernyataan perihal keengganan pemerintah meminta maaf atas peristiwa 65. Menurut Martin, pemerintah terkesan tidak peduli terhadap kenyataan pahit yang pernah dialaminya.

Sastrawan yang pernah mendekam di Kamp Konsentrasi Operasi Kalong, Jakarta, pada awal 1966 menilai keengganan pemerintah meminta maaf sebagai cermin peradaban jaman kegelapan. 

“Menutup mata terhadap kenyataan. Tak mau minta maaf adalah cermin peradaban jaman kegelapan,” ujar Martin seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (19/4).

Martin menilai pernyataan Luhut terkait rekonsiliasi akan semakin jauh dari kenyataan. Hal ini pun seperti mengulangi kesalahan masa lalu. Status impunitas atau kebal hukum yang masih berjalan selama ini jadi penyebabnya. 

Kira-kira seperti itu perjalanan simposium selama dua hari yang menurut hemat saya tidak menghasilkan kemajuan berarti, selama tidak ada tindak lanjut secara hukum atas temuan yang berhasil digali. Selayaknya jika negara mau, temuan Komnas HAM tahun 2012 dapat ditindaklanjuti. Toh, laporannya sudah ada di Kejaksaan Agung dan masih menjadi bahan untuk ditinndaklanjuti ke tingkat penyidikan.

Meski simposium telah menemukan fakta-fakta baru terkait Tragedi 1965, bukan berarti pemerintah akan menjalankan rekomendasi simposium. Hal itu tentu sangat disayangkan, mengingat penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu merupakan tanggungjawab pemerintah secara keseluruhan. 

Di sisi lain, menyimak pemberitaan terkait simposium tragedi 65 telah menghadirkan fenomena baru menurut saya. Baru, karena pertama kali ini ada pertemuan dengan tajuk simposium yang mencoba menggagas perdamaian lewat rekonsiliasi. Sementara itu, setengah abad telah berlalu, tragedi 1965 masih menyisakan pilu mendalam bagi para korban dan keluarganya. Meski sulit, saya berharap, setidaknya peristiwa 1965 dapat didudukkan dengan benar dalam perspektif sejarah.

Namun apakah sudah berada di tempat yang benar? Kok rasanya masih jauh ya... Tentu saja, karena dari sekian banyak pengakuan baik oleh korban dan keluarganya, kelompok tertuduh, --dalam hal ini pemerintah-- masih melakukan penyangkalan. Terbukti dari keengganan untuk menyatakan permintaan maaf, meskipun semua orang tahu bahwa penghilangan nyawa secara paksa pada tahun 1965 hingga beberapa tahun setelahnya memang terjadi dan dilakukan secara terorganisir. Setidaknya serupa dengan pengetahuan saya, usai membaca beberapa buku terkait 65.

Prison Songs
Bicara tahun 65 memang takkan ada habisnya. Selalu menarik untuk digali menjadi pembelajaran yang berharga. Pun, sebagai cara untuk mengingatkan bangsa ini bahwa petaka besar pernah terjadi. Sebuah perjuangan melawan lupa, tentunya. 

Sementara itu, diam belum tentu tak bersuara. Disana sebentuk kegelisahan terus bergerak yang akhirnya meledak tak terhentikan. Analogi itulah yang kental terasa ketika Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KPKK) dan Taman 65 meluncurkan sebuah album dalam cakram Prison Song: Nyanyian Yang Dibungkam, beberapa waktu lalu.

Tak heran, jika ada banyak cara yang dilakukan untuk mengenang peristiwa berdarah itu. Salah satunya lewat musik. Ya, lewat musik pesan-pesan itu kembali menggema, keluar dari ruang hampa menyeruak ke setiap relung-relung hati pendengarnya.

Dalam album Prison Song: Nyanyian Yang Dibungkam terdapat enam lagu. Lagu-lagu itu diciptakan para tahanan politik untuk menghibur diri mereka saat ‘menunggu’ ketidakpastian sebelum diinterograsi, yang sering berujung pada penyiksaan bahkan kematian. Atau ketika sudah lepas dari maut, namun masih mendekam di penjara.

Dan saat mendengar lagu-lagunya, ada aura kepedihan disana. Ada kesedihan yang sangat manusiawi. Pun ada banyak harapan dan pertanyaan mengapa semua itu terjadi. Semua mengalir begitu saja dalam alunan nada yang telah dinarasikan lewat musik.

Tak hanya itu, kabarnya semua lagu belum pernah direkam sebelumnya. Dan adalah penggiat komunitas Taman 65, Gde Putra dan musisi blues Bali Made Mawut yang mengais-ngais syairnya dari para penyintas yang tersisa. Semangat mereka yang menjadi ruh di album Prison Songs.

Oh ya, album Prison Song sendiri diawali lagu ‘Sekeping Kenangan’ oleh Dankie si Pohon Tua, yang tak lain vokalis band folk “Dialog Dini Hari”. Lewat lagunya, Dankie bercerita tentang kesedihan pasca pembantaian di tahun 65. Lagu itu dibuat setelah melalui pergulatan panjang dan mencoba meresapi atmosfer yang terjadi di tahun-tahun itu.

Selanjutnya, ada lagu ‘Di Kala Sepi Mendamba’ yang dibawakan secara apik oleh Jerinx, drumer SID. Diketahui liriknya ditulis oleh Ibu Pasek dan digubah oleh Pak Atjit pada saat di penjara sekitar tahun 74, tentang kerinduan dan juga misteri yang kerap menghantui para wanita tapol di balik jeruji. Saat itu, ibu Pasek terpisah dengan sang suami dan tiga anaknya saat diseret aparat, meski ia tak tahu kesalahannya apa. 

Sementara di lagu berikutnya ada Banda Neira yang membawakan lagu berjudul ‘Tini dan Yanti’. Lagu itu diciptakan pak Atjit yang liriknya ditulis Ida Bagus Santosa pada tahun 65. Saat itu, pak Ida Bagus tengah teringat istrinya Tini yang melahirkan saat ia ada di penjara, lalu ia membayangkan anaknya seorang putri bernama Yanti. Di bait terakhir syair Pak Ida Bagus, ada frase ‘La Historia Me Absolvera’ yang dikutip dari pidato Fidel Castro saat dijebloskan ke penjara, yang artinya ‘Sejarah yang akan membebaskan kita’. Tak lama, Pak Ida Bagus tidak lagi terlihat di dalam penjara pada akhir 65 atau Januari awal 66, namun syairnya berhasil hidup menjadi kawan setia para tapol lain di Pekambingan.

Lagu lain yang tak kalah indah adalah ‘Dekon’ dinyanyikan oleh Kupit, Nosstress. ‘Dekon’ diciptakan oleh seorang seniman Bali bernama Ketut Putu. Lagu ini tercipta karena ia menjadi salah satu rakyat yang menyambut hangat pidato Deklarasi Ekonomi atau Dekon dari Presiden Sukarno di tahun 1963. ‘Dekon’ digubah dalam bahasa Bali, agar setia ditangkap para petani dan rakyat melawan 7 setan desa. Dekon sendiri menyangkut harapan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang sangat terasa pada masa-masa itu.

Terakhir, ada lagu yang dibawakan oleh penyanyi muda berbakat, Fajar Merah. Fajar mencoba membangkitkan musikalisasi puisi ayahnya, Wiji Thukul, yang hilang semasa rezim Orde Baru tahun 97/98. Melalui syair menggetarkan ‘Bunga dan Tembok’, Fajar mengingatkan bahwa negara abai, ketika terjadi penghilangan secara paksa.

Selain lagu dan liriknya, yang menarik tuk dicermati adalah para musisi yang terlibat, ternyata belum lahir ketika peristiwa 1965 terjadi. Mereka hanya berusaha memahami lewat banyak literasi maupun penuturan para penyintas.

Satu yang pasti, lewat Prison Song: Nyanyian Yang Dibungkam, masyarakat melihat ada yang coba disembunyikan. Dan lewat lagu, publik disadarkan bahwa tidak ada yang salah dari para penyintas, meskipun berasal dari partai terlarang.

Penyintas yang diartikan sebagai upaya bertahan hidup, merupakan orang-orang yang selamat dari suatu peristiwa yang sangat membahayakan nyawa mereka. Hebatnya lagi, para penyintas memiliki cara tersendiri untuk membangkitkan daya tahan, sehingga mampu mengubah tragedi menjadi sekedar catatan kelam masa lalu. Tanpa bermaksud melupakan atau meromantisasi penderitaan, para penyintas memang memiliki beragam cara agar pedih itu segera berlalu. (jacko_agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN