(Pasca G 30 September 1965. sumber: IPHOS) |
Beberapa hari terakhir, frasa “Komunis” kembali menggema di ruang-ruang warga, khususnya melalui media mainstream dan media sosial. Banyak yang ujuk-ujuk menolaknya tanpa pernah tahu akar persoalannya secara benar. Pun, ada banyak orang yang saking “alergi”nya dengan kata komunis, menganggapnya sebagai sebuah paham yang harus dijauhi. Dimusuhi karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Dimusnahkan, hingga hilang tak berbekas.
Mengetahui fenomena itu, iseng-iseng saya mengadakan riset kecil-kecilan, untuk mencari tahu mengapa deman anti-komunis kembali mengemuka. Mengapa banyak orang yang teriak lantang “Komunis harus dihancurkan, dibasmi hingga ke akar-akarnya”. Sudah sebegitu paranoidkah, kita, sebagai sebuah bangsa?
Seingat saya, salah satu yang menjadi ikhwal perhatian terkait isu komunisme, akhir-akhir ini adalah ketika AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta mengadakan peringatan Word Press Freedom Day 2016 dengan melakukan Pemutaran Film “Pulau Buru Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution pada 3 Mei lalu. Saat itu, polisi membubarkan acara, setelah massa yang menamakan diri FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI Polri) menilai acara itu berbau “komunis”. Panitia yang melihat cara-cara anarkisme dan intimidasi mulai tercipta, akhirnya tak kuasa mengikuti keinginan polisi itu.
Tindakan polisi membubarkan acara sekaligus berpihak kepada kelompok intoleran dan anti-kebebasan telah mengancam kebebasan berekspresi dan hak berpendapat warga negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat 4 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebut, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Bila sikap Kepolisian diteruskan, bukan tidak mungkin kelompok-kelompok antikebebasan semakin kuat, makin berani, dan mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, pembubarkan acara World Press Freedom Day 2016 di Sekretariat AJI Yogyakarta, membuktikan polisi telah gagal menciptakan rasa aman bagi masyarakat Yogyakarta.
Tak berapa lama, 2 hari berselang, kelompok yang menyatakan diri sebagai Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3) menolak kegiatan “ASEAN Literary Festival” (ALF) 2016 yang berlangsung mulai 5 hingga 8 Mei 2016. Sebuah aliansi yang kerap muncul sewaktu-waktu, sesuka-suka mereka tanpa pernah tahu siapa mereka sesungguhnya.
Melalui media, perwakilan AM3, Sahril Hasibuan, menyebut pesan kebebasan berekspresi, keadilan, dan kemanusiaan dari ALF 2016 hanyalah pemanis belaka. Mereka menduga kegiatan itu, salah satunya untuk mendukung penyebaran paham komunis.
Atas dugaan itu, mereka meminta kegiatan-kegiatan yang berbau penyebaran paham/ajaran komunisme, termasuk Penyelenggaraan ASEAN Literary Festival dihentikan.
Menanggapi tudingan itu, Dewan Kesenian Jakarta mengutuk keras aksi yang menolak penyelenggaraan ASEAN Literary Festival 2016 yang digelar di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Irawan Karseno, seperti di kutip dari antaranews.com menilai aksi itu sebagai sikap yang kuno. Pasalnya, rakyat Indonesia mestinya menjunjung tinggi nilai demokrasi dan memiliki sikap keberagaman.
“Cara pandang yang mempertahankan pandangan tunggal dalam melihat sejarah, berarti memperlihatkan adanya kelompok masyarakat yang tetap ingin bangsa kita tumbuh dalam sejarah yang buta,” ujar Irawan di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat.
Ia menambahkan, aksi tersebut memperlihatkan bahwa terdapat kepentingan dari pihak-pihak tertentu dan hanya ingin memaksakan pandangan mereka sendiri.
Sementara itu, Direktur Program ALF 2016, Okky Madasari memastikan acara yang mengusung tema The Story of Now tetap berlanjut. ALF 2016 sengaja dirancang untuk mencari relevansi antara sastra dan sastrawan dengan permasalahan masa kini, misalnya hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Adapun keterkaitan dengan Peristiwa 1965, seperti program “Ingat65” yang diadakan di hari kedua (6/5) merupakan karya digitalisasi dongeng untuk mengingat Peristiwa 1965 dan 3 sesi terkait pada Sabtu (7/5), termasuk diskusi panel mengenai “Kisah-Kisah Pengungsi dan Eksil”, Peluncuran Buku Korban 1965 serta Monolog Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer.
"Penggunaan judul 'Kembang-Kembang Genjer' bukan berarti acaranya diisi nyanyian lagu Genjer-Genjer sebagaimana pemahaman yang beredar, tetapi ini monolog mengenai korban-korban 1965 yang mendapat represi dan berbagai tindakan lainnya," ujar Okky yang juga berprofesi sebagai penulis.
Menurut Okky, peristiwa 1965 perlu disuarakan, untuk menggugat keadilan bagi para korban serta menetapkan posisi sastra dan sastrawan sebagai hal atau pihak yang mewakili tuntutan keadilan bagi para korban.
Tak Diberi Izin
Pelaksanaan ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 selama 3 hari sempat berlangsung dalam suasana tegang, dengan kehadiran puluhan aparat polisi lengkap dengan kendaraan-kendaraan pengangkut personal yang mendominasi lapangan parkir Taman Ismail Marzuki. Sebuah kondisi yang janggal untuk sebuah even festival sastra, mengingat workshop-workshop yang diadakan tak berhubungan dengan politik apa pun.
Meski dikawal aparat, acara berlangsung lancar dan aman. Hampir setiap acaranya penuh dengan pengunjung. Hanya saja, sempat terjadi ketidak pastian menjelang pembukaan, karena polisi mencabut izin yang semula sudah diberikan. Saat itu, kepolisian mempersoalkan izin keramaian dengan alasan tidak mencantumkan kehadiran tamu asing yang menjadi pembicara, yakni Mantan Presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta.
Selain itu, pihak kepolisian menuntut pembatalan program-program yang bersentuhan dengan tema kejahatan manusia 1965, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual (LGBT) serta Papua. Selanjutnya, polisi meminta panitia menandatangani surat pernyataan di atas materai apabila ingin izin dikeluarkan kembali.
Belakangan, Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Moechgiyarto seperti dikutip Tempo memastikan panitia pelaksana ALF 2016 sudah mengantongi izin yang berlaku untuk penyelenggaraan ALF 2016 mulai 5 hingga 8 Mei 2016.
"Izinnya beres. Kemarin cuma sedikit ada keliru antara panitia dan polisi," paparnya di TIM, menjelang pembukaan.
Acara kemudian tetap berlangsung, dimulai dengan pidato tokoh Timor Leste pemenang Nobel Perdamaian, Jose Ramos Horta.
Apa Salahnya Komunisme?
Mengetahui tentang apa itu komunisme, secara garis besar tak bisa dipisahkan dari peristiwa di tahun 65. Tahun itu menjadi tonggak penanda bahwa komunisme dianggap sebagai dalang atas pembunuhan sadis para jenderal yang setia pada NKRI.
Lalu yang terjadi di tahun-tahun berikutnya adalah pelarangan paham dan simbol-simbol yang berkaitan dengan komunisme, khususnya PKI (Partai Komunis Indonesia). Kondisi yang terus berlangsung hingga kini.
Terakhir, seorang pedagang pakaian, Mahdi Ismed ditangkap polisi pada Minggu (8/5) pukul 16.00WIB, karena kedapatan menjual baju berlambang palu dan arit. Toko miliknya “More Shop” di Blok M Square dan di Blok M Mall pun disegel petugas. Dalam penangkapan, petugas menyita 6 buah kaos.
Mahdi kemudian diperiksa di kantor Polsek Metro Kebayoran Baru. Polisi ingin mendalami dari mana ia mendapatkan baju itu dan siapa yang membuatnya. Selanjutnya, posisi berdalih, operasi itu merupakan program pemerintah untuk memberantas segala simbol komunisme yang berpotensi memecah belah ideologi bangsa.
Meski telah lama berlalu, phobia tentang komunisme masih menghantui masyarakat hingga kini. Alasannya, bisa bermacam-macam, mulai dari tak ingin terulangnya kembali peristiwa di tahun 65, takut dikatikan dengan PKI atau ada yang mempertanyakan, namun tak berani bertindak sehingga hanya berakhir di tataran ide.
Jika komunisme tidak diijinkan di Indonesia, bukankah hal itu kontradiksi dan bertentangan dengan kebebasan berserikat dan berpendapat sebagaimana dijamin di UUD 1945. Negara seharunya menjamin hak setiap warganegara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat termasuk pandangan politiknya.
Lalu, ketika komunisme dilarang, kira-kira adakah alasan yang bisa diterima akal, selain jargon komunisme itu ateist, anti-ketuhanan? Dengan pola-pola seperti itu, negara telah mendudukkan komunisme tak ubahnya sebagai setan, yang selalu menimbulkan celaka dan sebaiknya dihindari.
Namun, beruntunglah generasi yang muncul belakangan. Generasi yang dengan kemampuan akalnya, mampu memilah mana yang baik dan kurang baik, mana yang cocok dan mana yang tidak cocok. Mana yang benar dan mana yang bukan.
Generasi ini kemudian mulai mempelajari komunisme, mungkin secara sembunyi-sembunyi (klandestin), meski tak sedikit yang melakukannya secara terang-terangan. Mereka mulai mendudukkan komunisme pada posisi yang sebenarnya. Tentu saja, karena komunisme bukanlah sesosok makhluk yang menakutkan. Ia menarik untuk dibahas sebagai sebuah pembelajaran.
Secara umum, gerakan komunisme baru, ada yang menyebut dimotori oleh anak cucu para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Usaha mereka tak lain ingin meyakinkan publik bahwa komunisme tidaklah menolak keberadaan Tuhan.
Padahal, sejumlah besar literatur dan data menyebutkan jika gerakan komunisme di Indonesia sangat tidak disukai oleh Blok Barat, sehingga sebelum komunisme tumbuh subur, Amerika Serikat melalui CIA sudah lebih dulu membangun propaganda mengangkat isu ateisme.
Propaganda CIA itu berhasil gemilang, terlihat ketika masyarakat secara sadar mampu dan tega melakukan pembunuhan sadis lalu menganggapnya sebagai Pancasilais sejati. Sementara di sisi lain, ada masyarakat yang takut dituduh komunis. Propaganda itu kemudian dipelihara baik selama Orde Baru, bahwa komunis adalah bahaya laten, sehingga banyak orang ‘takut’ terhadap komunisme.
Padahal, komunisme yang didengungkan saat itu adalah format komunisme sebagai gerakan politik anti-kapitalisme barat. Jelas gerakan ini harus diamputasi citranya, secepat-cepatnya.
Berhubung komunisme di Indonesia telah menjadi buah dari propaganda CIA, maka pelurusan sejarah memang diperlukan. Salah satunya lewat pendidikan sejarah di sekolah-sekolah. Para siswa perlu tahu apa itu komunisme, bukan dalam arti kemudian menganutnya, namun untuk membuktikan bagaimana sebuah ideologi bisa berdampak dan berfungsi didalam praktiknya.
Oleh karena itu, memperkenalkan ajaran komunisme justru akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, tentang seberapa mungkin hal itu bisa dipraktikkan di Indonesia. Pasalnya, sebagai sebuah bangsa kita kerap lupa, bahwa pola-pola kesejahteraan rakyat, kepentingan bersama menjadi poin utama paham komunisme. Dan poin-poin itu yang sedang diterapkan pemerintah saat ini.
Bukankah saat ini, pemerintah sedang berupaya mencukupi kebutuhan material para warganya lewat sejumlah kebijakan, seperti sekolah gratis, kesehatan dijamin negara, pekerjaan yang layak, program tanah untuk petani, hingga program sejuta rumah merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh negara-negara komunis? Lalu bedanya dimana?
Jika kita berpikiran terbuka, tak ada salahnya menengok Tiongkok. Rakyatnya yang berjumlah lebih dari 1 milyar ternyata tak pernah kelaparan. Sungguh, saya tak pernah mendengar berita itu di media. Lalu, kira-kira apa yang jadi penyebabnya?
Jawabnya, karena komunisme disana mampu memenuhi janji memakmurkan rakyatnya. Kondisi itu yang menyebabkan komunisme di Tiongkok berkembang dan diterima baik hingga hari ini.
Kemudian, agar tetap laku, komunisme Tiongkok melakukan sejumlah langkah liberalisasi, seperti; membebaskan setiap orang untuk beribadah sesuai agamanya, melakukan proteksi terhadap produk-produk dalam negeri, hingga melakukan ekspansi ekonomi secara masif ke negara-negara lain.
Berkaca dari kondisi itu, apa yang salah dengan komunisme? Selama negara mampu hadir untuk memakmurkan rakyat, apapun pahamnya yang dianut tidak menjadi persoalan. Toh paham pancasila dan komunisme, ternyata memiliki tujuan yang sama. Sama-sama demi kepentingan publik yang menginginkan perbaikan taraf hidup masyarakatnya.
Cocok di Indonesia?
Bayangan 'Bahaya laten komunis' masih melekat hingga kini. Kasus penjual kaos berlambang palu arit yang ditangkap polisi menjadi bukti bahwa Indonesia masih belum siap berhadap-hadapan dengan sejarah masa lalu.
Begitu melihat simbol palu arit, seakan ada yang terbakar. Murka. Simbol itu disebut perwujudan Partai Komunis Indonesia. Padahal lambang itu bukan semata-mata simbol PKI, melainkan lambang gerakan komunisme internasional.
Di dalam sejarahnya, simbol palu arit merupakan lambang yang mewakili kaum buruh dan petani. Sejarah lambang itu bermula setelah Revolusi Industri di Eropa. Ketika itu, kaum buruh dan petani semakin terpinggirkan dan tertindas. Simbol palu dan sabit yang menyilang muncul sebagai bentuk komunikasi bersatunya kaum buruh dan petani dalam revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia. lambang itu pun menjadi simbol pemberontakan, bahkan sampai sekarang.
Uniknya, tak banyak yang mengetahui jika komunisme sebagai ideologi memiliki beberapa kelemahan, dan titik berat kecacatan itu bukan terletak pada ateisme.
Sebelumnya, paradigma yang berkembang di masyarakat terjebak dengan kejadian masa lampau, dimana pola pikirnya dipengaruhi oleh truma dan beberapa doktrin di era orde baru. Hal itu menjadikan masyarakat takut dan enggan belajar soal komunisme dan sangat takut di labeli komunis.
“Selama kita menderita overdosis sejarah, maka menjadi sandera masa lalu yang kita cipatakan sendiri. Manifestasi dari masyarakat yang menderita overdosis sejarah adalah kebiasaan menggunakan masa lampau untuk membungkam suara-suara korban. Contoh yang sering muncul adalah kebiasaan memproduksi retorika “bahaya laten komunis” untuk membungkam suara eks-tapol peristiwa 1965 (Budiawan, kompas, 17 maret 2000)”.
Sementara itu, kecacatan komunisme yang banyak dikritisi adalah asumsi dasar yang menyebut sifat manusia adalah altruistik. Sistem komunisme tidak dapat berjalan karena asumsi ini menciptakan orang yang mau bekerja untuk kepentingan orang lain dan kepentingan bersama sangat bisa dihitung jari.
Jika ditarik pada kekinian Indonesia, bukan berarti sifat gotong-royong sudah sirna, namun semangat itu sudah sangat tipis. Kondisi itu kemudian dihadapkan pada asumsi bahwa komunisme agak repot jika diadu dengan kapitalisme, yang mengasumsikan sifat manusia adalah egois, mau bekerja untuk dirinya sendiri. Pada tataran ini, komunisme kalah telak.
Kelemahan lainnnya adalah urusan birokrasi yang dibutuhkan untuk mengatur masyarakat. Ukuran birokrasi itu dipastikan membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Ukuran birokrasi dan sumber daya itu sangat tidak efisien. Pada gilirannya, banyak negara komunis berujung pada kemunculan diktator, sedangkan sistem sosial tanpa kelas yang mengelola dirinya sendiri, seperti yang diinginkan Marx tak pernah terwujud.
Kelemahan lainnnya adalah urusan birokrasi yang dibutuhkan untuk mengatur masyarakat. Ukuran birokrasi itu dipastikan membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Ukuran birokrasi dan sumber daya itu sangat tidak efisien. Pada gilirannya, banyak negara komunis berujung pada kemunculan diktator, sedangkan sistem sosial tanpa kelas yang mengelola dirinya sendiri, seperti yang diinginkan Marx tak pernah terwujud.
Ketika negara-negara komunis berguguran, hanya menyisakan beberapa kecil negara saja, termasuk Tiongkok. Uniknya, negara komunis yang tersisa dicirikan oleh penguasa politik yang berasal dari partai komunis, namun sesungguhnya sistem ekonomi mereka sudah berevolusi cukup jauh menuju kapitalisme. Dalam kondisi ini, kita pasti akan semakin bingung. Siapa yang kini berubah? Komunisme yang makin kapital atau kapitalisme bercorak kamunis?
Oleh karena itu, mari berhenti membicarakan komunisme hanya karena ateismenya. Bahkan, jika pun memang kebanyakan penganut komunisme ateis, rasanya sangat sulit mengimplementasikan hal itu di Indonesia. Pasalnya, jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelum itu, masyarakat indonesia telah menganut paham ketuhanan, bukan ateisme.
Sehingga, seperti yang telah saya singgung diatas, terkait keterlibatan pihak asing, maka yang sukses melakukan pemberantasan komunisme di Indonesia bukan Pancasila, namun CIA. Pancasila hanya dikamuflase untuk menutup-nutupi peran Amerika. Sayangnya, banyak masyarakat yang enggan mencari dan membaca sumber lain, sehingga analisa terkait keterlibatan CIA masih dianggap sebagai teori konspirasi belaka. Padahal faktanya sudah sangat nyata.
Komunisme Di Indonesia
Secara umum, pastinya sudah banyak yang tahu jika komunisme lahir dan berkembang di Rusia lewat seorang pakar ekonomi politik, Karl Heinrich Marx. Dalam perkembangannya, komunisme mendapat respon positif di berbagai belahan dunia.
Ada yang menyebut, paham komunis masuk ke Indonesia pada 1913, di bawa oleh HFJ Sneevliet, sosialis Belanda dan berkembang menjadi partai pada tahun 1914 dengan nama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging). Lalu pada tahun 1924 resmi berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.
Sementara itu, buku 'Bung Hatta Menjawab' mengatakan, komunis lahir di Indonesia berkat organisasi Islam yaitu Syarikat Islam (SI) yang dibentuk tahun 1912. Dari sana, muncul tokoh-tokoh kiri, seperti Semaun dan Darsono.
"Dari gagasan-gagasan sosial demokrasi berangsur-angsur berubah menjadi demokrasi sosial yang radikal. Semaun dan Darsono selalu merupakan sayap oposisi dalam Syarikat Islam," seperti dikutip dari buku 'Bung Hatta Menjawab'.
Setelah lima tahun, tepatnya 1917, lahirlah Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, nama PKI belum besar karena dibuat secara diam-diam dan menjadi fraksi kiri dalam SI.
Sebelum mendirikan PKI, Semaun dan Darsono pernah mengenyam pendidikan tentang komunis dari Sneevlit di Indische Social Demoratische Vereeniging (ISDV). Sneevlit sendiri diketahui merupakan sayap kiri di dalam ISDV. Dari sana, keduanya sering berdiskusi dengan Sneevlit.
Keduanya pun melihat celah di SI, sehingga secara perlahan memasukkan ideologi-ideologinya. Saat itu, Syarikat Islam kurang memperhatikan nasib buruh, sehingga ada celah bagi ide-ide komunisme yang dimasukan oleh Semaun dan Darsono.
Salah seorang tokoh SI, Haji Agus Salim, akhirnya menegakkan disiplin partai. SI pun berganti nama menjadi Partai Syarikat Islam di tahun 1921. Sesudah itu, barulah resmi nama PKI mencuat di tahun 1924. Namun, menurut Hatta, partai komunis itu tidak kompak lantaran salah seorang pendirinya, Tan Malaka, membentuk Partai Rakyat Indonesia (PARI).
Dalam sejarahnya, PKI telah melakukan tiga pemberontakan. Pemberontakan pertama pada tahun 1926 yang berakhir dengan kegagalan. PKI dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua.
Puluhan tahun kemudian, gerakan bawah tanah PKI kembali bangkit. Pada 1948, PKI melancarkan pemberontakan kedua. Pemberontakan berniat meruntuhkan RI dan menggantinya dengan negara komunis. Upaya kedua itu kembali gagal. Sejarah mencatat pemberontakan ketiga dilakukan pada 1965, dan lagi-lagi gagal.
Peristiwa gerakan 30 september 1965 merupakan catatan kelam bagi bangsa Indonesia. Namun peristiwa pasca 30 september tidak kalah kejamnya, ketika ratusan hingga jutaan jiwa hilang dan banyak orang dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Sebuah kondisi yang mencederai hak asasi manusia dan terjadi di berbagai wilayah indonesia. Oleh karena itu, seburuk-buruknya sejarah, ia tetap harus diungkap dan dikisahkan secara jujur. Agar semua anak bangsa memahami perjalanan sejarah yang sesungguhnya. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment