Tuesday, June 14, 2016

*Malam yang Lingsir

(ilustrasi saja. Source: http://7-themes.com)
Pada malam yang lingsir, ketika jalanan di depan rumah berubah hening pasca-ditinggalkan para penggunanya, aku tiba dengan gagah yang tlah sirna. Ya.., aku baru saja kalah bertarung melawan naga dan ular sanca.

Sebelum masuk, kutebar pandang sejenak. Kutemukan, agak menjorok di sebelah kanan, tepat dibawah temaram lampu jalan, di depan kios yang tertutup rapat, dua tiga orang berkumpul. Di depan mereka ada 2 sepeda motor. Mereka terlibat pembicaraan serius, sepertinya. 

Berlanjut ke bunker rahasia berukuran 6 kali jangkauan lengan, akal sehatku menggeliat resah. Kususuri ulang petak-petak sawah dimana harta karun itu berada. Hinggga ntah mengapa, di satu titik, di dekat mata air, aku teringat dia.

Dia yang sangat dinanti, ibarat hujan di musim semi. Paling ditunggu oleh tanah-tanah kering yang hampir kiamat. Yang mampu mengairi sawah mungilku yang ikutan sekarat. Yang terancam berubah fungsi jadi lahan kering. Yang sejak hujan enggan mendekat, semusim lalu, banyak benih mati tercekat .

Beruntung waktu ini, rintiknya kembali basahi Bumi. Menebar aroma rindu, sembari bangkitkan geliat asa yang perlahan berubah resah. Lalu, tak ingin lengah, sedapatnya kudekap erat. Persis sebelum ia menghilang, ketika fajar menjelang.

Sedetik berlalu, muncul rasa bersalah di dalam dada, mengalir pelan lewat jantung yang dipompa ke delapan penjuru mata angin. Lalu terucapku lirih kata “MAAF” untuk semua yang tak disengaja. Untuk banyak hal yang terjadi begitu saja. Begitu cepat, hingga aku tak mampu bedakan, mana fakta, mana realita. Logikaku pun entah...

Namun, dari pancaran indah matanya, aku tahu dia memendamnya. Aku tahu dia terluka. Terluka oleh rindu yang tak mampu ditolak. Oleh rindu yang kita tak pernah tahu mengapa bisa ada. Rindu yang awalnya sangat dinanti, namun belakangan sangat diwanti-wanti. Sebisa mungkin jangan ia kembali.

Karena itu, sekali lagi, ijin kutebar jala MAAF, atas segala tikai yang muncul tanpa sebab. Atas segala gairah yang seharusnya tak boleh ada. Tapi benarkah demikian? Atau Dia memang punya hidden agenda? Ntah juga...

Lalu, seandainya masih mungkin, inginku berlari kian jauh, usai merayu waktu agar ia bersedia membalikkan masa. Ke posisi semula. Pada dimensi dimana kita saling tersenyum. Yang entah kapan mungkin terlihat hampa.

Aku tahu, kita adalah mahkluk yang keras kepala. Homo Sapiens yang tak akan berhenti sebelum jera. Species langka yang berusaha memahami banyak hal meski sejatinya tak mungkin bisa. 

Akhirnya, ketika waktunya tiba, aku ingin berkata; benar aku mengasihi dia tanpa butuh alasan, tanpa argumentasi, dan akan melepasnya walau dengan berlaksa ketidakberdayaan.

Yang tersisa hanya perih...




*terinspirasi dari liriknya Silampukau 

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN