Monday, June 13, 2016

Pesona Everest Masih Sama

(Eric Arnold di puncak Everest. Source: http://media.santabanta.com)
Pada 2 Juni lalu, saya mendapat kiriman newsletter dari imel ng@e.nationalgeographic.com. Seperti biasa, informasi yang mereka share masih terkait aktivitas petualangan alam bebas dari seluruh dunia. 

Berbeda dengan situs resminya, newsletter yang di link ke laman adventureblog.nationalgeographic.com itu kebanyakan ditulis oleh para anggota tim yang memang ikut di ekspedisi tersebut. Tak heran jika gaya menulisnya sangat luwes dan suka-suka, namun tetap rapi sesuai kaidah penulisan pada umumnya. Karena yang mereka tulis merupakan pengalaman pribadi, banyak yang mengkategorikannya sebagai blog. 

Seperti biasa, dalam periode tertentu National Geographic selalu mengirimkan newsletter kepada para subscriber (orang yang berlangganan) yang telah mendaftar terlebih dahulu. Dan kebanyakan para subscriber merupakan individu atau kelompok yang memang addict dengan petualangan, seperti saya. Adventure junkie biasa orang-orang menyebutnya.

Informasi yang ada di newsletter tak melulu isinya tentang pendakian gunung, namun beragam jenis aktivitas luar ruang lainnnya ikut dibahas, seperti freedive di gua-gua di Bahama, bersepeda saat salju di Hood River, Oregon-AS, mengunjungi wisata lava di Iceland, Berwisata ke Cyclades, Yunani, atau menikmati budaya suku nomaden Mongolia.

Dari beberapa item itu, salah satu yang menarik perhatian saya adalah tulisannya Andrew Bisharat berjudul “Recent Everest Summits, Tragedies Mark Return of ‘Normal’ Climbing Season” yang diposting 22 Mei lalu.

After three consecutive years of major disasters, Everest’s entrenched commercial climbing culture has returned to the world’s tallest mountain. The story of Everest 2016, for better or worse, appears to be that business as usual has returned”, tulis Bisharat sebagai kalimat pembuka.

Benar saja, jika dihitung-hitung, sedikitnya sejak 3 tahun terakhir bencana besar terus melanda Everest, mulai dari gempa bumi, kisruh di basecamp, hingga tewasnya puluhan pendaki yang mencoba menggapai atap dunia. Yang teranyar, kabar tewasnya 2 pendaki (asal Belanda dan Australia) usai turun dari puncak Everest.

Sejauh ini, sudah ada 400 pendaki yang tercatat menancapkan nama mereka di puncak Everest dari sisi selatan. Dan tahun ini, tercatat 5 kematian yang terkonfirmasi, termasuk di tetangga Everest, Lhotse (8.516 meter). Terlepas dari kenyataan bahwa total jumlah pendaki turun drastis sebanyak 30 persen pada tahun ini, namun kemacetan yang terjadi di puncak tetap menjadi kekhawatiran tersendiri. Bencana kerap bermula dari lokasi seperti Hillary Step hingga puncak.

Sementara itu, banyaknya pendaki yang tidak berpengalaman telah memaksa helikopter hilir mudik mengangkut sedikitnya 30 pendaki yang terkena frostbite (baca: radang beku) hingga mountain sicknes (penyakit gunung) dari tempat tinggi ke lokasi yang lebih aman.

Menyelamatkan korban menggunakan helikopter pastinya memerlukan biaya sangat mahal. Apakah semua pendaki harus diselamatkan karena berada dalam bahaya besar, atau adakah yang sedang mencari cara agar lebih cepat tiba di bawah, masih belum jelas hingga saat ini. Yang pasti, menerbangkan heli di wilayah dengan kadar oksigen rendah sangat berbahaya.

Meski bahaya tetap mengancam, setidaknya ada beberapa prestasi besar yang ditorehkan para pendaki yang berhasil menapak di puncak Everest tahun ini.

Pada 20 Mei, Lakhpa Sherpa (42), wanita keturunan Nepal yang bekerja pada 7-Eleven di Connecticut, AS berhasil mencapai puncak Everest untuk ketujuh kalinya. Ia memecahkan rekor atas namanya sendiri sebagai perempuan yang paling berhasil menaklukkan Everest. Lakhpa mencapai puncak bersama Maya Sherpa (36), satu-satunya sherpa perempuan yang bekerja di ketinggian pada tahun ini.

Selanjutnya ada Melissa Arnot, pendaki perempuan Amerika yang berhasil mendaki Everest untuk keenam kalinya, memecahkan rekor dunia dan tercatat dalam sejarah pendakian gunung Amerika, sejak ia memulainya pada 2013 lalu. Ia juga tercatat dalam sejarah sebagai wanita Amerika yang pertama mendaki Everest tanpa oksigen.

Lalu, Sersan Charlie Linville, mantan marinir yang kehilangan bagian kakinya saat bertugas di Afghanistan, menjadi tentara --yang diamputasi-- pertama yang berhasil tiba puncak Everest. Linville (30), asal Boise, Idaho, kehilangan bagian kakinya (dibawah lutut) akibat ledakan IED di 2013. Ini adalah usaha ketiganya setelah bertahun-tahun mencoba mendaki Everest. Linville mendaki untuk proyek Heroes, sebuah program nirlaba bagi para veteran.

Selain itu, ada juga kelompok veteran lain yang berjuang menuju puncak, seperti Chad Jukes, tentara yang harus diamputasi akibat terluka. Jukes, dari Ridgway, Colorado, kehilangan bagian kakinya akibat ledakan IED di Irak pada 2006. Jukes mendaki bersama USX Veteran Expedition, sebuah kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu PTSD yang melanda veteran. Sementara itu, sejak 2001, lebih dari 1.645 tentara AS telah kehilangan anggota tubuh mereka akibat pertempuran, dan ribuan lainnya menderita "cedera tersembunyi" yang menimbulkan gangguan stres pasca-trauma.

Juga Irena Kharazova, wanita Armenia pertama yang berhasil mencapai puncak Everest, sementara Iryna Galay (28), menjadi wanita Ukranina pertama yang juga berhasil menjejak puncak diketinggian 8.850 meter, gunung yang terletak di perbatasan Nepal-Tibet.

Tahun ini, turut hadir prestasi yang ditorehkan 2 remaja putri, menjadi pendaki termuda yang berhasil mencapai Everest, yakni, Alyssa Azar (19) asal Australia, tiba di puncak pada 21 Mei, dan Marin Minamaya (19) dari Jepang, berdiri di puncak pada 23 Mei lalu.

Terakhir, Cory Richards, fotografer National Geographic, dan Adrian Ballinger, pemandu gunung profesional untuk Alpenglow Expeditions, dikabarkan berhasil mendaki Everest tanpa menggunakan oksigen dari sisi Utara, Tibet. Kisah  perjalanan mereka bisa ditemukan di Snapchatt dengan tagar #EverestNoFilter. 

Kisah Pilu
Di kalangan pendaki, Everest diketahui tidak selalu menghasilkan kisah-kisah heroik yang mencengangkan. Bersama keagungan dan keindahan puncaknya yang hampir 8.850 meter itu, ancaman kematian terus mengintai.

Sebulan berlalu ketika pendakian Everest dibuka untuk musim semi tahun ini, tercatat ada 5 pendaki terkonfirmasi tewas, baik sedang mencapai puncak ataupun dalam perjalanan turun. 

Sementara itu, sebulan sebelumnya, yakni 18 april, dunia pendakian kembali berduka. Sebanyak 13 orang pemandu pendakian asal Nepal dilaporkan tewas akibat longsoran salju di ketinggian 5.800 mdpl di Khumbu.

Dari 5 pendaki yang menjadi korban, diketahui 2 diantaranya tewas dalam perjalanan turun dari puncak Everest pada Jumat (20/5) dan Sabtu (21/5) lalu. Kematian dua pendaki itu menjadi yang pertama sejak pendakian ke Everest resmi dibuka pada 11 Mei lalu.

Korban pertama adalah Eric Arnold (35), pendaki asal Belanda, sementara korban kedua adalah Elizabeth Strydom (34), pendaki asal Australia.

Dikutip dari National Geographic, Arnold mengaku kepada Pasang Phurba Sherpa, perwakilan Seven Summit Treks, --operator jasa pendakian--, jika tubuhnya lemah dan tak bertenaga akibat frostbite yang dideritanya, sebelum meninggal dalam tidurnya.

Arnold kemudian dinyatakan meninggal di Camp IV, pada ketinggian 8.000 meter. Tahun ini merupakan upaya kelima Arnold menuju puncak. Upayanya pada tahun 2014 dan 2015 gagal karena bencana alam. Ia bahkan nyaris tak selamat dari gempa 2015.

Setelah kematiannya, website milik Arnold menampilkan foto dirinya dan kata-kata “In Memoriam”.

Kecintaan Arnold terhadap Everest memang telah tertanam sejak kecil. Tak heran jika ia memasang poster Everest di kamarnya. Kepada media televisi, Belanda, RTV Rijnmond, yang mendokumentasikan pendakiannya, Alex menceritakan jika ia bermimpi mendaki Everest sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. 

Pada kesempatan itu, Arnold juga mengakui bahaya pendakian, terjadi terutama saat perjalanan turun. Maklum, saat turun biasanya banyak pendaki ingin segera tiba di bawah

“Dua pertiga kecelakaan terjadi dalam perjalanan turun,” katanya.

Arnold melanjutkan, “Jika anda telah mabuk dalam euforia dan berpikir, ‘saya sudah mencapai tujuan’, ingatlah bahwa bagian paling berbahaya masih ada di depan anda.”

Kata-kata itu menjadi penutup yang mengingatkan banyak pendaki untuk tetap waspada. Kata-kata yang akhirnya selalu dikenang, tentang bagaimana Everest memperlakukan setiap pendaki, baik yang berpengalaman maupun tidak. Kata-kata yang dilontarkan Arnold menyadarkan bahwa maut sedang mengintainya.

Tepat sehari setelah berpulangnya Arnold, pendaki lain, Maria Strydom akhirnya tewas usai turun dari Camp IV ke Camp III. Strydom dikabarkan meninggal akibat penyakit ketinggian (mountain sickness)

“Usai mencapai puncak kemarin, ia berkata merasa amat lemah dan kehilangan tenaga. Hal itu merupakan tanda-tanda penyakit ketinggian,” ujar salah seorang sherpa yang mendampingi.

Maria Strydom yang diketahui berprofesi sebagai dosen di Monash University itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir di samping suaminya. Mereka berdua memang telah merencanakan pendakian itu sejak lama, sebagai bagian dari proyek ambisius mereka “Seven Summit”. 

Sebelum ke Everest, Strydom pernah menjejakkan kakinya di puncak Denali (Alaska), Aconcagua (Argentina), Ararat (Turki) dan Kilimanjaro (Tanzania).

Bagi para pendaki berpengalaman, seperti Strydom, Seven Summit memang menjadi obsesi tersendiri. Pasalnya, Strydom ingin membuktikan bahwa vegetarian, seperti ia dan suaminya, mampu melakukan pendakian 7 puncak di 7 benua yang dikenal dengan istilah Seven Summit.

“Tampaknya banyak orang salah persepsi dan menganggap para vegetarian kurang gizi dan lemah,” tulis Strydom dalam sebuah artikel di situs universitasnya seperti dikutip dari National Geographic Indonesia.

Seven Summits
Bicara Seven Summits, saya jadi ingat tentang perjuangan teman-teman Mahitala Unpar, yang berhasil menyelesaikan pendakian 7 puncak yang melelahkan dan menghabiskan dana yang tidak sedikit, beberapa tahun silam. 

Usai menuntaskan proyek Seven Summits-nya, tahun ini Mahitala kembali menggelar proyek serupa, bedanya yang melakukannya kini adalah para pendaki putri. Dan 3 kartini Mahitala telah menyelesaikan beberapa puncak yang menjadi target, seperti; Carstensz, Kilimanjaro, Aconcagoa dan Elbrus.

Bagi saya, ekspedisi Seven Summits yang dilakukan teman-teman Mahitala Unpar tidak bisa dipandang enteng. Pasalnya, tak banyak orang yang pernah melakukannya. Selain membutuhkan dana yang besar, juga dibutuhkan stamina fisik yang prima dan tahan uji terhadap kondisi terburuk yang mungkin terjadi sewaktu-waktu. Hal itu hanya bisa didapat lewat latihan secara rutin dan teratur.

Sejauh ini, Seven Summits meliputi tujuh puncak tertinggi di 7 benua seperti: Carstensz Pyramid di Pegunungan Jaya Wijaya Indonesia (4.884 mdpl), Vinson di Antartika (4.897 mdpl), Elbrus di Rusia (5.642 mdpl), Kilimanjaro di Tanzania (5.895 mdpl), Aconcagua di Argentina (6.962 mdpl), Denali di Alaska (6.194 mdpl) dan Everest di perbatasan Nepal dan Tibet (8.848 mdpl).

Seperti yang telah saya singgung diatas, Seven Summits mewakili tiap benua yang ada di dunia ini, Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Antartika. Khusus untuk Asia diwakili dua puncak, yaitu Puncak Carstensz (Asia Fasifik) dan Everest sebagai puncak yang tertinggi di dunia.

Sejauh ini, diketahui pencetus ide Seven Summits adalah Dick Bass, seorang pendaki kaya asal AS. Bass yang memang tergila-gila dengan gunung melakukan pendataan gunung tertinggi di 7 benua. Saat itu ia tidak memasukan Carstensz Pyramid, melainkan menggantinya dengan Kosciuszko, gunung di Australia yang tingginya hanya 2.228 mdpl.

Saat itu, Bass memasukkan Kosciuszko karena dianggap mewakili Australia. Untuk mewujudkan impiannya, Bas memulainya pada tahun 1983 dengan mendaki Aconcagua dan mengakhirnya di puncak Everest pada tahun 1985.

Upaya memasukkan Kosciuszko sebagai bagian dari Seven Summit, belakangan ditentang oleh pendaki legendaris, Reinhold Messner. Oh ya, Messner sendiri merupakan salah satu pendaki favorit saya. Maklum dia merupakan orang pertama yang mendaki Everest tanpa tabung oksigen dan memulainya dari rute yang berbeda pada tahun 1978. Bagi saya Messner adalah mbah-nya pendaki gunung yang setiap kata-katanya layak untuk didengar.

Messner yang merupakan pendaki asal Austria itu menyebut nama Carstensz sebagai pengganti Kosciuszko. Alasannya Carstensz mewakili benua Oceania, dan memiliki rute yang lebih menantang.

Pendapat Messner juga didukung oleh pendaki legendaris lainnya, Patrick Allan Morrow asal Kanada yang akrab disapa “Patt Morrow”. Bagi saya, Patt Morrow merupakan salah satu pendaki humble yang layak dikagumi. Jujur saja, usai membaca laporannya Alm. Norman Edwin (Mapala UI), saya jadi sedikit tahu tentang pribadi Patt yang menurut saya sangat bersahabat. Dari begitu banyak seven summiter, sepertinya hanya Patt yang beberapa kali bolak-balik ke Indonesia. Kondisi itu yang membuat mengapa Patt sangat terinspirasi dan mengagumi budaya Indonesia.

Oh ya, kita balik lagi ke Seven Summits ya... Setelah Messner dan Patt Morrow mengutarakan alasan pemilihan Carstensz Pyramid, agrumentasi itu kemudian diamini oleh para pendaki gunung lainnya. Akhirnya, seiring waktu, Carstenz Pyramid akhirnya masuk dalam kategori Seven Summits yang diakui hingga sekarang.

Sementara itu, kesamaan dari 7 puncak tertinggi di 7 benua itu, adalah sama-sama memiliki salju abadi. Untuk mendaki puncaknya, dibutuhkan keahlian mendaki, panjat tebing, hingga teknik tali temali. Persiapan pun harus matang, sebab nyawa jadi taruhan.

Bencana Terus Berlanjut
Sejauh ini, Everest masih menjadi impian bagi hampir semua pendaki, termasuk saya. Namun, menaklukkan puncak tertinggi di dunia itu tidak mudah. Dari literatur yang saya baca, dibutuhkan latihan minimal 3 jam berlari setiap hari, sebagai latihan dasar untuk bisa menuju Everest.

Sejak musim pendakian resmi dibuka Mei lalu, Everest sudah merenggut korban pertamanya. Empat pendaki dan seorang porter tewas dalam ekpedisi menuju puncak setinggi 8.850 meter dari permukaan laut. 

Kebanyakan penyebab kematian di Everest akibat avalance (longsor) dan penyakit gunung pada umumnya, seperti; frostbite (radang beku), hypothermia (kedinginan), edema paru, snow blind (buta salju) hingga mountain sickness (penyakit ketinggian) yang ditunjukkan dengan gejala seperti: sakit kepala, kelelahan dan pusing. 

Di Everest, penyakit mountain sickness bisa muncul ketika seseorang mencapai ketinggian sekitar 2.440 meter. Jika pendaki tetap berada di bawah ketinggian 3.600 meter, biasanya penyakit ketinggian tidak akan menyerang. Oleh karena itu, aklimatisasi (penyesuaian) terhadap ketinggian diperlukan. Caranya, dengan berkemah selama 1-3 hari di ketinggian tertentu.

Selain korban tewas, di musim pendakian tahun ini beberapa sherpa harus bekerja ekstra keras untuk membawa turun setidaknya dua pendaki yang mengalami sakit. Mereka terpaksa diturunkan dari ketinggian 8.000 meter ke 6.400 meter. 

Para pendaki itu adalah; Siv Harstad, wanita 45 tahun asal Norwegia, terpaksa diturunkan karena mengalami snow blind atau kebutaan akibat salju dan Seema Goshwami (India) yang mendapati dirinya tidak bisa bergerak karena frostbite dimana tangannya membeku.

“kondisinya keduanya sudah cukup parah, karena itu upaya evakuasi harus segera dilakukan”, ujar Pemba Sherpa dari Seven Summit Treks.

"Ini adalah usaha besar dan berisiko, tapi kami mampu menyelamatkan mereka," 

Dari lima kematian terkonfirmasi, salah satunya dialami Ang Furba, sherpa yang ditemukan tewas karena terjatuh saat bekerja memperbaiki tali (fix ropes) ke puncak Lhotse yang berseberangan dengan Everest di ketinggian 8.000 meter gunung. Tahun ini, pemerintah Nepal telah memberi izin bagi 78 pendaki yang ingin mendaki Lhotse.

Minggu, 22 Mei, Wangchu Sherpa, seorang direktur di Trekking Camp Nepal juga melaporkan jika dua pendaki asal India, Paresh Nath dan Goutam Ghosh, telah hilang diketinggian 8.000 meter. Sementara itu, dua anggota lain dari tim mereka, Sunita Hazra dan Subhash Pal, berhasil diselamatkan oleh Sherpa dan dibawa ke camp yang lebih rendah. 

Selama upaya penyelamatan, Subhash Pal meninggal tepat di atas Camp 3, membuat kematian gunung kelima terkonfirmasi. Wangchu Sherpa juga mengatakan ada sedikit harapan ketika mengetahui jika Nath dan Ghosh akan ditemukan.

Kembali normal
Selama 3 tahun terakhir, berbagai drama, tragedi, dan keadaan yang luar biasa telah terjadi di Everest, ketika musim mendaki di bulan semi resmi dibuka bagi umum yang bertepatan dengan musim angin berkekuatan jet melintas di Himalaya.

Beberapa insiden telah tercatat dan menuai banyak kecaman, salah satunya di tahun 2013, ketika perkelahian terjadi antara 3 pendaki profesional dan sekelompok besar sherpa yang bekerja di tempat tinggi. Para sherpa merasa tidak dihormati atas upaya mereka memperbaiki tali di ketinggian 8000 meter.

Selanjutnya, di tahun 2014, 16 sherpa asal Nepal tewas saat bekerja di Khumbu Icefall, dan 9 lainnya luka-luka. Keadaan tragis itu menjadi keprihatinan mendalam sehingga menjadi catatan untuk segera memperbaiki kondisi kerja, baik dari segi peningkatan keselamatan dan kompensasi yang lebih tinggi dan kebijakan asuransi jiwa, bagi para sherpa yang bekerja di gunung. 

Pada 2015, gempa bumi 7,8 skala Richter menghancurkan Nepal, mengakibatkan lebih dari 8.500 kematian di seluruh negeri sehingga memaksa pemerintah Nepal dan Cina menutup kegiatan pendakian di Everest. 

Sementara itu, banyak petugas medis dan tim penyelamat di Nepal menemukan diri mereka tanpa dukungan transportasi udara yang memadai untuk menyelamatkan nyawa-nyawa pendaki yang terkubur akibat gempa dan sekitar 200 pendaki yang tidak memiliki keterampilan terjebak di camp 1 untuk segera diselamatkan.

Khusus untuk 2016, banyak kalangan yang menyebutnya mirip dengan musim mendaki di tahun 2012, sebuah musim tersibuk dengan 547 pendaki dan tingkat keberhasilan 57 persen. Tahun ini kerap disebut sebagai musim mematikan, karena terdapat 11 pendaki sekarat atas usaha mereka berjuang agar bisa memotong jalur yang memang sangat padat. Akhirnya mereka harus menunggu berjam-jam ditengah suhu udara minus 40 derajat celsius.

Tak hanya itu, Tahun ini menjadi peringatan 20 tahun bencana Into Thin Air, ketika 8 pendaki tewas akibat badai. Buku terlaris karya Jon Krakauer yang kemudian diadopsi dalam film layar lebar berjudul EVEREST, menceritakan dengan detil kejadian yang berujung bencana itu, sebagai dampak dari merebaknya usaha komersial pendakian gunung. Dan saat itu, bagi mereka yang punya uang, sangat mungkin mendaki Everest, cukup dengan bergabung pada salah satu operator penyedia jasa pendakian gunung.

Secara rinci Krakauer menyebut, “As an increasing number of people attempt this treacherous climb—aided by all sorts of technological breakthroughs—a host of new businesses crop up to take advantage of this wealthy client base. But is this a good thing? As we’ll learn, there’s no easy answer to this question.”

Ya, tidak ada jawaban mudah atas pertanyaan itu, mengingat jumlah pendaki yang ingin menggapai salju abadi Kangchenjunga (nama lain Everest) terus bertambah dan kondisi itu telah menciptakan ceruk bisnis baru. Tujuannya satu, menghantarkan orang-orang mencapai puncak Everest.

Kini, musim pendakian Everest telah berlangsung untuk dua bulan lamanya. Dan jasa komersial pendakian gunung kian menemukan bentuknya. Sejak dibuka pada awal Mei lalu, lebih dari 330 orang telah mendaki Everest dari sisi Nepal, dan beberapa sisanya mendaki dari sisi Tibet, lengkap dengan kisah duka yang sepertinya selalu setia menemani. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN