Sunday, June 12, 2016

Nurani diantara ironi yang berserakan

(Kicauan Dwika Putra terkait donasi yang berhasil dikumpulkan. source: @dwikaputra)

Minggu (12/6) pukul 10.05 WIB, Dwika Putra, seorang netizen mengabarkan jika donasi yang digagasnya telah mencapai 265 juta rupiah. Selanjutnya, donasi yang terkumpul akan diberikan kepada Saeni dan beberapa penjual nasi lainnya yang menjadi korban razia Satpol PP di Serang, Banten, beberapa hari lalu (Jumat, 10/6).

“Dengan total 2.427 (Dua Ribu Empat Ratus Dua Puluh Tujuh) donasi, total yang terkumpul adalah Rp 265.534.758”, kicau Dwika lewat akun twitter pribadinya @dwikaputra. 

Tak hanya itu, Dwika juga mengingatkan jika periode donasi telah berakhir. Oleh karena itu, sebaiknya para netizen tidak lagi melakukan transfer dana ke rekening miliknya, yang diperuntukkan sebagai rekening donasi.

Oh ya, mungkin banyak yang tak mengetahui siapa Dwika Putra dan mengapa namanya ikutan viral dalam beberapa hari terakhir. Berdasarkan penelusuran di internet, saya menemukan jika Dwika Putra merupakan orang pertama yang mencetuskan ide untuk berbagi. 

Lewat akun twitternya, Dwika mengajak siapapun yang bersedia untuk menggalang dana, sebagai bentuk kepedulian terhadap Saeni, penjual nasi yang dagangannya raib dibawa Satpol PP ketika razia. Harapannya, dana yang terkumpul bisa digunakan sebagai pengganti uang modal.

Ketika mengajukan gagasan sederhana itu, tanggapan netizen ternyata begitu positif. Dalam hitungan jam, jumlah uang yang masuk ke rekeningnya terus bertambah.

Acara penggalangan dana itu sendiri mulai dicetuskan Dwika pada Sabtu (11/6/2016) tepat pada pukul 00.00WIB. Dengan alasan tak ingin menghujat, Dwika memutuskan membantu ibu Saeni yang dagangannya disita karena tetap buka pada bulan puasa.

Selanjutnya, ia mengosongkan rekening miliknya dan hanya menyisakan uang sebesar Rp 400.000. Setelah itu, dia menyebarkan nomor rekeningnya kepada netizen yang ingin melakukan donasi. 

Uniknya, tidak hanya di Twitter, ajakan menyumbang pun menyebar di media sosial lain, semacam Facebook dan Path.

"Saya sampai pukul 02.00 WIB lewat masih bangun dan itu sudah nembus Rp 10 juta. Tadi pagi (kemarin) sudah Rp 20 juta dan barusan saya cek sudah Rp 60 juta," tutur Dwika seperti dikutip dari kompas.com.

Uniknya, hingga dana terkumpul, Dwika belum bertemu dengan Saeni, ibu pemilik warung. Semua informasi terkait keberadaan Saeni, ia dapatkan berkat kerjasama beberapa teman komunitasnya. Teman-temannya itu yang mengabarkan jika sudah bertemu secara langsung dengan Saeni.

Agar dana yang terkumpul tepat sasaran, Dwika lalu berdiskusi dengan beberapa lembaga yang terbiasa menyalurkan donasi. Ia ingin dana yang terkumpul tepat guna dan tepat sasaran. Selain itu, ia juga harus mempertanggungjawabkan dana yang terkumpul secara transparan.

***
Sama seperti angggapan banyak kalangan, saya pun menyayangkan razia warung nasi yang dilakukan Satpol PP, di Kota Serang, Banten. Pasalnya, razia di bulan puasa sangat tidak adil dan merugikan banyak pihak. Tentu saja, karena Indonesia merupakan negara pluralistis yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku dan agama. Tidak semua orang sedang berpuasa saat ini.

Selain itu, praktik-praktik yang dilakukan Satpol PP sangat tidak manusiawi dan terkesan dilakukan kepada pihak yang lemah. Banyak yang bertanya, mengapa razia hanya dilakukan terhadap penjual nasi, bukan kepada restoran yang selalu buka di bulan puasa, utamanya di mal-mal mewah.

“Kalo berani, Satpol PP, razia tuh, tempat makan yang ada di mal. Berani gak. Cemen, beraninya hanya pada orang kecil?” ujar seorang teman lewat akun media sosialnya.

Atas peristiwa yang dialami Saeni, tak heran jika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo akhirnya turun tangan mengingatkan seluruh aparat Satpol PP agar tidak berlebihan saat melaksanakan peraturan daerah (Perda) terkait bulan ramadan.

Mendagri kemudian meminta Satpol PP seharusnya bersikap simpatik dengan mengedepankan penyuluhan dalam melaksanakan keputusan atau instruksi kepala daerah. Pasalnya, saat razia warung Saeni, Satpol PP belum pernah melakukan sosialisasi maupun penyuluhan. Yang terjadi, mereka malah asal main sikat. Main babat.

"Saya sebagai pembina satpol PP mengatakan bahwa tugas satpol PP harus simpatik dan mengutamakan penyuluhan. Jangan over acting sok kuasa. Apapun masyarakat didaerah harus ditertibkan tapi harus manusiawi," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (12/6/2016).

Lebih jauh mendagri mengingatkan bahwa sikap arogan Satpol PP akan membuat masyarakat tak simpatik kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selain itu, ia juga mengingatkan para pemilik warung nasi agar tidak membuka dagangannya secara mencolok.

"Diingatkan saja agar tidak terbuka menyolok atau ditutup tirai, apapun menjaga toleransi masyarakat yang beragam," pungkasnya.

Jika saja ramadan kali ini berjalan mulus, tidak diwarnai dengan insiden yang meresahkan, seperti razia warung nasi tanpa pernah sosialisasi, maka khidmat di bulan suci ini akan menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat rasa toleransi di antara umat beragama.

Di sisi lain, larangan warung buka siang hari di bulan ramadan oleh Pemkot Serang justru merugikan citra Islam, seperti dikhawatirkan Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Muhammad Syafi' Ali, biasa disapa Savic Ali. Savic menilai larangan warung buka akan merusak citra Islam karena terkesan melahirkan pemaksaan bagi setiap orang.

"Ini memperburuk citra Islam yang membuat seolah-olah Islam ini adalah agama yang selalu memaksa orang," ujar Savic seperti dikutip dari Kompas.com, Sabtu (11/6/2016).

Selain itu, Savic juga menyayangkan bahwa larangan Pemkot Serang justru seakan-akan meragukan keimanan umat Islam. Apakah warung yang buka akan memicu seseorang membatalkan puasanya, tentunya jadi alasan yang sangat prematur.

"Ini masalah, menunjukkan seolah umat islam itu keimanannya lemah sehingga jika ada warung buka seolah-olah membuat puasa menjadi batal. Apa mereka kira keimanan umat Islam itu hanya setebal kulit ari?" pungkas Savic.

Atas penertiban yang tidak manusiawi itu, saya menilai citra bulan ramadan telah terdegradasi, sebagai bulan yang penuh pengampunan. Bulan yang penuh khidmat. Bulan yang penuh berkat. Bulan yang seharusnya memperbanyak amal kebaikan, bukannya malah bertindak sewenang-wenang dan tidak manusiawi.

***
Siapa sangka, jika kepedulian Dwika muncul usai menonton hasil liputan salah satu televisi swasta. Ditayangan itu ditunjukkan aksi gahar Satpol PP ketika merazia warung nasi yang kedapatan buka di bulan ramadan.

Dalam video itu, terlihat Satpol PP menyita semua makanan yang ada di warung nasi tersebut. Semuanya diangkut tanpa tersisa. Akibatnya, ibu penjual nasi tampak menangis, tidak rela dagangannya diambil begitu saja.

Melihat video ini, Dwika yang berdomisili di Jakarta itu merasa terpanggil. Ia pun berinisiatif membantu ibu tersebut. Alasan kemanusiaan yang membuatnya melakukan penggalangan dana, meski ia sadar ada peraturan daerah yang memuat aturan bagi warung nasi tidak beroperasi di bulan puasa.

Dwika juga tak terlalu mempersoalkan masalah agama dibalik aksi kemanusiaannya. Baginya, murni ingin menolong seorang ibu yang telah kehilangan mata pencahariannya, jadi alasan utama. Ibu yang pastinya akan kesulitan untuk memulai usahanya kembali, karena semua dagangannya telah lenyap. Pun, ibu itu tak tahu harus mengadu ke siapa. Dan duka itu harus ditanggung sendiri.

Meski bukan seorang hero, Dwika sadar jika gerakan yang digagasnya terkesan reaktif dan sepertinya terburu-buru. Terbukti dari waktu penggalangan dana yang relatif cepat, tak sampai 24 jam usai ia menonton video tersebut.

Namun, bukankah alasan kemanusiaan jelas melampaui semuanya. Melampau akal sehat dan nalar kritis yang kerap muncul terlambat. Melewati batasan-batasan yang ada dan melanggar semua pembatas yang kerap jadi penghalang.

Bagi saya, aksi yang dipilih Dwika layak tuk diapresiasi. Layak tuk disebarluaskan semangatnya, bahwa kepedulian itu masih ada. Kepedulian yang akhir-akhir ini jadi barang langka yang jika di-treatment dengan tepat bisa mempengaruhi banyak orang.

Jika sebuah pertanyaan sederhana dilontarkan terkait seberapa peduli anda terhadap Saeni yang jadi korban penertiban Satpol PP. Mungkin sebagian besar menyatakan rasa pedulinya. Minimal dengan komentar bernada empati atau men-share ulang secara masif berita tersebut. Namun, adakah yang mau memulai dengan bertindak nyata tuk membantu kesedihan Saeni? Pada tahapan ini, mungkin tak banyak yang berani, dengan beragam alasan pembenar.

Namun bagi Dwika Putra, netizen yang termasuk sebagai generasi X membuktikan hal itu. Tanpa pikir panjang ia menunjukkan kepeduliannya dengan cara sederhana. Ia pun mengikhlaskan tabungannya sebanyak 400 ribu rupiah menjadi modal awal untuk diberikan kepada Saeni. Ia lalu berharap ada orang lain yang punya kepedulian serupa mau menyumbang minimal 1o ribu rupiah saja. Uniknya, yang terjadi belakangan, yang menyumbang ternyata jauh lebih banyak. Jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan semula.

***
Pada kondisi ini, saya menjadi yakin, bahwa niat baik itu lebih dari sekedar kata-kata. Niat baik itu tak akan sia-sia. Ia akan kembali dengan jumlah yang tak pernah kita pikirkan. Jauh melebihi apa yang kita harapkan. Karena itu yang terpenting, lakukan saja!

Yup, berbuat baik itu memang sederhana. Sesederhana saat diucapkan. Tak perlu menunggu lama. Tak perlu menanti hingga kita menjadi kaya. Pun, tak harus menunggu ketika ada yang memulainya pertama kali.

Lalu, apakah saya pernah melakukan hal serupa? Jawabnya; pernah! Yang pasti lebih dari sekali. Salah satu yang saya ingat, adalah ketika harus menyerahkan semua uang yang saya punya, selain ongkos angkutan umum, kepada seorang bapak yang menyapu di jembatan penyeberangan di Jakarta.

Suasana menjelang malam dan temaram senja telah mengkukuhkan dirinya dengan anggun di batas cakrawala, saat saya bertemu dengan si bapak yang mulai beberes usai membersihkan jembatan penyeberangan. Ntah mengapa, seperti ada yang menyuruh. Ada yang berkata, bahwa harus menyerahkan semua uang yang saya punya kepada bapak itu. Lalu, tanpa pikir panjang, saya pun melakukannya.

Pas, saya melakukannya. Si bapak langsung menangis. Ia gak menyangka ada yang menjawab doanya. Sementara saya hanya terheran-heran.

"Makasih nak, bapak emang lagi butuh uang buat makan", katanya.

Saat itu saya hanya menurut. Tidak berharap lebih. Saya hanya tahu, suara itu memiliki otoritas yang begitu kuat. Suara yang mempunyai kekuatan penuh. Suara yang bagi banyak kalangan mungkin disebut “Suara Tuhan”.

Pada tataran ini, saya tidak ingin berkomentar lebih jauh. Pasalnya, persepsi yang muncul mungkin berbeda-beda. Tiap-tiap orang bisa menginterpretasikannya sesuai pengaruh lingkungan masing-masing. Ada yang menganggapnya sebagai ajakan tuk bersedekah, panggilan tuk berbagi atau keharusan karena selama ini kurang peduli dengan kaum marjinal.

Namun, satu yang pasti, setelah melakukan itu, apa yang saya tabur ternyata tidak kembali dengan sia-sia. Ia kembali dengan jumlah yang tak pernah saya pikirkan. Jumlah yang tak pernah saya harapkan. Ternyata begitu sederhana Ia menguji saya dengan harta yang dimiliki. Harta yang tidak banyak, pastinya.

Oleh karena itu, seperti ada tertulis, ketika kita setia pada perkara-perkara kecil, maka Ia akan memberikan kita tanggung jawab dalam perkara besar. Dan untuk perkara kecil tadi, khususnya praktik memberi, apakah saya telah lulus? Ntahlah. Saya gak bisa menilai.

Sementara itu, jika kembali ke pokok bahasan awal, dimana aksi Dwika Putra menjadi tindakan yang patut dicontoh. Menjadi ketukan kecil bagi saya yang mengingatkan untuk tak jemu-jemunya berbuat baik. Tentu saja, ketika datang waktunya, kita akan menuai dan tidak akan menjadi lemah. Oleh karena itu, tak ada cara lain, selain tak pernah berhenti berbuat baik. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN