Thursday, June 09, 2016

Demi Laut Yang Sehat!

(source: https://scontent.cdninstagram.com)
Sehari lalu, lewat microblogging twitter saya jadi ingat tentang World Ocean Day atau Hari Laut Sedunia yang jatuh setiap 8 Juni. Lewat twitter pula saya mengetahui bahwa tagar #HariLautSedunia sempat bertengger di posisi teratas sebagai trending topik yang paling banyak dibicarakan oleh netizen.

Pada hari itu, banyak netizen memberi ucapan sembari mengingatkan tentang pentingnya menjaga kelestarian laut dan ekosistemnya. Pasalnya, kondisi laut saat ini memang jauh berbeda jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya.

Sejak diperingati pertama kali pada tahun 2009, World Ocean Day sengaja dirancang untuk mengingatkan manusia tentang pentingnya laut bagi kehidupan. Apalagi, sebagian besar oksigen yang kita hirup berasal dari reaksi kimiawi yang dilakukan oleh plankton di lautan.

Adalah Dierdre Toole dari Institusi Oceanografi Woods Hole (WHOI) dan David Siegel dari Universitas California, Santa Barbara (UCSB) menemukan fakta jika plankton (baca: khususnya fitoplanton) menyumbang 80% kebutuhan oksigen yang ada di Bumi. Kemampuan planton menghasilkan gelembung-gelembung oksigen di dalam laut, lalu melepaskannya ke udara menjadi gas yang siap pakai. Gas yang bisa kita gunakan di mana saja dan kapan saja. Gratis!

Penelitian yang dibiayai NASA itu membuktikan ketika matahari menyinari lautan, lapisan atas laut, yakni sekitar 25 meter dari permukaan laut akan memanas. Kondisi itu menyebabkan perbedaan suhu yang cukup tinggi dengan lapisan laut di bawahnya. Lapisan atas dan bawah tersebut terpisah dan tidak saling beradu.

Sementara itu, fitoplankton sangat rentan dengan sinar ultraviolet yang berasal dari matahari. Itu sebabnya fitoplankton akan melindungi diri dengan menghasilkan zat dimethylsulfoniopropionate (DMSP) yang berfungsi menguatkan dinding selnya. 

Pada kondisi tertentu DMSP kemudian akan terurai di air dan menjadi senyawa dimethylsulfide (DMS). DMS kemudian terlepas dengan sendirinya dari permukaan laut dan menguap ke udara. Di atmosfer, DMS bereaksi dengan oksigen sehingga membentuk sejenis komponen sulfur. Komponen sulfur DMS itu kemudian saling mengikat dan membentuk partikel kecil seperti debu. 

Partikel-partikel kecil tersebut memudahkan uap air dari laut berkondensasi dan membentuk awan. Jadi, secara tidak langsung, plankton membantu menciptakan awan. Awan yang terbentuk menyebabkan semakin sedikit sinar ultraviolet yang mencapai permukaan laut, sehingga fitoplankton pun terbebas dari gangguan sinar ultraviolet.

Pada kondisi itu, bisa dipastikan jumlah oksigen yang dihasilkan oleh fitoplankton akan semakin banyak dan berlimpah. Proses itu kemudian berulang setiap harinya, menjadikannya siklus rutin yang membuat manusia bisa bertahan hingga sekarang.

Kira-kira begitulah pentingnya laut bagi kehidupan. Sayang, banyak yang belum menyadari hal ini. Jika saja laut tidak menghasilkan oksigen paling banyak, maka harapan satu-satunya hanyalah bergantung pada hutan. 

Namun sayang, laju deforestasi (baca: penggundulan hutan) di seluruh dunia cukup mengerikan. Sebagai contoh, kita bisa melihat yang terjadi di Indonesia. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut, laju deforestasi telah mencapai 1.1 juta hektar untuk periode 2009 - 2013. Deforestasi sebagian besar akibat pembukaan lahan yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan laju penggundulan hutan tertinggi di dunia. Menyedihkan.

Healty Ocean, Healthy Planet
Tahun ini, World Ocean Day mengusung tema “Healthy Oceans, Helathy Planet”. Tema itu beranjak dari fakta bahwa planet yang sehat memang membutuhkan laut yang sehat.

World Oceans Day merupakan agenda tahunan yang bertujuan untuk mengingatkan akan kebutuhan lautan yang sehat. Peran laut yang sangat krusial telah menjadikannya semacam organ vital bagi planet Bumi. Selain menyediakan oksigen, laut juga memiliki kemampuan untuk mengatur iklim, termasuk menyediakan ikan dalam jumlah banyak bagi manusia.

Oleh karena itu, kesadaran menjaga ekosistem laut menjadi penting untuk selalu disuarakan. Salah satunya dengan tidak membuang sampah ke laut. Pasalnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa laut sedang menghadapi ancaman sampah plastik. 

Pada tahun 2010 lalu, diperkirakan sebanyak 8 juta ton sampah plastik berakhir di lautan. Jika tidak dilakukan langkah pencegahan, bukan tidak mungkin sampah plastik di laut akan membludak.

Sementara itu, perkiraan bahwa plastik di lautan bisa membahayakan ketersediaan ikan kian terbukti. Laporan di jurnal Science terbaru mengungkapkan, anak-anak ikan, khususnya ikan perca (perch) ternyata lebih memilih mengkonsumsi partikel mikroplastik daripada plankton, makanan mereka yang sebenarnya. 

Selanjutnya para peneliti membandingkan ikan perca yang lahir di perairan sehat dengan ikan perca yang lahir di perairan berpolutan. Hasilnya, ikan perca yang besar di laut terkontaminasi plastik mengalami hambatan pertumbuhan dan dimangsa predator 4 kali lebih cepat.

Atas kondisi itu, para peneliti khawatir, jika anakan ikan mengkonsumsi plastik terlalu banyak, menyebabkannya rentan terhadap predator. Selanjutnya, anakan akan mati sebelum mencapai dewasa. Lalu, ketika populasi di rantai makanan habis, maka hal itu bisa mengancam kelestarian seluruh ekosistem.

Oh ya, sebagai informasi, mikroplastik memang berasal dari sampah plastik yang terurai di lautan. Ukurannya yang kecil membuat partikel itu melayang di permukaan air dan akhirnya mencemari laut.

Selain mikroplastik, partikel kecil pada pasta gigi atau scrub pembersih muka (microbeads) juga merupakan polutan berbahaya bagi laut. Microbeads ditengarai lebih beracun karena merusak sistem rantai makanan. Partikel ini juga menyebabkan terumbu karang mati karena menyumbat sistem pencernaan polip karang.

2050; Plastik Lebih Banyak dari Jumlah Ikan 
Laporan terbaru Ellen MacArthur Foundation, yang diluncurkan pada World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) di Davos, Januari 2016 menyebut, 95 persen dari kemasan plastik hilang setiap tahun setelah pemakaian, dan diperkirakan menelan biaya sekitar $80-120 Milyar. 

Sementara itu, hanya 5 persen sampah plastik yang didaur ulang secara baik, sekitar 40 persen dibawa ke TPA, dan sepertiganya bermuara di lautan biru. Kondisi ini menunjukkan bahwa laut telah menjadi tujuan akhir dari sampah-sampah plastik.

Saat ini, produksi plastik telah meningkat pesat, berada di angka 311 juta ton per tahun. Angka itu diperkirakan meningkat 2 kali lipat dalam 20 tahun ke depan, dan 4 kali lipat pada tahun 2050, khusus bagi negara berkembang yang mengkonsumsi plastik. 

Atas dasar itu, pada tahun 2050 diprediksi sampah plastik di laut akan lebih banyak dari jumlah ikan. Sampah plastik itu kemudian terurai menjadi mikroplastik. Selanjutnya, mikroplastik akan dikonsumsi oleh biota laut.

Bukti mengenai keberadaan plastik di tubuh hewan laut tidak diragukan lagi. Dalam 1 dekade terakhir, ditemukan banyak plastik di tubuh hewan laut, seperti; penyu, anjing laut, ikan bahkan burung laut.

"Laporan ini menunjukkan pentingnya memicu sebuah revolusi dalam ekosistem industri plastik dan merupakan langkah pertama yang menunjukkan bagaimana mengubah cara plastik bergerak melalui perekonomian kita," jelas Dominic Waughray dari Ellen MacArthur Foundation saat berbicara di Forum Ekonomi Dunia.

Laporan itu akhirnya mengajak semua negara untuk memikirkan ulang bagaimana menggunakan plastik secara bijak. Misalnya, mengurangi penggunaannya atau menggunakan kembali sebisa mungkin. Selain itu, para produsen juga diminta membantu untuk menghasilkan produk plastik yang dapat digunakan kembali.

Tips Penting
Pada World Economic Forum yang kemarin, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon mengajak semua pihak melakukan aksi global untuk mengurangi tekanan yang dihadapi oleh laut.

“Diperlukan tindakan mendesak untuk mengurangi banyak tekanan yang dihadapi lautan dunia, dan untuk melindungi bahaya di masa depan yang mungkin menyerang lautan melebihi batas daya dukungnya,” tegas Ban Ki-moon, seperti dikutip dari laman nationalgeographic.co.id (8/6).

Apa yang diserukan oleh Ban Ki-moon, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, selama ada kemauan. Oleh karena itu, menurut saya, ada beberapa tips sederhana yang bisa kita lakukan, agar laut tidak menjadi tempat sampah.

Hal-hal sederhana itu, seperti:
1.Mari gunakan kembali produk yang masih bisa digunakan. Atau jika tidak bisa digunakan lagi, serahkan kepada pemulung untuk di daur ulang.

2.Ketimbang menggunakan kantong plastik, tak ada salahnya menggunakan wadah yang bisa dipakai berulang kali saat berbelanja.

3.Jaga selalu kebersihan lingkungan pantai yang kita datangi. Pun, tak ada salahnya melakukan aksi bersih-bersih pantai secara mandiri atau berkelompok. 

4.Ketika sedang menyelam tak ada salahnya memungut sampah plastik yang ditemukan di lokasi penyelaman. Oleh karena itu, sebaiknya siapkan diri dengan wadah khusus untuk tempat sampah.

5.Saat sedang berada diatas kapal, usahakan tidak membuang sampah, khususnya berbahan plastik ke dalam laut. 

6.Kemanapun anda pergi, sebaiknya buanglah sampah pada tempatnya. Jangan biarkan sampah anda berserakan di sembarang tempat.

7.Jika tak keberatan, tak ada salahnya menyediakan tempat sampah di lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, sehingga orang tidak membuang sampahnya dengan sembarangan.

8.Informasikan minimal dua fakta, mengapa lautan penting bagi kehidupan kepada teman, kolega ataupun orang-orang yang anda temui. Lalu ajak mereka melakukan hal-hal sederhana untuk menjaga laut. 

Harapannya, semakin banyak pihak yang peduli dan semakin banyak orang yang terlibat melakukan tindakan nyata, seperti yang saya sebutkan diatas, maka laut kita akan semakin sehat. Tak heran, jika suatu hari nanti tagline “Healthy Oceans, Helathy Planet” akan terwujud. Karena itu, mari kita budayakan dengan sebuah aksi nyata bukan hanya slogan semata. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN