(Source: http://www.geo.coop) |
Beberapa waktu lalu, dalam pidato di acara simposium anti-PKI hari kedua, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan hal yang berbahaya bagi Indonesia saat ini, yakni kehadiran ideologi neoliberalisme.
"Saya ingatkan kebangkitan PKI bukan hanya dilihat di permukaan, tapi di bawah permukaan. PKI berbahaya, tapi yang lebih berbahaya neoliberalisme," ujar Gatot seperti dikutip dari detik.com, Kamis, 2 Juni 2016.
Pas membaca komentarnya, saya tersenyum simpul sembari membatin. Gak menyangka jika seorang jenderal bintang 4 mampu mengeluarkan pendapat yang sangat kabur dan tidak memiliki latar belakang yang mendasar. Pasalnya, kehadiran neoliberalisme dan kemunculan PKI merupakan dua hal berbeda yang sama-sama memiliki dampak yang juga berbeda.
Menurut saya, neoliberalisme sebuah entitas sendiri, sedangkan PKI adalah persoalan lain, yang selalu menarik untuk dibahas. Pada kesempatan ini, saya tidak akan membicarakan soal PKI, karena topiknya terlalu seru dan takkan selesai dibahas dalam waktu singkat, selain menyisakan umpatan kata "bego" bagi mereka yang tidak paham persoalan sesungguhnya.
Karena itu, saya lebih tertarik membahas soal neoliberalisme. Masih terkait komentar sang jenderal, saya berpikir, apakah ia sadar dengan neoliberalisme, ketika praktik pasar bebas telah benar-benar terjadi di Indonesia. Dan praktik itu seakan tak terelakkan saat ini, sementara di sisi lain, proteksi yang dilakukan pemerintah kerap kalah langkah.
Kira-kira, Jenderal Gatot pahamkah, jika neoliberalisme mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik, sementara di Indonesia peran pemerintah cukup dominan untuk memuluskan praktik neoliberalisme bisa melenggang.
Paham itu sendiri memfokuskan pada pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Sekali lagi, pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas, tidak hanya di dalam negeri namun juga luar negeri.
Lalu, apakah negara kita menganut paham neoliberalisme? Secara de jure mungkin tidak, namun secara de facto kita menjadi mahfum, ketika melihat kompetisi yang terjadi begitu keras untuk menghasilkan efisiensi dan produktivitas ekonomi yang tinggi di segala bidang.
Pada gilirannya, Indonesia memang menerapkan praktik pasar bebas, meski tidak ansih, demi mengejar growth yang tinggi, sebagaimana diinginkan pemerintahan Jokowi - JK. Akibatnya akan tercipta masyarakat yang lebih terdiferensiasi, dan perluasan ke arah pluralisme sosial dan pluralisme politik. Oleh sebab itu, menurut ideologi neoliberalisme, persamaan kebebasan ekonomi setara dengan kebebasan politik.
Dengan kata lain, kebebasan dan pluralisme politik hanya mungkin terjadi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Inilah yang disebut Przeworski sebagai transisi yang mengambil strategi “Modernizatioan via internationalization”. Harapannya, demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang mengalami transisi mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik, dan pola budaya negara-negara kapitalis maju.
Lalu muncul pertanyaan, sudah sejauh mana kebenaran dari tesis yang menyebut demokrasi mampu berjalan semestinya dan bertahan jika bersanding dengan kebijakan neoliberalisme?
Faktanya, kebanyakan negara yang menjalankan kebijakan “Modernizatioan via internationalization” mengalami bencana krisis ekonomi dan politik yang akut. Kebijakan neoliberalisme yang dijalankan secara agresif terbukti menjerumuskan negara-negara yang mengalami transisi ke tingkat yang lebih rendah. Dengan demikian, politik liberal yang dijalankan gagal karena membawa negara pada kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang tinggi.
Sementara itu, mari kita cek, apakah ciri-ciri neoliberalisme yang menyebabkan kekuatan negara direduksi oleh kekuatan modal, telah terbukti;
1.Pasar yang berkuasa, bukan pemerintah atau negara. Membebaskan kegiatan swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah, walaupun kegiatan membawa dampak yang buruk terhadap rakyat dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat dari gencarnya tekanan swasta terhadap pemerintah untuk memperlemah serikat buruh, serta perlunya penurunan upah buruh, bebasnya swasta membeli dan menggunakan tanah selama-lamanya dan seluas-luasnya.
Pada kondisi ini, selain karena alasan lesunya perekonomian secara global dan faktor ekonomi di dalam negeri, upaya memperlemah gerakan serikat buruh terlihat nyata. Pun terhadap upah buruh. Lalu, seberapa banyak perusahaan yang menguasai lahan-lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh rakyat. Jawabnya, banyak!
2.Mengurangi biaya untuk fasilitas dan pembangunan umum. Umpamanya dana untuk pendidikan, kesehatan, Penyediaan air bersih, dan pembangunan daerah secara umum harus dikurangi.
Untuk situasi ini, kita pasti masih ingat praktik suap di proyek reklamasi ketika anggota DPRD, M. Sanusi dibekuk setelah menerima suap senilai Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja (APL) lewat anak buahnya, Trinanda Prihantoro, di Mal FX Sudirman, Jakarta, akhir Maret lalu. Penangkapan itu ditengarai, salah satunya, karena mereka ingin lepas dari kewajibannya memenuhi fasilitas umum sebesar 15 persen sesuai Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.
3.Mencabut peraturan-peraturan yang mengganggu keuntungan ekonomi. Misalnya dengan menghapus atau mengganti peraturan tentang melestarikan lingkungan, jaminan kondisi kerja, atau peraturan tentang kesehatan makanan dan lain-lin.
Saat ini, pemerintah sedang menjalankan sejumlah program deregulasi yang dituangkan dalam paket-paket kebijakan ekonomi. Adapun tujuannya untuk menggairahkan iklim investasi di Indonesia, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
4.Privatisasi/swastanisasi dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan eisiensi pelayanan kepada rakyat, termasuk penjualan jenis-jenis usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sesuai Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, disebutkan privatisasi merupakan penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, berdaya saing dan berorientasi global, dan menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar. Selain itu, UU tersebut sekaligus menjadi misi memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero.
Artinya, untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan guna menjadi juara di industrinya serta meningkatkan peran serta masyarakat, maka sahamnya bisa diperjualbelikan. Hal itu menjadi dorongan untuk melakukan privatisasi secara lebih luas kepada BUMN.
5.Di tingkat internasional, paham neoliberalisme berusaha memudahkan perdagangan antar negara. Untuk mencapai kondisi itu diperlukan pencabutan semua kontrol yang dianggap menghalangi pasar bebas. Misalnya tentang bea/cukai, halangan investasi dan aliran lalulintas modal.
Saat ini, seiring era Masyarakat Ekonomi Asean, maka perusahaan-perusahaan asing boleh berinvestasi di Indonesia. Kebijakan memudahkan iklim berinvestasi juga diharapkan mampu menarik minat investor asing ke Indonesia. Pada tataran ini, sejumlah kebijakan yang dulunya dianggap menghalangi kemudahan berinvestasi, kini dihilangkan secara perlahan.
6.Monopoli teknologi yang hanya dapat dikuasai dan dikelola oleh pemilik modal untuk produksi masal.
Bicara soal teknologi, benarlah apa yang dikatakan oleh David M. Kaplan. Ia mengatakan, teknologi informasi menjadi kunci globalisasi. Dimulai dari penemuan satelit, komputer, gadget canggih serta internet merupakan hasil dari inovasi teknologi informasi yang memungkinkan globalisasi. Uniknya, mereka yang menguasai teknologi sangat sedikit jumlahnya.
Jika mengacu pada syarat-syarat neoliberalisme diatas, maka dorongan untuk mencari keuntungan individual menjadi kapasitas yang alamiah, oleh sebab itu intervensi pemerintah atau monopoli negara jadi barang haram, karena hal itu akan mengganggu kebebasan individu dalam berkompetisi. Dari gagasan inilah lahir apa yang kemudian disebut sebagai pasar bebas (free markets). Sementara itu, konsep lainnya dari neoliberalisme adalah comparative advantage (keunggulan komparatif).
Selanjutnya, setiap bangsa harus mampu memaksimalkan kekayaannya bukan atas dasar surplus perdagangan, melainkan mengambil keuntungan dari pambagian kerja internasional berdasarkan perdagangan bebas. Sehingga bila sebuah negara mampu mensuplai komoditi dengan harga lebih murah, maka negara lain akan membelinya. Inilah hukum comparative advantage yang bertahan dan dipraktekan di banyak banyak negara hingga sekarang, termasuk Indonesia.
Dengan demikian, secara global proses neoliberalisme yang diwacanakan berakibat pada monopoli negara-negara kaya terhadap negara berkembang di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Di Asia, Indonesia merupakan contoh yang paling baik untuk menggambarkan bagaimana dampak dari hegemoni neoliberalisme tersebut, khususnya bagi para petani. Pengkerdilan peran negara menyebabkan negara tidak mampu melindungi petani, dan rakyatnya secara maksimal.
Dengan monopoli maka irama permainan pertanian global akan sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama koorporasi transnasional (TNC). Dengan kekuatannya TNC menghisap surplus yang besar dari negara-negara dunia ketiga dan subsidi dari negara-negara tempat TNC beroperasi.
Perkembangan-perkembangan ini akan terjadi seiring tersingkirnya dan termarjinalisasi kekuatan ekonomi lokal. Pada kondisi ini, apa yang dikhawatirkan Gatot Nurmantyo cukup beralasan. Neoliberalisme telah menjadi ancaman yang begitu nyata. Ancaman yang seharusnya membuat pemerintah segera bertindak menyiapkan sejumlah langkah proteksi terhadap industri-industri strategis, termasuk juga sektor pertanian.
Tak hanya itu, Neoliberalisme juga bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara umum, neoliberalisme tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan proteksionisme, tetapi terkadang digunakan sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain agar membuka pasarnya. Dan Indonesia maupun negara-negara asing kerap melakukannya. Lalu haruskah negara alergi terhadap neoliberalisme, ketika untuk beberapa hal praktiknya tetap dipertahankan?
Menyikapi hal itu, bagi saya, sederhana saja, neoliberalisme telah terbukti menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak ekonomi lokal dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar pemerintah. Oleh karena itu, tak ada salahnya kembali kepada paham sosialisme versi Soekarno yang dikenal sebagai “Marhaenisme”, sebuah paham yang berpedoman kepada mereka yang merupakan rakyat.
Untuk bisa menggugurkan neoliberalisme diperlukan persatuan yang sanggup mengadakan perubahan yang harus didukung oleh pemerintah, pastinya. Massa-aksi selalu menjadi penghantar pada saat masyarakat lama melangkah menjadi masyarakat baru. Oleh karena itu, masyarakat harus digerakkan dalam satu pergerakan massa yang sadar untuk melakukan perubahan. Salah satunya berubah dengan melakukan Revolusi Mental.
Lalu, sebagaimana deklarasi Marhaenisme yang ditegaskan Soekarno, menyebut Marhaenisme bukan sekedar teori politik, melainkan teori perjuangan. Sebagaimana Marxisme bukan sekadar teori, bukan sekadar teori ekonomi, bukan sekadar teori politik, melainkan lebih dari sebuah teori. Marxis adalah teori perjuangan untuk menghantam kapitalisme, untuk membangun masyarakat sosialis, demikian pula Marhaenisme.
Atas dasar itu, paham Marhaenisme merupakan perjuangan menentang neoliberalisme (baca: pihak asing) yang ingin menguasai Indonesia, melalui proteksi terhadap kekayaan sumberdaya alam dan juga kekuatan ekonomi lokal. Sampai disini, apa yang disebut Soekarno, bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan pada keadaan dan kondisi Indonesia, menjadi jawaban untuk menangkal neoliberalisme, yang memang telah merasuk terlalu jauh. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment