(Seorang relawan menempelkan bibit karang ke Domus Musculi. Foto: jacko agun) |
“Dengan menghadirkan karya seni di laut, sebenarnya saya ingin meluhurkan laut, supaya kita tidak lagi memunggungi laut. Karena sampai sekarang, banyak orang kalau buat rumah, belakangnya laut dan depannya selalu menghadap ke jalan.
-Teguh Ostenrik, seniman
Mentari tak lagi malu memancarkan kilaunya, ketika saya dan sepeda motor butut tiba di dermaga Ancol. Jujur, sinarnya mulai membuat gerah, pertanda cuaca akan cerah, setidaknya hingga siang hari nanti. Dan pagi itu merupakan waktu yang pas menuju laut.
Usai memarkir motor, saya bergerak ke dermaga 19 yang letaknya tidak begitu jauh. Di dermaga itu, teman-teman voluntir (relawan) bersama sejumlah pengurus Yayasan Terumbu Rupa (YTR) telah berkumpul. Mereka juga masih menunggu kedatangan relawan lain, sebelum memutuskan berangkat ke Pulau Sepa, Kepulauan Seribu.
“Halo mas, perkenalkan saya Asrul dari YTR. Kita mau mendata ulang relawan yang ikut. Oh ya, tadi saya sempat hubungi, tapi hp-nya kok gak aktif ya?”, tanya Asrul Hanif Arifin, yang juga menjabat Ketua Yayasan Terumbu Rupa membuka percakapan pagi itu.
“Oh ya, maaf, hp saya kebetulan sedang tidak diaktifkan”, jawabku singkat.
Di dermaga 19, kesibukan langsung terjadi. Barang-barang milik panitia mulai dimasukkan ke dalam kapal yang sengaja disewa mengantarkan kami ke pulau yang berada di bagian utara Kepulauan Seribu. Baru kemudian berkoli-koli peralatan selam dimasukkan secara bergantian.
Saya akhirnya memutuskan bergabung sebagai relawan di YTR, setelah seorang panitia mengundang saya beberapa waktu sebelumnya. Tawaran itu sangat menarik, karena saya belum pernah memindahkan “Domus Musculi”, sebuah artificial reef (baca: rumah karang buatan) dari Pulau Pelangi ke Pulau Sepa.
Tepat pukul 8 lewat 5 menit, kapal berukuran sedang yang kami tumpangi secara perlahan bergerak menjauhi pelabuhan Ancol. Kapal berangkat, setelah panitia melakukan pendataan dan memastikan ada voluntir yang tidak ikut karena sesuatu dan lain hal.
Di dalam kapal, saya memilih menyimak pembicaraan yang terjadi diantara relawan dan panitia. Dari sekian banyak orang, hanya satu yang saya kenal dengan baik. Sisanya belum pernah bertemu sebelumnya. Lalu, ketika tidak ada pokok bahasan yang menarik untuk diperbincangkan, saya pun memilih memejamkan mata, seiring kantuk yang mendera. Maklum, malam tadi, saya tidak nyenyak tidur, karena sering terbangun. Takut terlambat meskipun alarm telah dipasang.
Karena Pulau Sepa masih jauh, saya manfaatkan waktu tersisa dengan baik. Saya berharap bisa tidur dengan tenang. Namun apa lacur, gelombang laut dan posisi yang tidak nyaman, membuat saya kerap terbangun. Sebagai gantinya saya men-cek sekeliling untuk memastikan apakah sudah sampai atau belum. Akhirnya, setelah dua jam perjalanan, kami pun tiba di dermaga Pulau Sepa. Setelah dihitung-hitung, saya sempat tertidur selama 1 jam. Lumayan!
Terumbu Karang Kepulauan Seribu
Saat ini, kondisi terumbu karang di perairan Jakarta, khususnya Kepulauan Seribu kian hari kian mengkhawatirkan. Aktivitas manusia menjadi salah satu penyebab mengapa terumbu karang semakin terancam. Hal itu juga diperparah dengan fenomena pemutihan karang (bleaching) yang saat ini sedang terjadi.
Fakta membuktikan, setidaknya sejak tahun 1970-an terumbu karang di Kepulauan Seribu mulai rusak akibat maraknya pemboman untuk menangkap ikan. Kondisi karang juga terancam seiring tingginya sedimentasi, sampah dan limbah yang dibuang ke laut. Ditambah lagi, banyak perilaku wisatawan yang tidak ramah dengan menginjak karang.
Padahal tanpa terumbu karang yang sehat, hewan-hewan laut seperti aneka jenis ikan, kepiting, lobster, morea hingga gurita bakal kehilangan tempat tinggal. Hewan-hewan laut tersebut menjadikan terumbu karang sebagai tempat berlindung, mencari makan, hingga berkembang biak.
Sementara itu, laut yang merupakan tempat hidup terumbu karang memiliki peran sentral bagi kehidupan manusia. Laut merupakan penghasil oksigen terbesar di Bumi. Jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang oksigen yang dihasilkan oleh hutan hujan tropis. Laut juga menyediakan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan manusia.
Menyadari kualitas terumbu karang yang terus menurun, akibat beberapa faktor diatas, ditambah dengan naiknya suhu air laut akibat pemanasan global, maka sejumlah kampanye penyelamatan laut terus dilakukan. Hanya saja, tantangannya terletak pada opini publik yang melihat laut hanya sebagai hamparan air yang luas, tanpa pernah memahami peran dan fungsi ekosistem perairan bawah laut.
Bertemu Seniman Nyentrik
Adalah Yayasan Terumbu Rupa (YTR), sebuah organisasi nirlaba yang memiliki misi melakukan konservasi terumbu karang melalui media seni. YTR berusaha menggugah kesadaran publik untuk ikut peduli dan terlibat dalam upaya penyelamatan laut.
Lewat kepedulian itu, Yayasan Terumbu Rupa (YTR) akhirnya memperkenalkan konsep ARTificial Reef, sebuah karya seni yang berguna sebagai media transplantasi terumbu karang.
“YTR orientasinya lebih ke artifisial reef, menggunakan medium seni untuk kampanye. Kata “Rupa” sengaja dibuat untuk mewakili seni”, ujar Mira Tedja, pengurus Yayasan Terumbu Rupa.
Sementara itu, keberlangsungan Yayasan Terumbu Rupa (YTR) tak bisa dilepaskan dari peran seniman gaek bernama Teguh Ostenrik. Lewat karya-karyanya, Teguh sengaja hadir merespon masalah - masalah sosial. Pun persoalan lingkungan.
Karya-karyanya seringkali memunculkan unsur keunikan tersendiri; sebuah karya seni yang tidak hanya indah dipandang mata, namun dipersembahkan dalam konteks menantang konvensi seputar ruang pamer seni rupa. Salah satunya dengan mempersembahkan instalasi besi daur ulang bawah laut yang diberi judul ARTificial Reef.
“Tujuannya membuat terumbu karang buatan yang artistik, dimana art (seni)nya lebih dipentingkan daripada yang lain. Supaya dari hari pertama sudah menjadi atraksi dan orang akan melihat art-nya dulu.” ujar Teguh Ostenrik, seniman yang membuat instalasi bertema laut.
Keputusan membuat seni instalasi yang ditenggelamkan kedalam laut, bermula dari kecintaannya terhadap laut. Kecintaannya semakin membulat ketika ia menekuni hobi menyelam sekaligus aktif menjadi aktivis lingkungan bawah laut.
Kecintaannya itu ia tunjukkan lewat sejumlah proyek ARTificial Reef. Proyek pertama ia tunjukkan di karya berjudul “Domus Sepiae” yang diwujudkan di daerah Senggigi, Lombok pada tahun 2013.
“Saya bukan dekorator, saya seniman, binatang yang bisa berpikir. Saya ingin berbuat sesuatu untuk negara, khususnya lombok. Kemudian kami membuat presentasi dan diputuskan membuat artifisial reef. Art dibuat dengan huruf kapital”, ujar Teguh Ostenrik ketika saya mewawancarainya pada malam hari.
Kendati demikian, jauh sebelum proyek “Domus Sepiae” terwujud, seri instalasi seperti; “14 Stations of The Cross”, menggambarkan jalan salib Via Dolorosa di alam terbuka Tomohon, Sulawesi Utara, hingga patung monumental “Corpus Christ” untuk sebuah gereja di Cilangkap telah menarik perhatian para pemerhati seni di tanah air. Berkat karya-karyanya itu, Teguh diganjar sebagai ‘Artist of the Year in Visual Art Category’ oleh majalah Tempo pada tahun 2014.
“Saya tidak menyangka mendapat penghargaan itu dari Tempo, karena saya berkarya bukan untuk mengharapkan hadiah”, kata Teguh.
Sukses menghelat ARTificial Reef yang pertama, Teguh kembali menggagas acara serupa. Selanjutnya, pilihan jatuh pada Wakatobi, dimana proyek tersebut diberi nama“Domus Longus” berarti ‘Rumah Panjang’.
Seperti proyek ARTificial Reef sebelumnya, Domus Longus bertujuan mangambil peran sebagai advokasi bagi penyelamatan terumbu karang yang kian terancam, khususnya di daerah perairan Wakatobi, Sulawesi Selatan.
Kecintaan Teguh akan laut juga sengaja diwujudkan lewat seni instalasi, sebagai upaya mengingatkan manusia tentang pentingnya laut bagi kehidupan.
“Oksigen yang kita hirup, 60 persennya berasal dari laut, lebih banyak ketimbang hutan. Menurut scientist, pada tahun 2050, cucu anda akan hidup dengan oksigen mask. Betapa mengkhawatirkannya”, papar Teguh dengan ekspresi sedih.
Domus Musculi
Teguh Ostenrik yang juga pendiri Yayasan Terumbu Rupa (YTR) membuktikan seni mampu memasuki ruang lain seperti lingkungan laut. Seni dapat dinikmati melalui medium instalasi. Selanjutnya, karya terakhirnya disebut “Domus Musculi”.
ARTificial Reef “Domus Musculi” merupakan instalasi seni yang dibuat dari pipa dan plat besi berukuran 5 x 2.8 x 2 meter dan terdiri dari 3 bagian. Bagian itu ditempatkan pada kedalaman 3-7 meter di Pulau Sepa, Kepulauan Seribu dibantu beberapa relawan, termasuk saya.
Domus Musculi berarti Rumah Kerang. Simbol kerang dipilih sebagai pengingat bahwa Teluk Jakarta pernah terkenal sebagai penghasil kerang hijau sebelum tercemar aneka logam berat.
“Ya, saya memang sengaja memilih logo kerang, karena Teluk Jakarta memang dikenal sebagai penghasil kerang hijau. Sekaligus memberi identitas yang berbeda dengan ARTificial reef di tempat lain”, tutur Teguh.
Sebelumnya, pada Desember 2015, instalasi seni Domus Musculi ditempatkan di Pulau Pelangi, di kedalaman 5-12 meter. Pulau Pelangi sendiri letaknya berhadapan dengan Pulau Sepa. Namun karena sesuatu hal, Domus Musculi terpaksa dipindahkan ke Pulau Sepa, setelah 8 bulan lamanya berada di Pulau Pelangi.
“Saat itu, ada usulan meletakkan domus di Pulau Pelangi. Namun karena pengelola kurang akomodatif, akhirnya kita pindah ke Pulau Sepa”, ujar Ostenrik.
Cerita mengenai penenggelaman Domus Musculi di Pulau Pelangi telah saya dengar sebelumnya. Informasi mengenai hal itu pun ramai dimuat oleh media-media online. Sementara terkait pembuatan domus dibutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Untuk membuat Domus Musculi diperlukan dana sekitar 200 jutaaan. Dana itu tidak terlalu besar loh, untuk ukuran koorporasi”, ujar Teguh bersemangat.
Sama seperti karya-karya sebelumnya, melalui Domus Musculi, Teguh berusaha memberikan sesuatu kepada lingkungan. Ia ingin karyanya mampu mendekatkan masyarakat terhadap laut.
“Dengan memanfaatkan karya seni di laut, sebenarnya saya ingin meluhurkan laut, supaya kita tidak memunggungi laut lagi”, papar teguh.
Khusus penenggelaman Domus Musculi dilaksanakan oleh pengurus Yayasan Terumbu Rupa dibantu relawan pada Senin (23/8) hingga Rabu (24/8) lalu. Secara bertahap, beberapa bagian dari domus diangkat ke permukaan menggunakan jerigen yang berfungsi sebagai pelampung. Selanjutnya bagian domus tersebut diseret menggunakan kapal menuju Pulau Sepa.
Saat pengangkatan domus, cuaca sangat bersahabat. Kondisi itu membuat proses pemindahan tidak mengalami kendala yang berarti. Akhirnya tiga instalasi itu berhasil ditempatkan di sebelah kanan dermaga Pulau Sepa.
Uniknya, baru sehari ditempatkan di perairan Pulau Sepa, beberapa jenis ikan langsung mendatangi instalasi Domus Musculi. Ikan-ikan itu tidak terganggu dengan kehadiran para relawan yang menyelam.
“Gak menyangka, ikannya langsung datang ke terumbu karang buatan. Jumlahnya pun lumayan banyak”, ujar salah seorang relawan.
Instalasi Domus Musculi bukanlah akhir dari pembuatan ARTificial Reef di Kepulauan Seribu. Harapannya akan dibuat banyak instalasi serupa, sehingga karya itu akan menjadi rumah bagi biota laut dan akan memberikan manfaat kepada penduduk setempat.
“Nantinya, kaki-kaki dermaga akan kita digarap juga, sebagai ARTtificial Reef, mumpung ada solar cell. Nanti kita bikin macam-macam lalu ditempel”, ujar Teguh sumringah.
Ketika instalasi dipenuhi dengan biota laut, Ostenrik berharap semakin banyak orang menyadari potensi dan tanggung jawab menjaga lingkungan. Tentu saja, karena dampak kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia maupun dampak global warming terjadi begitu cepat, sehingga antisipasi harus dilakukan segera.
“Ini kesempatan yang bagus untuk membawa dampak yang positif terhadap lokasi setempat”, kata Teguh.
Berdayakan Solar Cell
Struktur instalasi Domus Musculi menggunakan metode Bio-Rock untuk mempercepat pertumbuhan coral. Caranya, instalasi dialiri listrik tegangan rendah untuk membentuk proses elektrolisa yang menarik mineral air laut menyelimuti struktur sebagai media koral bertumbuh.
Listrik tenaga rendah itu didapat dari panel surya yang setiap saat mengalirkan listrik, hasil dari penyerapan sinar matahari. Dengan teknologi ini pertumbuhan koral akan berlangsung 6-8x lebih cepat ketimbang proses normal.
“Kalo kita pake listrik kecepatan pertumbuhan karangnya 8 kali lipat. Kalo menggunakan metode alamiah, belum tentu koralnya langsung tumbuh”, kata Teguh.
Selain itu, dari beberapa kali percobaan, pilihan media terbaik bagi pertumbuhan karang adalah menggunakan besi pipa. Selain ringan, besi pipa juga media yang tepat bagi pertumbuhan karang dengan membentuk lapisan batu kapur sebagai media pertumbuhan koral.
“Dari beberapa kali percobaan, sepertinya yang paling berhasil dengan menggunakan pipa besi. Paling ringan, tidak berat dan mudah tertutup limestone”, pungkas Teguh Ostenrik.
Melalui proyek ARTificial Reef, Yayasan Terumbu Rupa dan Teguh Ostenrik ingin mengingatkan publik akan pentingnya pelestarian terumbu karang yang bukan hanya berperan sebagai habitat bagi banyak organisme laut, namun juga turut berkontribusi atas 70% suplai oksigen yang kita hirup. Sayangnya, akibat eksploitasi manusia, terumbu karang di Indonesia yang tersisa dalam keadaan baik tidak lebih dari 6% dari area seluas 87.500 km.
Sementara bagi saya, berpartisipasi memindahkan ARTificial Reef Domus Musculi sungguh sebuah pengalaman berharga. Saya jadi mengerti, seperti apa pembuatan terumbu karang menggunakan listrik yang berasal dari sinar surya, termasuk cara terbaik menempelkan bibit karang di terumbu buatan. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment