(Pejuang Kemerdekaan RI. Foto: Jacko Agun) |
“Indonesia tidak sempurna, namun layak diperjuangkan.”
— Pandji Pragiwaksono, Anak Muda Indonesia
Beberapa hari lalu, tepatnya sebelum peringatan HUT ke-71 Republik Indonesia bergelora di seluruh pelosok negeri, saya sudah berniat menulis sesuatu. Menorehkan catatan bertema seputar kemerdekaan, kebangsaan, nasionalisme atau tentang bagaimana bangsa ini memaknai hari jadinya yang terus meringsek maju. Namun apa daya, tak ada energi yang muncul, meskipun ide-ide di otak terus berkecamuk siap dihubungkan satu dengan yang lainnya.
Ibarat mahkluk hidup, 71 tahun merupakan waktu yang berbicara tentang kedewasaan. Sebuah kondisi dimana tingkat kematangan, baik psikis (kejiwaan) maupun usia tak diragukan lagi. Sebuah era, dimana aneka persoalan harus dihadapi dengan pendekatan yang berbeda.
Caranya, lewat pemaknaan, lewat pola pandang hingga mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki lalu mengarahkannya menggunakan perspektif peluang. Artinya, di kondisi apapun, peluang harus diciptakan agar bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin. Bukan dengan menyerah kalah atau mengutuki diri lalu bersungut-sungut.
Selintas, saya jadi teringat beberapa peristiwa penting, tepat sebelum peringatan kemerdekaan RI diperingati secara masal. Kejadian itu begitu cepat. Saking cepatnya, sempat membuat keriuhan di akar rumput, termasuk di kalangan pengguna media sosial.
Kita pasti masih ingat, ketika Presiden Joko Widodo memberhentikan secara hormat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar pada Senin (15/8/2016) malam. Dalam catatan saya, Arcandra merupakan menteri yang menjabat paling singkat, hanya selama 20 hari.
Arcandra Tahar ramai diperbincangkan karena diketahui memiliki paspor Amerika Serikat. Tak hanya itu, Arcandra juga memiliki dwikewarganegaraan. Padahal, Arcandra Tahar sempat ditunjuk dan dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggantikan Sudirman Said pada 27 Juli 2016.
Menurut saya, pilihan memberhentikan Arcandra merupakan pilihan tepat. Pasalnya, secara tegas Arcandra telah melanggar konstitusi, sehingga jika presiden tetap mempertahankannya, maka ia pun berpotensi melanggar konstitusi. Jika sudah melanggar undang-undang, maka Jokowi harus siap dengan konsekwensi jika harus lengser.
Lalu, ada kisah Gloria Natapraja Hamel, pemudi 16 tahun yang akhirnya tidak jadi dikukuhkan sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) oleh Presiden Jokowi karena ketahuan memiliki paspor Prancis.
Kasus Gloria menjadi unik, karena sebelumnya (baca: 26 Juni) nama Gloria sempat diumumkan masuk dalam 68 anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka yang bertugas pada upacara HUT ke-71 RI. Ia juga telah melewati serangkaian proses seleksi yang panjang, mulai dari sekolah, tingkat kota hingga provinsi.
Sayangnya, beberapa hari menjelang peringatan hari kemerdekaan, nama Gloria dicoret karena diketahui menyalahi aturan. Gloria dianggap bukan WNI berdasarkan UU kewarganegaraan. Maklum, Peraturan Menpora No. 0065/2015 mensyaratkan jika pasukan paskibraka adalah WNI.
Gloria pun digugurkan dari Paskibraka, ketika 67 anggota Paskibraka lainnya dikukuhkan Presiden Jokowi di Istana Negara, pada Senin (15/7/2016). Saat itu, Gloria hanya bisa terduduk lesu di asrama PP PON Cibubur.
Beruntung, kesedihannya tidak berlangsung lama. Usai bertemu presiden dan wakil presiden, Gloria akhirnya diizinkan sebagai penjaga gordon, yang bertugas di belakang podium utama tempat Presiden dan Wakil Presiden serta tamu undangan berada.
Meski tidak bertugas sebagai tim penurunan bendera pusaka, kehadiran Gloria yang mengenakan seragam Paskibraka lengkap menyedot bukan saja perhatian masyarakat, tetapi juga tamu undangan yang hadir. Pada kondisi ini, Gloria akhirnya bisa tersenyum lega.
Selanjutnya, ada kisah menarik tentang keberhasilan ganda campuran badminton Indonesia, Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad yang merebut medali emas di Olimpiade Rio, bertepatan dengan HUT ke 71 RI.
Menurut saya, peristiwa itu bukan sebuah kebetulan. Sebuah gebrakan kecil tentang pencapaian luar biasa yang berhasil ditorehkan oleh putra-putri terbaik bangsa. Pencapaian itu menjadi kado terindah bagi Indonesia yang memang sedang berulang tahun.
Lagu Indonesia Raya akhirnya berkumandang usai Liliyana-Tontowi menang dua set mengalahkan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon dan Goh Liu Ying. Selain prestasi maksimal, kerja tim yang mereka tunjukkan memberi arti mendalam tentang toleransi yang sesungguhnya di dunia olahraga Indonesia.
Dunia telah melihat seperti apa toleransi versi Indonesia, ketika atlet yang Muslim dan Katolik bersatu membela merah putih. Dalam pertarungan sengit itu, mereka bahu membahu, berjuang bersama, saling mendukung dan berupaya menutupi kelemahan masing-masing.
Tidak ada permusuhan. Tidak ada kebencian diantara mereka. Yang muncul adalah kerjasama, dan rasa percaya diri wujud dari toleransi, persatuan, perjuangan, dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Tak hanya itu, saya dibuat terkesiap, ketika Tontowi (baca: disapa Owi) menyebut ''Cik Butet tenang aja, jaga di depan’'. Kalimat itu diucapkan Owi sebagai strategi untuk memenangkan pertandingan.
Dialog sederhana itu sangat berarti buat saya. Pasalnya, percakapan itu mengandung pesan tentang kerjasama dan simbol keberagaman yang sejati. Karena itu, ketika hari ini masih ada pihak yang mengedepankan perbedaan, menganggap dirinya paling benar hingga membuat jarak dengan yang lain, itu artinya mereka belum merdeka.
Tentu saja, karena setiap warganegara memiliki kedudukan yang setara di mata hukum untuk berjuang demi kemajuan Indonesia, tanpa memandang perbedaan suku, ras maupun agama.
Mesakke Bangsaku
Jika sebelumnya, saya bercerita tentang peristiwa unik yang terjadi jelang peringatan kemerdekaan Indonesia, maka khusus di bagian ini, saya akan berbagi tentang kisah yang tak kalah seru.
Kisah itu saya dapatkan dari grup Whatsapp alumni kampus. Seperti biasa, banyak anggota grup yang menebar postingan atau sekedar berkomentar tentang topik bertema kemerdekaan. Dari sekian banyak postingan, satu yang menarik adalah ketika video berdurasi 3 menitan dari Pandji Pragiwaksono di share oleh seorang senioren.
Oh ya, pastinya semua udah kenal Pandji, kan? Pandji Pragiwaksono merupakan anak muda Indonesia yang multitalenta. Beragam profesi digelutinya dalam rentang waktu hidupnya, mulai dari MC, penyiar radio, penulis buku, stand-up comic, hingga aktor. Tak hanya itu, Pandji juga mampu nge-rap dengan baik loh!
Video yang merupakan dokumentasi ketika Pandji berada San Francisco (Amerika Serikat) itu bercerita tentang Indonesia yang menurutnya layak tuk diperjuangkan. Mengapa? Karena Indonesia merupakan bangsa besar yang berlimpah kekayaan sumberdaya alamnya.
Video itu sendiri dibuat pada tahun 2015. Saat itu, Pandji melakukan tur stand-up show keliling dunia. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi 7 negara dengan 11 kota yang mewakili 5 benua.
Kota-kota itu adalah Singapura (Asia), Melbourne, Adelaide, Brisbane (Australia), London, Berlin, Amsterdam (Eropa), Guang Zhou, Beijing (Tiongkok), Los Angeles, dan San Francisco (Amerika Serikat).
Video pendek itu merupakan bagian dari seni pertunjukan yang mengangkat tema “Mesakke Bangsaku”. Jika diartikan, Mesakke Bangsaku (baca: bahasa Jawa) artinya Menyedihkannya Bangsaku.
Meski judul acaranya “Mesakke Bangsaku”, bukan berarti Pandji mendiskreditkan Indonesia. Justru sebaliknya. Lewat kemampuan verbalnya yang sangat baik, Pandji mampu mengubah cara pandang orang-orang tentang Indonesia. Melalui kepiawaiannya dalam mengolah kata, Panjdi membuat siapapun yang mendengarnya menjadi sepakat, bahwa Indonesia merupakan bangsa besar yang selayaknya diperjuangkan. Dijaga dan dipelihara hingga kapanpun. Hingga tetes darah penghabisan.
Diantara sederet seniman “stand-up comedy” yang dimiliki Indonesia, banyak yang menyebut Pandji Pragiwaksono salah satu yang terbaik. Jika melihat kemampuannya meramu ide dan menyampaikannya dengan cara yang sederhana, saya pun mengamininya, meskipun wajahnya gak tampan-tampan amat.
Lewat pertunjukkan stand-up comedy-nya, Pandji mencoba menggugah penonton tentang berharganya Indonesia yang didiami oleh ribuan suku, dari Sabang hingga Merauke.
“Saya ingin menumpahkan kegelisahan, pengalaman dan unek-unek yang ada di diri saya tentang Indonesia di panggung internasional”, ujar Pandji soal Mesakke Bangsaku di salah satu laman berita online.
Layak Diperjuangkan
Bagi saya, Indonesia memang luar biasa. Luar biasa karena memiliki beragam suku, bahasa daerah, hingga kebudayaan, namun mampu menyatu dan saling menghargai satu sama lain. Sebuah pembeda yang tidak dimiliki oleh banyak negara di dunia.
Oh ya, sebagai informasi, saat ini Indonesia memiliki 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 742 bahasa, berbagai agama/kepercayaan serta budaya. Dengan data itu, Indonesia memang sangat kaya, bukan?
Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki pesona alam yang menakjubkan. Khusus soal bentang alam yang mempesona, rasanya tak terbantahkan. Semua orang mengakuinya. Pun, para wisatawan mancanegara yang sempat mengunjungi Indonesia.
Saya masih ingat, betapa terkagum-kagum dengan keindahan terumbu karang Wakatobi, ketika menyelam pertama kali disana. Aneka jenis terumbu karang membuat saya betah dan ingin berlama-lama. Maklum, saya tidak pernah melihat keindahan yang seperti itu, sebelumnya.
Hal yang sama juga saya alami saat menyelam di Komodo. Meski arusnya cukup kencang, keindahan bawah lautnya tetap membuat saya takjub. Takjub dengan kejernihan lautnya dan bersih dari sampah.
Atau, ketika saya menyambangi Rajaampat, Papua Barat. Aneka jenis terumbu karangnya siap memanjakan mata. Pun, beragam jenis ikan hidup disana. Uniknya lagi, dari sekian banyak spot menyelam di Indonesia, Rajaampat merupakan tempat yang paling cepat mengalami pemulihan ketika bleaching (baca: pemutihan karang) terjadi. Karena itu, Rajaampat jadi berbeda.
Dengan semua keindahan itu, rasanya benar apa yang dilontarkan Pandji Pragiwaksono lewat video stand-up comedynya.
“Indonesia itu gak jelek, namun tak sesempurna yang disampaikan di buku - buku pelajaran.”
Ya, Indonesia memang tidak jelek-jelek amat, hanya saja dikelola dengan cara yang buruk. Maklum, sejak lama, para penguasa dan elit lebih mementingkan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Sementara kepentingan publik, ups..., nanti dulu.
Buktinya, Papua tetap tertinggal. Buktinya pendidikan di daerah-daerah masih mahal dan pembangunan infrastruktur sangat terbatas. Belum lagi, kesenjangan di berbagai sektor sangat terasa.
“Indonesia is not a poor a country. Its a rich country, poorly manage”, ujar Pandji menegaskan.
Lalu, ketika mengetahui Indonesia tidak sempurna, maka kesadaran baru muncul. Kesadaran yang terus bergerak maju untuk melakukan perubahan. Perubahan yang dimulai dengan sebuah langkah kecil.
Harapannya, perubahan itu akan mampu membereskan berbagai persoalan yang dialami bangsa ini. Lewat kerja nyata, lewat aksi bersama di semua bidang. Inilah saatnya melupakan paradigma lama yang menyebut; penyelesaian masalah merupakan domain dan tugasnya pemerintah semata. Pola pandang itu keliru dan harus diubah, karena menyelesaikan persoalan juga merupakan tanggungjawab bersama.
Mengapa? Jawabnya karena kita berada di negara yang sama. Kita berpijak di bumi yang sama. Kita hidup dari udara yang dihirup bersama. Kita tidak sedang berada di posisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Selain itu, semakin jauh dari Indonesia, biasanya kecintaan akan tanah air muncul dengan sendirinya. Saya masih ingat, ketika seorang teman mengaku sangat mencintai Indonesia, hanya kerena tidak menemukan sambal, ketika di luar negeri .
Atau, ketika seorang teman yang lain mengaku makin cinta Indonesia, karena gak sanggup hidup di musim dingin yang sangat menyiksa. Menurutnya, hidup di Indonesia itu surga.
Sementara bagi Pandji yang telah menjejakkan kaki ke banyak lokasi di dunia, mulai dari tembok Cina, tembok Berlin, Hollywood, hingga mendatangi jam Big Band di London, semua tempat itu tak kan mampu menandingi kecintaannya akan Indonesia.
“Banyak yang tidak kita anggap, seperti suara penjual kue putu tengah malam, handalnya tukang ojek, suasana pasar kaget dengan aroma yang membahana, semua itu sangat Indonesia. Itu yang membuat saya tidak bisa lupa”, ujar Pandji.
Kelebihan yang dimiliki Indonesia membuat saya berpikir, kira-kira siapa yang sejatinya berhak menyandang “title” Indonesia. Apakah mereka yang lahir dan besar di Indonesia atau mereka yang datang belakangan lalu terkagum-kagum dengan Indonesia?
Sementara itu, baru-baru ini kita dihebohkan dengan peristiwa, dimana seorang menteri akhirnya dicopot dan seorang pemudi tidak dilantik menjadi anggota Paskibraka hanya karena paspor mereka. Adakah paspor mampu menilai kadar ke-Indonesiaan seseorang?
Saya lalu teringat Eduard Douwes Dekker, pemegang paspor Belanda, yang setia menulis tentang penderitaan rakyat Indonesia akibat penindasan Belanda, sehingga sistem tanam paksa akhirnya dihapus.
Atau, kepedulian Laksamana Maeda pemegang paspor Jepang, yang membuka rumahnya untuk perumusan naskah proklamasi dan anak buahnya menjaga pelaksanaan proklamasi 17 Agustus 1945. Peran Maeda tak bisa dilepaskan dari proses kemerdekaan Indonesia.
Tokoh-tokoh itu membuktikan, jika mereka “lebih Indonesia” ketimbang kita yang lahir di tanah ini. Mereka telah jatuh hati dengan bangsa ini, lalu memberi sumbangsihnya sesuai kemampuan yang mereka bisa.
Lalu, jika dikaitkan dengan filosofi cinta tanah air, maka jawabnya bisa kita temukan di lagu “Tanah Airku” ciptaan Ibu Soed. Menurut saya, lagu itu sangat tepat untuk membangkitkan semangat kecintaan akan tanah air Indonesia. Gak percaya? Coba nyanyikan secara perlahan dengan penuh penghayatan.
"...walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai dikata orang
tetapi kampung dan rumahku
di sanalah kurasa senang
tanahku takkulupakan
engkau kubanggakan..."
Sejujurnya, syairnya sangat sederhana namun penuh makna. Setiap kita yang mencintai tanah kelahiran akan sadar betapa berharganya kampung halaman. Lalu, kita akan mengucap syukur karena memiliki tanah air yang luar biasa.
Terlebih bila kita bandingkan dengan bangsa lain yang sibuk berperang mempertahankan tanah airnya. Atau, ketika ada banyak warga sebuah negara harus rela mengungsi ke negeri lain demi menghindari perang. Kita tentu jauh lebih beruntung.
Karena itu, saya sangat bersyukur memiliki Indonesia. Bersyukur ketika Indonesia masih bisa merayakan hari kemerdekaannya yang ke-71. Saya juga bersyukur masih bisa hidup dan besar di Bumi Indonesia, meskipun Indonesia bukanlah negara yang sempurna. Seperti celoteh Pandji Pragiwaksono, Indonesia memang tak sempurna, kawan, tapi dia layak diperjuangkan. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment