Saturday, October 08, 2016

Ramanujan dan cinta yang bergelora

(Srinivasa Ramanujan, ahli matematika asal India. Sumber: www.ramanujanitcity.com)
While asleep, I had an unusual experience. There was a red screen formed by flowing blood, as it were. I was observing it. Suddenly a hand began to write on the screen. I became all attention. That hand wrote a number of elliptic integrals. They stuck to my mind. As soon as I woke up, I committed them to writing.
-Srinivasa Ramanujan

Kemarin malam, disela-sela waktu yang terbatas, saya menyempatkan diri menonton The Man Who Knew Infinity di internet. Selidik punya selidik, film berdurasi 1 jam 48 menit itu ternyata baru dirilis pada 29 April lalu. Artinya, film tersebut masuk kategori fresh alias film baru, demikian akal sehat saya membagi sebuah film berdasarkan waktu rilisnya.

Bagi sutradara, Matthew Brown, film The Man Who Knew Infinity merupakan “biopic” tentang tokoh bernama Srinivasa Ramanujan, ahli matematika asal Madras, India yang akhirnya bergabung dengan Trinity College Cambridge pada Perang Dunia I, lewat anjuran GH Hardy, seorang berpengaruh di universitas itu.

Biopic sendiri merupakan film biografi, sebuah genre film yang menampilkan sekuen kejadian dari kehidupan seorang tokoh. Biasanya, biopic menggambarkan kehidupan subjek dengan menggunakan nama asli. Tak heran jika tokoh di film The Man Who Knew Infinity menggunakan nama asli, Srinivasa Ramanujan.

Menurut saya, The Man Who Knew Infinity merupakan film yang sangat berbeda, karena mampu menampilkan kekuatan matematika sebagai bahasa universal yang bisa dipahami semua ilmuwan, termasuk dari bangsa yang berbeda. 

Berdasarkan informasi di dunia maya, saya mengetahui jika Srinivasa Ramanujan yang lahir pada 22 Desember 1887 berhasil menemukan konsep baru dalam dunia matematika. Uniknya, teorinya tidak semuanya berasal dari cara-cara yang umum. Kebanyakan konsep itu ia dapatkan lewat pemikiran mendalam dan juga mimpi. 

Biasanya, saat terbangun, Ramanujan langsung menuliskan rumus yang ia ingat diatas kertas. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah formula bilangan tak terhingga (baca: infinity) dari Pi. Bilangan tak terhingga itu menjadi pelengkap identitas seorang Ramanujan, sehingga kisahnya kemudian difilmkan dengan judul The Man Who Knew Infinity.

Ternyata, jauh sebelum formula bilangan tak terhingga dirumuskan, Ramanujan telah melakukan kajian matematika secara mendalam. Salah satunya tentang deret hipergeometrik yang mendalami relasi antara deret dan integral yang kemudian dikenal sebagai deret 1/n. 

Kemampuan matematikanya juga terasah saat melakukan perhitungan konstanta Euler hingga mencapai ketelitian 15 desimal. Pada masa itu, tak banyak ilmuwan mampu melakukannya secara detil. Tak hanya itu, ia juga belajar tentang bilangan Bernaoulli, sebuah cara untuk menentukan jari-jari kelengkungan datar. Termasuk menyelidiki sifat-sifat kurva cotangent, kurva datar derajat tinggi dan penemuan kurva isochrones. Belakangan penyebutannya dikenal dengan istilah integral dalam kalkulus.

Selain itu, Ramanujan juga memahami fungsi ellips dan persamaan modularnya dengan baik, sehingga formulanya diterbitkan dalam Journal of the Mathematical Indian Society

Kecerdasan Ramanujan mulai menemukan titik terang, saat ia bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan. Karena pekerjaannya masih berkaitan dengan matematika, Ramanujan sempat menulis sebuah karya yang berjudul On the Distribution of Primes di tahun 1913.

Jurnal ilmiah yang ditulis Ramanujan mengundang ketertarikan seorang profesor lulusan Inggris. Karya tersebut dikirim sang profesor ke koleganya di London College. M Hill salah satu penerima jurnal Ramanujan tidak mengerti tentang penjelasan yang membahas tentang deret hipergeometrik. 

Pada tahun 1913, Ramanujan mengirimkan karyanya yang lain berjudul Orders of Infinity kepada GH Hardy, pemikir dari Trinity College Cambridge. Setelah mempelajari tentang teorema yang dikirim, profesor Hardy sangat tertarik karena perhitungan yang dilakukan Ramanujan sangat berbeda. Profesor Hardy lalu mengusulkan Ramanujan memulai pendidikan formalnya di universitas bergengsi itu. Untuk mencukupi kebutuhannya, Ramanujan berhasil memperoleh beasiswa.

Ramanujan akhirnya lulus dari Cambridge dengan gelar Bachelor of Science. Riset untuk kelulusannya terkait teorema barisan tak hingga, teori angka, dan pecahan berkelanjutan yang diselesaikannya pada tahun 1916. 

Dua tahun berselang Ramanujan diusung menjadi anggota Cambridge Phylosipical Society. Kemudian, ia juga dinobatkan menjadi anggota Royal Society di London, sebuah organisasi cendekiawan bergengsi dan terkemuka di Inggris. Di tahun yang sama, Ramanujan juga terpilih sebagai bagian dari Trinity College.

***
Kisah Ramanujan yang diangkat ke layar kaca sejatinya terinspirasi dari buku The Man Who Knew Infinity: a Life of the Genius Ramanujan, karya Robert Kanigel yang terbit di tahun 1991. 

Usai membaca buku tersebut, Matthew Brown sang sutradara yang juga berperan sebagai penulis naskah, tertarik memvisualisasikannya kedalam format film layar lebar. Brown lalu mengajukannya ke beberapa produser film, seperti Sofia Sondervan dan Jim Young. 

Kejadian itu sendiri bermula sekira 10 tahun lalu. Sebuah waktu yang cukup lama bagi penggarapan sebuah film. Sebuah korbanan yang sangat nyata untuk menghasilkan film berkualitas.

"Ini memakan waktu 10 tahun dalam pembuatannya. Hal itu sesuatu yang sulit dipercaya bagi seseorang yang benar-benar telah melihat filmnya," ujar Brown, ketika wartawan menanyakan waktu pembuatan The Man Who Knew Infinity.

Ternyata, upaya Brown mewujudkan idenya itu tidak mudah. Banyak sponsor menolak berpartisipasi untuk membantu pembiayaan. Brown mengalami kesulitan menemukan sponsor yang tepat di filmnya karena jalan cerita yang unik dan pengerjaannya membutuhkan 2 lokasi berbeda, yakni India dan Inggris.

Tapi untungnya, Jim Young, Edwarrt R. Preesman, John Katz dan Joe Thomas bersedia bergabung. Mereka menawarkan diri membantu film tersebut dan didapuk sebagai produser beberapa tahun lalu. 

Secara perlahan pembuatannya dimulai, hingga akhirnya bergerak maju. Pemeran utama Srinivasa Ramanujan pun didaulat kepada Dev Patel, bintang Slumdog Millionaire, Chappie, The Best Exotic Marigold Hotel dan serial HBO The Newsroom yang kemampuan aktingnya tidak diragukan lagi.

Meski memiliki postur yang berbeda dengan Ramanujan asli, penjiwaan Dev Patel di film itu patut diacungi jempol. Patel mampu memerankan Ramanujan dengan baik. Terlihat dari gerak dan ekspresi wajahnya yang natural.

"Salah satu yang terpenting bagi saya adalah ia memiliki sisi yang lebih ringan. Dia telah ditempa melalui begitu banyak film dan Dev memiliki kualitas yang hebat," kata Brown.

Melalui komunikasi yang intens, Patel dan Brown mendiskusikan secara rinci skenario yang diinginkan selama lebih dari setahun. Ide-ide Patel juga yang membuat film itu memiliki pesan yang kuat, tentang kegigihan seorang Ramanujan yang minoritas.

Selain kehadiran Dev Patel, film The Man Who Knew Infinity juga dimeriahkan dengan kepiawaian aktor Jeremy Irons yang berperan sebagai G.H. Hardy. Film itu sendiri, menurut saya dimulai dari perspektif profesor Hardy, ketika pada menit-menit awal Hardy menjelaskan secara sederhana, siapa itu Srinivasa Ramanujan dan mengapa ia berbeda.

Proyek film yang pengerjaannya membutuhkan waktu selama 10 tahun itu akhirnya kelar juga. Lewat kerja keras tanpa henti, kisah Ramanujan berhasil masuk festival film bergengsi di Toronto, Kanada, --Toronto International Film Festival--, pada 17 September 2015. Secara resmi, disitulah pertama kali film The Man Who Knew Infinity diputar. Baru kemudian dirilis secara umum di bioskop-bioskop di Amerika Serikat pada 29 April 2016.

***
Kisah The Man Who Knew Infinity semakin menarik ketika Dev Patel mampu memerankan Srinivasa Ramanujan secara utuh, lengkap dengan kesahajaannya. Termasuk ketika kisah romantis antara Ramanujan dan istrinya yang ternyata tak berjalan mulus ditampilkan dengan baik. Tak heran, jika saya menyebut film ini sebagai salah satu kisah romantis terbaik yang pernah ada.

Bagi saya, ditengah kompleksitas dunia matematika yang dipikirkan dan diterjemahkan Ramanujan melalui serangkaian rumus yang bakal membuat dahi penonton mengernyit, ternyata ada sisi manusiawi yang menarik untuk dicermati.

Sisi kemanusiaan itu terlihat jelas, ketika Ramanujan harus berpisah dengan istrinya dalam kurun waktu yang lama. Tepatnya, ketika Ramanujan harus berangkat ke Inggris untuk bertemu profesor Hardy yang kemudian menjadi mentornya.

Menurut saya, tak banyak orang yang mampu melakukan itu. Meninggalkan istri tercinta demi sesuatu yang sejatinya belumlah jelas hasilnya. Pasalnya, apa yang diinginkan Ramanujan ternyata berbeda dengan keinginan profesor Hardy yang memintanya menuntut ilmu secara formal di Universitas Cambridge. Sementara tujuan awal Ramanujan adalah meminta pihak Cambridge menerbitkan jurnal yang berisi teori-teori terbarunya tentang matematika.

Kecintaan Ramanujan terhadap matematika, kadangkala membuatnya lupa dengan sekeliling. Sampai-sampai, sang istri sempat berujar, jika Ramanujan lebih mencintai angka ketimbang manusia.

Namun, semua itu pupus takkala berada di tanah seberang. Ramanujan merasa kesepian dan kosong. Kerinduannya akan sosok sang istri tak terbendung. Ia lalu menuliskan surat berisi kerinduannya, juga tentang pengalamannya selama belajar di Inggris, termasuk dengan penerbitan jurnal ilmiahnya.

Surat-surat itu berhasil diterima sang istri. Namun sayang, saat membuat surat balasan, surat itu tak kunjung dikirimkan. Ternyata ibu Ramanujan yang dititipi surat, tak mengirimkan surat tersebut. Sang ibu menilai Ramanujan tak membutuhkan surat dari istrinya. Ia lalu mengumpulkan setiap surat yang dibuat kedalam boks dan menyembunyikannya di bawah lemari.

Seiring surat balasan yang tak kunjung tiba, sang istri berkesimpulan, Ramanujan telah melupakannya. Mungkin pula Ramanujan telah berpaling ke wanita lain. Beruntung pikiran itu tak bertahan lama, ketika di suatu hari yang kering, surat Ramanujan terbaru tiba-tiba muncul di depan pintu.

Saat menulis surat itu, Ramanujan sedang sakit. Ia divonis menderita TBC oleh dokter, sebagai akibat dari pola hidup yang tidak sehat. Maklum, selama tinggal di Cambridge, Ramanujan tak mendapat asupan gizi yang cukup. Hal itu terjadi, karena makanan yang ditawarkan kampus kebanyakan bermenu daging sapi, sementara Ramanujam seorang vegetarian. Akhirnya Ramanujam harus memasak sendiri menu makanan ala kadarnya.

Perjuangan Ramanujan tentunya tak mudah. Selama berada di kampus, Ramanujan tidak memiliki teman dekat, selain profesor Hardy. Kendati akrab, Ramanujam tak pernah membocorkan informasi bahwa ia telah memiliki istri yang setia menunggunya di Madras, India.

Selain itu, berkecamuknya Perang Dunia I turut andil membuat kehidupan Ramanujan berada di titik nadir. Kondisi itu diperkuat dengan hilangnya kontak dengan sang istri, serta vonis tubercolosis yang dideritanya. Alasan itu membuat Ramanujan memilih jalan pintas. Ia berniat mengakhiri hidupnya. 

Ramanujan lalu pergi ke pusat kota. Disana ia memilih stasiun kereta untuk melaksanakan aksi bunuh dirinya itu. Namun sayang, saat hendak melakukannya, masinis yang melihat gelagatnya, buru-buru menghentikan laju kereta. Akibatnya, upaya bunuh diri gagal terlaksana.

Dalam kondisi buruk, Ramanujam akhirnya dibawa kembali ke dalam kampus. Disana ia mendapatkan perawatan maksimal. Ketika kesehatannya membaik, Ramanujan membangun kembali kepercayaannya terhadap profesor Hardy yang beberapa waktu terakhir sempat renggang.

Di saat itulah hubungan keduanya mulai membaik. Termasuk, ketika Ramanujan bercerita tentang penyebab kegundahan dan ikhwal penyakitnya. Ramanujan mengakui jika ia rindu bertemu sang istri. Mendengar itu profesor Hardy terhenyak. Diam.

Selain soal kerinduan terhadap sang istri, yang menurut saya jadi salah satu kritikal poin di film The Man Who Knew Infinity, pelajaran tentang perpaduan dua budaya, dua keyaknian dan pola pandang, antara Inggris dan India juga menarik untuk disimak.

Pasalnya, film itu mampu menjelaskan bagaimana profesor Hardy yang ateis, mampu mempercayai Ramanujan, seorang keturunan Tamil Nadu yang taat beragama. Hubungan Hardy dan Ramanujan yang berbeda keyakinan ternyata memiliki rasionalitas yang sama dalam matematika.

Ingatan Ramanujan yang kuat dan pisau analisisnya yang tajam membuatnya mampu menawarkan pendekatan matematika dengan cara berbeda. Selain itu, intuisinya juga turut andil membuat gagasan-gagasan cemerlangnya muncul.

Profesor Hardy lalu tergelitik menanyakan, dari mana gagasan matematika itu berasal. Dengan lugas, Ramanujan menyebut jika ide brilian itu muncul dari langit. Begitu saja.

Ramanujan menegaskan, ketika berpikir tentang matematika, pola-pola itu muncul dalam penglihatannya dan semua itu tak lebih dari pemberian yang diturunkan oleh Dewi Namagiri untuk menyingkapkan rahasia tertentu. 

Tak seorang pun memahami penjelasan Ramanujan ketika itu. Namun ketika ia menceritakannya kepada profesor Hardy, dengan antusias profesor yang ateis itu mendengarkan. Ia lalu percaya, ide-ide brilian bisa muncul lewat mimpi.

Saat penyakit yang diderita Ramanujan semakin parah, profesor Hardy tetap mengusahakan agar ia bisa diterima menjadi salah satu anggota Trinity College di Universitas Cambridge.

Sayang, meski akhirnya permohonan keanggotaan Ramanujan dipenuhi, penyakit yang diderita dan rindu tebal terhadap sang istri, memaksanya harus kembali ke India. 

Setahun pasca-kepulangannya, Ramanujan akhirnya meninggal akibat TBC yang tak kunjung sembuh. Ramanujan berpulang di usia 32 tahun, pada 26 April 1920. Ia pergi meninggalkan warisan intelektual yang menginspirasi dunia matematika, seperti: teori bilangan, barisan tak hingga, dan pecahan berkelanjutan. 

Banyak ilmuwan memuji pendekatan Ramanujan yang tidak biasa dalam memecahkan persoalan. Ramanujan kemudian dikenal sebagai salah satu ahli matematika yang berpengaruh dari India.

Di hari-hari terakhirnya, Ramanujan sempat menuliskan fungsi-fungsi matematika dalam surat terakhirnya kepada profesor Hardy. Dalam surat itu, Ramanujan menjelaskan sejumlah fungsi matematika baru yang belum pernah diketahui, beserta kemajuan yang sudah ia capai mengenai fungsi-fungsi itu. 

Beberapa dekade kemudian, para matematikawan membuktikan jika teori terbaru Ramanujan benar dan bahwa formulanya ternyata mampu menjelaskan perilaku lubang hitam. Sebuah pencapaian tertinggi yang berhasil ditemukan melalui rumus matematika.

Terlepas dari kelemahan yang dimiliki Ramanujan, film The Man Who Knew Infinity memberi pelajaran berharga, bagaimana seorang jenius harus tetap berusaha membuktikan keberadaannya. Berjuang hingga akhir, tak mengenal lelah.

Atas jasa-jasanya, pemerintah India akhirnya mengakui sumbangsih Srinivasa Ramanujan di dunia pengetahuan, khususnya matematika. Sebagai bukti penghormatan, pemerintah India menerbitkan sebuah perangko dengan foto Ramanujan. Perangko itu diterbitkan tepat pada usianya ke 75, dan tentu saja Ramanujan sudah wafat ketika perangko itu diterbitkan. (jacko agun)

2 comments:

  1. Buset dah mas. Sampe segitunya cerita begitu mendetail. Bagus banget yah mas? Jadi pengen nonton saya. Makasih lo udah sharing.

    ReplyDelete
  2. Boleh jgha nhe alur ceritanya

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN