Sunday, October 02, 2016

Bukan Sekedar Kata "Maaf"

(Ilustrasi 1965. Sumber: www.indeksberita.com)

“History repeats itself, first as tragedy, second as farce.”
- Karl Marx 

Baru saja, tanggal 30 September berlalu. Sebuah tanggal yang menjadi catatan kelam dalam sejarah bangsa ini. Tanggal yang dianggap keramat, sehingga membicarakannya pada masa itu (baca: tahun 1965) bisa berbuntut panjang. Takut dianggap terlibat dengan Gerakan 3o September (G30S) yang katanya didalangi PKI, meskipun pembuktiannya masih sumir.

Tahun ini menjadi peringatan ke-51 terjadinya peristiwa G30S yang telah membawa penderitaan besar bagi warga negara Indonesia. Bagi mereka yang dituduh terlibat PKI sehingga harus dibunuh atau berujung pada pemenjaraan tanpa proses peradilan. Pun tak sedikit yang harus di buang ke Pulau Buru.

Uniknya, hingga kini, buntut dari persoalan itu tak pernah usai. Negara yang dianggap bertanggungjawab tak kunjung memberi kata “maaf” kepada korban dan keluarganya, padahal pelanggaran HAM berat nyata terjadi.

Banyak yang menyebut, permintaan maaf kepada korban oleh pemerintah atas nama negara merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai upaya melindungi warga negara. 

Beberapa penyintas (baca: korban selamat) yang masih hidup sangat menantikan perhatian pemerintah. Tedjabayu Sudjojono, salah satunya. Aktivis organisasi pemuda CGMI yang ditangkap Oktober 1965 itu tidak menginginkan kejadian di masa lalu terulang kembali.

"Saya tidak berharap banyak. Meski teman-teman mengharapkan kompensasi ganti rugi. Hanya satu syaratnya, pemerintah minta maaf, bahwa itu ada kompensasi itu nanti dulu. Kalau tidak minta maaf dan bahkan menghukum mereka, bagi saya tidak masuk akal, karena nanti akan membangkitkan dendam dan saya tidak setuju itu", ujar Tedjabayu yang harus rela menghabiskan masa mudanya di Pulau Buru.

Sementara bagi Yadiono (79), yang ditangkap karena dituduh menjadi anggota PKI mengatakan pemerintah tidak perlu minta maaf. 

"Untuk apa minta maaf? Kembalikan nama baik kami. Tidak ada guna minta maaf, kami ini tidak salah dibuang tanpa pernah diadili bagaimana dengan hukum di negara ini."

Lain lagi cerita Deborah Sumini yang dituduh Gerwani. Saat menjalani pemeriksaan, ia harus menerima perlakuan tak manusiawi, seperti ditelanjangi, dicolok puntung rokok hingga dialiri listrik. Tak hanya itu, Sumini juga harus merelakan kakinya diinjak ketika diletakkan di bawah kaki meja.

“Inilah yang sekarang saya minta kepada pemerintah: saya tidak tahu-menahu soal G30S, saya tidak salah, kenapa saya diperlakukan sedemikian rupa. Semoga rencana permintaan maaf oleh Presiden Jokowi itu bisa diimplementasikan”, pinta Sumini.

Adapun Supardi (75), eks seniman Lekra, calon relawan konfrontasi dengan Malaysia pada 1964, meminta adanya proses hukum terhadap para pelaku yang membuatnya mendekam cukup lama di Pulau Buru. Saat itu Supardi dipaksa mengaku mengetahui latar peristiwa G30S, meski ia memang tidak mengetahuinya. 

“Andaikata Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada korban 1965, itu belum berarti masalahnya selesai, sebelum ada kejelasan tentang rehabilitasi nama baik saya. Juga kenapa orang tidak bersalah ditahan", kata Supardi yang sempat dibuang ke Pulau Buru selama 8 tahun.

Kisah Sudjijato, bekas anggota TNI angkatan darat, berpangkat Sersan Dua juga tak kalah miris. Ia ditangkap pada 1967 usai pulang dari operasi Dwikora di Kalimantan. 

Sudjijato menilai pengembalian nama baik itu sangat penting, karena ia dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses hukum pada 1967. Sudjijato lalu dibebaskan pada 1974 dan masih dikenai tahanan rumah dan wajib lapor selama satu tahun.

“Saya setuju dan menunggu pembuktian rencana permintaan maaf Presiden Joko Widodo kepada eks tapol 1965. Tetapi permintaan maaf itu harus ditindaklanjuti dengan pengungkapan kebenaran dan harus ada pengembalian nama baik bagi korban. Setelah itu barulah digelar rekonsiliasi.” ujar Sudjijato yang dipenjara selam 7 tahun di Pekalongan, Jateng.

Cerita Bedjo Untung yang merasa bukan anggota PKI, juga menarik untuk disimak. Saat ditangkap, ia hanya merasa aktif di organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, organisasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Karena itulah, laki-laki kelahiran 1948 itu bersikeras menolak jika dikaitkan dengan PKI.

Pada satu pagi, di tahun 1970, Bedjo ditangkap tanpa alasan yang jelas. Oleh para intel tentara, dia dibawa ke rumah Kalong, sebuah rumah di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Di sana dia menerima berbagai siksaan, seperti; disetrum, dicambuk, dan digantung dalam posisi terbalik, sebelum kemudian dipindah ke penjara Salemba selama 2 tahun, dan di penjara Tangerang selama 6 tahun lebih  

Bedjo Untung yang juga Ketua Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965-1966) menilai perlakuan yang ia terima sebagai suatu pelanggaran HAM berat. 

“Itulah kerugian kami. Sehingga saya akan menuntut hak, dimana kesalahan kami. Kalau kami salah, kami akan diam menerima hukuman, tetapi kalau kami benar, kami harus direhabilitasi," pinta Bedjo Untung.

Penuturan para penyintas yang saya sarikan dari beberapa sumber itu, menyiratkan adanya keinginan agar negara berperan serta untuk menjernihkan persoalan terkait korban 65. 

Selain itu, para korban hanya menuntut hal sederhana, yakni pemulihan hak dan martabat. Sebenarnya, mereka tidak terlalu peduli apakah negara mau minta maaf atau tidak, namun kebenaran harus ditegakkan.

Arti Kata “Maaf”
Hingga hari ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang belum terbebas dari beban masa lalu. Sebuah beban yang tak kunjung selesai. Salah satunya, kasus-kasus pelanggaran HAM terkait peristiwa 1965.

Hal itu terjadi, karena ada pembiaran dan belum menganggap kasus yang menimpa ribuan korban sebagai sesuatu yang krusial. Tak heran jika presiden berganti rupa, membuat tumpukan masalah kian besar dan hal itu belum juga dilirik.

Secara umum, korban pelanggaran HAM berat pasca 1965 adalah mereka yang dituduh terlibat PKI ataupun organisasi dibawahnya. Termasuk para sastrawan hingga seniman yang berafiliasi dengan organisasi yang menjadi underbow-nya PKI. Yang membuat sedih, sebagian besar dari mereka ditahan tanpa melalui proses persidangan.

Mereka yang ditangkap pada saat itu digolongkan menjadi tiga 3 kategori. Golongan A; mereka yang memegang posisi kunci di PKI dan kemudian disidang serta dijatuhi hukuman berat, seperti DN Aidit dan Letkol Untung.

Golongan B adalah mereka yang bukan elit utama PKI namun dianggap terlibat dan berperan di PKI maupun organisasi di bawah PKI, seperti Gerwani, Lekra dan BTI. Mereka yang masuk kategori ini disidangkan di daerah dimana mereka ditangkap.

Sedangkan golongan C adalah mereka aktivis Lekra, Gerwani dan BTI yang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses persidangan.

Mereka yang termasuk golongan B dan C ini kemudian diasingkan ke Pulau Buru. Seperti Pramoedya Ananta Toer, dan banyak seniman dan sastrawan lainnya. 

Karena banyaknya korban menderita akibat perlakuan pemerintah pasca 1965 (baca: dituduh terlibat PKI), maka permintaan maaf atas nama negara menjadi jurus jitu yang harus dipilih sebagai bentuk pertanggungjawaban negara. 

Menurut saya, permintaan maaf juga menunjukkan kesungguhan dan komitmen pemerintah mengembalikan hak dan posisi korban sebagai bagian dari pemulihan hak sosial. 

Selain itu, ketika kekerasan massal berlangsung di wilayah yang luas dan dalam waktu lama, maka dipastikan negara biasanya ikut campur. Peristiwa itu bukan konflik antarmasyarakat. 

Ariel Heryanto, yang merupakan profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University menyebut peristiwa 1965 bukan konflik horizontal tetapi konflik vertikal. Konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakatnya.

Oleh sebab itu, jika konflik yang terjadi di tahun 1960-an hanya pada level masyarakat, maka yang terjadi adalah kekerasan yang bersifat sporadik, acak dan lokal. Korbannya pun tak banyak. Paling maksimal ratusan.

Sementara yang terjadi pasca-65, jumlah korbannya mencapai ribuan. Tak heran jika Ariel Heryanto menyebut ada peran negara disitu. Dan negara bisa saja didukung oleh negara-negara lain untuk memunculkan terjadinya kekerasan.

Lalu, ketika negara tidak melakukan apapun, itu artinya masyarakat sudah membebaskan negara dari kegagalan dan kejahatannya ketika terlibat dalam kekerasan. 

Namun ketika negara terlibat maka negara telah mengalihkan tanggungjawab itu kepada sesama warga negara yang akan terus menerus saling membeci dan mencurigai. Menurut saya hal itu tidak baik, dan semoga tidak terjadi, karena dengan demikian persoalan tidak kunjung selesai.

Hak Warga Negara
Sejak peristiwa G30S terjadi, setidaknya 50 tahun sudah negara ini gagal melindungi  hak-hak para korban untuk mendapatkan perlakuan yang pantas, terlepas apakah mereka salah atau benar. Pasalnya, melindungi setiap warganegara Indonesia merupakan amanat undang-undang dasar yang harus dijalankan oleh pemerintah yang sah, siapapun rezimnya.

Ketika negara tidak melindungi warganya, berarti ada hutang yang harus ditanggung negara dan akan terus diwariskan kepada penyelenggara negara berikutnya. Hal itu menjadi pengecualian, jika dan hanya jika Indonesia telah bubar sebagai sebuah negara.

Lalu mari kita telaah bunyi UUD 1945 pasal 21 ayat 1 yang secara gambalang menyebut “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal ini menjelaskan, jika korban ternyata berhak mendapatkan pengadilan dan keadilan yang layak, sama seperti semua warga negara yang lain. Negara, wajib menjalankan asas keadilan bagi seluruh warganya.

Lalu pasal 21 ayat 2 menjelaskan jika tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Artinya, pasal itu memastikan jika para korban 65 berhak mendapatkan perlakuan manusiawi, sama seperti warga negara lainnya, yang terlibat maupun yang tidak terlibat. Tidak ada pembedaan.

Selanjutnya kita tengok pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Menurut saya penafsirannya; negara tidak boleh menangkap dan atau menahan seseorang ketika sedang berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran melalui lisan maupun tulisan, kecuali ada aturan resmi terkait topik-topik yang dilarang.

Dengan bunyi undang undang dasar yang sangat mengakui dan menghargai persamaan hak bagi setiap warga negara, maka negara harus memberi perlakuan yang sama.

Negara juga harus mampu meluruskan sejarah, termasuk merehabilitasi para korban yang selama ini hidupnya sangat sengsara dengan embel-embel “ex PKI” yang dilekatkan kepada mereka. 

Hal itu menjadi penting, semata-mata agar bangsa ini mau belajar dari sejarah. Sejarah yang berasal dari masa lalu, tak selalu lurus dan berjalan linear, karena acap kali diukir dengan pertumpahan darah dan air mata.

Mencari Waktu Yang Pas
Meski hingga kini pemerintah belum meminta maaf, bukan berarti jalan penyelesaian terkait hal itu telah tertutup. Buktinya pada April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan untuk mencari kebenaran perihal kuburan massal dari korban tragedi 1965 yang disebut-sebut berjumlah ribuan.

Hal itu membuktikan jika pemerintah sedang mencari cara dan waktu yang tepat untuk meminta maaf terhadap keluarga korban tragedi 65. Pasalnya, jika meminta maaf saat ini mungkin belum saatnya, karena beragam pertimbangan.

Seperti, untuk apa kepala negara meminta maaf, atas kejahatan yang bukan dilakukannya. Apalagi kejahatan atas nama negara di masa lampau amat sulit dipertanggungjawabkan oleh seorang presiden saat ini yang tidak mengetahui kebenarannya.

Lalu, ada juga yang beranggapan, apalah arti sebuah maaf? Yang dibutuhkan saat ini adalah pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan pelurusan sejarah. Bukan sekedar kata maaf tanpa realisasi “what next”.

Menangggapi desakan agar pemerintah meminta maaf, Goenawan Muhammad (GM) melalui situs Qureta, menegaskan opininya, bahwa kejahatan negara di tahun 1960-an, di bawah rezim Soeharto, tak bisa diteruskan sebagai dosa negara di awal abad ke-21 yang justru memaksa pemerintah saat ini sebagai penanggungjawab.

"Ketika negara yang sekarang minta maaf untuk dosa itu, ia mau tak mau hanya jadi proxy dan permintaan maaf dari si "pengganti" tak akan bisa setara nilainya, baik dalam ketulusan maupun efek psikologisnya, dengan permintaan maaf yang diungkapkan oleh mereka yang berbuat kejahatan", tulis GM.

Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan jika pemerintah tidak akan meminta maaf kepada korban peristiwa 1965. Pemerintah kemudian akan mendengar masukan dari semua pihak, yang akan dirumuskan untuk menentukan langkah penyelesaian selanjutnya.

"Tidak pernah terpikir oleh kita untuk meminta maaf, mungkin wording nya penyesalan yang mendalam peristiwa-peristiwa yang lalu yang menjadi sejarah kelam di bangsa ini dan kita berharap ini tidak terulang lagi. Kita masih cari yang pas," ungkap Luhut.

Bagi saya, komentar Luhut menjelaskan bagaimana sikap pemerintahan saat ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Kita tentu masih ingat, pemerintah sebelumnya sangat enggan membuka diri, bahkan untuk sekedar mendiskusikan tentang apa yang terjadi pasca peristiwa 1 Oktober 1965.

Sementara bagi Jokowi, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu merupakan janji kampanyenya yang tercantum dalam Nawa Cita. Tak heran jika pemerintah meminta LSM maupun pihak lainnya yang mengklaim mengetahui adanya kuburan massal terkait peristiwa 65 agar segera melapor. Pemerintah berjanji akan mendatanginya untuk melakukan verifikasi. Dengan demikian pemerintah sedang berupaya merealisasikan Nawa Cita tersebut. Semoga saja! (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN