Tuesday, February 28, 2017

Lupakan Raja Salman!

(Raja Salman dari Saudi. Source: wikimedia.org)
Raja Salman dari Arab Saudi melakukan kunjungan kenegaraan ke beberapa negara di Asia, antara lain Malaysia, Indonesia, China, dan Jepang. Sebenarnya banyak yang tidak paham apa maksud di balik kunjungan yang menghabiskan waktu 31 hari itu.

Ada yang menyebut kunjungan Raja Salman pada dasarnya terkait dengan program reformasi ekonomi yang diluncurkan pemerintah Arab Saudi pada tahun 2016 lalu. Progam itu memang di-create oleh Deputi Putra Mahkota Mohammad bin Salman sebagai cara untuk mendiversifikasi ekonomi dan sebagai upaya modernisasi tatanan masyarakat.
Cara ini dianggap mujarab karena 85 persen penerimaan negara Arab Saudi memang berasal dari minyak. Sayangnya dengan penurunan harga minyak dunia secara tajam, memaksa Saudi memikirkan ulang strategi ekonominya.

Lalu yang mengejutkan, pada 2015, defisit anggaran Saudi meningkat hingga 366 miliar riyal setara 98 miliar dollar AS dan pada 2016 turun menjadi 297 miliar riyal. Akibatnya terjadi kekurangan likuiditas.

Untuk menambal anggaran yang bolong, Saudi akhirnya berutang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Akhirnya saudi berhasil mendapat suntikan dana 17,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 232,75 triliun.

Arab Saudi lalu memangkas biaya-biaya tertentu, seperti subsidi energi, gaji pegawai pemerintah, kenaikan pajak, penjualan aset negara hingga melakukan penghematan anggaran selama 4 tahun.

Ternyata dana yang dibutuhkan masih kurang, Saudi kemudian mengajukan utang sebesar 10 miliar dollar AS ke perbankan internasional dari yang awalnya 8 miliar dollar AS.

Pengajuan utang kepada lembaga internasional itu menjadi yang pertama dalam 25 tahun terakhir, atau kali pertama sejak awal tahun 1990-an. Pada kondisi ini Arab Saudi mulai babak belur.

Setelah itu, Saudi melobi negara-negara OPEC untuk melakukan pemotongan produksi minyak di 6 bulan pertama tahun 2017 sebesar 1,8 juta barrel. Harapannya terjadi keseimbangan pasokan global yang akan menekan harga selama lebih dari 2 tahun. Apakah berhasil? Ehm... Masih jauh!

Pemulihan harga berjalan lamban, karena Arab Saudi, tidak bisa lagi mengandalkan penerimaan dari minyak semata. Di sisi lain, Amerika Serikat yang dulunya menjadi pasar minyak mentah bagi Saudi, kini sudah bisa mencukupi kebutuhan sendiri.

Lalu muncullah usulan “diversifikasi investasi” yang dilontarkan Arab Saudi sebagai perwujudan dari visi 2030, dimana akan dilakukan privatisasi sebagian saham perusahaan minyak negara, Saudi Aramco, serta transformasi Public Investment Fund jadi lembaga pengelola kekayaan terbesar di dunia.

Benarkah kunjungan kenegaraan Raja Salman ke sejumlah negara di asia dengan misi bisnis, sesuai program reformasi ekonomi yang dicanangkan sejak tahun lalu? Menurut saya, alasannya karena perkembangan perekonomian sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia cenderung stabil dan mulai membaik di tengah melemahnya perekonomian sejumlah negara maju. 

Tengok saja, lahirnya orang-orang kaya baru yang mulai didominasi ras Asia. Lembaga riset internasional memprediksi 4 negara akan mencatatkan diri dengan PDB tertinggi pada 2050, yakni China, India, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Sementara Arab Saudi sedang terseok-seok, setidaknya dalam setahun terakhir. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi asal Timur Tengah itu hanya sekitar 900.000 dollar AS. Jika dihitung dengan asumsi kurs 13.300, maka investasinya tak lebih sekitar Rp 11,97 miliar. Angka ini melorot drastis dari sebelumnya (baca: 2015) sebesar US$ 30,4 juta (sekitar Rp 410 miliar).

Realisasi investasi itu menempatkan Arab Saudi pada urutan ke-57 dari 121 negara yang menanamkan modal ke Indonesia, yang masuk melalui BKPM. Levelnya jauh lebih rendah dibanding investasi Singapura ke Indonesia yang mencapai US$ 1,97 miliar atau sekitar Rp 122 triliun pada 2016. Investasi Singapura ini berada di urutan pertama mengalahkan Jepang dan Cina. Sementara investasi negara Kawasan Timur Tengah terbesar berasal dari Uni Emirat Arab, yakni mencapai US$ 55 juta dan berada di urutan ke 25.

Terlepas dari misi lawatan Raja Arab Saudi ke Asia dalam kaitan diversifikasi perekonomian, pertanyaan dasar yang cukup menggelitik adalah, apa dampak positif bagi Indonesia?

Uniknya, sekaliber Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pun belum tahu persis seberapa besar investasi yang akan masuk dari Arab Saudi. 

Sementara itu, pemerintah juga tidak akan menawarkan sukuk (obligasi syariah) global. Pasalnya? Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beralasan bahwa kedatangan Raja Salman justru untuk menawarkan penjualan saham Saudi Aramco kepada Indonesia. Nah loh...

Boro-boro Arab Saudi mau investasi, yang ada mereka bahkan menawarkan sejumlah produk atau sarana investasi ke Indonesia yakni dengam melepas 5% sahamnya melalui Initial Public Offering (IPO). Banyak yang menyebut lepasnya saham Saudi Aramco ke publik, bakal tercatat dalam sejarah sebagai perusahaan dengan nilai IPO tertinggi. Whatever lah... Intinya, Saudi hanya mau jualan saham Aramco doang di Indonesia.

"Dia (pemerintah Arab Saudi) saja mau jualan sahamnya Aramco. Dia terbitin obligasi seperti kita, dia ngutang juga. Senasib sama kita, sama-sama cari pembiayaan," ujar Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Schneider, seperti saya kutip dari salah satu berita online.

Secara umum, kondisi Indonesia dan Arab Saudi tidak jauh berbeda, sama-sama membutuhkan pembiayaan melalui penerbitan surat utang. Namun, Arab membutuhkan waktu transisi yang lebih lama untuk diversifikasi penerimaan negaranya. Dilalanya, mereka menginginkan semua (baca: uang, investasi besar, sumber daya manusia) itu dalam tempo cepat.

Oleh karena itu, jika kunjungan Raja Salman akan mampu mendorong investasi di Indonesia, termasuk pembelian Surat Utang Negara (SUN) Indonesia, ditengah persoalan biaya subsidi akibat turunnya harga minyak, rasa-rasanya terlalu sulit terwujud.

Tak hanya itu, saya termasuk orang yang meragukan rencana Saudi akan berinvestasi sebesar 25 miliar dolar AS ke Indonesia. Tentu saja, karena alasan utama mereka kesini adalah ingin menawarkan saham Aramco, meskipun ada sedikit peluang kerjasama di bidang perdagangan produk kita. (jacko agun)


No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN