Sunday, March 12, 2017

Saya Marah, Kawan!


(source : detik.com/infografis)
Agak lama saya menahan diri untuk tidak menulis tentang pengungkapan berita terbesar tahun ini. Korupsi e-KTP yang jelas-jelas sangat merugikan saya, dan ratusan juta masyarakat Indonesia diluar sana. Ntah, jika bagi sekelompok orang yang berdalih atas nama kebijakan redaksi itu.

Saya menahan diri bukan karena takut dengan “pembatasan” yang dilakukan segelintir orang, karena menganggap kasus ini sensitif dan sikap paranoid yang berlebihan. Saya menahan diri, karena harus mengikuti perkembangannya secara detil. Dan hasilnya cukup mengejutkan.

Jujur, ketika seorang teman berkeluh kesah di meja makan, tempat kami biasa bersantap, tentang e-KTPnya yang tak kunjung kelar, tetiba saya disadarkan. Diingatkan bahwa kasus ini memang harus disuarakan dan bukannya dilupakan.

“Bayangkan, sampe sekarang gue belum punya e-KTP, padahal ngurusnya udah lama. Trus, sekarang hanya punya selembar surat pengantar ini. Kalo surat ini hilang, kelar hidup gue, gak punya penanda identitas lagi”, ujar teman penggemar berat mie instan itu.

Lalu, seorang rekan yang lain juga bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan e-KTP edisi pertama. e-KTP yang dimilikinya, berbeda dengan e-KTP sekarang yang berlaku seumur hidup.

“Kalo ntar, e-KTP saya habis dan disuruh buat baru, saya sudah siap dengan aturan yang menyebut e-KTP edisi pertama diperlakukan sama dengan e-KTP sekarang (seumur hidup). Kopian aturan itu masih saya simpan. Siapa tahu dibutuhkan. Mana nge-buatnya juga harus menunggu, mesti tak selama yang lain”, ujar teman itu bersemangat!

Perbincangan di meja makan malam itu mengalir begitu saja. Tanpa rekayasa. Tanpa paksaan. Pun, saya sudah lupa ikhwal cerita mengapa kami mendiskusikannya.

Beberapa hari berselang, iseng saya men-cek rundown berita pada hari Kamis, 9 Maret 2017.  Sesuatu yang mengejutkan terjadi. Berita penting, sekaliber korupsi e-KTP ternyata tidak muncul. Bahkan hingga rundown malam pun, berita itu tak kunjung ada, padahal telah menjadi perhatian besar media-media di tanah air.

Sidang perdana e-KTP dengan terdakwa mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto dan mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman, bagi saya, sungguh menarik untuk disimak. Saking menariknya, hingga memunculkan amarah!

Lewat pemberitaan media online, saya menemukan fakta jika kedua terdakwa (baca: Sugiharto & Irman) membenarkan rangkaian peristiwa yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Mereka tidak mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan tersebut. Ini artinya semua dakwaan yang dibacakan JPU adalah sesuai dengan yang diketahui terdakwa.

Dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor itu menjelaskan jika pada bulan Juli hingga Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan RAPBN tahun anggaran 2011. Salah satunya terkait proyek e-KTP.

Saat itu, Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku pelaksana proyek beberapa kali bertemu sejumlah anggota DPR. Kemudian disepakati anggarannya senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri.

Akhirnya disepakati 51 persen (Rp 2.662 000 000.000) dari anggaran digunakan untuk proyek, sedang sisanya, 49 persen dikorupsi, dengan cara dibagi-bagi ke oknum Kemendagri, anggota DPR, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.

Dalam kasus ini, Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura. Sementara Sugiharto mendapat jatah sejumlah 3.473.830 dollar AS. Jumlah itu sekitar 7% dari total proyek e-KTP. Menurut saya, jumlah itu cukuplah besar.

Hal mengejutkan berikutnya adalah, Ketua Fraksi Partai Golkar, (baca: saat ini Ketua DPR), Setya Novanto menerima jatah suap terbesar, yakni 11 persen dari total anggaran, bersama Ketua Fraksi Partai Demokrat jaman itu, Anas Urbaningrum dan mantan Bendahara Uumum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. 

Jatah 11 persen diberikan kepada Setnov, Anas Urbaningrum dan Nazaruddin karena pelaksana proyek menganggap mereka sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar  yang dapat mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran proyek e-KTP berbasis NIK.

Dikutip dari kompas.com, 49 persen anggaran e-KTP, setara  Rp 2.558.000.000.000 (dua trilun lima ratus lima puluh delapan miliar rupiah) dibagikan ke banyak pihak, yakni:
1. Gamawan Fauzi (saat itu Mendagri): 4,5 juta dollar AS & Rp 50 juta
2. Diah Anggraini (saat itu Sekjen Kemendagri): 2,7 juta dollar AS & Rp 22,5 juta
3. Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP): 615.000 dollar AS & Rp 25 juta
4. 6 anggota panitia lelang, masing-masing: 50.000 dollar AS
5. Husni Fahmi: 150.000 dollar AS & Rp 30 juta
6. Anas Urbaningrum: 5,5 juta dollar AS
7. Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR): 1,4 juta dollar AS
8. Olly Dondokambey: 1,2 juta dollar AS
9. Tamsil Linrung: 700.000 dollar AS
10. Mirwan Amir: 1,2 juta dollar AS
11. Arif Wibowo: 108.000 dollar AS
12. Chaeruman Harahap: 584.000 dollar AS & Rp 26 miliar
13. Ganjar Pranowo: 520.000 dollar AS
14. Agun Gunandjar Sudarsa (Komisi II & Banggar DPR):1,047 juta dollar AS
15. Mustokoweni: 408.000 dollar AS
16. Ignatius Mulyono: 258.000 dollar AS
17. Taufiq Effendi: 103.000 dollar AS
18. Teguh Juwarno: 167.000 dollar AS
19. Miryam S Haryani: 23.000 dollar AS
20. Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI: 37.000 dollar AS
21. Markus Nari: Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS
22. Yasonna Laoly: 84.000 dollar AS
23. Khatibul Umam Wiranu: 400.000 dollar AS
24. M Jafar Hafsah: 100.000 doar AS
25. Ade Komarudin: 100.000 doar AS
26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara selaku direksi PT LEN Industri: Rp 1 miliar
27. Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri: Rp 2 miliar
28. Marzuki Alie: Rp 20 miliar
29. Johannes Marliem: 14.880.000 dollar AS & Rp 25.242.546.892
30. Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS. Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS
31. Beberapa anggota tim Fatmawati: Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan: Rp 60 juta
32. Manajemen bersama konsorsium PNRI: Rp 137.989.835.260
33. Perum PNRI: Rp 107.710.849.102
34. PT Sandipala Artha Putra: Rp 145.851.156.022
35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra: Rp148.863.947.122
36. PT LEN Industri: Rp 20.925.163.862
37. PT Sucofindo: Rp 8.231.289.362
38. PT Quadra Solution: Rp 127.320.213.798,36

38 pihak penerima aliran dana  e-KTP ternyata belumlah lengkap. Di hari yang sama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK juga membeberkan pihak-pihak lain yang diuntungkan atas perbuatan terdakwa, Irman dan Sugiharto.

Salah satunya adalah auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bernama Wulung yang menerima uang sebesar Rp 80 juta dari Sugiharto. Setelah pemberian itu, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap pengelolaan keuangan pada Ditjen Dukcapil tahun 2010.

Pada November-Desember 2012, Sugiharto juga memberikan sejumlah uang kepada Staf Sekretariat Komisi II DPR, Dwi Satuti Lilik sebesar Rp 25 juta. Kemudian kepada Koordinator Wilayah II sosialisasi dan supervisi e-KTP, Ani Miryanti sebesar Rp 50 juta untuk diberikan kepada 5 orang korwil masing-masing sejumlah Rp 10 juta.

Selanjutnya mengalir ke Kasubdit Pelayanan Informasi Direktorat PIAK sejumlah Rp 40 juta, Asniwarti selaku staf Ditjen Anggaran Kemenkeu sejumlah Rp 60 juta, staf pada Biro Perencanaan Kemendagri melalui Wisnu Wibowo dan Suparmanto sebesar Rp 40 juta, dan ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kemendagri, Dradjat Wisnu Setyawan sebesar Rp 25 juta.

Dengan pemberian sedetil itu, masihkah kita mengganggapnya sebagai sesuatu yang wajar? Tentu tidak! Perbuatan korupsi berjamaah seperti itu, tentunya membuktikan jika sebelumnya hal itu jamak dilakukan. Oleh DPR, pemerintah dan rekanan (swasta).

Model korupsi seperti itu, seharusnya membuat saya dan kalian, marah! Marah besar, karena yang dikorupsi adalah uang rakyat. Uang saya dan kalian juga. Kalau kita (baca: kalian dan saya) tidak marah, berarti ada yang salah dengan itu.

Sampai-sampai Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyebut kasus ini merupakan kasus korupsi besar dan sistematis, sehubungan dengan banyaknya pihak yang terlibat.

Bayangin aja, mulai dari tahap awal hingga proses pembahasan dan pengadaan barang, semuanya sudah tersistem dengan baik untuk melakukan penyelewengan. Buktinya bisa dilihat dari pihak-pihak yang menerima suap, selain legislatif.

Lalu, akal sehat saya kembali tergelitik dengan kemunculan grafik yang dikerjakan oleh tim detiknews. Grafik sederhana itu menjelaskan tentang dana Rp 2.3 triliun setara dengan banyak proyek pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah saat ini.

Jika dianalogikan, dana sebesar Rp. 2.3 triliun dapat dimaksimalkan untuk membangun seribu jembatan gantung, 10 persen pembangunan LRT Jabodetabek atau 20 unit kereta metro kapsul LRT Bandung.

Anggaran Rp. 2.3 T juga bisa digunakan untuk pembangunan 30 persen infrastruktur di Papua dan Papua Barat, atau untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi 2.3 juta siswa SMA/SMK se Indonesia.

Uang sebanyak Rp. 2.3 triliun ternyata setara untuk pembuatan 15 pos lintas batas negara yang dibangun secara permanen atau pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi hingga pembuatan 4 bendungan baru berkapasitas 4.8 MW.

Lalu, ketika ada pihak yang membatasi pemberitaan soal korupsi e-KTP, selaku warga negara yang aktif membayar pajak, saya tetap marah. Saya masih tidak terima, uang pajak saya dikorupsi oleh bajingan-bajingan tak bermoral itu.

Teristimewa ketika ada pihak yang membatasi dengan dalih kebijakan redaksi, apakah ada  yang mau disamakan dengan mereka? Atau, jangan-jangan ada yang berkomplot untuk mengamankan sesuatu?

Meski Setnov lewat pemberitaan media menyebut tidak pernah menerima apa pun dari proyek e-KTP. Termasuk membantah jika dirinya bertemu Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Andi Narogong terkait proyek tersebut, haruskah saya manut? Di titik ini saya masih lebih percaya KPK.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Irene Putri bahkan mengungkapkan, surat dakwaan yang dibacakan oleh JPU sudah terkonfirmasi dengan minimal 2 alat bukti, termasuk dugaan keterlibatan Setya Novanto.

Jika ada yang percaya dengan bantahan Setnov dan yang lain, silahkan saja! Yang pasti, sudah ada 14 orang (DPR dan swasta) yang mengembalikan dana proyek e-KTP. Bukankah itu membuktikan jika korupsi besar dan sistematis seperti itu, harus diberi porsi besar? Diberi ruang, karena telah merusak tatanan dan sendi-sendi negara dengan praktik kotor korupsi?

Sebagai warga negara, saya marah. Marah, karena ada yang korupsi menggunakan uang rakyat. Marah, ketika ada pihak yang coba-coba mengaburkan, dengan alasan tunggu vonis pengadilan dan sebagainya.

Pertanyaan saya berikutnya, sampai berapa lama menutupinya, kawan? Apakah sampai Bumi ini runtuh lalu menimpamu?

Semoga tidak! Karena itu adil lah sejak dalam pikiran seperti petuah opa Pram. Melindungi koruptor itu tak guna. Sama buruknya dengan melakukan pembatasan yang jelas-jelas aneh sehingga menimbulkan tanya.

Pun, bisnis media sejatinya adalah kepercayaan, maka jangan sampai kepercayaan yang telah dipupuk itu hancur begitu saja, karena salah langkah. Berpijak dan berpihak kepada kepentingan publik, dan bukan semata kepentingan pemilik modal jadi panduan sebuah media yang ingin disebut independen.

Atas dasar kepentingan publik dan selaku warga negara, saya marah, ketika ada media yang mencoba melakukan pembatasan terhadap pemberitaan korupsi besar dan sistematis seperti e-KTP yang jelas-jelas menyedot perhatian besar masyarakat.


Sekali lagi, saya marah, kawan!

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN