Friday, May 26, 2017

Vonis Ahok, Ancaman Demokrasi

(Ilustrasi. Sumber: i2.wp.com/virginiaconservative.net)
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada kasus Ahok telah tunduk pada tekanan massa yang telah menggangu independensi hakim dalam memutus perkara berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan negara hukum, sehingga mengorbankan prinsip rule of law dan melegitimasi rule by mass yang dilakukan oleh massa aksi intoleran.
-- LBH Jakarta

Sejatinya, sejak beberapa waktu lalu saya berniat menulis tentang vonis 2 tahun Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas dakwaan kasus penistaan agama. Namun, karena kesibukan dan beragam agenda lain, niat menulis luntur secara perlahan. 

Vonis Ahok, menurut saya sangat menarik untuk disimak, karena keputusan hakim ternyata tidak didasarkan pada tuntutan jaksa penuntut umum. Sebuah kondisi yang jarang sekali terjadi di pengadilan Indonesia.

Benar, bahwa hakim memiliki sifat yang independen dan tidak bisa didikte saat menjatuhkan hukuman. Namun ketika dasar keputusan hakim bertolak belakang dengan penungkapan oleh jaksa di persidangan, maka seakan-akan hakim telah memiliki keputusan sendiri. Lalu timbul pertanyaan, untuk apa persidangan yang melelahkan itu digelar? Bukankah persidangan sebagai alat untuk menguji semua tuntutan jaksa?

Berkaca dari semua keganjilan itu, kemudian berkembang analisa, jika vonis hakim tak lebih dari aktualisasi tekanan massa. Tekanan yang tidak kelihatan, namun sangat bisa dirasakan. Majelis hakim telah tunduk pada intervensi ormas dalam memutus perkara yang seharusnya berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan negara hukum. Prinsip rule of law kemudian berganti menjadi rule by mass yang dilakukan oleh massa intoleran.

Sementara itu, dalam persidangan sebelumnya, Ahok hanya dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156 KUHP dengan tuntutan penjara selama 1 tahun dan masa percobaan 2 tahun. Lalu mengapa vonis hakim menggunakan pasal 156a yang jelas-jelas tidak terbukti.

Bagi saya, hal itu menunjukkan kemunduran demokrasi dalam negara hukum (rule of law). Ketika hakim memutus menggunakan Pasal 156a yang notabene sangat anti-demokrasi, karena melanggar hak seseorang untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana bunyi Pasal 28E UUD 1945. Selain itu, kebebasan berpendapat juga diakui oleh Undang-Undang 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan berbagai aturan hukum lainnya.

Selama ini, pasal 156a sering digunakan oleh negara dan pihak mayoritas yang intoleran untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas atau individu yang berbeda keyakinan. Contohnya dialami oleh Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq, dkk. (Eks Pimpinan Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (sholat bersiul), Yusman Roy (sholat mullti bahasa), hingga Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat).

Selain itu, menurut LBH Jakarta, rumusan Pasal 156a KUHP tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex scripta dalam pemenuhan asas legalitas, serta terlampau subjektif untuk diterapkan kepada masyarakat. Hal itu menjadikan rumusan pasal 156a bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sehingga mengancam prinsip negara hukum. 

Jika saat ini, Ahok yang menjadi korban, maka bukan tidak mungkin di masa depan, korban kriminalisasi adalah individu muslim di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu atau Budha atau Kristen.

Lalu, uraian mens rea (sikap batin pelaku perbuatan pidana) dalam pertimbangan hukum hakim terlalu mengada-ada dan gagal untuk dibuktikan. Hakim seakan buta melihat bahwa unsur menciderai umat Islam, menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang melaporkan Ahok dan mendorong Ahok ke meja hijau. 

Akhirnya, hakim membebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa hanya terhadap Ahok seorang dan menghukumnya atas itu. Putusan hakim justru memicu masyarakat semakin giat menggunakan pasal penodaan agama yang jelas-jelas antidemokrasi di kemudian hari.

Belum lagi, hakim abai menerapkan hukum yang kontekstual sejalan dengan produk-produk peradilan yang telah ada, seperti tidak mengacu pada Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 yang mensyaratkan adanya peringatan sebelum menerapkan Pasal 156a.

Ketika pengadilan menghukum Ahok, sejatinya dunia peradilan mengulangi kegagalannya menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan. Hal itu menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia. Rule of law telah digantikan oleh rule by mass (mobokrasi), sementara proses hukum serta fakta-fakta persidangan diabaikan.

Agar kasus-kasus kriminalisasi dengan dalih agama tidak terjadi lagi, maka pemerintah dan DPR perlu meninjau ulang perumusan delik penodaan agama, mumpung saat ini sedang berlangsung pembahasan RUU KUHP di DPR.

Usul kongkritnya adalah menghapus pasal penodaan agama demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya Hak Asasi Manusi, serta kepastian hukum di Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, edukasi di masyarakat juga perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu menghargai perbedaan dan tidak takut untuk menyatakan pendapat juga berekspresi. Ketika hal itu tidak kita jaga, maka siapa pun bisa dipenjara hanya karena berbeda pendapat atau ekspresinya dianggap melukai perasaan orang lain. Sesuatu yang sulit diukur secara objektif dan sangat multi tafsir. 

Di sisi lain, upaya penegakan hukum terutama bagi ‘korban’ yang divonis dengan Pasal 156a KUHP perlu terus dikawal, demi tegaknya negara hukum, dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN