(Ilustrasi: Indonesia yang bhineka. Source: seword.com) |
Jadilah akar yang tak terlihat, tapi menyokong kehidupan
Atau seperti jantung yang berdenyut tanpa henti.
Selalu dan senantiasa hingga waktunya tiba
-- Simpang Kiri Jalan
Beberapa hari lalu saya sempat membaca tulisan Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman yang beredar terbatas di kalangan jurnalis. Tulisannya sangat sederhana namun menohok.
Menohok, karena Luhut harus menjawab pertanyaan John Berisford, President of Standard and Poors Global Ratings (S&P), (baca: lembaga pemeringkat rating investasi) secara taktis dan sistematis.
Ternyata, pertanyaan John hadir sebagai bentuk ingin tahu, menyikapi maraknya pemberitaan media-media asing pasca-pilkada DKI beberapa waktu lalu. Di luar negeri berkembang opini, jika pemilihan kepala daerah di Jakarta tidak murni demi adu ide dan adu gagasan, namun lebih kepada penggunaan sentimen SARA. Belum lagi, gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama akhirnya tersandung kasus penodaan agama yang membuatnya harus mendekam di penjara selama 2 tahun.
“Apakah pilkada Jakarta telah mengubah Indonesia menjadi radikal”, tanya John bersemangat.
Mendapat pertanyaan itu, Luhut kaget. Ia tidak menyangka, John bertanya sejauh itu, mengingat pembicaraan mereka awalnya terkait investment grade yang dicapai Indonesia. Seperti ada yang menyadarkan, Luhut terkesiap. Ia heran si bule berani bertanya begitu.
“Bagaimana mungkin John yang notabene warga negara asing bisa begitu peduli dengan Indonesia, sementara ada segelintir masyarakat yang lebih mementingkan identitasnya ketimbang nasionalisme”, gumam Luhut.
Bukankah kepedulian yang sama seharusnya lebih dahulu tumbuh di masyarakat, khususnya genarasi muda? Mirisnya, fakta membuktikan, dari sekian banyak pelaku bom, sebagian besar merupakan generasi muda. Jika sudah begini, tentu ada yang salah.
Luhut dengan tegas menjawab, "tidak" kepada John saat bertemu di Washington, AS, sebulan lalu.
Luhut lalu menjelaskan tentang strategi pembangunan Indonesia yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, namun juga pemerataan pembangunan. Bagi pemerintah, hal ini penting, karena acapkali radikalisme dan sikap intoleran masuk melalui celah kemiskinan dan ketidakadilan.
Ceruk kemiskinan dan ketidakadilan kemudian dipergunakan untuk menanamkan ideologi tertentu yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Ideologi tentang jihad atau Khilafah misalnya.
Itu sebabnya, mengapa pemerintah getol melakukan sejumlah langkah pemerataan hingga ke pelosok negeri. Buktinya bisa dilihat dari pendistribusian dana desa ke lebih dari 74.000 desa di seluruh Indonesia.
“Kesenjangan berhasil dikurangi, tapi pemerintah butuh uang untuk tetap terus menjalankannya.” ujar Luhut
Kebutuhan dana itu hanya bisa didapatkan lewat investasi. Investasi yang berasal dari penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri. Untuk mewujudkannya, pemerintah lalu melakukan sejumlah pembenahan, seperti deregulasi hingga mempermudah kegiatan berbisnis. Harapannya, investor tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.
Dilalanya, menarik simpati investor tidak mudah. Dibutuhkan lebih dari sekedar regulasi yang memihak. Salah satunya berdasarkan “rating investasi” yang dikeluarkan oleh sejumlah pemeringkat, seperti Standard and Poors Global Ratings (S&P).
Agar dipercaya investor dunia, rating investment grade dari S&P menjadi penting untuk menurunkan cost of fund, misalnya. Masalahnya, credit rating Indonesia bulan lalu masih BB+, hanya 1 level di bawah investment grade.
Menyikapi kondisi itu, Luhut kemudian bertanya balik ke John;
"Jadi kalau kamu nggak kasih investment grade ke Indonesia, kamu sama saja menghidupkan radikalisme di Indonesia."
Mendengar itu, John kaget sembari berkata, "Ok, I will evaluate."
Selain karena sejumlah perbaikan yang dilakukan pemerintahan Jokowi - JK, pada Mei 2017, Indonesia akhirnya memperoleh investment grade dari S&P, pertama sejak Orde Baru tahun 1996. Ini artinya, kemudahan berinvestasi di Indonesia kini semakin menggairahkan dan kompetitif.
Tidak hanya itu, pembenahan kearah yang lebih baik juga ditandai dengan cadangan devisa yang tembus di atas USD 124 miliar. Tertinggi sepanjang sejarah Republik ini berdiri. Dengan cadangan itu, kondisi keuangan Indonesia masih cukup stabil jika dibandingkan dengan sejumlah negara di dunia, yang cadangannya habis tergerus untuk kepentingan infrastruktur dan lain-lain.
Belum lagi, laporan keuangan pemerintah pusat dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK, kian mengukuhkan langkah maju republik ini. Bayangkan saja, opini itu terakhir kali dicapai pada 2002 lalu. Sudah cukup lama, laporan keuangan Indonesia berdarah-darah dengan tingkat kebocoran yang tinggi.
Bagi pemerintah, keberhasilan ini bukan semata-mata kerja keras mereka. Tanpa pelibatan semua pihak, di semua sektor, mustahil kemajuan yang diinginkan terwujud.
“Tentu ini semua hasil kerja keras pemerintah Indonesia dan banyak pihak”, papar Luhut.
Sayangnya, baru sebentar bangsa ini bernafas lega, setelah pilkada yang menyesakkan dada, tragedi kembali terjadi. Teror bom Kampung Melayu seakan menyadarkan kita, bahwa ancaman laten itu masih ada. Ancaman teror itu nyata.
Bagi saya, kejadian teror itu akan semakin menguatkan kita (baca: warga negara) untuk tidak takut terhadap teror. Tidak akan pernah gentar terhadap pelaku-pelaku teror. Karena kami ada dan berlipat ganda. Jauh melebihi mereka.
Sebagai warga negara yang mencintai republik ini, maka tidak akan pernah ada tempat bagi pelaku teror disini. Tentu saja, karena saya sebagaimana juga yang lain sangat cinta damai. Sangat mencintai republik ini. Pun, kami akan berada di garda terdepan yang berkata “tidak“ pada terorisme.
Karena itu pula sesama warga negara tidak boleh saling menciderai. Semua harus saling membantu. Saling menghargai. Saling berbagi sekuat yang mampu dilakukan. Tak perlu memaksa.
Luhut kemudian mengistilahkannya dengan menciptakan keadilan sosial di sekitar melalui program-program yang bermanfaat bagi masyarakat. Program yang sangat dibutuhkan masyarakat.
“Seperti saya sampaikan kepada para investor, bahwa pengusaha jangan hanya sibuk memperkaya diri. Tapi buatlah program-program CSR yang memperbaiki pendidikan di sekitarnya dan membangkitkan ekonomi kecil dalam bentuk plasma-plasma”, pungkas Luhut.
Selain itu, perlu juga menanamkan pemahaman untuk mendorong tumbuhnya produk-produk dalam negeri, yang otomatis akan mendorong pertumbuhan ekonomi kecil dan menengah.
Sebagai negara yang berdaulat, saya melihat Indonesia sedang menuju kearah yang tepat, meski jalan yang dilalui cukup panjang dan berliku. Jika kita mampu melewati semua tantangan dan rintangan itu, saya yakin Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain.
Ketika semua mata kini tertuju ke Indonesia, inilah waktu yang pas untuk berbenah. Indonesia harus berubah. Indonesia harus bergerak maju. Termasuk cerdas dalam menggunakan media sosial yang akhir-akhir ini kerap disalahgunakan untuk menebar kebencian dan hoax.
Karena itu, langkah penertiban terhadap berita hoax dan ujaran kebencian pada waktunya nanti akan menyadarkan bangsa ini, bahwa semua itu tak ada gunanya. Hal itu hanya akan memperkeruh rasa persaudaraan, merusak semangat nasionalisme dan menghancurkan semangat kebersamaan dalam kebhinekaan.
Saya lalu setuju dengan pendapat Luhut yang menyebut cara menjadi bangsa yang lebih baik adalah dengan tidak menyebarkan berita-berita negatif di media sosial. Namun sebarkanlah semangat rasa percaya diri. Percaya bahwa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang mampu bersaing dengan negara-negara lain.
Kini, Indonesia baru saja memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Hari untuk bangkit. Yup, inilah saatnya kita benar-benar bangkit. Bangkit atas sebuah kesadaran. Bangkit dengan memulai dari hal-hal kecil, sekuat yang kita bisa. Semampu yang kita sanggup. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment