Thursday, July 27, 2017

Kita Tak Boleh Kalah!

(source: https://i.ytimg.com)
I wanna heal, I wanna feel what I thought was never real
I wanna let go of the pain I've felt so long
(Erase all the pain 'til it's gone)
I wanna heal, I wanna feel like I'm close to something real
I wanna find something I've wanted all along
Somewhere I belong
--Linkin Park

Kamis, 20 Juli 2017, berita duka datang dari vokalis utama Linkin Park, Chester Bennington. Lewat pemberitaan media, Chester dikabarkan bunuh diri di kediamannya di Palos Verdes Estate, California, Amerika Serikat.

Aksi bunuh diri dengan menggantungkan diri, ternyata bukan kali pertama terjadi di kalangan selebritas. Sebelumnya aksi gantung diri juga dilakukan oleh musisi Chris Cornell (AudioSlave & SoundGarden) dan aktor Robin Williams. Dalam waktu yang tak begitu lama, banyak yang prihatin mengapa mereka memilih mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tragis.

Bagi anak muda yang besar di era 2000-an, Chester dianggap sebagai ikon musik rock dunia, karena genre musiknya menampilkan sesuatu yang berbeda. Mereka hadir dengan eksperimen hip hop dan rap, sehingga banyak media yang menyebut Linkin Park sebagai grup musik nu-metal, rap metal, hingga rock elektronik.

Sementara saya, yang kebetulan hadir dan bernafas di era 90-an tidak terlalu tertarik dengan gaya bermusik Linkin Park. Saya lebih menggemari musik bergenre Pure Rock semisal Tesla,  Mr. Big, GNR, Aerosmith, Ugly Kid Joe dan lainnya. Selain itu, saya juga gandrung dengan Altenatif Rock, yang memang menemukan keemasannya pada era itu. Beberapa band yang cukup menyita perhatian, diantaranya: Collective Soul, Greenday, Simple Plan, Silverchair, REM, Red Hot Chilli Papers, Pearl Jam, Oasis, Alice in chains hingga Nirvana.

Khusus Chester, ia hadir dari latar belakang yang kelam. Persis seperti kebanyakan seniman musik di Amerika Serikat. Orang tua yang berpisah hingga jeratan narkoba selalu menghiasi.  Bahkan bagi Chester, ia berusaha berjuang melawan pengalaman buruk narkoba dan alkohol yang terus menjeratnya. Tak heran, banyak pengamat yang menyebut, Chester nekad mengakhiri hidupnya karena tak kuat melawan masa lalunya. Ia kalah dan memilih jalan pintas.

Belum lagi, trauma kekerasan seksual yang dialaminya pada usia 7 tahun, tentu bukan perkara mudah untuk dilupakan. Kondisi tersebut ikut memperparah mental pria 41 tahun itu hingga diduga mengalami depresi hebat sejak lama.

Jika jeli membaca pengalaman masa lalu Chester, semua itu terangkum dalam lirik-lirik lagu Linkin Park. Kebanyakan lagu-lagu mereka berkaitan dengan kehidupan Cheter sebagai pribadi yang depresi.

Lagu “Somewhere I Belong”, misalnya. Lagu yang merupakan single pertama dari album Meteora itu merupakan lagu terpanjang dengan durasi 3 menit dan 34 detik. Lagu itu bercerita tentang penyesalan yang timbul akibat salah dalam mengambil keputusan. Akibatnya, terjadi kesalahan fatal yang berdampak pada semuanya. Lalu ketika tidak ada usaha untuk memperbaiki kondisi itu, yang terjadi semakin buruk.

Hingga pada akhirnya muncul keinginan untuk mengakhirinya, dan menyebutnya sebagai bukan satu-satunya orang yang memikirkan hal itu. Namun kehampaan merupakan hal yang bisa diungkapkan dan satu-satunya hal yang masih bisa dirasakan. Pun, ingin lepas dari rasa sakit itu, meski sulit!

Pada bagian reffrainnya, Chester menyebut: Aku ingin sembuh, aku ingin merasakan dan ingin menemukan sesuatu yang telah lama diinginkan. Ia berkeyakinan, tempatnya bukan disini seperti sekarang ini. Meski yakin telah terjerembab, ia memastikan, tak ada yang ingin dikatakan, selain ingin berubah! Membayangkan sebuah kondisi yang sama sekali berbeda.

Bagi saya, lirik tersebut menggambarkan sebuah keputusan sulit. Ingin lari dari jerat narkoba, ingin memperbaiki diri namun yang terjadi; gagal dan gagal lagi. Akhirnya Chester tidak kuat, lalu mengakhiri hidupnya dengan cara mudah, menuju tempat dimana ia seharusnya berada.

Sejauh ini, banyak literatur yang menyebut penyebab utama bunuh diri adalah depresi. Sebuah upaya termudah meninggalkan berbagai masalah dengan mencabut nyawa sendiri yang sebenarnya sangat keliru dan bertentangan dengan ajaran agama.

Seakan tak memiliki harapan atau keinginan untuk meneruskan perjuangan hidup, bunuh diri menjadi solusi bagi mereka yang depresi. Ada anggapan “Orang-orang akan lebih baik tanpa kehadiran saya. Mereka tidak membutuhkan saya” dan hal itu tentu saja salah.

Selain itu, para pelaku bunuh diri biasanya sangat impulsif. Penyebabnya erat berkaitan dengan narkoba dan alkohol. Mereka menjadi impulsif (baca: berpikir pendek) karena tidak mampu berpikir rasional. Mereka telah gelap mata. 

Penyesalan pasti dirasakan oleh orang yang akan melakukan aksi bunuh diri. Sayangnya, keinginan bunuh diri kerap muncul secara spontan. Mereka yang depresi biasanya akan mengulang usaha bunuh diri ketika ada kesempatan. 

Jika tidak berpikir pendek, depresi sejatinya masih mungkin diobati. Salah satunya dengan terapi. Setidaknya hal itu terbukti menurut pengamatan saya, bercermin dari peristiwa yang dialami seorang sanak saudara. Saudara saya itu harus dirawat di rumah sakit karena depresi beberapa waktu lamanya.

Berkat dukungan keluarga dan terapi yang dilakukan psikiater, secara perlahan perubahan terjadi. Padahal jika sedang kumat, saudara saya itu seringkali berhalusinasi yang aneh-aneh. Dan ajakan bunuh diri kerap terlontar.

Dari banyak kasus, pelaku bunuh diri tidak menampakkan ciri-ciri khusus. Mereka layaknya orang kebanyakan. Seakan berperilaku normal. Hal ini dilakukan untuk menutupi masalah yang sedang dihadapi.

Saya lalu teringat diskusi kecil kami pagi itu. Di hari yang cerah si mamaw (baca: bukan nama sebenarnya) berkomentar singkat tentang hidup tragis yang dialami Chester.

“Harusnya dia tidak putus asa. Gak boleh bunuh diri. Dia harusnya meniru Winfrey”, tukas mamaw.

“Mengapa begitu?”, tanyaku.

“Ya, karena hidup Oprah juga tragis. Tapi dia tidak menyerah”

Mendengar itu, saya sependapat. Tak seharusnya masa lalu yang kelam jadi pembenaran untuk melakukan aksi-aksi yang merugikan diri sendiri dan keluarga. Pengalaman masa lalu seharusnya menjadi momen untuk bangkit dan tidak larut pada kesedihan yang menjerumuskan.

Saya lalu melakukan riset kecil-kecilan tentang Oprah Winfrey. Setidaknya saya ingin membuktikan omongan si mamaw tentang masa kelam Oprah.

Keberanian menjadi diri sendiri, menjadi modal Oprah menjadi presenter paling populer di Amerika Serikat dan menjadikannya selebritas terkaya versi majalah Forbes beberapa tahun lalu. Bahkan acara “The Oprah Winfrey Show” telah diputar di seluruh penjuru dunia dan ia menikmati royalti yang besar dari variety show itu.

Oprah yang diberi nama lengkap Oprah Gail Winfrey, lahir di Kosciusko, Mississippi, AS pada 29 Januari 1954. Ketika kedua orang tuanya bercerai, Oprah harus tinggal bersama neneknya, Hattie Mae yang berkarakter keras, di peternakan selama 6 tahun. Ayah Oprah merupakan mantan tentara yang beralih profesi sebagai tukang cukur. Sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 

Tinggal di peternakan bersama neneknya ternyata tidak membuat kehidupan Oprah menjadi lebih baik. Mereka hidup kekurangan dan terbilang miskin. Hebatnya, semua itu tidak membuat Oprah kecil patah semangat. Bakat belajar dan keinginannya yang keras telah terlihat sejak kecil. Bahkan di usia 3 tahun, Oprah sudah mampu membaca dan salah satu kegemarannya adalah membaca Alkitab.

“Membaca adalah cara untuk mengenal dunia,” sergah Oprah di suatu kesempatan wawancara.

Oprah kemudian tinggal bersama ibunya, Vernita, di Wisconsin. Namun, kemiskinan seakan tak berhenti menghilang. Ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak mampu memberikan perhatian yang cukup kepada Oprah dan kedua saudara tirinya. Untuk menarik perhatian ibunya, Oprah pun sering kabur dari rumah. 

Miris, di usia 9 tahun, Oprah mengalami pelecehan sexual. Oprah diperkosa oleh saudara sepupu ibunya beserta teman-temannya. Hal itu terjadi berulang kali. Di usia 13 tahun, Oprah harus menerima kenyataan pahit. Ia hamil dan melahirkan, namun bayinya meninggal 2 minggu setelahnya. 

Segala kepedihan yang dialami Oprah tidak membuatnya menyerah. Ia kemudian memilih tinggal bersama ayahnya, Vernon Winfrey, dan ibu tirinya, Zelma, yang saat itu telah menjadi anggota terhormat masyarakat Tennessee. Sejak saat itu Oprah memutuskan diri untuk berubah. Ia bertekad mengubah hidupnya, utamanya ketika sang ayah menjunjung tinggi kedisiplinan. Ayahnya kerap mengambil tindakan tegas dan tidak menerima nilai sekolah selain A. Dan sejak itu, dimulailah kisah hidup Oprah di Nashville..

Nilai sekolah Oprah membaik, bahkan sangat baik. Ia pun menjadi remaja yang ramah dan populer di kalangan teman-temannya.

Pada usia 16 tahun, Oprah menempuh perjalanannya ke Los Angeles untuk menjadi salah satu pembicara di suatu gereja. Tidak hanya itu, ia menjadi siswi teladan dan berprestasi saat di bangku SMA. Kecerdasannya telah menghantarkannya ke Gedung Putih dan dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke bangku kuliah.

Bagi saya, hal itu mencengangkan. Seorang anak miskin yang mulanya tidak punya harapan akhirnya mampu bangkit. Masa lalu yang kelam telah menumbuhkan sikap peduli seorang Oprah terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama yang kurang beruntung. Tak heran jika kemudian Oprah juga dikenal karena sikap kedermawanannya.

Buktinya, berbagai yayasan telah disantuni, antara lain, rumah sakit dan lembaga riset penderita AIDs, berbagai sekolah, penderita ketergantungan, penderita cacat dan banyak lagi.

Beberapa yang sempat mendapat perhatian media terjadi pada 2 januari 2007 ketika Oprah menghadiri peresmian sekolah khusus anak-anak perempuan di kota Henley-on-Klip, di luar Johannesburg, Afrika Selatan. Bersama dengan pemirsa acara televisinya. Oprah menyisihkan 20 juta pounsterling setara 340 milyiar rupiah dari kekayaannya untuk membantu harkat anak-anak perempuan. Ia ingin anak-anak perempuan maju dan tidak mengalami hal buruk seperti dirinya.

Seperti yang diutarakan si mamaw, Oprah Winfrey adalah kisah anak manusia yang tidak ingin terjebak oleh masa lalu. Kisah Oprah adalah perjuangan dengan tidak larut meratapi nasib. Oprah telah berjuang keras untuk keberhasilan hidupnya, dan ia berhasil. 

Oprah memiliki semangat pantang mundur dan ia mampu mengubah nasib, dari kehidupan masa lalu yang buruk menjadi manusia sukses yang berkarakter. Karena itu, semangat perjuangannya patut diteladani.

Sementara Chester Bennington telah memilih cara yang keliru. Pilihan yang salah, yang menurut saya bukan kesalahan Chester semata. Mengapa? Karena mereka yang depresi tak seharusnya ditinggal sendiri. Keluarga sebagai pihak terdekat seharusnya mampu mengambil peran.

Pasalnya, orang yang depresi sebenarnya menangis di dalam hati maupun pikirannya dan kerap berteriak meminta tolong. Sayangnya mereka tidak tahu harus meminta tolong kemana dan kepada siapa. Psikolog menyebutnya, telah masuk ke dalam fase emosional yang kritis, namun tidak menemukan orang yang tepat untuk diajak bicara atau berdiskusi. 

Jika penderita depresi bukan pribadi yang terbuka, maka hal ini menjadi sulit. Oleh karena itu bantuan secara profesional seperti psikiater bahkan ahli spiritual bisa menjadi pertolongan terbaik, selain dukungan keluarga tentunya. Karena penderita depresi pada momen tertentu akan berhenti berkeluh kesah dan hanya diam menantikan waktu yang pas untuk mencabut nyawa. 

Saya berharap, pengalaman-pengalaman itu menjadi guru. Bahwa bunuh diri bukanlah pilihan terbaik. Bunuh diri juga tidak menyelesaikan masalah. Bahkan menambah masalah bagi keluarga yang ditinggalkan. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN