Thursday, August 24, 2017

Media Literasi, Jawaban Atas Penyimpangan Media

(sumber: http://eladolinski.weebly.com)

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengingatkan jika media massa saat ini menghadapi tantangan besar terkait perkembangan teknologi dan globalisasi informasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tantangan tersebut perlu dicermati oleh media massa dan wartawan.

"Teknologi informasi berkembang cepat, membuat informasi tersebar cepat dan bisa diakses secara global," kata Rudiantara seperti dikutip dari Antara, 20/9/2016.

Cara baru berkomunikasi memberikan tantangan yang baru antara lain informasi yang negatif seperti radikalisasi dan pornografi sehingga memberikan dampak yang negatif. Oleh karena itu, pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika berkomitmen mendorong perkembangan media massa dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi dan keterbukaan informasi.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo menyebut perkembangan teknologi saat ini mendorong semakin tipisnya batas antar negara, sehingga hubungan antara masyarakat juga semakin terbuka. Ia mengatakan saat ini praktik jurnalisme memberikan pengaruh terhadap berbagai sisi kehidupan masyarakat.

"Audiens memiliki posisi yang pararel dengan jurnalis. Internet menjadi saluran cepat yang menghantarkan informasi, dengan aturan yang masih terbatas namun memiliki dampak yang luas" paparnya.

Memasuki abad ke 21, industri media sedang mengalami perubahan yang radikal. Pemilik modal, baik di Indoneia maupun secara global, mulai membangun diri dengan skala besar. Merger ataupun pembelian media menjadi fenomena yang jamak terjadi. Akibatnya, bisnis media semakin besar dan melibatkan hampir seluruh outlet media yang ada dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi. 

Masalahnya kemudian, apakah masyarakat terlayani dengan informasi yang aktual, beragam, dan sesuai dengan kepentingan mereka, atau perkembangan yang luar biasa itu hanya untuk meningkatkan keuntungan pemilik modal? 

Media, menurut sudut pandang model pasar merupakan tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat berdasarkan atas hukum permintaan dan persediaan. Model ini memperlakukan media layaknya barang dan jasa. Hanya saja, dalam kenyataannya, konsumen yang direspon oleh perusahaan media adalah pengiklan, bukan pembaca, penonton, atau pendengar mereka. 

Ini tentu saja menjelaskan bagaimana acara-acara di televisi misalnya, tampil hampir seragam. Apabila hasil riset menyatakan banyak yang menontonnya, maka pengiklan akan memasang iklan pada slot acara tersebut. Yang berarti pemasukan, sehingga tidak ada alasan untuk mengubahnya.

Sementara dari sudut pandang model ruang publik, media seharusnya lebih dari sekedar alat pengejar keuntungan. Media merupakan sumber informasi utama, dimana informasi harus beredar dengan bebas, tanpa intervensi siapapun. Sudut pandang ini melihat orang sebagai anggota masyarakat daripada konsumen.

Situasi itu, jika dilihat dari sudut pandang pasar menjadi wajar dalam rangka memperbesar penjualan, efisiensi dalam produksi, serta memposisikan diri terhadap kompetitor. Namun dari sudut pandang ruang publik, hal itu tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik secara baik. Banyaknya media belum tentu menjamin terpenuhinya konten yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Ketika industri media semakin jauh dari model ruang publik, maka tren yang berlaku adalah pertumbuhan, integrasi, globalisasi, dan pemusatan kepemilikan. Kondisi terburuk, proses restrukturisasi pada industri media telah mengizinkan para konglomerat menjalankan strategi-strategi yang diarahkan untuk memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. 

Tak heran jika eksploitasi pers telah menuju ke arah penciptaan supremasi media yang mengancam keberadaan cara pandang objektif dan ruang publik. Hal ini sesuai dengan pandangan teori hegemoni; peran media bukan lagi sebagai pengawas (watchdog) pemerintah, namun justru menopang keberadaan kaum kapitalis dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.

Di sisi lain, media massa dewasa ini juga dijejali dengan berita-berita yang menakutkan, seperti kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, dan sebagainya. Bahkan media massa, kini menjadi penyebar pesan pesimisme. Akibatnya, media massa justru menakutkan bagi masyarakat. 

Dalam menyikapi pengaruh media massa seperti itu, berkembang pemikiran tentang perlunya media literasi (melek media). Kajian ini merupakan gerakan penting di kalangan kumpulan-kumpulan advokasi di negara maju untuk mengendalikan kepentingan dan pengaruh media massa dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat.

Adapun tujuan dasar literasi media ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, termasuk meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan/ ide yang disampaikan oleh media massa. 

Sejauh ini, belum ada hasil penelitian yang menyebutkan tingkat literasi (melek media) di Indonesia, apakah sudah baik atau buruk. Hanya saja, tingkat literasi biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan dan daya kritis masyarakat. Makin tinggi pendidikan dan daya kritis seseorang, makin tinggi pula tingkat literasinya. 

Itu sebabnya, bagi kalangan ”melek-media” tidak sekedar sebagai pemerhati tapi aktif melakukan sesuatu jika media massa melakukan penyimpangan. Penyimpangan itu bisa mengenai informasinya yang salah, kurang tepat, atau tidak seimbang. Jika itu yang terjadi, maka khalayak dapat melakukan protes. Protes dilindungi oleh Undang-undang No.40/1999, dimana ada 2 hak yang berhubungan dengan itu, yakni Hak Koreksi dan Hak Jawab.

Hak Jawab adalah hak seseorang/sekelomplok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 5 Ayat 2 UU 40/1999) menyebutkan, pers wajib melayani Hak Jawab. 

Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pasal 5 Ayat 3 UU 40/1999 menyebutkan, pers wajib melayani Hak Koreksi. 

Pelanggaran atas Hak Jawab, selain berupa pelanggaran kode etik, juga pelanggaran atas UU No. 40/1999 yang berimplikasi pada denda. Pelanggaran kode etik tidak berakibat hukum, namun pelanggaran atas UU 40 adalah tindak pidana yang berakitan dengan hukuman. Pasal 18 mengingatkan, perusahaan pers yang melanggar antara lain pasal 5 Ayat 2 bisa dipidana dengan denda paling banyak Rp 500 juta.

Selama ini, masyarakat belum banyak yang tahu bahwa mereka mempunyai kedua hak tersebut. Lebih daripada itu, bahkan sebagian besar warga masyarakat tidak tahu, kemerdekaan pers adalah hak azasi warga negara. Oleh karena itu, sosialisasi tentang pentingnya literasi media perlu terus-menerus diberikan. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN