(source: www.theglobeandmail.com) |
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”
--Pasal 19 Pernyataan Umum HAM, Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948
Konstitusi kita, tepatnya pada Pasal 28 UUD 1945 mengamanatkan perlunya ditetapkan undang-undang (UU) sebagai produk hukum turunan guna menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berinformasi. Dalam kaitan itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan sejumlah UU berkaitan dengan tata kelola informasi, antara lain UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Berbagai dasar hukum itu perlu dipahami oleh masyarakat luas, khususnya insan pers agar dapat mengetahui tata kelola informasi dan sekaligus membuat peta multimedia massa. Hal ini berkaitan erat dengan kaidah melek media (media literacy), yakni tugas pokok dan fungsi pers untuk menyebarkan informasi, mendidik, memberikan hiburan, dan pengawasan masyarakat.
Undang-Undang Pers
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi serta hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang pofesional sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan pihak mana pun.
Semangat yang diamanatkan UU Pers antara lain tidak adanya pemberedelan atau pelarangan penyiaran dan sensor berita dari pihak mana pun, serta tugas pokok dan fungsi Dewan Pers menjadi independen.
Berdasarkan UU Pers, maka pengertian pers juga tidak terbatas hanya ke perusahaan pers cetak, melainkan mencakup perusahaan media siaran elektronik (radio dan televisi), media siber, dan berbagai sarana lainnya yang menerapkan kode etik jurnalistik.
Undang-Undang Penyiaran
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengamanatkan tugas pokok dan fungsi lembaga penyiaran, dengan menggunakan spektrum frekuensi radio/televisi sebagai ranah publik yang termasuk sumber daya alam terbatas, sehingga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.
Spektrum frekuensi radio/televisi memungkinkan lembaga penyiaran memancarkan informasi yang diterima publik secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak. Oleh karena itu, UU Penyiaran menekankan pentingnya tanggung jawab lembaga penyiaran dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam UU Penyiaran, bagian keempat tentang jegiatan Jurnalistik di pasal 42 mengatur bahwa wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
UU Penyiaran juga mengamanatkan adanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. KPI terdiri atas KPI Pusat yang dibentuk dan berkedudukan di ibu kota negara serta KPI Daerah yang dibentuk dan berkedudukan di ibu kota provinsi.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) lebih banyak terfokus pada posisi Indonesia dalam tatanan global sebagai bagian masyarakat informasi dunia, temuan teknologi informasi yang mempengaruhi berbagai sisi kehidupan bangsa, serta secara langsung mempengaruhi pula lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
Ketentuan Umum UU ITE menjelaskan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Ada sejumlah proses berkomunikasi, yang pada praktiknya banyak melakukan “transaksi informasi” seperti strategi membangun pemahaman untuk melahirkan simpati, empati, bahkan antipati, tidak akan mudah bila disandingkan dengan peristilahan berdampak hukum dalam ITE. Informasi dalam ilmu komunikasi, yang banyak melandasi semangat UU Pers, sangat luas dan bebas nilai maknanya. Namun, UU ITE banyak menekankan sejumlah sanksi hukum, denda dan fisik, bagi pelaku “transaksi informasi” yang menggunakan fasilitas temuan produk teknologi informasi berinternet.
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) disusun dengan pertimbangan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan negara.
Selain itu, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya, serta mengembangkan masyarakat informasi.
UU KIP dalam ketentuan umumnya mencantumkan bahwa informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dibaca dan didengar, yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
Adapun informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP, serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Kendati demikian, UU KIP memiliki pengecualian yang dapat bersinggungan atau bahkan “bertabrakan” dengan praktik jurnalistik. Wartawan yang sedang menjalankan peliputan invetigasi, misalnya, senantiasa harus menggali banyak informasi yang terkadang termasuk dalam kategori informasi dikecualikan. Sedangkan, aparat hubungan masyarakat (humas) adalah salah satu pihak yang dekat dengan wartawan dalam “bertransaksi informasi” sehingga dimungkinkan menghadapi kendala berkaitan dengan tata kelola informasinya bila dikaitkan dengan UU KIP.
Penerapan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan sejumlah produk hukum terkait merupakan pengetahuan yang perlu dipahami oleh komunitas komunikasi, terutama wartawan dan aparat hubungan masyarakat, agar lebih aman secara hukum dalam menjalankan tugasnya. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment