Monday, December 11, 2017

Pembangunan Pertanian Sebuah Utopia?

(sumber: pixabay.com)

The land is ours. It's not European and we have taken it, we have given it to the rightful people... Those of white extraction who happen to be in the country and are farming are welcome to do so, but they must do so on the basis of equality.
--Robert Mugabe


Sejak ajakan menghadiri Seminar Nasional yang dilakukan Ikatan Alumni Fakultas Pertanian USU menggema di media sosial, semisal grup Whatsapp hingga Facebook, rasa penasaran saya terusik. Selain lama tak ikut dalam kegiatan alumni kampus, bertemu para senioren, teman seangkatan hingga para junioren pastinya cukup menyenangkan. 

“Ibarat acara reuni saja”, demikan akal sehatku mencerna.

Namun, begitu membaca TOR yang disampaikan panitia, selaku lulusan pertanian (baca: walau bukan yang terbaik), kesadaran saya tergugah. Ntah mengapa, saya ingin hadir, meskipun hanya sebagai peserta pasif saja. 

Oh ya, khusus terkait bidang pertanian, saya sering menghadirkan dialog bertema itu di stasiun televisi tempat saya berkarir. Namun mendengarkan secara langsung tantangan terkini dari dunia pertanian oleh para narasumber yang berkompeten, telah memberi pemahaman baru.

Dalam rilis yang sampaikan, saya setuju jika menyebut pertanian memiliki arti strategis dalam pembangunan, mengingat sektor pertanian mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, karena kontribusinya terhadap PDB merupakan kedua terbesar setelah industri manufaktur.

Sektor pertanian juga terbukti mampu menjaga pasokan bahan pokok, agar inflasi dapat terjaga rendah sehingga daya beli masyarakat tidak melemah, hingga membantu peningkatan devisa melalui ekspor nonmigas.

Hanya saja, secara umum, banyak yang mempertanyakan, termasuk saya, apakah pertanian kita masih memilki harapan, ditengah gempuran produk impor, sementara di saat yang bersamaan luas lahan terus menyusut? Belum lagi fakta tentang banyaknya petani yang memilih menjadi buruh tani demi mengurangi risiko kerugian, hingga berkurangnya usia produktif yang memilih pertanian sebagai penghasilan utama, terlihat begitu nyata.

Di sisi lain, pemerintah kerap mengukur keberhasilan pembangunan pertanian lebih kepada peningkatan produksi (growth) ketimbang perbaikan taraf hidup petani. Pun, tak kalah menjengkelkan, ketika ukuran statistik lebih memilih keterjangkauan hasil produksi oleh konsumen (kebijakan pro-konsumen), dan bukannya melihat sejauh apa petani mampu mengorganisasi diri, sehingga memiliki posisi tawar yang lebih baik.

Saya jadi teringat komentar Iskandarini Soetandi, akrab disapa Rini, dosen FP USU di salah satu sesi diskusi siang itu. Komentar singkatnya saat menohok.

“Seharusnya, biarkan petani yang menentukan harga bukan pedagang pengumpul apalagi pedagang besar”, ungkapnya saat memberi pemaparan tentang perubahan sosial budaya dalam pembangunan pertanian.

Jika berbicara soal petani, mungkin sudah tak terhitung banyaknya seminar yang bertemakan soal itu. Atau berapa banyak anggaran yang dialokasikan demi pembangunan pertanian di Indonesia. Bahkan tak kalah banyak, aksi yang dilakukan petani untuk menuntut haknya, termasuk menyikapi sengketa lahan yang mampu membuat dahi mengernyit.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (IKA FP USU Jabodetabek) Marolop Nainggolan dalam siaran persnya menyebut kondisi petani Indonesia saat ini masih jauh dari ideal, padahal merdeka sudah 72 tahun.

“Petani sebagai tulang punggung pembangunan pertanian cenderung terabaikan. Perlindungan terhadap petani masih perlu ditingkatkan, sehingga berbagai permasalahan di sektor pertanian tidak terus berlangsung”, ungkapnya.

Marolop mencontohkan, dalam program pencapaian ketahanan/kedaulatan pangan, pemerintah berusaha melakukan berbagai cara peningkatan produksi untuk menjaga ketersediaan, keterjangkauan hingga kualitas pangan. Namun, peningkatan produksi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani.

“Untuk itu diperlukan terobosan baru dalam pembangunan pertanian dengan memperkuat model pembangunan yang seharusnya melindungi petani dan konsumen. Sehingga konsumen dapat menjangkau harga pangan dan petani tetap sejahtera”, pungkanya.

Realitas Petani
Saat ini, rata-rata penguasaan lahan oleh petani sangat terbatas. Akibatnya petani tidak mampu memproduksi hasil pertanian secara maksimal. Sementara itu, reforma agraria yang digadang-gadang sejak awal merupakan kebijakan populis yang dianggap mampu penyelesaian problem petani ternyata belum juga membuahkan hasil. 

Buktinya, hingga Oktober 2017, rencana pemerintah mengeluarkan 5 juta sertifikat tanah kepada petani masih jauh dari sempurna. Yang berhasil dicapai belum setengahnya. Sertifikat yang dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, baru mendekati 2 juta sertifikat pada Oktober 2017. 

Pemerintah berdalih, banyak kendala dalam pemberian sertifikasi tanah kepada petani. Salah satunya, masih adanya tanah-tanah yang menjadi sengketa dan tanah yang merupakan kawasan hutan.

Ketersediaan dan keterjangkauan saprodi (pupuk, bibit, pestisida) juga menjadi kendala. Banyaknya kebocoran sistem distribusi menyulitkan petani mendapatkan pupuk dengan mudah dan harga terjangkau. 

Padahal subsidi pertanian setiap tahunnya terus bertambah. Pada tahun 2014 jumlah subsidi pupuk mencapai Rp21 triliun, lalu meningkat Rp31,3 triliun di tahun 2015. Di tahun 2016 juga bertambah menjadi Rp30,1 triliun, dan di 2017 naik sebesar Rp31,1 triliun. Subsidi sebesar itu dialokasikan untuk ketersediaan pupuk sebesar 8,55 juta ton dengan tambahan 1 juta ton sebagai cadangan.

Temuan Komisi IV DPR juga cukup mencengangkan. Mereka menemukan karung pupuk bersubsidi dalam kondisi mudah pecah, sehingga rawan terjadi kecurangan dengan cara dioplos. Hal itu ditemukan usai kunjungan kerja ke Gudang Pupuk Petrokimia dan Pusri di Ketapang, Pangkal Pinang, Provinsi Bangka-Belitung akhir Februari lalu.

Akses perbankan yang belum menyentuh pembiayaan petani juga persoalan tersendiri. Tak heran jika petani mudah terjerat sistem ijon pada tengkulak. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, menyebut hanya 15 persen dari 8.000 sampel petani yang sudah mengakses kredit bank, sedangkan mayoritas sebesar 52 persen masih mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan lembaga keuangan nonbank lainnya. Dan 33 persen lainnya mengandalkan kredit Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan kredit usaha rakyat (KUR).

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat setidaknya ada 4 faktor pemasalahan program kredit melalui perbankan di sektor pertanian, yakni pemberian kredit yang tidak tepat sasaran, subsidi bunga, prosedur yang birokratis, dan tingginya risiko dari moral hazard. Keempat faktor itu membuat kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) bank menjadi tinggi, target tidak terpenuhi, dan pemberian kredit tidak berkelanjutan. Karena itu, mau tidak mau, pemerintah harus mencarikan pola baru yang lebih aplikatif dan berimplikasi langsung kepada petani, seperti diinginkan Presiden Joko Widodo.

Hal lain yang membuat petani kian terpuruk adalah lemahnya organisasi petani yang mampu menyuarakan aspirasi sekaligus memperjuangkan hak mereka. Kreativitas petani untuk keluar dari ketergantungan yang merugikan tidak dapat dilakukan karena kalah dalam proses politik dan hukum. 

Itu terjadi karena belum ada gerakan politik yang mengakar dan bekerja efektif dari kelompok petani untuk mengkritisi kebijakan pemerintah (baca: yang tidak berpihak petani). Di tingkat lokal, jumlah petani yang tergabung dalam organisasi masih sangat sedikit. Jika pun ada, organisasi tersebut tidak disertai manajemen organisasi yang baik. 

Sementara pada tataran nasional, organisasi semisal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai induk gerakan petani nasional justru menjadi ajang pertarungan para elit-elitnya. Ironisnya, pengurus pusat diisi orang-orang yang tidak paham pertanian dan tidak memiliki latar belakang di sektor pertanian. Karena itu, boro-boro sebagai penggerak pembangunan pertanian, berkecimpung di dunia pertanian pun, mungkin tidak pernah.

Permasalahan lain yang juga muncul adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Selama ini sudah menjadi rahasia umum, jika SDM petani sangat rendah, sehingga sulit menyerap pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan produktivitas, termasuk jika harus berhubungan dengan teknologi. 

Padahal, jika saja SDM petani mumpuni, mereka dapat berusaha dan bekerja di sektor lain, seperti industri kreatif, atau wirausaha. Namun, celakanya, bekerja sebagai wirausaha atau industri kreatif belum mampu dilakukan, sehingga penduduk perdesaan rentan miskin. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan SDM, upaya menurunkan angka kemiskinan di perdesaan di masa datang kian sulit, antara lain, akibat bertambahnya penduduk dan semakin menyempitnya areal pertanian akibat konversi lahan.

Posisi Tawar Petani
Dalam paparannya, peneliti dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian, I Ketut Kariyasa menyebut jika sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani dengan pendapatan utama dari sektor pertanian. 

Sementara itu data BPS terbaru (Maret 2017) menyebutkan secara keseluruhan, struktur pengeluaran untuk pangan hampir mencapai 47% - 50% dan sumbangan makanan/pangan terhadap kemiskinan hampir 73,3%.

“Karena itu, ketersediaan lahan, stabilisasi pasokan dan harga menjadi penting”, ujar Ketut saat membawakan materi “Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Petani”.

Pertanian sebagai salah satu sektor penting dalam kehidupan ternyata memiliki peran strategis. Kondisi itu secara keseluruhan tidak dapat digantikan oleh sektor lainnya.

“Kebijakan pembangunan pertanian menjadi penting untuk mendukung ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani”, kata Ketut.

Saat ini, fakta/ realita di sektor Pertanian meliputi beberapa hal. Mulai dari besarnya populasi (baca; 258 juta), dinamika penduduk (urbanisasi, angkatan kerja wanita, proporsi penduduk miskin masih besar (11,4%) hingga persoalan gizi. Sementara itu ketergantungan terhadap beras makin besar, ditandai dengan konsumsi 124 kg/kap/tahun.

“Untuk mengatasi itu diperlukan peningkatan permintaan pangan, baik dalam jumlah, mutu, keragaman dan keamanan pangan”, pungkas Ketut.

Adapun tantangan yang harus dihadapi, diantaranya; konversi lahan pertanian 100 ribu ha/tahun yang kian tidak terkendali, akses terhadap sumber pembiayaan, teknologi, dan informasi pasar rendah. Termasuk sebaran produksi pangan yang tidak merata, baik antar daerah maupun antar waktu, hingga dampak perubahan iklim global.

Dari semua itu, secara mendasar, mayoritas petani memiliki ketidakberdayaan dalam negosiasikan harga hasil produksinya. Posisi tawar yang lemah, membuat petani kesulitan meningkatkan pendapatannya.

Lemahnya posisi tawar terutama disebabkan terbatasnya akses pasar, informasi pasar dan permodalan. Oleh karena itu, tak heran jika 40% produki (hasil panen) menjadi milik tengkulak. Peningkatan produktivitas tidak menjamin petani, tanpa adanya kesetaraan pendapatan antara petani yang bergerak di sub-sistem on farm dengan pelaku agribisnis di sektor hulu dan hilir.

Kesetaraan pendapatan tidak akan terwujud tanpa peningkatan posisi tawar petani. Hal itu hanya dimungkinkan jika petani mengorganisasi diri dengan membangun kelembagaan. Berkumpul dalam suatu wadah sebagai tempat belajar, bertanya dan berdiskusi serta menyalurkan aspirasi. 

Lembaga itu akan mampu berperan optimal hanya ketika operasionalnya dikendalikan sepenuhnya oleh para petani, sehingga petani sebagai pelaku sekaligus subjek dalam proses pembangunan pertanian.

Pada gilirannya, peningkatan posisi tawar petani secara tidak langung akan meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga kesenjangan dan kerugian yang dialami dapat diminimalisir.

Pentingnya Regenerasi
Pertanian Indonesia sedang mengalami persoalan serius yang membutuhkan penanganan segera. Tidak hanya terkait menurunnya kualitas produk yang dihasilkan, membanjirnya produk impor, berkurangnya lahan, namun juga menurunnya jumlah petani. 

Sementara itu, model pertanian kita kebanyakan pertanian keluarga yang dilakukan bersama-sama, yang terbukti manjur menjaga produksi dan keberlangsungan kehidupan petani. Hanya saja, kompoisi usia produktif dan tingkat produktivitasnya tidak sebanding.

Umur petani mempengaruhi aktivitasnya dalam mengelolah usahatani, dalam hal ini kondisi fisik petani muda dengan kemampuan berpikir, sehingga bekerja lebih kuat dari petani berusia tua. Selain itu, petani berusia muda cenderung memiliki keberanian menanggung risiko dan mencoba inovasi baru demi kemajuan usahataninya.

Sayangnya, sektor pertanian masih dipandang sebagai profesi yang kurang menjanjikan. Yang terjadi kemudian, sektor pertanian tidak mampu menarik perhatian kaum muda. Tak heran jika mereka lebih suka bekerja sebagai buruh pabrik di kota.

“Saat ini telah terjadi perubahan dalam masyarakat mencakup nilai-nilai dan tata cara kehidupan dari tradisional menjadi modern, sehingga petani usia muda sangat jarang ditemukan”, tegas Iskandarini.

Menurunnya produktivitas petani mengindikasikan kebutuhan mendesak regenerasi di tingkat petani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak tergantikan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa dipertaruhkan. 

Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi SDM petani yang mumpuni. SDM yang tidak memiliki daya saing, pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap kedaulatan pangan. Karena itu, perlu upaya serius untuk menata dan membuat roadmap regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi pangan. Mewujudkan regenerasi yang tangguh dan peduli terhadap masa depan pertanian, menjadi keharusan semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, termauk masyarakat.

“Ketiga komponen itu seharusnya bersinergi dalam memfasilitasi terintegrasinya rencana, implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM pertanian, khususnya pola regenerasi petani”, pungkas Iskandarini.

Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi dan peningkatan kompetensi petani selayaknya menjadi bagian dari roadmap yang perlu dikembangkan, agar impian menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia 2045 dapat terwujud. Karena jika tidak, pembangunan pertanian tak lebih dari utopia semata. (jacko_agun)

1 comment:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN